Monday, December 21, 2015

Zuhud Tidak Harus Berpakaian Lusuh

Sebagian orang memahami zuhud dengan artian yang sempit. Kata sebagian orang, zuhud adalah meniggalkan dunia, tidak hidup dalam kemewahan, memakai pakaian ala kadarnya dan makna yang semisal. Apakah memakai pakaian yang indah tidak termasuk makna zuhud?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

ومن لبس جميل الثياب إظهارا لنعمة الله واستعانة على طاعة الله كان مأجورا

"Barangsiapa yang memakai pakaian yang indah untuk menampakkan nikmat Allah, serta membantunya dalam melakukan ketaatan pada Allah, maka ia diberikan pahala" [Majmuu' Al-Fatawaa, 22/139]

Zuhud adalah meninggalkan segala sesuatu yang tidak bermanfaat untuk akhirat. Segala sesuatu yang mendatangkan pahala tentu sangat bermanfaat di akhirat, dan memakai pakaian indah dengan niat tersebut termasuk amal shalih yang mendatangkan pahala.

Menurut saya, orang yang berpakaian lusuh, justru ia tidak zuhud, karena ia tidak beramal dengan firman Allah ta'ala:

وأما بنعمة ربك فحدث

"Adapun nikmat dari Rabb-mu, ceritakanlah" [QS. Adh-Dhuhaa: 11]

Dalam ayat ini, Allah ta'ala memerintahkan kaum mukminin untuk menampakkan nikmat Allah, dan pakaian yang indah termasuk nikmat yang Allah anugrahkan kepada mereka.

Allah ta'ala juga berfirman:

يَا بَنِي آدَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ

"Wahai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah saat engkau memasuki masjid" [QS. Al-A'raaf: 31]

Ketika menafsirkan ayat di atas, Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata:

يستحب التجمل عند الصلاة، ولا سيما يوم الجمعة ويوم العيد، والطيب لأنه من الزينة، والسواك لأنه من تمام ذلك، ومن أفضل الثياب  البياض

“Disunahkan berhias (memakai pakaian yang indah), memakai parfum dan bersiwak saat hendak shalat, terutama hari Jum’at dan hari ‘Ied, karena hal itu termasuk keindahan dan kesempurnaan berhias. Diantara pakaian yang paling utama dipakai adalah pakaian yang berwarna putih…” [Tafsir Ibnu Katsir, 3/406]

Seorang yang zuhud dari pahala dan perintah Allah, bukanlah zuhud yang sebenar-benarnya...

Sunday, December 20, 2015

Suami Tidak Terbuka Tentang Masalah Penghasilan

Tanya:

Gimana jika suami kita selalu tidak jujur....masalah sekecil apapun itu kaya menyembunyikan sms siapa, telepon dari siapa, terus dia gak pernah terus terang sama istri berapa penadapatanya kalo ditanya selalu membantah....trus gantian istri yang kerja di luar suami. Selalu tanya pendapatan minta kiriman buat benahin rumah dll sedangkan dia gak mau jujur tentang pndptan yang dia hanya menunggu kiriman dr sya dan pdhal saya kerja bukan untuk benerin rumah sendri karna q punya anak yang harus q fikir masa depan nya dan dia selalu membedakan q sm istri temen y masalah uang....dia jg kaya gk bertggung jawab atas kesalahan q sellau lo ad mslh larinya ke orang tua saya trus sking q skit hati q mnta cerai dn dia tdk mau.... Tp menurut sy q gak pernah dibimbing sama dia dia diajak jamaah juga gak mau mementingkan sahabatnya dari pad q....

Jawab:

Saya memiliki beberapa catatan tentang kondisi rumah tangga ibu:

Pertama, hendaknya suami dan istri memiliki keterbukaan satu sama lain dalam berumah tangga. Hal itu akan menumbuhkan kepercayaan di hati pasangannya. Rumah tangga yang dibangun dengan sikap was-was, saling curiga, saling menutupi kesalahan, maupun kebohongan akan menuai banyak masalah. Kejujuran merupakan asas dalam kehidupan berumah tangga. Kejujuran, meskipun pahit dalam sebagian kondisi, tentu lebih baik daripada terus-menerus berbohong dan menutup-nutupi kesalahan. Ketahuilah bahwa kejujuran akan membawa kebaikan, dan kedustaan pasti akan terbongkar dengan berjalannya waktu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ صِدِّيقًا ، وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ ، وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ ، حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا

