Thursday, May 26, 2016

Bolehkah Puasa Tanggal 30 Sya'ban?

Pertanyaan:

Ada hadis yang melarang puasa pada hari syak. apa itu hari syak? dan Apa makna hadis itu? Hari Selasa, Tanggal 9 Juli besok, bolehkah puasa?

Jawaban:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Dari Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,

مَنْ صَامَ يَوْمَ الشَّكِّ فَقَدْ عَصَى أَبَا القَاسِمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Siapa yang puasa pada hari syak maka dia telah bermaksiat kepada Abul Qosim (Nabi Muhammad) shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari secara Muallaq, 3/27).

Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan,

استُدل به على تحريم صوم يوم الشك لأن الصحابي لا يقول ذلك من قبل رأيه فيكون من قبيل المرفوع

“Hadis ini dijadikan dalil haramnya puasa pada hari syak. Karena sahabat Ammar tidak mungkin mengatakan demikian dari pendapat pribadinya, sehingga dihukumi sebagaimana hadis marfu’ (sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). (Fathul Bari, 4/120).

Apa itu hari syak?

Hari syak adalah tanggal 30 sya’ban, hasil dari penggenapan bulan sya’ban, karena hilal tidak terlihat, baik karena mendung atau karena cuaca yang kurang baik. (As-Syarhul Mumthi’, 6/478).

An-Nawawi mengatakan,

يوم الشك هو يوم الثلاثين من شعبان إذا وقع في ألسنة الناس إنه رؤى ولم يقل عدل إنه رآه

Hari syak adalah tanggal 30 sya’ban, dimana banyak orang membicarakan bahwa hilal sudah terlihat, padahal tidak ada satupun saksi yang adil, dirinya telah melihat. (Al-Majmu’, 6/401).

Hukum puasa pada hari Syak?

Ulama berbeda pendapat tentang hukum puasa syak. Sebagian ulama menilai makruh dan banyak diantara mereka yang mengatakan hukumnya haram.

Ibnul Mundzir menukil keterangan dari para sahabat yang melarang puasa pada hari syak, diantaranya Umar bin Khatab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, Ammar bin Yasir, Hudzaifah, Anas bin Malik, dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum. Inilah pendapat Syafiiyah dan yang dipilih oleh Ibnul Mundzir dan Ibn Hazm.

Dalam bukunya Al-Muhalla, Ibnu Hazm mengatakan,

ولا يجوز صوم يوم الشك الذي من آخر شعبان

“Tidak boleh puasa pada hari syak, yang merupakan akhir sya’ban” (Al-Muhalla, 4/444).

Puasa Apakah yang Dilarang?


Al-Khathabi mengatakan,

اختلف الناس في معنى النهي عن صيام يوم الشك؛ فقال قومٌ: إنما نهي عن صيامه إذا نوى به أن يكون عن رمضان؛ فأما من نوى به صوم يومٍ من شعبان فهو جائز، وقالت طائفة لا يصام ذلك اليوم عن فرضٍ ولا تطوّع للنهي فيه، وليقع الفصل بذلك بين شعبان ورمضان

Ulama berbeda pendapat tentang maksud dilarang melakukan puasa pada hari syak. Sebagian mengatakan, larangan ini puasa syak jika diniatkan untuk puasa ramadhan, namun jika dia niatkan untuk puasa sya’ban maka itu diperbolehkan. Sementara ulama lain menegaskan, tidak boleh melaksanakan puasa pada hari syak, baik puasa wajib maupun puasa sunah, karena ada larangan dalam hal ini. sehingga hari itu menjadi pemisah antara sya’ban dengan ramadhan.
(Ma’alim As-Sunan, 2/99).

Hari Syak: Antara Pemerintah dan Ormas


Jika terjadi perbedaan antara pemerintah dan ormas, hari syak menjadi pembeda diantara mereka. Adanya ‘hari syak’ menjadi bukti bahwa ketika hilal tidak terlihat karena apapun sebabnya, metode tidak dilanjutkan dengan hisab, namun dilakukan penggenapan sya’ban menjadi 30 hari.

