Saturday, January 30, 2016

Aurat Wanita Ketika Shalat (Hukum Membuka Telapak Kaki Saat Shalat)

Para ulama berselisih tentang hukum membuka wajah, telapak tangan dan telapak kaki saat shalat.

Pendapat pertama, seluruh tubuh wanita ditutup saat shalat, kecuali wajah. Wajah disunahkan terbuka, telapak tangan disunahkan tertutup dan telapak kaki wajib tertutup. Tidak sah shalat wanita yang terbuka telapak kakinya.  Ini merupakan pendapat jumhur (kebanyakan) ulama.

Dalil pendapat ini adalah hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

أتصلي المرأة في درع وخمار ليس عليها إزار؟

“Apakah wanita boleh shalat dengan memakai gamis dan kerudung tanpa memakai sarung (pakaian bawah)?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab:

إِذَا كَانَ الدِّرْعُ سَابِغًا يُغَطِّي ظُهُورَ قَدَمَيْهَا

“Jika gamis itu longgar (belum menutup), ia harus menutup punggung dua telapak kakinya” [HR. Abu Daud no. 99, Al-Hakim (1/250), Al-Baihaqi (2/233)]

Hadits ini dishahihkan oleh Al-Hakim dan dihasankan sanadnya oleh An-Nawawi[1]. Namun dilemahkan oleh Al-Albani[2] dan Ibnu Hajar[3]

Al-Imam Al-Khathabi rahimahullah berkata:

وفي الخبر دليل على صحة قول من لم يجز صلاتها إذا انكشف من بدنها شيء ، ألا تراه يقول : إذا كان سابغا يغطي ظهور قدميها ، فجعل من شرط جواز صلاتها ، أن لا يظهر من أعضائها شيء

“Hadits ini merupakan dalil kebenaran pendapat ulama yang melarang shalat dalam kondisi terbuka (telapak kakinya). Bukankah engkau membaca perkataan Nabi “Apabila gamis itu longgar (belum menutup), maka ia harus menutup punggung kedua telapak kakinya.”. Nabi menjadikan kondisi tertutupnya anggota tubuh (tidak membuka aurat) sebagai syarat bolehnya wanita untuk shalat” [Ma’alimus Sunan, 1/159]

Al-Imam Malik rahimahullah berkata:

إذا صلت المرأة ، وقد انكشف شعرها ، أو ظُهُور قدميها ، تعيد ما دامت في الوقت

“Apabila seorang wanita shalat dalam kondisi rambutnya terbuka atau kedua telapak kakinya terlihat, maka ia harus mengulangi shalatnya selama masih berada di waktu shalat tersebut” [Aunul Ma’bud, 2/242]

Para ulama yang tergabung dalam lembaga fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah berkata:

يجب على المرأة أن تستر جميع بدنها في الصلاة ، بما في ذلك القدمان يجب سترهما ، وأما الوجه ، فإنها تكشفه إذا لم يكن عندها رجال غير محارم لها ، وما مضى من ظهور بعض قدميك في الصلاة ، فإنه معفو عنه إن شاء الله من أجل الجهل ، وبالله التوفيق

“Wanita wajib menutup seluruh tubuhnya ketika shalat, termasuk kedua telapak kakinya. Adapun bagian wajah, ia harus membiarkan wajahnya terbuka apabila tidak terlihat oleh laki-laki yang bukan mahram. Jika selama ini wanita itu shalat dalam kondisi terbuka telapak kakinya (tidak tahu hukumnya), insya Allah ia dimaafkan karena ketidak-tahuannya, wabillahittaufiq” [Fatawaa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 5/143]

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata:

الواجب عند جمهور أهل العلم أن يكون القدم مستوراً إما بالثياب الضافية وإما بالجوارب، وهكذا جاء عن أم سلمة رضي الله عنها

