Shalat gerhana dilakukan sebanyak dua raka’at dan ini berdasarkan
kesepakatan para ulama. Namun, para ulama berselisih mengenai tata
caranya. Ada yang mengatakan bahwa shalat gerhana dilakukan sebagaimana
shalat sunnah biasa, dengan dua raka’at dan setiap raka’at ada sekali
ruku’, dua kali sujud. Ada juga yang berpendapat bahwa shalat gerhana
dilakukan dengan dua raka’at dan setiap raka’at ada dua kali ruku’, dua
kali sujud. Pendapat yang terakhir inilah yang lebih kuat sebagaimana
yang dipilih oleh mayoritas ulama. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/435-437)
Dalil Disyariatkannya Shalat Gerhana
Dari Abu Bakrah radhiallahu anhu dia berkata:
كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَانْكَسَفَتْ الشَّمْسُ فَقَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَجُرُّ رِدَاءَهُ حَتَّى دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَدَخَلْنَا
فَصَلَّى بِنَا رَكْعَتَيْنِ حَتَّى انْجَلَتْ الشَّمْسُ فَقَالَ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَا يَنْكَسِفَانِ
لِمَوْتِ أَحَدٍ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَصَلُّوا وَادْعُوا حَتَّى
يُكْشَفَ مَا بِكُمْ
“Kami pernah duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam lalu terjadi gerhana matahari. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam berdiri dan berjalan cepat sambil menyeret selendangnya hingga
masuk ke dalam masjid, maka kami pun ikut masuk ke dalam masjid. Beliau
lalu mengimami kami shalat dua rakaat hingga matahari kembali nampak
bersinar. Setelah itu beliau bersabda: “Sesungguhnya matahari dan bulan
tidak mengalami gerhana disebabkan karena matinya seseorang. Jika kalian
melihat gerhana keduanya, maka dirikanlah shalat dan berdoalah hingga
selesai gerhana yang terjadi pada kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 1040)
Dari Aisyah radhiallahu anha dia berkata:
خَسَفَتْ الشَّمْسُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَصَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِالنَّاسِ فَقَامَ فَأَطَالَ الْقِيَامَ ثُمَّ رَكَعَ فَأَطَالَ
الرُّكُوعَ ثُمَّ قَامَ فَأَطَالَ الْقِيَامَ وَهُوَ دُونَ الْقِيَامِ
الْأَوَّلِ ثُمَّ رَكَعَ فَأَطَالَ الرُّكُوعَ وَهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ
الْأَوَّلِ ثُمَّ سَجَدَ فَأَطَالَ السُّجُودَ ثُمَّ فَعَلَ فِي
الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ مِثْلَ مَا فَعَلَ فِي الْأُولَى ثُمَّ انْصَرَفَ
وَقَدْ انْجَلَتْ الشَّمْسُ فَخَطَبَ النَّاسَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى
عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ
اللَّهِ لَا يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا
رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
ثُمَّ قَالَ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ وَاللَّهِ مَا مِنْ أَحَدٍ أَغْيَرُ
مِنْ اللَّهِ أَنْ يَزْنِيَ عَبْدُهُ أَوْ تَزْنِيَ أَمَتُهُ يَا أُمَّةَ
مُحَمَّدٍ وَاللَّهِ لَوْ تَعْلَمُونَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيلًا
وَلبَكَيْتُمْ كَثِيرًا
“Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu
mendirikan shalat bersama orang banyak. Beliau berdiri dalam shalatnya
dengan memanjangkan lama berdirinya, kemudian ruku’ dengan memanjangkan
ruku’nya, kemudian berdiri dengan memanjangkan lama berdirinya, namun
tidak selama yang pertama. Kemudian beliau ruku’ dan memanjangkan lama
ruku’nya, namun tidak selama rukuknya yang pertama. Kemudian beliau
sujud dengan memanjangkan lama sujudnya, beliau kemudian mengerjakan
rakaat kedua seperti apa yang beliau kerjakan pada rakaat yang pertama.
Saat beliau selesai melaksanakan shalat, matahari telah nampak kembali.
Kemudian beliau menyampaikan khutbah kepada orang banyak, beliau memulai
khutbahnya dengan memuji Allah dan mengangungkan-Nya, lalu bersabda:
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda
kebesaran Allah, dan tidak terjadi gerhana disebabkan karena mati atau
hidupnya seseorang. Jika kalian melihat gerhana, maka banyaklah berdoa
kepada Allah, bertakbirlah, dirikan shalat dan bersedekahlah.” Kemudian
beliau meneruskan sabdanya: “Wahai ummat Muhammad! Demi Allah, tidak ada
yang melebihi kecemburuan Allah kecuali saat Dia melihat hamba
laki-laki atau hamba perempuan-Nya berzina. Wahai ummat Muhammad! Demi
Allah, seandainya kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian
akan sedikit tertawa dan lebih banyak menangis.” (HR. Al-Bukhari no.