Jika ada ormas yang memiliki prinsip, ketika tanggal 29 Sya’ban hilal tidak kelihatan, kemudian beralih ke metode hisab, kemudian hisab menetapkan hilal sudah wujud meskipun belum terlihat, sehingga diputuskan besok adalah puasa, maka selamanya tidak akan ada hari syak dalam kamus fikih ormas ini. Karena semua telah ditekel dengan hisab. Dengan demikian, penggunaan hisab, jelas akan menganulir istilah puasa syak dalam syariat, sehingga hadis di atas tidak lagi berlaku. Dan kita punya kaidah: suatu teori atau prinsip yang menihilkan syariat, berarti dia bukan bagian dari syariat.

Hari selasa, tanggal 9 Juli 2013 adalah tanggal yang menjadi potensi polemik, apakah 30 sya’ban atau tanggal 1 ramadhan. Hasil hisab hakiki Muhammadiyah, telah terjadi ijtima’ jelang Ramadan 1434 H pada pukul 14:15:55 WIB, dan kurang dari 1 derajat.

Dengan menimbang kriteria yang diterapkan pemerintah, imkanur rukyah, sangat potensial terjadi perbedaan. Sangat jauh dari persyaratan untuk bisa terlihat, minimal 2 derajat dan usia bulan 8 jam sejak ijtima’. Sehingga kemungkinan untuk bisa terlihat sangat kecil.

Oleh karena itu, jika malam ini pemerintah memutuskan hilal belum terlihat maka selasa 9 Juli 2013 ditetapkan sebagai tanggal 30 sya’ban. Dan puasa pada hari ini adalah puasa yang terlarang karena itulah puasa hari syak, yang disebut oleh sahabat sebagai puasa maksiat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allahu a’lam

Dijawab oleh ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina www.KonsultasiSyariah.com)

Saturday, May 21, 2016

Qadha Hutang Puasa Orang Tua yang Meninggal

Tanya:

Assalmu’alykum ustadz….

Ana mau tanya seputar hukum puasa dahulu sebelum ibu ana meninggal beliau titip pesan ke ana tuk diqadhakan ataw d bayarkan fidyah atas puasanya yang ditinggalkannya,bagaimana hukum meng-qadha atw fidyahnya apakah wajib

atau tidak? Jazakallahu khairan
Dari: A. Ghozi Putra

Jawaban:

Wa alaikumus salam
Alhamdulillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Dari A’isyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

من مات وعليه صيام صام عنه وليُّه

“Siapa yang meninggal dan dia masih memiliki tanggungan puasa maka walinya wajib mempuasakannya.” (HR. Bukhari 1952 dan Muslim 1147)

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau menceritakan,

أنّ امرأة ركبَت البحر فنذَرت، إِنِ الله -تبارك وتعالى- أَنْجاها أنْ تصوم شهراً، فأنجاها الله عز وجل، فلم تصم حتى ماتت. فجاءت قرابة لها إِلى النّبيّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، فذكرت ذلك له، فقال: أرأيتك لو كان عليها دَيْن كُنتِ تقضينه؟ قالت: نعم، قال: فَدَيْن الله أحق أن يُقضى، فاقضِ عن أمّك

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau mengatakan,
Ada wanita yang naik perahu di tengah laut, kemudian dia bernazar, jika Allah menyelamatkan dirinya maka dia akan puasa sebulan. Dan Allah menyelamatkan dirinya, namun dia belum sempat puasa sampai mati. Hingga datang putri wanita itu menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan dia menyebutkan kejadian yang dialami ibunya. Lantas beliau bertanya: ‘Apa pendapatmu jika ibumu memiliki utang, apakah engkau akan melunasinya?’ ‘Ya.’ Jawab wanita itu. Kemudian beliau bersabda, ‘Hutang kepada Allah lebih layak untuk dilunasi. Lakukan qadha untuk membayar hutang puasa ibumu.’ (HR. Ahmad 1861, Abu Daud 3308, Ibnu Khuzaimah 2054, dan sanadnya dishahihkan Al-A’dzami).

Juga dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,

أنّ سعد بن عبادة -رضي الله عنه- استفتى رسول الله – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فقال: إِنّ أمّي ماتت وعليها نذر فقال: اقضه عنها

Bahwa Sa’d bin Ubadah radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Sesungguhnya ibuku mati dan beliau memiliki utang puasa nadzar.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Lunasi hutang puasa ibumu.’ (HR. Bukhari 2761, An-Nasai 3657 dan lainnya).

