Sebagaimana
telah disinggung dalam judul artikel, para ulama memiliki dua pendapat dalam
permasalahan ini :
[Pertama] Diwajibkan tasmiyyah (membaca bismillah) ketika berwudhu,
barangsiapa yang sengaja meninggalkannya maka ia berdosa.
Diantara
ulama yang mengikuti pendapat ini adalah Al-Hasan Al-Bashri, Ishaq bin Rahawaih,
Imam Ahmad dalam satu riwayat dan sebagian Dzahiriyyah rahimahumullah. [Al-Mughni
1/119, Al-Majmu’ 1/387, Nailul Authar 1/173, Al-Hawi Al-Kabir
1/116, Al-Inshaf 1/128 dan Subulus Salam 1/80]
Mereka
berdalil dengan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda :
لا صلا ة لمن لا وضوء له ولا وضوء لمن لم يذ كر اسم الله عليه
“Tidak sah shalat tanpa berwudhu, dan tidak sah wudhu tanpa
menyebut nama Allah padanya”
[Dikeluarkan
oleh Abu Daud no. 101, Ibnu Majah no. 399, At-Tirmidzi dalam Al-‘Ilal
Al-Kabir no. 18, Ahmad dalam Al-Musnad 2/418, Al-Baihaqi dalam As-Sunan
Al-Kubra 1/14, Ad-Daraquthni 1/79,
Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 1/147, Ath-Thayalisi no. 2422, Ath-Thahawi
dalam Syarh Ma’ani Al-Atsar 1/26, Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam
Al-Ausath no. 8080, Ibnul-Jauzi dalam At-Tahqiq 1/141, Al-Baghawi
dalam Syarh As-Sunnah no. 209 dan Al-Mizzi dalam Tahdzibul Kamal
11/332]
Seluruhnya
melaui jalan Muhammad bin Musa, dari Ya’qub bin Salamah Al-Laitsi, dari
ayahnya, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
Al-Hafidz
Ibnu Hajar rahimahullah berkata tentang biografi Ya’qub bin Salamah
Al-Laitsi:
“Ia
adalah seorang yang sedikit haditsnya, tidak meriwayatkan dari perawi tsiqat
selain Muhammad bin Musa. Sedangkan ayahnya adalah perawi yang majhul, tidak
ada yang meriwayatkan hadits darinya selain anaknya.” [Nata’ijul Afkar,
1/226]
Hadits
ini memiliki syawahid, diantaranya :
1.
Hadits Sa’id bin
Zaid radhiyallahu ‘anhu
Dikeluarkan
oleh At-Tirmidzi dalam As-Sunan no. 25 dan Al-‘Ilal no. 16, Ibnu
Majah no. 398, Ahmad 5/381 dan 6/382, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf
1/12-14, Ath-Thayalisi dalam Al-Musnad no. 243, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak
4/60, Ad-Daraquthni no. 1/72, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra 1/43,
Ath-Thahawi dalam Syarh Ma’ani Al-Atsar 1/26, Ibnul Mundzir dalam Al-Ausath
1/367, Al-‘Uqaili dalam Adh-Dhu’afa Al-Kabir 1/177, Abu Ya’la dalam Al-Mu’jam
no. 255, Ibnul Jauzi dalam At-Tahqiq 1/138, Ath-Thabrani dalam Ad-Du’a
no. 373,378 dan Abu ‘Ubaid dalam Ath-Thuhur no. 52
Seluruhnya
melalui jalan Abdurrahman bin Harmalah, dari Abu Tsafal Tsumamah bin Wa’il,
dari Rabah bin Abdurrahman, dari kakeknya, dari Sa’id bin Zaid dengan lafadz
لا وضوء لمن لم يذ كر اسم عليه
Al-Hafidz
Az-Zaila’i rahimahullah berkata :
“Terdapat
tiga perawi majhul hal yakni kakek dari Rabah tidak diketahui nama dan
keadaannya, tidak diketahui selain dalam sanad ini, demikian pula Rabah dan Abu
Tsafal adalah perawi majhul.” [Nashbur Rayah 1/4]
Ibnu
Abi Hatim rahimahullah berkata :
“Hadits
ini tidak shahih menurut kami, Abu Tsafal dan Rabah adalah perawi majhul” [Al-‘Ilal
1/52]
2. Hadits Abu Sa’id
Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu
Dikeluarkan
oleh At-Tirmidzi dalam Al-‘Ilal no. 17, Ibnu Majah no. 397, Ahmad 3/41, Ad-Darimi
dalam As-Sunan no. 691, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 1/12,
Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 1/147, Ad-Daraquthni no. 1/71, Al-Baihaqi
dalam As-Sunan Al-Kubra 1/43, Abu Ya’la dalam Al-Mu’snad no. 1060,
Ath-Thabrani dalam Ad-Du’a no. 380 dan Abu ‘Ubaid dalam Ath-Thuhur
no. 53, Ibnu As-Sunni dalam ‘Amal Al-Yaum wal Lailah no. 26 dan ‘Abdun
bin Humaid dalam Al-Muntakhab no.910.
