Wednesday, February 24, 2016

Hukum Shalat Berjama’ah Berdua Dengan Wanita Yang Bukan Mahram

Tanya:

Terimakasih ustadz atas jawabannya. Tetapi, apabila sang laki-laki telah sholat terlebih dahulu dan dia tidak tahu ada orang lain lagi kemudian datang seorang atau lebih wanita yg bermasbuk kpd laki-laki tersebut dengan ucapan spt sy sebutkan di atas, bagaimana seharusnya sikap si lelaki ini? apakah ia kemudian jadi imam dengan mengeraskan suara takbir, ataukah tetap shalat sendiri. dalam hal ini apakah dia tetap berdosa? karena kejadian spt ini sering terjadi di perkantoran2 yg tercampur antara laki-laki dan perempuan.

Afwan ustadz, satu permasalahan lagi. Karena ikhtilat adalah haram, apakah shalat berjamaah antara laki dan perempuan (laki-laki dan perempuannya banyak) tanpa sekat bahkan hampir berdempet shafnya karena musholanya sempit hukumnya haram juga?


Jawab:


Shalat berjamaah seorang laki-laki bersama wanita tidak lepas dari beberapa keadaan berikut:

Pertama, seorang laki-laki shalat berjama’ah berdua bersama wanita mahramnya seperti istri, adik, ibu dan lainnya. Hukumnya boleh tanpa ada perselisihan ulama.

An-Nawawi rahimahullah berkata:

إذا أمَّ الرجل بامرأته أو محرم له , وخلا بها : جاز بلا كراهة ; لأنه يباح له الخلوة بها في غير الصلاة

“Jika seorang laki-laki mengimami shalat istrinya atau wanita yang menjadi mahramnya dan berduaan dengannya, maka hukumnya boleh, tidak makruh. Sebab ia diperbolehkan khalwat (berduaan) dengannya di luar shalat” [Al-Majmuu’ Syarh Al-Muhadzab, 4/277]

Kedua, seorang laki-laki shalat berjam’ah berdua bersama wanita yang bukan mahram seperti shalat bersama rekan kerja sekantor. Hukumnya tidak boleh, karena hal itu termasuk bentuk khalwat (berduaan) yang diharamkan oleh syariat.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا وَمَعَهَا ذُو مَحْرَمٍ


”Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita, kecuali ia ditemani mahramnya.” [HR. Al-Bukhari no. 5233 dan Muslim no. 1341]

Abu Ishaq Asy-Syirazi Asy-Syafi'i rahimahullah berkata:

ويكره أن يصلي الرجل بامرأة أجنبية ; لما روي أن النبي قال : لا يخلون رجل بامرأة فإن ثالثهما الشيطان

"Dibenci (haram) seorang laki-laki shalat mengimami seorang wanita yang bukan mahram, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda, ”Janganlah seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita, karena yang ketiga adalah setan.” [Al-Muhadzab, 1/183]

An-Nawawi rahimahullah berkata:

وإن أم بأجنبية وخلا بها حرم ذلك عليه وعليها للأحاديث الصحيحة

"Jika seorang laki-laki mengimami wanita yang bukan mahram dan berduaan dengannya, hukumnya haram bagi si laki-laki, begitu pula haram bagi si wanita, berdasarkan hadits-hadits yang shahih…" [Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, 4/277]


Ketiga, seorang laki-laki shalat berjama’ah bersama dua wanita atau lebih yang bukan mahramnya. Hukumnya diperbolehkan insya Allah, karena tidak termasuk larangan khalwat dalam hadits.

An-Nawawi rahimahullah berkata:

وإن أمَّ بأجنبيات وخلا بهن : فقطع الجمهور بالجواز

“Jika seorang laki-laki mengimami wanita-wanita yang bukan mahramnya dan berkhalwat (berduaan) dengan mereka, jumhur (kebanyakan) ulama membolehkannya” [Al-Majmuu’, 4/277]

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata:

وذلك لأنَّه إذا كان مع المرأة مثلُها انتفت الخَلوة ، فإذا كان الإِنسانُ أميناً فلا حَرَجَ أن يؤمَّهُمَا ، وهذا يقع أحياناً في بعضِ المساجدِ التي تكون فيها الجماعةُ قليلةٌ

“Hal yang demikian itu diperbolehkan karena apabila ada wanita lain yang bersama wanita itu, maka tidak terjadi khalwat (berduaan). Apabila laki-laki itu adalah seorang yang amanah, tidak apa-apa mengimami shalat kedua wanita tersebut. Ini sering terjadi di sebagian masjid yang jama’ah shalatnya sedikit…”

