Tanya:
Bismillah, Assalamu’alaikum warohmatulloh wabarokatuh. Ya Ustadz, ana
mau tanya berkenaan dengan nasab. Begini: Ibu ana pernah cerita sama
ana, kata beliau, ketika menikah sama bapak ana dulu, mereka menikah
tanpa wali. Beliau mengakui bahwa menikahnya dengan bapak ana adalah
dengan cara “kawin lari”. Setelah mengetahui hal itu, ana kemudian
bilang sama ibu ana agar menikah lagi sama bapak karena sebenarnya
mereka belum sah nikahnya. Beliau sebenarnya mau, tapi bapak ana yang
gak mau. Nah, yang ingin ana tanyakan.
Pertama, masalah nasab ana ini gimana, ya Ustadz. Di blog ana, ana
menuliskan fulan bin fulan (yakni nisbah kepada ayah). Apakah hal ini
dibenarkan? Sedang ana terlahir sebagai “anak haram”. Bolehkah nasab
kepada ibu? Misalnya seperti shahabat Abdulloh bin Ummi Maktum yang
nasab ke ibu, bukan bapak. Mohon petunjuknya ya Ustadz.
Yg kedua, bagaimana solusinya biar orang tua ana bisa “resmi”
menikahnya, sedang dari pihak bapak nggak mau, ya mungkin alasannya
“malu”, begitu.
Demikian, atas jawabannya ana ucapkan jazakallohu khoiron katsiron wa barokallohufiikum.
Jawab:
Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.
Sebagaimana yang sudah diketahui bahwa menikah tanpa wali (bagi wanita)
adalah haram dan tidak sah sehingga dia dihukumi perzinahan. Karenanya
anak yang terlahir dari pernikahan seperti itu adalah anak zina, dan
nasabnya dikembalikan kepada ibunya, bukan kepada ayahnya. Ini
berdasarkan hadits Aisyah dan Abu Hurairah dari Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:
الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ
“Anak yang lahir untuk pemilik kasur (yakni: anak yang dilahirkan oleh
istri seseorang atau budak wanitanya adalah miliknya), dan seorang
pezina adalah batu (yakni: tidak punya hak pada anak hasil
perzinaannya).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hanya saja jika ‘kawin lari’ ini dilakukan karena mereka meyakini
bolehnya atau meyakini sahnya ‘kawin lari’, maka pernikahan seperti ini
dikategorikan ke dalam nikah syubhat. Dan hukum anak yang lahir dari
pernikahan syubhat seperti ini bukanlah anak ‘haram’ akan tetapi sah
sebagai anak dari ayah dan ibunya, karenanya dia bisa menisbatkan
namanya kepada ayahnya. Ini adalah pendapat Imam Ahmad, Asy-Syafi’i, dan
yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiah dan Ibnu Al-Utsaimin -rahimahumullah-
dalam Asy-Syarh Al-Mumti’ (5/641).
Adapun setelah mengetahui bahwa hukum ‘kawin lari’ adalah tidak sah,
maka keduanya (ayah dan ibunya) wajib untuk berpisah lalu keduanya
menikah kembali dengan akad nikah yang benar dan sah, tanpa harus
melakukan istibra` ar-rahim (satu kali haid). Ini adalah fatwa dari
Asy-Syaikh Abdurrahman Al-Mar’i -hafizhahullah-.
Kembali ke pertanyaan antum:
Apakah boleh bernisbat kepada ibu?
Jawab: Jika ‘kawin lari' orang tua antum termasuk dari nikah syubhat
maka tidak ada masalah antum bernisbat kepada ayah. Jika bukan termasuk
nikah syubhat, yakni keduanya sudah mengetahui tidak syahnya ‘kawin
lari’ maka antum tidak boleh bernisbat kepada ayah tapi hanya bernisbat
kepada ibu, berdasarkan hadits Abu Hurairah dan Aisyah di atas.
Adapun keengganan ayah untuk menikah kembali, ana kira bisa dimaklumi
karena dia mengira nikah ulang itu harus diadakan nikah dengan
mengundang banyak orang plus resepsi lagi. Tapi saya kira antum sudah
mengetahui bahwa yang menjadi rukun dan syarat sahnya nikah hanyalah
adanya kedua mempelai, adanya ijab qabul, keridhaan kedua mempelai, wali
bagi wanita, mahar, dan 2 orang saksi dari kalangan lelaki dewasa. Jadi
kapan rukun dan syarat nikah ini terpenuhi maka nikahnya sudah sah
walaupun tidak ada resepsi dan tidak mengundang orang lain.
Jadinya antum tinggal memahamkan ayah antum akan masalah ini, semoga dia
bisa paham. Dan antum juga bisa mengingatkan bahwa jika dia tidak mau
menikah maka anak-anaknya adalah anak ‘haram’ dan bukan anaknya sehingga
akan berlaku padanya hukum:
a. Dia dan anak-anak istrinya (karena anak-anak dinisbatkan kepada ibunya) tidak saling mewarisi.
b. Dia tidak wajib memberi nafkah kepada anak istrinya.
c. Dia tersebut bukan mahram bagi anak wanita istrinya.
d. Dia tidak bisa menjadi wali bagi anak wanita istrinya dalam pernikahan.
Wallahul muwaffiq, wahuwa a’lam wa ahkam.
Sumber: Al-Atsariyyah.com
No comments:
Post a Comment