1044 dan Muslim no. 1499)
Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiallahu anhuma dia berkata:
لَمَّا كَسَفَتْ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُودِيَ إِنَّ الصَّلَاةَ جَامِعَةٌ
“Ketika terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, maka diserukan: “Ashshalaatul jaami’ah (shalat secara
berjamaah).” (HR. Al-Bukhari no. 1045)
Penjelasan ringkas:
Gerhana matahari (khusuf) dan bulan (kusuf) termasuk dari tanda-tanda
kekuasaan Allah yang dengannya Dia mempertakuti para hamba-Nya.
Karenanya Ar-Rasul alaihishshalatu wassalam telah mensyariatkan untuk
mengerjakan shalat ketika salah satu dari kedua tanda ini terjadi.
Ada beberapa perkara yang butuh dijelaskan dalam permasalahan ini:
a. Hukum shalat gerhana.
Pendapat yang paling kuat dalam masalah ini adalah pendapat Abu Awanah
dan sebuah riwayat dari Abu Hanifah yang menyatakan wajibnya shalat
gerhana. Hal ini berdasarkan perintah yang terdapat dalam hadits Abu
Bakrah di atas dan semisal dengannya hadits Al-Mughirah, Aisyah, Ibnu
Umar, dan Ibnu Abbas, yang semuanya menyebutkan adanya perintah Nabi
shallallahu alaihi wasallam untuk mengerjakan shalat ketika terjadi
gerhana.
Ini adalah pendapat yang dikuatkan oleh Asy-Syaukani, Shiddiq Hasan
Khan, Al-Albani, dan Ibnu Al-Utsaimin rahimahumullah. Dan Asy-Syaikh
Ibnu Al-Utsaimin menyatakan, “Jika kita mengatakan hukumnya wajib, maka
yang nampak wajibnya adalah wajib kifayah.”.
b. Tidak ada azan dan iqamah sebelumnya, yang ada hanyalah seruan
untuk shalat berjamaah (yaitu: “Ashshalaatul jaami’ah”, -admin blog).
Hal ini berdasarkan hadits Abdullah bin Amr di atas.
c. Hadits-hadits yang datang dalam masalah ini menerangkan
pelaksanaan shalat gerhana ini disunnahkan untuk dikerjakan secara
berjamaah.
d. Boleh bagi wanita untuk menghadiri shalat gerhana di masjid
berdasarkan amalan Aisyah radhiallahu anha yang tersebut dalam riwayat
Al-Bukhari no. 1053 dan Muslim no. 905. Jika dikhawatirkan akan terjadi
fitnah, maka hendaknya para wanita mengerjakan shalat gerhana ini
sendiri-sendiri di rumah mereka berdasarkan keumuman perintah
mengerjakan shalat gerhana.
e. Disunnahkan untuk dikerjakan di masjid berdasarkan hadits Abu Bakrah di atas dan selainnya.
f. Waktu pelaksanaannya dimulai sejak mulainya gerhana dan akhirnya
hingga matahari/bulan itu tampak kembali secara sempurna. Karenanya
shalat yang dikerjakan di antara kedua waktu ini sudah dinamakan sebagai
shalat gerhana, walaupun selesainya tidak bertepatan dengan selesainya
gerhana.
g. Disunnahkan adanya khutbah setelah shalat gerhana berdasarkan hadits Abu Bakrah dan Aisyah radhiallahu anhuma di atas.
h. Kaifiat shalat gerhana baik kusuf maupun khusuf sama seperti shalat 2 rakaat lainnya, kecuali:
1) Bacaan surah, ruku’, dan sujudnya sangat lama berdasarkan hadits Aisyah di atas.
2) Setiap rakaat terdiri dari 2 kali ruku’, sehingga 2 rakaat terdiri
dari 4 kali ruku’ dan 4 kali sujud.