والصحيح : أن ذلك لا يُكره ، وأنَّه إذا أمَّ امرأتين فأكثر : فالخَلوةُ قد زالت ولا يُكره ذلك ، إلا إذا خَافَ الفِتنةَ ، فإنْ خَافَ الفِتنةَ فإنَّه حرامٌ ؛ لأنَّ ما كان ذريعةً للحرامِ فهو حرامٌ

“Pendapat yang benar, hal itu tidak makruh. Apabila seorang laki-laki mengimami shalat dua orang wanita atau lebih, maka tidak terjadi khalwat, sehingga hukumnya tidak makruh. Kecuali apabila dikhawatirkan terjadi fitnah, maka hukumnya haram. Sebab segala sesuatu yang mengantarkan kepada yang haram, hukumnya juga haram” [Asy-Syarhul Mumti’, 4/250-252]

Larangan pada point kedua berlaku jika ada seorang laki-laki dan seorang wanita yang bukan mahramnya hendak memulai shalat  berjama’ah berdua.

Adapun jika ada seorang laki-laki yang telah shalat, kemudian datang seorang wanita yang bukan mahramnya shalat di belakang laki-laki tersebut, maka hendaklah ia meneruskan shalatnya berjama’ah dengan wanita tersebut. Setelah ia menyelesaikan shalatnya dan salam, bersegeralah keluar dari mushalla kantor untuk menghindari khalwat.

Pilihan lain, apabila dikhawatirkan terjadi fitnah diantara keduanya, ia boleh membatalkan shalatnya, kemudian menunggu orang lain datang, setelah itu silahkan ia mengulangi shalatnya.

Shalat berjama’ah di masjid atau mushalla yang tidak bersekat (tidak berhijab) antara laki-laki dan wanita tidak apa-apa insya Allah, karena demikianlah kondisi masjid pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Inilah hikmah kenapa sebaik-baik shaf wanita adalah yang paling belakang dan seburuk-buruk shaf wanita adalah yang paling depan. Sebab shaf wanita yang terdepan bisa melihat kaum laki-laki secara langsung tanpa ada hijab yang menghalangi pandangan.

Allahua’lam, washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa’ala alihi washahbihi


Ditulis oleh Abul-Harits, 16 Jumadal Ulaa 1437 H

Monday, February 15, 2016

Bolehkah Ayah Mewakilkan Wali Nikah Kepada Petugas KUA?

Tanya:

Apakah sah pernikahan jika wali nikah (ayah mempelai wanita) hadir pada akad nikah anaknya bersama saudara laki-laki dan anak laki-lakinya, tetapi sang ayah malah meminta agar pak imam atau pak KUA menikahkan anaknya ? Ini banyak terjadi di indonesia bagian timur.

Jawab:

Pada asalnya orang yang paling berhak menjadi wali nikah adalah ayah dari mempelai wanita, kemudian orang yang diberikan wasiat untuk menjadi wali nikah oleh ayah, kemudian kakek mempelai wanita dari pihak ayah (terus ke atas), kemudian anak laki-laki mempelai wanita, kemudian cucu laki-lakinya (terus ke bawah), kemudian saudara laki-lakinya seayah seibu, kemudian anak laki-laki dari saudara laki-lakinya seayah seibu, kemudian saudara laki-lakinya seayah, kemudian anak laki-laki dari saudara laki-lakinya seayah, kemudian pamannya dari pihak ayah, kemudian orang yang memerdekakannya (jika mempelai wanita adalah budak yang dibebaskan), kemudian hakim atau penggantinya.[1]

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata:

جهات الولاية في عقد النكاح خمس، أبوة، ثم بنوة، ثم أخوة، ثم عمومة، ثم ولاء، فإن كانوا في جهة واحدة قدم الأقرب منزلة

“Orang-orang yang berhak menjadi wali nikah dalam suatu akad nikah ada lima tingkatan: (1) pihak ayah, kemudian (2) pihak anak laki-laki, kemudian (3) pihak saudara laki-laki, kemudian (4) pihak paman dari pihak ayah, kemudian (5) pihak wala’ (orang yang membebaskan budak). Apabila mereka berada dalam satu tingkatan, dahulukan yang paling dekat…” [Asy-Syarhul Mumti’, 12/84]

Namun apabila sang wali nikah (misalkan ayah) ingin mewakilkan perwalian nikah anak perempuannya kepada orang lain, hal itu pun diperbolehkan insya Allah, asalkan wakil tersebut adalah seorang muslim, laki-laki, berakal dan dewasa.