Ketiga hadis di atas menunjukkan bahwa ketika ada seorang muslim yang memiliki hutang puasa dan belum dia qadha hingga meninggal maka pihak keluarga (wali) orang ini berkewajiban mempuasakannya.

Kemudian, dari ketiga hadis di atas, hadis pertama bersifat umum. Dimana qadha puasa atas nama mayit, berlaku untuk semua utang puasa wajib. Baik utang puasa ramadhan maupun utang puasa nadzar. Sedangkan dua hadis berikutnya menegaskan bahwa wali berkewajiban mengqadha utang puasa nadzar yang menjadi tanggungan mayit.

Berangkat dari sini, ulama berbeda pendapat, apakah kewajiban mengqadha utang puasa mayit, berlaku untuk semua puasa wajib ataukah hanya puasa nadzar saja.

Pendapat pertama menyatakan bahwa kewajiban mengqadha utang puasa mayit berlaku untuk semua puasa wajib. Baik puasa ramadhan, puasa nadzar, maupun puasa kaffarah. Ini adalah pendapat syafiiyah dan pendapat yang dipilih Ibnu Hazm. Dalil pendapat ini adalah hadis A’isyah di atas, yang maknanya umum untuk semua utang puasa.

Pendapat kedua, bahwa kewajiban mengqadha utang puasa mayit, hanya berlaku untuk puasa nadzar, sedangkan utang puasa ramadhan ditutupi dengan bentuk membayar fidyah. Ini adalah pendapat madzhab hambali, sebagaimana keterangan Imam Ahmad yang diriwayatkan Abu Daud dalam Masailnya. Abu Daud mengatakan,

سمعت أحمد بن حنبل قال: لا يُصامُ عن الميِّت إلاَّ في النَّذر

“Saya mendengar Ahmad bin Hambal mengatakan: ‘Tidak diqadha utang puasa mayit, kecuali puasa nadzar.” (Ahkam Al-Janaiz, hlm. 170).

Diantara dalil yang menguatkan pendapat ini adalah hadis dari ummul mukminin, A’isyah radhiyallahu ‘anha. Dari Amrah – murid A’isyah – beliau bertanya kepada gurunya A’isyah, bahwa ibunya meninggal dan dia masih punya utang puasa ramadhan. Apakah aku harus mengqadha’nya? A’isyah menjawab,

لا بل تصدَّقي عنها مكان كل يوم نصف صاعٍ على كل مسكين

“Tidak perlu qadha, namun bayarlah fidyah dengan bersedekah atas nama ibumu dalam bentuk setengah sha’ makanan, diberikan kepada orang miskin. (HR. At-Thahawi dalam Musykil Al-Atsar 1989, dan dishahihkan Al-Albani)

Dalil lainnya adalah fatwa Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Dari Said bin Jubair – murid Ibnu Abbas – bahwa gurunya pernah mengatakan,

إِذا مرض الرجل في رمضان، ثمّ مات ولم يصم؛ أطعم عنه ولم يكن عليه قضاء، وإن كان عليه نَذْر قضى عنه وليُّه

“Apabila ada orang sakit ketika ramadhan (kemudian dia tidak puasa), sampai dia mati, belum melunasi utang puasanya, maka dia membayar fidyah dengan memberi makan orang miskin dan tidak perlu membayar qadha. Namun jika mayit memiliki utang puasa nadzar, maka walinya harus mengqadhanya. (HR. Abu Daud 2401 dan di shahihkan Al-Albani).

Berdasarkan keterangan di atas, pendapat yang kuat untuk pelunasan utang puasa mayit dirinci menjadi dua:

Pertama, jika utang puasa mayit adalah utang puasa ramadhan maka cara pelunasannya dengan membayar fidyah dan tidak diqadha. Tentang tata cara membayar fidyah bisa dipelajari di: Membayar Fidyah dengan Uang


Kedua, jika utang puasa mayit adalah puasa nadzar maka pelunasannya dengan diqadha puasa oleh keluarganya.


Allahu a’lam


Dijawab oleh ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembinawww.KonsultasiSyariah.com)

Thursday, May 12, 2016

Suami Istri Tidur Bersama di Satu Ranjang atau Terpisah?

Beberapa waktu yang lalu saya sempat membaca sebuah artikel yang berisi fatwa ulama yang menyatakan suami istri semestinya tidur di ranjang (tempat tidur) yang terpisah, karena tidur satu ranjang merupakan budaya barat. Benarkah ungkapan tersebut?