فالذي عليه جمهور أهل العلم أن المرأة عورة في الصلاة كلها، المرأة كلها عورة في الصلاة، إلا وجهها فإنه لا بأس بكشفه، بل يسن كشفه في الصلاة إذا لم يكن عندها أجنبي، يعني من غير محرمها، أما الكفان ففيهما خلاف بين أهل العلم، والصواب أنه لا حرج في كشفهما إن سترته كان ذلك أفضل، وأما القدمان فالواجب سترهما إما بالملابس الضافية، كالقميص الضافي أو الإزار الضافي أو بالجوارب

“Menurut pendapat jumhur ulama, telapak kaki wajib ditutup baik memakai pakaian atasan yang panjang maupun memakai kaos kaki. Demikian disebutkan dalam hadits Ummu Salamah radhiyallahu ’anha…

Demikian pula menurut pendapat jumhur ulama, seluruh tubuh wanita adalah aurat ketika shalat, seluruhnya adalah aurat, kecuali wajahnya. Ia boleh membuka wajahnya, bahkan disunahkan membuka wajah ketika shalat, apabila tidak ada laki-laki yang bukan mahram di sana.

Adapun membuka dua telapak tangan, para ulama berselisih. Pendapat yang benar, ia diperbolehkan membuka telapak tangannya, namun lebih utama jika ia menutupnya. Berbeda dengan telapak kaki, ia wajib menutup telapak kakinya, baik memakai pakaian atasan yang panjang, gamis panjang, sarung atau kaos kaki” [http://www.binbaz.org.sa/mat/14782]  

Disebutkan dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah,

وأما القدمان ، فهما عورة عند المالكية والشافعية غير المزني , وهو المذهب عند الحنابلة , وهو رأي بعض الحنفية
والمعتمد عند الحنفية أنهما ليستا بعورة , وهو رأي المزني من الشافعية , والشيخ تقي الدين ابن تيمية من الحنابلة

“Dua telapak kaki termasuk aurat (dalam shalat) menurut pendapat Malikiyyah, Syafi’iyyah selain Al-Muzanniy. Pendapat ini juga merupakan madzhab Hanabilah dan sebagian pengikut Haanafiyyah. Adapun pendapat yang resmi dalam madzhab Hanafiyyah, kedua telapak kaki bukan aurat. Ini merupakan pendapat Al-Muzanniy dari kalangan Syafi’iyyah dan Asy-Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyyah dari kalangan Hanabilah” [Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 7/86]


Pendapat kedua, seluruh tubuh wanita ditutup saat shalat, kecuali wajah, telapak tangan dan telapak kaki. Tidak apa-apa membuka telapak kaki ketika shalat, dan shalatnya sah. Namun menutup telapak tangan dan telapak kaki lebih utama.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

فكذلك القدم يجوز إبداؤه عند أبي حنيفة وهو الأقوى 

“Demikian pula telapak kaki, diperbolehkan membuka telapak kaki (ketika shalat) menurut pendapat Abu Hanifah. Pendapat inilah yang lebih kuat” [Majmuu’ Al-Fatawaa, 22/113]

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menukilkan ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahumallah:

فتكون القدمان والكفان غير عورة في الصلاة ، لا في النظر
وبناء على أنه ليس هناك دليل تطمئن إليه النفس في هذه المسألة ، فأنا أقلد شيخ الإسلام في هذه المسألة ، وأقول : إن هذا هو الظاهر إن لم نجزم به

“Oleh karena itu, dua telapak kaki dan dua telapak tangan bukan aurat ketika shalat, bukan pula aurat ketika dipandang, karena ketiadaan dalil dalam permasalahan ini yang dapat menenangkan jiwa. Maka aku taklid kepada Syaikhul Islam dalam permasalahan ini. Aku melihat bahwa inilah pendapat yang nampak (lebih dekat kepada kebenaran), meskipun aku tidak memastikannya” [Syarhul Mumti’, 2/161]

Tarjih

Tarjih dalam permasalahan ini bergantung dengan keshahihan hadits yang menjadi dalil jumhur. Apabila hadits itu shahih, pendapat yang rajih adalah pendapat jumhur. Namun jika sebaliknya, hadits itu dha’if, maka pendapat yang rajih adalah pendapat Abu Hanifah rahimahumullah.