Dalam kitab Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah disebutkan:

توكيل الولي غيره لمباشرة عقد النكاح جائز باتفاق فقهاء الحنفية والمالكية والشافعية والحنابلة إذا توافرت في الوكيل الشروط المعتبرة

“Seorang wali nikah boleh mewakilkan kepada orang lain secara langsung dalam akad nikah. Ini telah disepakati kebolehannya oleh fuqaha’ Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah, apabila orang yang menjadi wakil wali nikah tersebut telah memenuhi syarat menjadi wali” [Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, 34/132]

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata:

لا بأس يزوج من ينوب عنه، مثل أبي المرأة يزوج يوكل خالها، يوكل أحد أولاده من المرشدين ينوبون عنه في التزويج لا بأس، لا بأس أن يوكل الولي من ينوب عنه

“Tidak apa-apa mewakilkan pernikahan kepada orang yang bisa menggantikannya. Misalkan sang ayah mewakilkan pernikahan anak perempuannya kepada pamannya dari pihak ibu, atau sang ayah mewakilkan wali nikah kepada anak-anak laki-lakinya yang telah dewasa. Tidak apa-apa seorang wali nikah mewakilkan perwalian nikah kepada orang yang bisa menggantikannya….” [http://www.binbaz.org.sa/node/19597]

Kesimpulannya, akad nikah dengan model diwakilkan seperti yang sering terjadi di masyarakat kita adalah boleh dan sah insya Allah.

Dalam dhawabith fiqhiyyah disebutkan,

كل عقد يجوز للإنسان أن يعقده بنفسه يجوز له أن يوكل فيه غيره كالبيع، والإجارة، والتزويج ونحو ذلك

“Setiap akad yang boleh dilakukan sendiri oleh seseorang, maka ia juga boleh mewakilkannya kepada orang lain, seperti akad jual-beli, akad sewa-menyewa, akad nikah, dan lainnya”

Sebagian ulama membawakan kaidah dengan redaksi,

كل عقد جاز للموكل أن يعقده بنفسه جاز أن يوكل به غيره

“Setiap akad yang boleh dilakukan sendiri oleh muwakkil (orang yang berhak mewakilkan), maka ia juga boleh mewakilkannya kepada orang lain” [Mursyid Al-Hairaan hal. 921]

Kecuali apabila petugas KUA menikahkan mempelai wanita tanpa memperoleh izin dari ayah mempelai wanita, maka akad nikahnya tidak sah, karena ada yang lebih berhak menikahkannya.

Allahua’lam, washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa’ala alihi washahbihi


Ditulis oleh Abul-Harits pada 15 Februari 2016




[1] Ar-Raudhul Murbi’ hal. 335-336

Sunday, February 7, 2016

Hukum Qunut Subuh, Bid'ah atau Sunah?

Para ulama dari kalangan sahabat, tabi’in hingga imam madzhab yang empat berselisih tentang disyariatkannya doa qunut Subuh.

Pendapat pertama, qunut subuh disunahkan mudawamah (terus menerus dilakukan).

Diantara ulama yang berpendapat sunnahnya adalah Asy-Syafi’i, Malik, Ibnu Abi Laila, Al-Hasan bin Shalih, Dawud Azh-Zhahiri dan Ahmad bin Hambal dalam salah satu riwayat rahimahumullah.

Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata:

وأما الفقهاء الذين دارت عليهم الفتيا في الأمصار فكان مالك، وابن أبي ليلى، والحسن بن حي، والشافعي، وأحمد بن حنبل، وداود، يرون القنوت في الفجر. قال الشافعي وأحمد: بعد الركوع، وقال مالك: قبل الركوع

“Para fuqaha’ yang menjadi rujukan fatwa di berbagai negeri seperti Malik, Ibnu Abi Laila, Al-Hasan bin Hay, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hambal dan Dawud berpendapat disyariatkannya qunut subuh. Asy-Syafi’i dan Ahmad berpendapat qunut dilakukan setelah ruku’, sedangkan Malik berpendapat sebelum ruku’. [Al-Istidzkar, 2/294]

Al-Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisiy rahimahullah berkata:

وَقَالَ مَالِكٌ، وَابْنُ أَبِي لَيْلَى، وَالْحَسَنُ بْنُ صَالِحٍ، وَالشَّافِعِيُّ: يُسَنُّ الْقُنُوتُ فِي صَلَاةِ الصُّبْحِ، فِي جَمِيعِ الزَّمَانِ

“Malik, Ibnu Abi Laila, Al-Hasan bin Shalih dan Asy-Syafi’i berpendapat disunahkannya qunut subuh di seluruh waktu (tidak hanya dilakukan saat nawazil)” [Al-Mughniy, 2/585]

Al-Atsram pernah bertanya kepada Al-Imam Ahmad bin Hambal:

فلِمَ ترخص إذاً في القنوت قبل الركوع، وإنما صح الحديثُ بعد الركوع؟

“Kenapa engkau memberikan keringanan doa qunut sebelum ruku’? Bukankah dalam hadits yang shahih hanya menyebutkan qunut setelah ruku’?