“Sesungguhnya kejujuran akan membawa pada kebaikan, dan kebaikan akan membimbing menuju surga. Sesungguhnya seseorang akan senantiasa berlaku jujur, hinga ia menjadi shiddiq. Sesungguhnya kebohongan akan membawa pada perbuatan dosa, dan perbuatan dosa akan membawa ke neraka. Sesungguhnya seorang akan senantiasa melakukan kebohongan, hingga ia ditulis di sisi Allah sebagai pendusta” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Kedua, mencari nafkah adalah kewajiban suami. Seorang suami dituntut memberikan nafkah berupa sandang, pangan dan papan untuk istri dan anak-anaknya sebatas kemampuannya. Suami tidak dibenarkan membebani istrinya dengan segala sesuatu yang di luar kewajibannya sebagai seorang istri. Inilah hikmah kenapa seorang suami dijadikan pemimpin dan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dalam rumah tangga, karena suami lah yang memberikan nafkah untuk istri, dan tidak sebaliknya.

Allah ta’ala berfirman:

الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِم

Laki-laki (suami) adalah pemimpin bagi kaum wanita (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (suami) di atas sebagian yang lain (istri). Dan karena mereka (suami) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka…” [QS. An-Nisaa’: 38]

Tafsir dari firman Allah “Dan karena mereka (suami) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”  adalah

المهر والنفقة عليهن

“Mahar dan nafkah suami kepada istrinya”. Demikian dinyatakan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma [Zaadul Masiir, 2/25]

Al-Imam Ibnu Jariir Ath-Thabari rahimahullah berkata:

"الرجال قوّامون على النساء"، الرجال أهل قيام على نسائهم، في تأديبهن والأخذ على أيديهن فيما يجب عليهن لله ولأنفسهم "بما فضّل الله بعضهم على بعض"، يعني: بما فضّل الله به الرجال على أزواجهم: من سَوْقهم إليهنّ مهورهن، وإنفاقهم عليهنّ أموالهم، وكفايتهم إياهن مُؤَنهنّ. وذلك تفضيل الله تبارك وتعالى إياهم عليهنّ، ولذلك صارُوا قوّامًا عليهن

Laki-laki merupakan pemimpin bagi para wanita”, karena laki-laki (suami) berkewajiban mengurus, mendidik dan membimbing istrinya untuk melaksanakan apa yang wajibkan untuk diri mereka dan untuk suami mereka.

Karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (suami) di atas sebagian yang lain (istri)” yaitu dalam hal membimbing istrinya, memberikan mahar dan nafkah dari harta suami guna mencukupi kebutuhan istrinya. Hal itu merupakan keutamaan yang Allah anugrahkan kepada laki-laki, hingga pantaslah mereka menjadi pemimpin kaum wanita…” [Tafsir Ath-Thabari, 8/290]

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata:

يخبر تعالى أن الرِّجَال { قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ } أي: قوامون عليهن بإلزامهن بحقوق الله تعالى، من المحافظة على فرائضه وكفهن عن المفاسد، والرجال عليهم أن يلزموهن بذلك، وقوامون عليهن أيضا بالإنفاق عليهن، والكسوة والمسكن

“Allah ta’ala mengabarkan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita, yaitu kepemimpinan mereka dalam membimbing wanita menegakkan hak-hak Allah ta’ala berupa perintah agar wanita menjaga kewajibannya dan melarang wanita dari perbuatan yang menjurus pada kerusakan. Demikian pula karena kepemimpinan laki-laki dalam pemberian nafkah, pakaian dan tempat tinggal” [Taisiir Kariimir Rahmaan, 1/177]

Boleh saja jika istri ingin membantu suami mencari penghasilan, namun dengan catatan tidak menyelisihi syariat dalam pekerjaannya, serta tidak melalaikan kewajibannya dalam mengurus suami dan anak-anak.

Ketiga, sikap sebagian suami yang tidak terbuka dalam masalah penghasilan, saya kira tidak perlu disalahkan. Sebagian suami lebih tahu tentang sifat dan karakter istrinya. Mungkin ia khawatir, apabila ia terbuka pada istrinya dalam masalah penghasilan, istrinya akan banyak menuntut dan menghabiskan seluruh hasil jerih payahnya, padahal ia ingin menyisihkan sedikit penghasilannya untuk menabung.