Memang sebagian ulama ada yang berpendapat demikian, diantaranya adalah guru kami Asy-Syaikh Muhammad bin Hadi hafizhahullah. Beliau membawakan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إذا دعا الرّجُل امرأته إلى فراشه فلم تأتِهِ فبات غضبانًا عليها لعنتهَا الملائكة حتّى تُصْبحَ

“Apabila suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya, namun si istri tidak memenuhinya, kemudian suami bermalam dalam keadaan marah kepadanya, maka malaikat akan melaknat istri hingga waktu subuh” [HR. Al-Bukhari no. 5193 dan Muslim no. 1436]

Setelah menyebutkan hadits tersebut, Asy-Syaikh Muhammad bin Hadi hafizhahullah berkata:

وهذا يدلُّ على: أنّ امتناع المرأة من إتْيَان زوجها في فراشه أمرُهُ عظيم وكبيروفي هذا الحديث أيضًا: دلالة على أنّ الرّجل والمرأة كانا على عهد النّبيّ -صلّى الله عليه وسلّم- وإلى عهدٍ قريب عندنا كلّ واحدٍ له فراش ما فيه سرير نوم يجمعهم جميع؛ كلّ واحدٍ له فراش كما قال النّبيّ -صلّى الله عليه وسلّم-:(فراشٌ لَك، وفراشٌ لأهلِكَ، وثالثٌ للشّيطان) فدلّ ذلك على: أنّ حياتهُم هذا مُنفصلٌ عن هذا، وهذا اليوم النّاس يرَوْنَه من الجفا وأنا أقول: في الحقيقة هُو بالعكس جالبٌ للمودّة؛ فإنّ إكثار المُلاصقة رُبّما ملّ الإنسان من الذي بجواره فإذا ابتعد عنه قليلاً كان له قيمة وله قدر؛ وهذا إنّما جاءنا من الغرب

“Hadits ini menunjukkan bahwa saat seorang wanita enggan mendatangi suaminya di ranjangnya, hal itu adalah perkara yang besar. Dalam hadits ini juga terdapat isyarat bahwa sejak masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam hingga zaman kita sekarang, masing-masing suami dan istri memiliki ranjang tempat tidur tersendiri, tidak tidur bersama di satu ranjang. Setiap orang memiliki ranjang tersendiri, sebagaimana Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

فراشٌ لَك، وفراشٌ لأهلِكَ، وثالثٌ للشّيطان

“Satu ranjang untukmu dan satu ranjang untuk istrimu, yang ketiga adalah untuk setan.”[1]

Hal ini menunjukkan bahwa kehidupan mereka berpisah (ranjang) satu sama lain. Pada hari ini, manusia menganggap hal itu sebagai perbuatan kaku, namun saya katakan: hakikatnya adalah sebaliknya, justru tidur berpisah ranjang akan mendatangkan kasih sayang. Karena seringnya berdekatan, terkadang akan menimbulkan kebosanan seorang terhadap pasangannya. Apabila keduanya agak berjauhan, akan ada nilai dan kesan tersendiri. Hal ini (tidur satu ranjang) hanyalah datang dari Barat…” [Syarh Al-Ibanah Ash-Shughra karya Ibnu Batthah]

Demikian ijtihad dari Asy-Syaikh hafizhahullah, namun yang benar adalah sebaliknya. Tidur satu ranjang bagi suami istri termasuk sunah nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Apabila ada udzur atau keperluan yang mengharuskan keduanya tidur di ranjang terpisah, maka insya Allah tidak masalah. Dalil yang menunjukkan disunahkannya tidur satu ranjang adalah hadits Aisyah dari berbagai jalur riwayat berikut:

[1] Dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلَايَ فِي قِبْلَتِهِ، فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ، فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا..