Al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah menjawab:

القنوت في الفجر بعد الركوع، وفي الوتر يُختار بعد الركوع، ومن قنت قبل الركوع، فلا بأس، لفعل أصحاب النبي

“Qunut subuh dilakukan setelah ruku’, sedangkan qunut witir dilakukan setelah ruku’ menurut pendapat yang terpilih. Barangsiapa yang melakukan qunut sebelum ruku’, tidak apa-apa, berdasarkan perbuatan para sahabat Nabi” [Zaadul Ma’aad, 1/118]

Mereka berdalil dengan beberapa riwayat berikut:

[1] Hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

أن النبي صلى الله عليه وسلم قنت شهرًا يدعو عليهم - أي: على قاتلي القراء - ثم ترك، فأمَّا في الصبح فلم يزل يقنت حتى فارق الدنيا

“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan qunut selama sebulan mendoakan kejelekan atas mereka (orang kafir yang membunuh para penghafal Al-Qur’an) kemudian beliau meninggalkannya. Adapun pada shalat Subuh, maka beliau senantiasa melakukan qunut hingga beliau berpisah dengan dunia” [HR. Al-Baihaqi (2/201), Ad-Daraquthni (2/370), Ibnu Abi Syaibah (2/312) dan lainnya]

Hadits ini dishahihkan oleh Al-Baihaqi, Al-Hakim, Al-Haitsami, Muhammad bin Ali Al-Balkhi dan An-Nawawi, serta dihasankan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar[1] rahimahumullah.

Al-Hakim rahimahullah berkata:

هذا إسناد صحيح سنده، ثقة رواته

“Sanad hadits ini shahih, para perawinya tsiqah”

Al-Haitsami rahimahullah berkata:

رجاله موثقون

“Para perawinya tsiqah” [Majma’ Az-Zawa’id, 2/331]

An-Nawawi rahimahullah berkata:

وهو حديث صحيح رواه جماعة من الحفاظ وصححوه، وممن نص على صحته الحافظ أبو عبد الله محمد بن علي البلخي والحاكم أبو عبد الله في مواضع من كتبه والبيهقي، ورواه الدارقطني من طرق بأسانيد صحيحة

“Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh sekelompok huffazh dan mereka menshahihkannya. Diantara ulama yang menshahihkannya adalah Al-Hafizh Abu Abdillah Muhammad bin Ali Al-Balkhiy dan Al-Hakim Abu Abdillah dalam beberapa tempat dalam kitabnya, demikian pula dishahihkan oleh Al-Baihaqi. Ad-Daraquthni juga meriwayatkannya dari beberapa jalan dengan sanad-sanad yang shahih” [Al-Majmuu’ Syarh Al-Muhadzab, 3/484]

Para ulama yang tergabung dalam lembaga fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah berkata:

واستدلوا أيضا بما روي من أن النبي صلى الله عليه وسلم " لم يزل يقنت في الصبح حتى فارق الدنيا " ، ونوقش بأن هذه الجملة وردت في بعض الأحاديث لكنها ضعيفة ؛ لأنها من طريق أبي جعفر الرازي

وقد قال فيه عبد الله بن أحمد : ليس بالقوي ، وقال علي بن المديني : إنه يخلط ، وقال عمرو بن علي الفلاس : صدوق سيئ الحفظ ، وإنما أخذ به من أخذ من الأئمة لتوثيق جماعة من أهل الجرح والتعديل أبا جعفر الرازي ولشهادة بعض الأحاديث له 

“Mereka (ulama yang menyunahkan qunut Subuh) juga berdalil dengan apa yang diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau senantiasa qunut Subuh hingga berpisah dengan dunia”. Dijawab bahwa riwayat yang menyebutkan demikian dalam sebagian hadits adalah lemah, karena diriwayatkan dari jalur Abu Ja’far Ar-Razi.

Abdullah bin Ahmad berkata tentangnya “tidak kuat”. Ali bin Al-Madini berkata: “hafalannya bercampur”. Amr bin Ali Al-Fallas berkata: “Jujur, namun hafalannya jelek”. Meskipun demikian, sebagian ulama masih mengambil riwayatnya karena sekelompok ulama jarh wa ta’dil masih menguatkan Abu Ja’far Ar-Razi, dan juga disebabkan adanya penguat (syawahid) dari riwayat hadits yang lain…” [Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 7/42-45]

Perselisihan ulama tentang keshahihan hadits Anas disebabkan oleh perselisihan ulama jarh wa ta’dil dalam menilai Abu Ja’far Ar-Razi. Kesimpulan penilaian Al-Hafizh Ibnu Hajar terhadapnya adalah “shaduuq sayyi’ul hifzh (jujur namun hafalannya lemah)”[2], sehingga hadits yang ia riwayatkan minimalnya berstatus hasan lidzatihi, jika para perawi yang lain seluruhnya tsiqah. Bahkan haditsnya bisa berderajat shahih lighairi, jika terdapat riwayat lain yang menguatkannya.

