Sunday, January 10, 2016

Hukum Mengusap Kaos Kaki Saat Berwudhu (Tata Cara Mengusap Kaos Kaki dan Khuf)

Tanya:

Saat berwudhu, bolehkah kita tidak melepas kaos kaki, namun hanya diusap bagian luarnya saja?

Jawab:

Para ulama berselisih tentang kebolehan mengusap kaos kaki saat berwudhu, sebagian ulama melarang dan sebagian yang lain membolehkan. Pendapat yang lebih mendekati kebenaran adalah pendapat ulama yang membolehkan. Berikut dalil-dalil yang menguatkan pendapat ulama yang membolehkan:

[1] Hadits Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

تَوَضَّأَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَسَحَ عَلَى الجَوْرَبَيْنِ وَالنَّعْلَيْنِ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berwudhu, lalu beliau mengusap dua kaos kaki dan dua sandalnya” [HR. Abu Daud no. 159, At-Tirmidzi no. 99, Ibnu Majah no. 559 dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud no. 147]

[2] Ijma’ para sahabat nabi tentang kebolehan mengusap kaos kaki. Abu Daud rahimahullah berkata:

ومَسَحَ على الجوربين: عليُّ بنُ أبي طالبٍ، وابنُ مسعودٍ، والبراءُ بنُ عازبٍ، وأنسُ بنُ مالكٍ، وأبو أُمامةَ، وسهلُ بنُ سعدٍ، وعمرُو بنُ حُرَيْثٍ، ورُوِيَ ذلك عن عُمَرَ بنِ الخطَّاب وابنِ عبَّاسٍ

“(Diantara sahabat nabi) yang mengusap dua kaos kaki adalah Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Al-Barra’ bin Azib, Anas bin Malik, Abu Umamah, Sahl bin Sa’d, Umar bin Huraits, serta diriwayatkan dari Umar bin Al-Khathab dan Ibnu Abbas” [Sunan Abu Daud, 1/113]

Asy-Syaikh Muhammad Ali Firkuuz hafizhahullah berkata:

ولا يُعْلَمُ لهم مِن الصحابةِ رضي الله عنهم فيه مُخالِفٌ؛ فكان إجماعًا وحجَّةً على ما تَقَرَّرَ أصوليًّا

“Tidak diketahui seorang pun dari sahabat nabi radhiyallahu ‘anhu yang menyelisihi pendapat tersebut sehingga teranggap sebagai ijma’ (kesepakatan ulama) dan merupakan hujjah, sebagaimana yang disebutkan dalam ilmu ushul fiqh”

[3] Kebolehkan mengusap kaos kaki merupakan qiyas dari kebolehan mengusap khuf (sepatu) saat berwudhu

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:

لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْىِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ.

“Seandainya agama ini menggunakan logika, tentu bagian bawah khuf (sepatu) lebih utama untuk diusap dari bagian atasnya. Sungguh aku melihat rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap bagian atas khuf beliau” [HR. Abu Daud no. 162 dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud]

Al-Azraq bin Qais rahimahullah berkata:

رَأَيْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ أَحْدَثَ؛ فَغَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ، وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ، وَمَسَحَ عَلَى جَوْرَبَيْنِ مِنْ صُوفٍ؛ فَقُلْتُ: «أَتَمْسَحُ عَلَيْهِمَا؟» فَقَالَ: «إِنَّهُمَا خُفَّانِ وَلَكِنَّهُمَا مِنْ صُوفٍ

“Aku melihat Anas bin Malik berhadats, lalu ia mencuci wajah dan kedua tangannya, kemudian ia mengusap kepalanya dan mengusap kedua kaos kakinya yang terbuat dari kain wol.”. Aku bertanya: “Apakah engkau mengusap kedua kaos kakimu?”