Seluruhnya
melalui jalan Katsir bin Zaid, dari Rabih bin Abdurrahman, dari ayahnya, dari
Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu.
Katsir
bin Zaid dilemahkan oleh Ya’qub bin Salamah dan An-Nasa’i, dinilai tsiqah oleh
Ibnu Hibban dan Ibnu ‘Ammar Al-Mushily, dinyatakan shaduq oleh Abu Zur’ah,
Abu Hatim, Ibnu ‘Adi dan ini pula yang dinyatakan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahumullah
dalam Taqribut Tahdzib.
Rabih
bin ‘Abdurrahman dinilai tsiqah oleh Ibnu Hibban, Ahmad berkata: “rajulun
laisa bima’ruf”, Abu Zur’ah berkata: “syaikh”, Ibnu ‘Adi berkata: “arju’
la ba’sa bihi”, sedangkan Al-Bukhari berkata: “munkarul hadits”.
3.
Hadits Sahl bin Sa’d
radhiyallahu ‘anhu
Dikeluarkan
oleh Ibnu Majah no. 400, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 1/269 dan Ath-Thabrani
dalam Al-Mu’jam Al-Kabir no. 5699 melaui jalan Ibnu Abi Fudaik, dari
Abdul Muhaimin bin Abbas, dari ayahnya, dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu.
Abdul
Muhaimin dha’if jiddan, An-Nasa’i berkata: “laisa bitsiqah”,
Al-Bukhari berkata: “munkarul hadits”, Abu Hatim berkata: “munkarul
hadits”, As-Saji berkata: “fiha manakir”.
Dan
masih banyak hadits lain yang dapat dijadikan sebagai syawahid, silahkan
merujuk kitab Kasyfu Al-Makhbu’ bitsubut hadits At-Tasmiyyah ‘inda Al-Wudhu karya
Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini hafidzahullah untuk menelaah takhrij hadits
secara lengkap.
Al-Hafidz
Al-Mundziriy rahimahullah berkata :
وفي الباب أحاديث كثيرة لا يسلم شيء
منها من مقال وقد ذهب الحسن وإسحاق بن راهوية وأهل الظاهر إلى وجوب التسمية في
الوضوء حتى أنه إذا تحمد تركها أعاد الوضوء وهو رواية عن الإمام أحمد ولا شك أن
الأحاديث التي وردت ليها وإن كان لا يسلم شيء منها عن مقال فإنها تتعاضد بكثرة
طرقها وتكتب قوة
“Dalam bab ini
terdapat banyak hadits yang kesemuanya tidak luput dari pembicaraan. Al-Hasan,
Ishaaq bin Raahawaih, dan ahlu-zhaahir
berpendapat wajibnya tasmiyyah
(membaca basmalah) ketika wudlu.
Sampai-sampai mereka berpendapat jika ditinggalkan dengan sengaja wajib untuk
mengulangi wudlunya. Ini adalah salah satu riwayat (yang ternukil) dari Al-Imam
Ahmad. Tidak diragukan lagi bahwa hadits-hadits yang diriwayatkan dalam masalah
ini – meskipun tidak luput dari pembicaraan (tentang ke-dla’if-annya) – namun saling menguatkan satu dengan lainnya karena
banyaknya jalan” [At-Targhib wat-Tarhib
1/225].