[2] Hadits Al-Barra’ bin Azib radhiyallahu anhu,

أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يقنت في الصبح والمغرب

“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa qunut pada shalat Subuh dan Maghrib” [HR. Muslim no. 678 dan Abu Daud no. 1441]

Jika ada yang menyanggah, dalam hadits yang Anda bawakan disebutkan bahwa Rasulullah qunut pada shalat Subuh dan Maghrib, kenapa Anda hanya mencukupkan qunut saat shalat Subuh saja?

Pernyataan ini dijawab oleh Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dari dua sisi:

ولا يضر ترك الناس القنوت في صلاة المغرب؛ لأنه ليس بواجب أو دل الإجماع على نسخه فيها

“Tidak apa-apa manusia meninggalkan qunut pada shalat Maghrib, dikarenakan:

(Pertama) qunut tidaklah wajib, atau

(Kedua) ijma’ (kesepakatan ulama) telah menunjukkan dihapuskannya qunut Maghrib (mansukh)” [Al-Majmuu’, 3/484]

Ijma’ ulama tentang mansukh-nya qunut Maghrib juga dinukil oleh Al-Imam Ibnu Qutaibah rahimahullah. Beliau berkata:

الناس لا يختلفون في ترك القنوت في المغرب

“Manusia (ulama) tidak berselisih tentang ditinggalkannya qunut pada shalat Maghrib” [Ta’wil Mukhtalifil Hadits hal. 262]

[3] Beberapa riwayat dari sahabat Nabi tentang qunut Subuh.

Riwayat pertama, dari Al-Awwaam bin Hamzah rahimahullah, ia berkata:

سألت أبا عثمان عن القنوت في الصبح

“Aku bertanya kepada Abu Utsman tentang Qunut Subuh”

Ia berkata:

بعد الركوع

“Setelah ruku’ ”

Aku berkata:

عمن؟

“Diriwayatkan dari siapa?”

Ia menjawab:

عن أبي بكر وعمر وعثمان رضي الله تعالى عنهم

“Dari Abu Bakar, Umar dan Utsman radhiyallahu ‘anhum”.

Al-Baihaqi berkata saat menilai atsar di atas:

هذا إسناد حسن

”Sanad atsar ini hasan” [As-Sunan Al-Kubra no. 2/202]

Riwayat kedua, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

صليت خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم فقنت ، وخلف عمر فقنت ، وخلف عثمان فقنت

“Aku shalat di belakang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau qunut. Aku juga shalat di belakang Umar, ia pun qunut. Aku juga shalat di belakang Utsman, ia pun qunut” [HR. Al-Baihaqi, 2/202]

Riwayat ketiga, dari Thariq bin Syihab, ia berkata:

صليت خلف عمر الصبح فقنت

“Aku shalat Subuh di belakang Umar, ia pun qunut” [HR. Al-Baihaqi, 2/203]

Riwayat keempat, dari Ubaid bin Umair, ia berkata:

سمعت عمر يقنت هاهنا في الفجر بمكة

“Aku mendengar Umar melakukan qunut Subuh di sini yaitu di Mekah” [HR. Al-Baihaqi, 2/203]

Riwayat kelima, dari Al-Aswad bin Yazid, ia berkata:

صليت خلف عمر بن الخطاب رضي الله عنه في السفر والحضر، فما كان يقنت إلا في صلاة الفجر

“Aku shalat di belakang Umar bin Al-Khathab radhiyallahu ‘anhu saat safar dan mukim. Beliau tidak qunut kecuali pada shalat Subuh” [HR. Al-Baihaqi, 2/203]

Riwayat keenam, dari Abu Raja’, ia berkata:

صلى ابن عباس صلاة الصبح في هذا المسجد فقنت

“Ibnu Abbas shalat Subuh di masjid ini, ia pun qunut” [HR. Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, 3/124]

Riwayat ketujuh, dari Abdullah bin Ma’qil, ia berkata:

قنت علي رضي الله عنه في الفجر

“Ali radhiyallahu ‘anhu melakukan qunut shalat Subuh” [HR. Al-Baihaqi, 2/204]

Al-Baihaqi memberikan komentar terhadap atsar-atsar yang ia riwayatkan dari sahabat tentang tetapnya qunut:

وهذه روايات صحيحة موصولة

“Riwayat-riwayat ini shahih dan bersambung”


Pendapat kedua, qunut subuh adalah bid’ah atau tidak disyariatkan kecuali saat terjadi nawazil (musibah yang menimpa kaum muslimin).

Diantara ulama yang memegang pendapat ini adalah Abu Hanifah, Ahmad dalam salah satu riwayat, Abdullah bin Al-Mubarak dan Ishaq bin Rahawaih rahimahumulah.