“Aku tidur di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kedua kakiku berada di kiblat beliau. Apabila hendak sujud, beliau memegangiku lalu aku melipat kakiku. Apabila bangun dari sujud, aku kembali menghamparkan kakiku…” [HR. Al-Bukhari no. 382 dan Muslim no. 512]

[2] Masih dalam riwayat Al-Bukhari dengan redaksi yang sedikit berbeda, Aisyah berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي ـ وَعَائِشَةُ مُعْتَرِضَةٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ القِبْلَةِ ـ عَلَى الفِرَاشِ الَّذِي يَنَامَانِ عَلَيْهِ

“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam biasa shalat dalam keadaan Aisyah berada diantara beliau dan kiblat di atas ranjang tempat beliau dan Aisyah tidur.” [HR. Al-Bukhari no. 384]

[3] Dalam riwayat Ahmad disebutkan dari Urwah bin Az-Zubair, dari ayahnya, dari Aisyah berkata:

كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي ـ وَأَنَا مُعْتَرِضَةٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ ـ عَلَى الْفِرَاشِ الَّذِي يَرْقُدُ عَلَيْهِ هُوَ وَأَهْلُهُ، فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُوتِرَ أَيْقَظَنِي فَأَوْتَرْتُ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa shalat dalam keadaan aku berada di antara beliau dan kiblat di ranjang  tempat beliau dan istrinya tidur. Apabila hendak shalat Witir, beliau membangunkanku, maka aku pun shalat Witir.” [HR. Ahmad no. 25.942 dan dishahihkan sanadnya oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ats-Tsamar Al-Mustathab[2], 1/445]

Adapun riwayat Jabir yang berbunyi “satu ranjang untuk laki-laki, satu ranjang untuk istrinya, (ranjang) yang ketiga untuk tamu dan (ranjang) yang kempat untuk setan”, hadits tersebut telah dijawab oleh para ulama dengan beberapa jawaban:

Pertama, hadits tersebut hanya menunjukkan bolehnya memiliki lebih dari satu ranjang dalam satu rumah. Hal itu merupakan bentuk bermegah-megahan yang diperbolehkan, bukan termasuk perbuatan israaf (berlebihan) yang dilarang.[3]

An-Nawawi rahimahullah berkata:

وأمَّا تعديد الفراش للزوج والزوجة فلا بأس به، لأنه قد يحتاج كلُّ واحدٍ منهما إلى فراشٍ عند المرض ونحوِه وغيرِ ذلك

“Adapun berbilangnya ranjang tempat tidur untuk suami dan istri, hal itu tidak apa-apa. Terkadang masing-masing mereka membutuhkan ranjang tempat tidur tersendiri saat sakit dan keperluan lain yang semisal” [Syarh Muslim, 14/59]

Kedua, hadits tersebut menunjukkan bolehnya suami istri tidur di ranjang yang terpisah, apabila ada udzur yang menghalangi keduanya untuk tidur bersama, seperti sakit atau terjadi kesalah-pahaman di antara suami istri yang menimbulkan kebencian.

Dimaklumi bahwa kehidupan rumah tangga tidaklah semulus jalan tol. Di sana pasti ada rintangan, cobaan dan badai yang menimpa bahtera rumah tangganya.

An-Nawawi rahimahullah berkata:

واستدلَّ بعضُهم بهذا [أي: حديث الفراش] على أنه لا يَلزمه النومُ مع امرأته، وأنَّ له الانفرادَ عنها بفراشٍ، والاستدلال به في هذا ضعيفٌ، لأنَّ المرادَ بهذا وقتُ الحاجة كالمرض وغيره كما ذكَرْنا، وإن كان النومُ مع الزوجة ليس واجبًا

“Sebagian ulama berdalil dengan hadits Al-Firasy (hadits Jabir) untuk menyimpulkan bahwa suami tidak harus tidur bersama istrinya, ia boleh tidur di ranjang tersendiri. Sisi pendalilan mereka dengan hadits ini begitu lemah. Sebab kebolehan tidur di ranjang terpisah yang dimaksud dalam hadits adalah saat ada kebutuhan seperti sakit dan keperluan lain sebagaimana telah kami sebutkan, meskipun tidur bersama istrinya tidaklah wajib.” [Syarh Muslim, 14/60]

Ketiga, hadits Aisyah merupakan ashl (pokok) dalam permasalahan ini, sedangkan hadits Jabir merupakan pengecualian dari ashl, artinya pada asalnya suami istri tidur satu ranjang, namun diperbolehkan tidur di ranjang yang terpisah, apabila ada udzur dan kebutuhan (dikecualikan dari ashl).  