Ternyata hadits Ummu Salamah memiliki kelemahan, meskipun dikeluarkan dari beberapa jalur periwayatan. Kelemahan riwayat Ummu Salamah  disebabkan dua alasan:

Pertama, dalam sanadnya terdapat Ummu Muhammad bin Zaid[4], ia seorang yang majhul sebagaimana dinyatakan oleh Adz-Dzahabi dan Al-Albani.

Kedua, Abdurrahman bin Dinar bersendirian (tafarrud) dalam memarfu’kan hadits. Yang benar, riwayat tersebut hanya mauquf kepada Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha.

Abu Daud rahimahullah berkata:

روى هذا الحديث مالكُ بن أنس، وبكر بن مُضر،
وحفص بن غِياث، وإسماعيل بن جعفر، وابن أبي ذئب، وابن إسحاق
عن محمد بن زيد عن أمه عن أم سلمة؛ لم يذكر أحد منهم: النبي
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قصروا به على أم سلمة

“Hadits ini diriwayatkan oleh Malik bin Anas, Bakr bin Mudhir, Hafsh bin Ghiyats, Isma’il bin Ja’far, Ibnu Abi Dzi’b dan Ishaq dari Muhammad bin Zaid dari ibunya, dari Ummu Salamah. Tidak satu pun dari mereka menyebutkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka hanya menyandarkan hadits kepada Ummu Salamah” [Sunan Abu Daud no. 99]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

وأعله عبد الحق بأن مالكاً وغيره رووه موقوفاً، وهو الصواب

“Abdul Haq menilai hadits tersebut memiliki ‘illat, karena Malik dan lainnya meriwayatkan hadits itu secara mauquf, inilah yang benar” [At-Talkhiis Al-Habiir, 4/89]

Meskipun Al-Imam An-Nawawi menghasankan sanad hadits tersebut, namun beliau sendiri mengakui tafarrud Abdurrahman bin Dinar dalam memarfu’kan hadits.

An-Nawawi rahimahullah berkata:

رواه أكثر الرواة عن أم سلمة موقوفاً عليها من قولها

“Kebanyakan perwawi meriwayatkan hadits itu dari Ummu Salamah secara mauquf, dari perkataan Ummu Salamah sendiri (bukan perkataan Nabi)” [Al-Majmuu’, 3/172]

Kesimpulannya, wanita boleh membuka telapak kakinya ketika shalat insya Allah, karena kelemahan hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha. Namun lebih utama untuk menutupnya, agar keluar dari perselisihan ulama. Dari sisi lain, shalat dengan telapak kaki yang terbuka bagi wanita adalah suatu yang sangat aneh di negeri kita.

Dari pengalaman pribadi, beberapa kerabat yang umrah dan haji mengeluhkan kepada saya tentang hal itu. Mereka merasa aneh saat melihat sebagian jamaah wanita di Masjid Nabawi shalat dengan telapak kaki yang terbuka. Demi menghindari perselisihan dan kesalahpahaman diantara kaum muslimin, maka tidak selayaknya seorang wanita shalat dengan membuka telapak kakinya, meskipun ia sendiri meyakini bolehnya.

Saya khawatir perbuatan itu termasuk menjauhkan para wanita muslimah dari dakwah salafiyyah yang diberkahi ini. Tentunya harus dipertimbangkan maslahat mafsadahnya. Jangan sampai perkara yang mubah menyebabkan Anda divonis sesat oleh yang lain, karena minimnya pengetahuan agama.

Allahua’lam, washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad


Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 21 Rai’uts Tsani 1437






[1] An-Nawawi rahimahullah  mengomentari  hadits tersebut:

رواه أبو داود بإسناد جيد

“Diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad yang baik” [Al-Majmuu’ Syarh Al-Muhadzab, 3/172]

[2] Dha’if Abu Daud, 1/222

[3] Al-Talkhiis Al-Habiir, 4/89

[4] Adz-Dzahabi rahimahullah berkata dalam Mizanul I’tidal:

كنيتها: أم حرام؛ ويقال: اسمها:
آمنة

“Nama kunyahnya adalah Ummu Haram, ada juga yang menyatakan bahwa namanya Aminah”

No comments:

Post a Comment