Sifat dan karakter istri bermacam-macam, ada tipe wanita yang suka berfoya-foya, ia gemar membelanjakan penghasilan suaminya dalam hal-hal yang tidak bermanfaat. Adapula tipe wanita yang qana’ah dan bijaksana, ia sangat berhati-hati dalam membelanjakan uang yang diamanahkan kepadanya. Tidak terbuka dalam masalah nafkah, ada sisi positif dan negatifnya, tergantung kondisi masing-masing keluarga, Anda dan suami Anda lebih tahu.

Keempat, masalah intern rumah tangga, sebaiknya diselesaikan di dalam, tidak perlu melibatkan orang luar, baik orang tua, mertua, saudara maupun kawan. Berdasarkan pengalaman, keterlibatan orang luar justru akan memperkeruh suasana. Apa jadinya kalo suami mengadukan istri kepada orang tuanya, dan istri mengadukan suaminya keapada orang tuanya (mertua suami). Masing-masing menceritakan aib dan kekurangan yang dimiliki pasangannya. Hal itu akan merusak hubungan baik antar dua keluarga dan menumbuhkan kesan negatif. Wibawa suami akan jatuh di hadapan mertuanya, demikian pula kehormatan istri akan jatuh di hadapan orang tua suami.   

Kelima, tidak dibenarkan bagi suami atau istri membanding-bandingkan pasangannya dengan pasangan orang lain. Misalkan membandingkan istrinya dengan istri temannya atau membandingkan suaminya dengan suami saudaranya. Karena hal itu akan menyakitkan hati pasangannya. Tidak ada laki-laki atau wanita yang sempurna di dunia ini. Setiap suami atau istri pasti memiliki kekurangan. Kita harus bijak dalam menyikapi kekurangan suami atau istri kita.

Gunakan cara yang baik dalam menasehati pasangan Anda. Anda bisa meminta suami mendengarkan ceramah bermanfaat tentang nasehat rumah tangga oleh ustadz yang berkompeten di bidangnya atau Anda bisa membeli buku panduan menjadi suami atau istri idaman dalam Islam atau dengan judul yang semisal. Anda dan suami membaca buku itu bersama-sama saat ada waktu luang, kemudian introspeksi kesalahan-kesalahan tersebut dalam pribadi masing-masing, setelah itu keduanya berusaha mengoreksi dan memperbaiki kekurangannya. Carilah waktu yang tepat dalam menyampaikan nasehat.

Allahua’lam, ini pandangan saya pribadi dalam masalah tersebut, semoga bermanfaat.


Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 9 Rabi’ul Awwal 1437

Saturday, December 12, 2015

Menunggu Antrian di Rumah Sakit Udzur Meninggalkan Shalat Berjama'ah?

Tanya:

Saat aku sedang menunggu antrian di rumah sakit, terdengar iqamat shalat. Apabila aku pergi ke masjid menunaikan shalat berjam’ah, giliranku akan terlewat. Apakah aku boleh meninggalkan shalat berjama’ah?

Jawab:

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata:

لا بأس هذا يعذر بترك الجماعة، هذا الذي ينتظر دوره كما قلت يعذر بترك الجماعة؛ لأنه إذا ذهب يصلي فهو أولا سيصلي وفكره مشغول، أليس كذلك؟ وثانيا: أنه يلحقه ضرر وربما يكون جاء من مسافة بعيدة، فهنا يعذر بترك الجماعة، والإنسان إذا قدم عشاؤه أو غداؤه قلنا له: اجلس وتعش براحة وطمأنينة ولو فاتتك الصلاة، و ابن عمر رضي الله عنهما كان يتعشى في بيته وهو يسمع قراءة الإمام، مع أن عبد الله بن عمر من أشد الناس ورعا والتزاما بالسنة ومع ذلك يتعشى والإمام يصلي، امتثالا لقول الرسول عليه الصلاة والسلام: ( لا صلاة بحضرة طعام ولا وهو يدافعه الأخبثان )

“Tidak apa-apa, ini termasuk udzur meninggalkan shalat berjama’ah. Menunggu gilirannya dalam antrian sebagaimana yang kau katakan, termasuk udzur meninggalkan shalat berjama’ah. Sebab apabila ia pergi untuk shalat akan mengakibatkan beberapa hal:

Pertama, ia memang akan shalat, namun pikirannya terganggu, bukankah demikian?