Rinciannya digambarkan dalam hadits
Aisyah di atas.
i. Disunnahkan bagi imam untuk menjahrkan bacaan pada shalat gerhana
sebagaimana pada shalat id. Ini merupakan pendapat Malik, Ahmad, Ishaq,
Abu Yusuf dari Al-Hanafiah dan selainnya. Aisyah radhiallahu anha
berkata, “Nabi shallallahu alaihi wasallam menjahrkan bacaan dalam
shalat khusuf.” (HR. Al-Bukhari no. 1065 dan Muslim no. 901)
Ringkasnya, tata cara shalat gerhana adalah sebagai berikut:
1. Berniat di dalam hati dan tidak dilafadzkan karena melafadzkan
niat termasuk perkara yang tidak ada tuntunannya dari Nabi kita
shallallahu ’alaihi wa sallam dan beliau shallallahu ’alaihi wa sallam
juga tidak pernah mengajarkannya lafadz niat pada shalat tertentu kepada
para sahabatnya.
2. Takbiratul ihram yaitu bertakbir sebagaimana shalat biasa.
3. Membaca do’a istiftah dan berta’awudz, kemudian membaca surat Al
Fatihah dan membaca surat yang panjang (seperti surat Al Baqarah) sambil
dijahrkan (dikeraskan suaranya, bukan lirih) sebagaimana terdapat dalam
hadits Aisyah:
جَهَرَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – فِى صَلاَةِ الْخُسُوفِ بِقِرَاءَتِهِ
”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menjahrkan bacaannya ketika shalat gerhana.” (HR. Bukhari no. 1065 dan Muslim no. 901)
4. Kemudian ruku’ sambil memanjangkannya.
5. Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal) sambil mengucapkan ’SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, RABBANA WA LAKAL HAMD’
6. Setelah i’tidal ini tidak langsung sujud, namun dilanjutkan dengan
membaca surat Al Fatihah dan surat yang panjang. Berdiri yang kedua ini
lebih singkat dari yang pertama.
7. Kemudian ruku’ kembali (ruku’ kedua) yang panjangnya lebih pendek dari ruku’ sebelumnya.
8. Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal).
9. Kemudian sujud yang panjangnya sebagaimana ruku’, lalu duduk di antara dua sujud kemudian sujud kembali.
10. Kemudian bangkit dari sujud lalu mengerjakan raka’at kedua
sebagaimana raka’at pertama hanya saja bacaan dan gerakan-gerakannya
lebih singkat dari sebelumnya.
11. Salam.
12. Setelah itu imam menyampaikan khutbah kepada para jama’ah yang
berisi anjuran untuk berdzikir, berdo’a, beristighfar, sedekah, dan
membebaskan budak. (Lihat Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, 349-356, Darul Fikr dan Shohih Fiqih Sunnah, 1/438)
Bagaimana Jika Seseorang Tertinggal Mengerjakan Satu dari Dua Ruku’ dalam Satu Rakaat?
Shalat gerhana ini terdiri dari dua rakaat, masing-masing rakaat
terdiri dari dua ruku’ dan dua sujud. Dengan demikian, secara
keseluruhan, shalat gerhana ini terdiri dari empat ruku’ dan empat sujud
di dalam dua rakaat.
Barangsiapa mendapatkan ruku’ kedua dari rakaat pertama, berarti dia
telah kehilangan berdiri, bacaan, dan satu ruku’. Dan berdasarkan hal
tersebut, berarti dia belum mengerjakan satu dari dua rakaat shalat
gerhana, sehingga rakaat tersebut tidak dianggap telah dikerjakan.
Berdasarkan hal tersebut, setelah imam selesai mengucapkan salam, maka
hendaklah dia mengerjakan satu rakaat lagi dengan dua ruku’, sebagaimana
yang ditegaskan di dalam hadits-hadits shahih. Wallahu a’lam.
Yang menjadi dalil baginya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam:
“Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang bukan atas perintah kami, maka dia akan ditolak.” (Muttafaq ‘alaih)
Dan bukan dari perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam,
shalat satu rakaat saja dari shalat gerhana dengan satu ruku’. Wallahu
a’lam.
Shalat Gerhana Bulan Sama dengan Shalat Gerhana Matahari
Shalat gerhana bulan dikerjakan sama seperti shalat gerhana matahari.
Hal tersebut didasarkan pada sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam:
“Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda
kebesaran Allah, dan tidak terjadi gerhana disebabkan karena mati atau
hidupnya seseorang. Jika kalian melihat gerhana, maka banyaklah berdoa
kepada Allah, bertakbirlah, dirikan shalat dan bersedekahlah.” (HR.