Asy-Syaikh Muhammad Ali Firkuuz hafizhahullah berkata:

فالأصل أن يكون للرجل ولزوجته فراشٌ واحدٌ يجتمعان فيه؛ لأنه أدعى للتقارب وأدومُ للمحبَّة، وقد كان للنبيِّ صلَّى الله عليه وسلَّم فراشٌ واحدٌ في بيت عائشة رضي الله عنها ينامان عليه ليلًا ويجلسان عليه نهارًا

“Pada asalnya ranjang untuk suami dan istrinya adalah satu, di mana mereka berdua berkumpul (tidur) di atasnya. Sebab hal itu lebih mendatangkan kedekatan dan kecintan yang langgeng. Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memiliki satu ranjang di rumah Aisyah radhiyallahu ‘anha. Beliau dan Aisyah tidur bersama di ranjang tersebut di malam hari, serta duduk-duduk bersama di ranjang tersebut siang harinya” [http://ferkous.com/home/?q=fatwa-1171]

Keempat, diantara kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah tidur bersama istrinya di satu ranjang tempat tidur. Kebiasaan ini beliau lakukan terus-menerus, sehingga hal itu merupakan sunnah yang diikuti.

An-Nawawi rahimahullah berkata:

والصواب في النوم مع الزوجة أنه إذا لم يكن لواحدٍ منهما عذرٌ في الانفراد فاجتماعُهما في فراشٍ واحدٍ أفضل، وهو ظاهر فعلِ رسول الله صلَّى الله عليه وسلَّم الذي واظب عليه مع مواظبته صلَّى الله عليه وسلَّم على قيام الليل، فينام معها

“Yang benar bahwa tidur seranjang bersama istri lebih utama (afdhal), apabila salah satu dari pasangan tidak memiliki udzur yang mengharuskan mereka tidur di ranjang yang terpisah. Ini adalah zhahir perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau terus-menerus tidur satu ranjang bersama istrinya. Di saat Nabi terus-menerus melakukan shalat malam, beliau juga tidur bersama istrinya” [Syarh Muslim, 14/60]

Kelima, tidur seranjang antara suami istri merupakan bentuk pergaulan yang ma’ruf (baik). Hal itu lebih dapat menumbuhkan kedekatan, cinta dan kasih sayang yaitu di saat jasad mereka selalu bersua, di saat hati mereka selalu bertaut, di saat mata mereka saling memandang, di saat tubuh mereka saling berpelukan, di saat ada canda tawa yang mengiringi keduanya sebelum memejamkan mata. Bahkan di saat itu, terkadang ada tipe istri atau suami yang mengungkapkan keluh kesah kehidupan berumah-tangganya kepada yang lain, karena masing-masing mereka begitu sibuk bekerja di siang harinya sehingga tidak bisa bertemu kecuali di waktu tidur. Allahua’lam.   

Demikian ulasan yang bisa dituliskan, semoga bermanfaat. Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad waalihi washahbihi.


Ditulis oleh Abul-Harits di pagi hari Kamis, 12 Mei 2016.[4]





[1] Saya belum  mengetahui sumber redaksi riwayat hadits yang dibawakan Asy-Syaikh hafizhahullah. Dalam riwayat lain disebutkan dengan redaksi,

فِرَاشٌ لِلرَّجُلِ، وَفِرَاشٌ لِامْرَأَتِهِ، وَالثَّالِثُ لِلضَّيْفِ، وَالرَّابِعُ لِلشَّيْطَانِ

“Satu ranjang untuk laki-laki, satu ranjang untuk istrinya, (ranjang) yang ketiga untuk tamu dan (ranjang) yang kempat untuk setan” [HR. Muslim no. 2084, dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu]

[2] Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata:

سندٌ صحيحٌ على شرط الستَّة

“Sanadnya shahih sesuai syarat kutub sittah (Al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah” [Ats-Tsamar Al-Mustathab, 1/445]

[3] Dinyatakan oleh Al-Munawi rahimahullah dalam Faidhul Qadiir, 4/424

[4] Tulisan ini juga merupakan  kado pernikahan untuk Tante Treny dan suami yang pada hari ini Kamis, 12 Mei 2016 melangsungkan akad nikah di Purworejo. Mohon maaf, saya dan istri tidak bisa menghadiri acara pernikahan hari ini. Hanya teriring harapan dan doa, semoga cinta dan pernikahan kalian langgeng hingga maut memisahkan kalian dan hingga kalian bersua kembali di surga-Nya kelak insya Allah. [بارك الله لك وبارك عليك وجمع بينكما في خير]