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah
berkata:
وَالظَّاهِرُ أَنَّ مَجْمُوعَ
الْأَحَادِيثِ يَحْدُثُ مِنْهَا قُوَّةٌ تَدُلُّ عَلَى أَنَّ لَهُ أَصْلًا
“Zhahirnya,
hadits-hadits ini secara keseluruhan saling menguatkan dan menunjukkan bahwa
hadits ini ada asalnya” [At-Talkhishul-Habir,
1/257]
Syaikh Al-Albani rahimahullah
berkata:
حديث صحيح، وقواه المنذري، والحافظ العسقلاني، وحسنه ابن الصلاح،
وقال الحافظ ابن كثير: إنه حديث حسن أو صحيح وقال ابن أبي شيبة: إنه ثبت
“Hadits ini shahih, dinyatakan kuat oleh Al-Mundziri,
Al-Hafidz Al-‘Asqalani dan dihasankan oleh Ibnus-Shalah. Al-Hafidz Ibnu Katsir
berkata: “hadits ini hasan atau shahih”. Ibnu Abi Syaibah berkata: “hadits
ini tsabit”. [Shahih Abu Daud 1/169]
[Kedua]
Disunahkan tasmiyyah (membaca bismillah) ketika berwudhu.
Diantara ulama yang
mengikuti pendapat ini adalah Sufyan Ats-Tsauri, Rabi’ah bin Abdirrahman,
Al-Hanafiyyah, Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad dalam satu riwayat, Abu ‘Ubaid
Al-Qasim bin Salam dan Ibnul Mundzir rahimahumullah. [Al-Ausath
1/367, Al-Mughni 1/119, Nailul Authar 1/173, Al-Majmu’ 1/387,
Al-Umm 1/49 dan Al-Inshaf 1/128]
Mereka
berdalil dengan firman Allah,
“Wahai orang-orang yang
beriman, ketika kalian hendak menunaikan shalat basuhlah wajah dan tangan kalian
hingga siku, usaplah kepala kalian dan basuhlah kaki kalian hingga mata kaki.”
[Al-Maidah : 6]
Dan hadits Rifa’ah bin
Rafi’ radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda :
لا تتم صلاة أحدكم حتى يسبغ الوضوء
كما أمره الله يغسل وجهه و يديه إلى المرفقين و يمسح رأسه و رجليه إلى الكعبين
“Tidak
sempurna shalat salah seorang kalian hingga ia membaguskan wudhunya sebagaimana
yang Allah perintahkan, membasuh wajah dan kedua tangannya sampai siku,
mengusap kepalanya dan membasuh kedua kakinya hingga mata kaki.” [Dikeluarkan
oleh Abu Daud no. 858, An-Nasa’i dalam Al-Kubra no. 1631 dan dishahihkan oleh Syaikh
Al-Albani dalam Shahih Abu Daud]
Dalam ayat dan hadits di
atas, Allah dan rasul-Nya menjelaskan kewajiban-kewajiban wudhu tanpa menyebutkan
tasmiyyah. Seandainya tasmiyyah dihukumi wajib niscaya disebutkan
dalam ayat dan hadits.
Tarjih
Pendapat
yang lebih kuat adalah pendapat kedua, Allahua’lam. Adapun hadits Abu
Hurairah yang dijadikan dalil pendapat pertama masih diperselisihkan
keshahihannya. Sebagian ulama mendha’ifkannya seperti Imam Ahmad, Al-Bukhari, Abu Hatim, Abu Zur'ah, Al-'Uqaili, dll rahimahumullah.
Seandainya
hadits tersebut shahih, sebagaimana dikuatkan oleh para ulama mutakhirin, maka
dalil-dalil pendapat kedua dapat memalingkan hukum dari wajib menjadi sunah.
Peniadaan hukum (nafyu) dalam hadits Abu Hurairah dipahami sebagai peniadaan
kesempurnaan ibadah (nafyul kamal) bukan peniadaan sahnya hukum ibadah (nafyus
shihhah).
Ringkasnya
hadits tersebut diterjemahkan “Tidak sempurna wudhu seseorang tanpa menyebut nama
Allah padanya”. Pendapat ini dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah.
Wal’ilmu
‘indallah
Disarikan
oleh Abul-Harits dari Shifat Wudhu Nabi karya Syaikh Muhammad Rajab hafizhahullah
di Madinah, 27 Muharram 1434 H
No comments:
Post a Comment