Al-Bukhari no. 1044 dan Muslim no. 1499)
Dapat saya katakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam sudah
pernah mengerjakan shalat gerhana matahari dan beliau menyuruh kita
untuk melakukan hal yang sama ketika terjadi gerhana bulan. Dan hal itu
sudah sangat jelas lagi gamblang. Wallahu a’lam.
Ibnu Mundzir mengatakan: “Shalat gerhana bulan dikerjakan sama
seperti shalat gerhana matahari.” (Al-Iqnaa’, karya Ibnul Mundzir,
I/124-125)
Nasehat
Saudaraku, takutlah dengan fenomena alami ini. Sikap yang tepat
ketika fenomena gerhana ini adalah takut, khawatir akan terjadi hari
kiamat. Bukan kebiasaan orang seperti kebiasaan orang sekarang ini yang
hanya ingin menyaksikan peristiwa gerhana dengan membuat album kenangan
fenomena tersebut, tanpa mau mengindahkan tuntunan dan ajakan Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam ketika itu. Siapa tahu peristiwa ini
adalah tanda datangnya bencana atau adzab, atau tanda semakin dekatnya
hari kiamat.
Lihatlah yang dilakukan oleh Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam:
عَنْ أَبِى مُوسَى قَالَ خَسَفَتِ الشَّمْسُ فِى زَمَنِ النَّبِىِّ
-صلى الله عليه وسلم- فَقَامَ فَزِعًا يَخْشَى أَنْ تَكُونَ السَّاعَةُ
حَتَّى أَتَى الْمَسْجِدَ فَقَامَ يُصَلِّى بِأَطْوَلِ قِيَامٍ وَرُكُوعٍ
وَسُجُودٍ مَا رَأَيْتُهُ يَفْعَلُهُ فِى صَلاَةٍ قَطُّ ثُمَّ قَالَ «
إِنَّ هَذِهِ الآيَاتِ الَّتِى يُرْسِلُ اللَّهُ لاَ تَكُونُ لِمَوْتِ
أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُرْسِلُهَا يُخَوِّفُ بِهَا
عِبَادَهُ فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا فَافْزَعُوا إِلَى ذِكْرِهِ
وَدُعَائِهِ وَاسْتِغْفَارِهِ ».
Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu menuturkan, ”Pernah
terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Nabi lantas berdiri takut karena khawatir akan terjadi hari
kiamat, sehingga beliau pun mendatangi masjid kemudian beliau
mengerjakan shalat dengan berdiri, ruku’ dan sujud yang lama. Aku belum
pernah melihat beliau melakukan shalat sedemikian rupa.”
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam lantas bersabda,”Sesungguhnya
ini adalah tanda-tanda kekuasaan Allah yang ditunjukkan-Nya. Gerhana
tersebut tidaklah terjadi karena kematian atau hidupnya seseorang. Akan
tetapi Allah menjadikan demikian untuk menakuti hamba-hamba-Nya. Jika
kalian melihat sebagian dari gerhana tersebut, maka bersegeralah untuk
berdzikir, berdo’a dan memohon ampun kepada Allah.” (HR. Muslim no. 912)
An Nawawi rahimahullah menjelaskan mengenai maksud kenapa Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam takut, khawatir terjadi hari kiamat.
Beliau rahimahullah menjelaskan dengan beberapa alasan, di antaranya:
Gerhana tersebut merupakan tanda yang muncul sebelum tanda-tanda kiamat
seperti terbitnya matahari dari barat atau keluarnya Dajjal. Atau
mungkin gerhana tersebut merupakan sebagian tanda kiamat. (Lihat Syarh
Muslim, 3/322)
Hendaknya seorang mukmin merasa takut kepada Allah, khawatir akan
tertimpa adzab-Nya. Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam saja sangat takut
ketika itu, padahal kita semua tahu bersama bahwa beliau shallallahu
’alaihi wa sallam adalah hamba yang paling dicintai Allah. Lalu mengapa
kita hanya melewati fenomena semacam ini dengan perasaan biasa saja,
mungkin hanya diisi dengan perkara yang tidak bermanfaat dan sia-sia,
bahkan mungkin diisi dengan berbuat maksiat. Na’udzu billahi min dzalik.
Referensi:
3. Meneladani Shalat-shalat Sunnat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wassalam karya Muhammad bin ‘Umar bin Salim Bazmul (penerjemah: M. Abdul
Ghoffar E.M.), penerbit: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, cet. Pertama
Dzulqa’dah 1424 H/ Januari 2004, hal. 138-139. (catatan: kami merubah
kata ‘kusuf’ pada sumber asli menjadi ‘gerhana’ agar lebih bermakna
umum)
No comments:
Post a Comment