Kedua, hal itu dapat menyebabkan mudharat dan barangkali ia datang ke rumah sakit menempuh jarak yang cukup jauh. Oleh karena itu, ia diberi udzur meninggalkan shalat berjama’ah. Saat makan malam atau makan siang telah dihidangkan pada seseorang, kita akan berkata kepadanya: duduk, makanlah dengan nyaman dan tenang, meskipun kau akan terlewatkan shalat berjama’ah.[1]

Dahulu Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma tetap makan malam di rumahnya, padahal ia mendengar imam shalat sedang membaca Al-Qur’an. Abdullah bin Umar adalah diantara sahabat nabi yang paling wara' dan paling berpegang pada sunah nabi, namun beliau tetap melanjutkan makan malam dalam keadaan imam telah melaksanakan shalat, sebagai pengamalan terhadap ucapan rasul shallallahu ‘alaihi waasallam:

لا صلاة بحضرة طعام ولا وهو يدافعه الأخبثان

“Tidak sempurna shalat dalam keadaan makan dihidangkan, tidak pula sempurna shalat dalam keadaan ia menahan dua hadats”[2] [3][Liqaa Al-Baab Al-Maftuuh, 170/22]






[1] Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata:

فالمسلم إذا حضر الطعام ينبغي له أن يبدأ بالطعام حتى لا تشوش في صلاته فيبدأ بالطعام حتى يتفرغ للصلاة وحتى يصليها بقلبٍ حاضر وبخشوع، هذا من تعظيم الصلاة

“Saat seorang muslim dihidangkan makanan, semestinya ia mendahulukan makan agar hal itu tidak mengganggu shalatnya. Ia mendahulukan makan hingga dirinya benar-benar siap untuk shalat, agar  ia shalat dengan hati yang tenang dan khusyu’. Ini merupakan bentuk ta’zhim (penghormatan) terhadap shalat…” [https://www.binbaz.org.sa/node/14678]

[2] HR. Muslim no. 560, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha

[3] An-Nawawi rahimahullah berkata:

فِي هَذِهِ الْأَحَادِيث كَرَاهَة الصَّلَاة بِحَضْرَةِ الطَّعَام الَّذِي يُرِيد أَكْله ، لِمَا فِيهِ مِنْ اِشْتِغَال الْقَلْب بِهِ ، وَذَهَاب كَمَالِ الْخُشُوع ، وَكَرَاهَتهَا مَعَ مُدَافَعَة الْأَخْبَثِينَ وَهُمَا : الْبَوْل وَالْغَائِط

“Hadits-hadits ini menunjukkan makruhnya shalat dalam keadaan makanan yang ingin ia santap telah dihidangkan, karena hal itu dapat mengganggu pikirannya dan menghilangkan kesempurnaan khusyu’. Demikian pula makruh hukumnya saat ia menahan dua hadats yaitu kencing dan buang air besar” [Syarh Muslim hadits no. 560]

Friday, December 11, 2015

Apakah Disunahkan Memakai Tongkat Saat Berkhutbah?

Para ulama memiliki tiga pendapat dalam permasalahan ini:

Pertama, disunahkan bersandar kepada sesuatu saat berkhutbah, misalkan bersandar pada tongkat, pedang, tombak atau yang semisalnya. Ini merupakan pendapat jumhur ulama dari kalangan Malikiyyah[1], Hanabilah[2] dan Syafi’iyyah[3].

Al-Imam Malik rahimahullah berkata:

وذلك مما يستحب للأئمة أصحاب المنابر ، أن يخطبوا يوم الجمعة ومعهم العصي يتوكؤون عليها في قيامهم ، وهو الذي رَأَيْنا وسَمِعْنا

“Diantara perkara yang disunahkan bagi imam dan juru khutbah adalah khutbah Jum’at dengan bersandar pada tongkat saat ia berdiri. Hal ini berdasarkan apa yang kami lihat dan kami dengar (amalan ahlul-madinah)” [Al-Mudawwanah Al-Kubraa, 1/151]

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

أحب لكل من خطب - أيَّ خطبة كانت - أن يعتمد على شيء

“Aku menyukai jika setiap orang yang berkhutbah (dalam khutbah apapun) bersandar pada sesuatu” [Al-Umm, 1/272]

Ibnu Qudamah Al-Hambali rahimahullah berkata:

وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَعْتَمِدَ عَلَى قَوْسٍ ، أَوْ سَيْفٍ ، أَوْ عَصًا ؛ لِمَا رَوَى الْحَكَمُ بْنُ حَزْنٍ الْكُلَفِي

“Disunahkan bersandar pada busur panah, pedang atau tongkat (saat berkhutbah) berdasarkan riwayat Al-Hakam bin Hazn Al-Kulafi…” [Al-Mughniiy, 4/126]