Abu Ja’far Ath-Thahawi Al-Hanafi rahimahullah berkata:

إنما لا يقنت عندنا في الفجر من غير بلية فإن وقعت فتنة أو بلية فلا بأس به فعله رسول الله صلى الله عليه وسلم أي بعد الركوع

“Menurut kami (madzhab Hanafi), tidak disyariatkan qunut Subuh kecuali dikarenakan musibah. Apabila terjadi fitnah atau musibah, maka tidak apa-apa. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melakukannya yaitu setelah ruku’” [Hasyiyyah Ath-Thahawi ‘ala Maraaqil-Falaah hal. 377]

Al-Mardawiy Al-Hambali rahimahullah berkata:

الصحيح من المذهب: أنه يكره القنوت في الفجر كغيرها وعليه الجمهور وقال في الوجيز: لا يجوز القنوت في الفجر.

“Yang benar dalam madzhab (Hambali) bahwa dimakruhkan melakukan qunut Subuh seperti dalam shalat yang lain. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Dalam kitab Al-Wajiz disebutkan, tidak diperbolehkan melakukan qunut Subuh” [Al-Inshaaf, 2/174]

Berikut beberapa dalil yang digunakan pendapat ini:

[1] Hadits Abu Malik Thariq bin Asyim Al-Asyja’i rahimahullah, ia berkata:

قلت لأبي: يا أبت إنك قد صليت خلف رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر وعثمان وعلي بن أبي طالب هاهنا بالكوفة، نحوا من خمس سنين، أكانوا يقنتون؟

“Wahai ayahku, engkau pernah shalat di belakang Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, Umar, Utsman, dan Ali di sini, yaitu di Kufah selama kurang lebih lima tahun. Apakah mereka melakukan qunut?”

Ayahku berkata:

أي بني محدث

“Wahai anakku, itu adalah perbuatan muhdats (perkara baru)” [HR. At-Tirmidzi no. 402, Ibnu Majah no. 1241 dan Ahmad (3/472)]

Hadits ini dishahihkan oleh Al-Albani[3], Muqbil Al-Wadi’i[4] dan Al-Arna’uth[5] rahimahumullah.

Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah berkata:

واختلف أهل العلم في القنوت في صلاة الفجر، فرأى بعض أهل العلم من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم وغيرهم القنوت في صلاة الفجر. وهو قول الشافعي.
وقال أحمد، وإسحق: لا يقنت في الفجر إلا عند نازلة تنزل بالمسلمين، فإذا نزلت نازلة فللإمام أن يدعو لجيوش المسلمين.

“Para ulama berselisih mengenai qunut shalat Shubuh. Sebagian ulama dari kalangan shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan selain mereka berpendapat disyariatkannya qunut pada shalat Shubuh. Ini merupakan pendapat Asy-Syafi’i. Ahmad dan Ishaq berkata: “Qunut tidak dilakukan pada shalat Shubuh, kecuali jika ada musibah yang menimpa kaum muslimin. Jika ada musibah yang menimpa kaum muslimin, maka imam mendoakan (kebaikan/kemenangan) untuk pasukan kaum muslimin”

والعمل عليه عند أكثر أهل العلم.
وقال سفيان الثوري إن قنت في الفجر فحسن، وإن لم يقنت فحسن واختار أن لا يقنت. ولم ير ابن المبارك القنوت في الفجر
.

“(Hadits Abu Malik Al-Asyja’i di atas) diamalkan oleh kebanyakan ulama. Sufyan Ats-Tsauri berkata: “Apabila seseorang melakukan qunut di waktu shalat Shubuh, maka itu baik. Jika tidak melakukannya, itu pun baik’. Sufyan Ats-Tsauri memilih untuk tidak qunut. Ibnul-Mubarak tidak berpendapat adanya qunut pada shalat Shubuh” [Jami’ut Tirmidzi, 1/427]

[2] Beberapa riwayat dari sahabat Nabi tentang qunut Subuh.

Riwayat pertama, dari Al-Aswad bin Yazid dan Amru bin Maimun, keduanya berkata:

صَلَّيْنَا خَلْفَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ الْفَجْرَ، فَلَمْ يَقْنُتْ

“Kami pernah shalat Subuh di belakang Umar bin Al-Khathab, ia tidak qunut” [HR. Abdurrazaq, 3/106]

Riwayat kedua, dari Al-Aswad, ia berkata:

كَانَ عَبْدُ اللَّهِ، لا يَقْنُتُ فِي صَلاةِ الْغَدَاةِ، وَإِذَا قَنَتَ فِي الْوِتْرِ قَنَتَ قَبْلَ الرَّكْعَةِ