Anas bin Malik menjawab: “Ini adalah khuf (sepatu) yaitu khuf yang berasal dari kain wol” [HR. Ad-Dulabiy dalam Al-Kuna wal Asma’ no. 1009 dan dishahihkan oleh Ahmad Syakir[1]]

Yahya Al-Bukka’ rahimahullah berkata:

سَمِعْتُ ابْنَ عُمَرَ يَقُولُ: «الْمَسْحُ عَلَى الْجَوْرَبَيْنِ كَالْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ

“Aku mendengar Ibnu Umar berkata: “Mengusap kedua kaos kaki seperti mengusap kedua khuf (sepatu)” [HR. Abdurrazaq dalam Al-Mushannaf no. 782, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf no. 1994 dan dihasankan sanadnya oleh Al-Albani[2]]

Pendapat ulama yang membolehkan mengusap kaos kaki ini dirajihkan oleh Ibnu Hazm[3], Ibnu Taimiyyah[4] dan Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithiy[5] rahimahumullah.

Bagian manakah yang diusap saat berwudhu?

Bagian yang wajib diusap adalah bagian atas (punggung) kaos kaki, dengan syarat Anda telah memakai kaos kaki tersebut dalam keadaan suci sebelumnya.

Dalilnya adalah hadits Ali radhiyallahu ‘anhu berikut:

وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ

“Sungguh aku melihat rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap bagian atas khuf beliau” [HR. Abu Daud no. 162 dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud]

Berapa batasan waktu diperbolehkan mengusap kaos kaki?

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:

جَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ لِلْمُسَافِرِ وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيمِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan batasan waktu (mengusap khuf) 3 hari 3 malam bagi musafir (seorang yang dalam perjalanan) dan sehari semalam bagi orang yang mukim (menetap)” [HR. Muslim no. 276]

Cara menghitung jangka waktu diperbolehkan mengusap kaos kaki dimulai saat ia pertama kali mengusap kaos kakinya. Misalkan Anda seorang yang mukim, pada waktu Dhuha hari Rabu, Anda berwudhu secara sempurna dengan mencuci wajah, kedua tangan dan kedua kaki. Setelah suci, Anda memakai kaos kaki.

Pada pukul 12.00 siang, Azan Zhuhur berkumandang. Anda hendak berwudhu dan tidak ingin melepas kaos kaki Anda di kantor. Anda berwudhu dengan mencuci muka dan kedua tangan, lalu mengusap kaos kaki. Nah, awal perhitungan Anda boleh mengusap kaos kaki adalah pukul 12.00 siang saat Anda berwudhu, sehingga batas waktu kebolehan mengusap kaos kaki berikutnya habis pada pukul 12.00 siang esok hari yaitu hari Kamis.

Anda boleh mengusap kaos kaki lagi saat wudhu Shalat Ashar, Shalat Maghrib, Shalat Isya dan Shalat Subuh. Namun Shalat Zhuhur berikutnya pada hari Kamis, Anda harus melepaskan kaos kaki dan mencuci kedua kaki saat berwudhu.

Catatan penting: Anda tidak diperbolehkan mengusap kaos kaki dalam tiga kondisi berikut:

[1] Jangka waktu mengusap kaos kaki telah berakhir
[2] Anda dalam keadaan junub (bersetubuh dengan istri atau mimpi basah)
[3] Anda melepaskan kaos kaki[6]

Allahua’lam, semoga bermanfaat

Sumber: website resmi Asy-Syaikh Muhammad Ali Firkuuz hafizhahullah


Ditulis oleh Abul-Harits di  Madinah, 30 Rabi’ul Awwal 1437






[1] Silsilah Al-Atsar Ash-Shahihah no. 120 karya Asy-Syaikh Abdullah Al-Ubailan

[2] Tahqiq Al-Mash ‘alal Jaurabain wan Na’lain no. 67 karya Al-Qasimi

[3] Al-Muhallaa, 2/86

[4] Majmuu’ Al-Fataawaa, 21/184

[5] Adhwaa’ul Bayaan, 2/16

[6] Shahih Fiqh As-Sunnah, 1/155

No comments:

Post a Comment