“Dahulu Abdullah (bin Mas’ud) tidak qunut saat shalat Subuh. Jika beliau qunut saat shalat Witir, ia qunut sebelum ruku’” [HR. Ath-Thabarani, 9/272]

Riwayat ketiga, dari Sa’id bin Jubair, ia meriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar,

أَنَّهُمَا كَانَا لَا يَقْنُتَانِ فِي الْفَجْرِ

“Bahwa keduanya tidak qunut Subuh” [HR. Ibnu Abi Syaibah, 2/309]

Tarjih

Sekilas kita lihat dalil pendapat pertama dan kedua. Riwayat-riwayat yang menjadi dalil pendapat pertama menetapkan adanya qunut Subuh. Sedangkan beberapa riwayat yang dibawakan pendapat kedua meniadakan qunut Subuh. Jika kedua riwayat tersebut sama-sama shahih, riwayat manakah yang didahulukan?

Riwayat hadits yang dibawakan pendapat pertama adalah mutsbit (menetapkan) qunut, sedangkan riwayat hadits pendapat kedua adalah nafi (meniadakan) qunut. Menurut kaidah ushuliyyah [والمثبت مقدم على النافي] artinya seorang yang menetapkan sesuatu lebih didahulukan dari seorang yang meniadakan, karena seorang yang menetapkan (al-mutsbit) memiliki tambahan ilmu yang tidak dimiliki orang yang meniadakan (an-nafi). Atau dengan kata lain, seorang yang menetapkan (al-mutsbit) menghafal apa yang tidak dihafal oleh orang yang meniadakan (an-nafi).

Al-Imam Al-Baihaqiy rahimahullah berkata:

نسيان بعض الصحابة ، أو غفلته عن بعض السنن ، لا يقدح في رواية من حفظه وأثبته

“Sebagian sahabat yang lupa atau lalai terhadap sebagian sunnah tidak menjadikan cela terhadap riwayat perawi yang menghafal dan menetapkannya”

Al-Baihaqiy juga berkata:

طارق بن أشيم الأشجعي لم يحفظه عمن صلى خلفه ، فرآه محدثا ، وقد حفظه غيره

“Thariq bin Asyim Al-Asyja’i tidak menghafal orang yang shalat di belakang imamnya, sehingga ia menganggap qunut Subuh bid’ah. Sungguh para perawi selain dia telah menghafal (riwayat yang menetapkan qunut Subuh)” [As-Sunan Al-Kubraa]

Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah berkata:

ثبت في أحاديث صحيحة القنوت في الصبح، ومن حفظ حجة على من لم يحفظ. والمثبت مقدم على النافي. وهو نفل لا واجب. فمن تركه فلا بأس، ومن فعله فهو أفضل

“Qunut Subuh telah sah disebutkan dalam hadits-hadits yang shahih. Barangsiapa yang hafal, maka ia menjadi hujjah bagi yang tidak hafal. Demikian pula seorang yang menetapkan lebih didahulukan dari orang yang meniadakan. Qunut Subuh hanyalah sunah, tidak wajib. Tidak apa-apa bagi siapa yang meninggalkannya, dan barangsiapa yang melakukan qunut, maka itu lebih utama” [Syarh Sunan At-Tirmidzi, 2/252]

Melihat pertentangan riwayat yang ada tentang qunut, sungguh bijak apa yang dinyatakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dalam menengahi dua kelompok ulama tersebut.

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

فأهلُ الحديث متوسطون بين هؤلاء وبين من استحبه عند النوازل وغيرها، وهم أسعدُ بالحديث من الطائفتين، فإنهم يقنُتون حيثُ قنت رسولُ الله ، ويتركُونه حيث تركه، فيقتدون به في فعله وتركه،ويقولون: فِعله سنة، وتركُه سنة، ومع هذا فلا يُنكرون على من داوم عليه، ولا يكرهون فعله، ولا يرونه بدعة، ولا فاعِلَه مخالفاً للسنة، كما لا يُنكِرون على من أنكره عند النوازل، ولا يرون تركه بدعة، ولا تارِكه مخالفاً للسنة، بل من قنت، فقد أحسن، ومن تركه فقد أحسن

“Ahlul-hadits memiliki sikap pertengahan antara mereka (yang membid’ahkan qunut subuh) dan mereka yang menyatakan disunahkan hanya saat nawazil atau saat-saat yang lain. Mereka (ahlul-hadits) adalah kelompok yang paling berbahagia terhadap hadits nabi dibandingkan dua kelompok tersebut. 

Mereka (ahlul-hadits) melakukan qunut di tempat-tempat Rasulullah melakukan qunut, dan mereka meninggalkan qunut di tempat-tempat Rasulullah meninggalkannya. Mereka meneladani Rasulullah dalam perbuataan maupun apa yang ditinggalkan beliau. Mereka menyatakan bahwa melakukan qunut adalah sunah, meninggalkan qunut juga sunah.

Meskipun demikian, mereka tidak mengingkari orang yang terus-menerus qunut, mereka tidak memakruhkannya, tidak memandangnya termasuk bid’ah, tidak pula memandang pelakunya telah menyelisihi sunah. Sebagaimana mereka tidak mengingkari orang yang mengingkari qunut kecuali saat nawazil. Mereka tidak memandang meninggalkan qunut termasuk bid’ah, tidak pula memandang orang yang meninggalkan qunut telah menyelesihi sunah.  Barangsiapa yang qunut, maka ia telah melakukan kebaikan dan barangsiapa yang meninggalkan qunut, maka ia telah melakukan kebaikan” [Zaadul Ma’aad, 1/115]

Allahua’lam, washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad, wa alihi washahbih


Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 28 Rabi’ul Akhir 1437





[1] Nata’ijul Afkaar, 2/136

[2] Taqriibut Tahdziib hal. 629

[3] Irwaa’ul Ghaliil, 2/183

[4] Al-Jami’us Shahih Mimma Laisa Fis Shahihain, 2/147

[5] Takhrij Musnad Al-Imam Ahmad, 25/214

Monday, February 1, 2016

Hukum Menikahi Wanita Yang Dizinahi

Tanya:

Assalamualaikum Pak Ustad, saya seorang istri yang sedang hamil 8 bulan..pernikahan kami dilakukan pada bulan Oktober tahun 2013..

pertanyaan saya : pada bulan September 2013 (1 bulan sblm menikah), saya melakukan perbuatan zina dgn calon suami saya, kemudian akad nikah dilakukan 1 bulan sesudah zina tersebut dan di hari ke-6 haid, apakah saya sudah dianggap istibra krn akad dilakukan pd saat jelang selesai haid (sudah bersih tp belum mandi junub)??maaf krn pd waktu itu saya tidak tahu adanya hukum istibra dan skrg saya sedang belajar syariat..

bagaimana hukum pernikahan saya??haruskah mengulang akad nikah setelah melahirkan??apakah saya msh boleh berhubungan intim dengan suami??

Jawab:

Wa'alaikumussalam warahmatullah, perhatikan beberapa point berikut:

Pertama, hal pertama yang wajib dilakukan oleh ibu dan suami adalah bertaubat dari dosa zina. Karena seorang muslim tidak boleh menikahi wanita pezina, demikian pula seorang wanita muslimah tidak boleh menikahi laki-laki pezina.

Allah ta'ala berfirman:

الزَّانِى لاَ يَنكِحُ إِلاَّ زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لاَ يَنكِحُهَا إِلاَّ زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرّمَ ذالِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ

"Laki-laki pezina tidak mengawini melainkan wanita pezina, atau wanita musyrik; dan wanita pezina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki pezina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang beriman" [QS. An-Nuur]

Apabila dua pasangan pezina telah bertaubat, maka akad nikahnya sah. Apabila salah satu dari keduanya atau bahkan dua-duanya belum bertaubat dari zina, maka keabsahan akad nikahnya diperselisihkan ulama. Madzhab Hambali berpandangan bahwa akad nikahnya tidak sah berdasarkan larangan ayat di atas.

Apabila ibu dan suami telah bertaubat dari zina sebelum akad nikah, maka insya Allah akad nikahnya sah.

Kedua, istibra' (memastikan kekosongan rahim dari janin) wanita yang dizinahi adalah sekali haid. Apabila ibu melakukan akad nikah setelah masuk masa haid, maka ibu telah istibra', karena dapat dipastikan bahwa rahim telah kosong dari janin. Hikmah disyariatkannya istibra' adalah untuk memastikan anak dalam kandungan benar-benar dinasabkan kepada ayahnya.

Kesimpulannya jika dilihat dari kondisi ibu, ada dua syarat agar akad nikah tersebut sah tanpa ada perselisihan di kalangan ulama:

[1] Apabila akad nikah itu dilakukan setelah ibu dan suami bertaubat dari zina

[2] Apabila akad nikah dilakukan setelah ibu melewati istibra' rahim (sekali haid)

Apabila salah satu dari syarat tersebut belum terpenuhi, maka yang lebih hati-hati adalah memperbaharui akad nikah. Cukup wali nikah dari ibu berkata kepada suami "saya nikahkan engkau dengan anak saya (fulanah bintu fulan) dengan mahar (sekian) dibayar tunai". Lalu suami menjawab "saya terima nikahnya...". Tentunya dengan dihadiri dua saksi dan adanya mahar. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan keraguan, Allahua'lam

Washallallahu 'ala nabiyyina muhammad, wa'ala alihi washabihi


Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 22 Rabi’uts Tsani 1437