Al-Bahuutiy Al-Hambali rahimahullah berkata:

ويسن أن يعتمد على سيف أو قوس أو عصا بإحدى يديه

“Disunahkan bersandar pada pedang, busur panah atau tongkat dengan salah satu tangannya (saat berkhutbah)” [Kasyful Qina’, 2/36]

Dalil yang dipakai pendapat ini adalah hadits Al-Hakam bin Hazn radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

شهدنا فيها الجمعة مع رسول الله صلى الله عليه وسلم فقام متوكئا على عصا أو قوس فحمد الله وأثنى عليه

“Pada hari itu kami menyaksikan shalat Jum’at bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau berdiri (berkhutbah) bersandar pada tongkat atau busur panah, kemudian beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya…” [HR. Abu Daud no. 1096, Ahmad (4/212), Al-Baihaqi (3/206), dihasankan oleh An-Nawawi[4] dan Al-Albani[5]]

Kedua, makruh bersandar pada sesuatu saat berkhutbah. Ini merupakan pendapat sebagian ulama Hanafiyyah.

Disebutkan dalam salah satu kitab mu’tamad dalam madzhab Hanafi:

ويكره أن يخطب متكئا على قوس أو عصا

“Dimakruhkan berkhutbah dengan bersandar pada busur panah atau tongkat” [Al-Fatawa Al-Hindiyyah, 1/148]

Ketiga, disunahkan bersandar pada tongkat atau busur panah jika memang diperlukan. Apabila tidak diperlukan, tidak disunahkan. Ini merupakan pendapat Ibnul Qayyim dan Ibnu Utsaimin

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

وإنما كان يعتَمِد على قوس أو عصاً قبل أن يتَّخذ المنبر ، وكان في الحرب يَعتمد على قوس ، وفي الجمعة يعتمِد على عصا

“Nabi pernah (berkhutbah) bersandar pada busur panah atau tongkat sebelum dibangun mimbar. Dalam keadaan perang, beliau bersandar pada busur panah dan dalam khutbah Jum’at, beliau bersandar pada tongkat”

فإنه لا يُحفظ عنه بعد اتخاذ المنبر أنه كان يرقاه بسيف ، ولا قوس ، ولا غيره

“Tidak diriwayatkan dari nabi bahwa beliau bersandar pada pedang, busur panah atau selainnya setelah dibangun mimbar” [Zaadul Ma’aad, 1/429]

Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata:

أن الاعتماد إنما يكون عند الحاجة ، فإن احتاج الخطيب إلى اعتماد ، مثل أن يكون ضعيفاً يحتاج إلى أن يعتمد على عصا فهذا سنة ؛ لأن ذلك يعينه على القيام الذي هو سنة ، وما أعان على سنة فهو سنة ، أما إذا لم يكن هناك حاجة ، فلا حاجة إلى حمل العصا

“Bersandar pada sesuatu hanyalah dilakukan saat diperlukan. Apabila khatib membutuhkan sesuatu untuk bersandar, misalkan ia lemah sehingga butuh bersandar pada tongkat. Jika keadaannya demikian, maka hukumnya sunah, karena hal itu membantunya berdiri yang merupakan sunah khutbah. Segala sesuatu yang dapat membantu diterapkannya sunah, juga dihukumi sunah. Adapun apabila tidak diperlukan, maka tidak perlu menggunakan tongkat” [Asy-Syarhul Mumti’, 5/63]

Tarjih

Saya pribadi lebih condong kepada pendapat pertama yaitu pendapat jumhur ulama, sebagai pengamalan terhadap hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun pendapat ketiga yang membedakan antara sebelum dan sesudah dibangunnya mimbar, saya belum mengetahui dalil yang membedakan demikian. Hukum asal dari perbuatan nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hal ibadah adalah sunah. Umat Islam disyariatkan meneladani perbuatan nabi dalam tata cara pelaksanaan ibadah.

Guru kami Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah berkata:

واعتماد الخطيب على عصا لا شك في أنه اقتداء برسول الله صلى الله عليه وسلم، ويمكن للخطيب أن يستند على المنبر،

“Tidak diragukan lagi bahwa perbuatan khatib bersandar pada tongkat merupakan bentuk meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Boleh pula bagi khatib bersandar pada mimbar.

والاقتداء بالنبي صلى الله عليه وسلم فيه الخير والبركة. والاعتماد على السيف أو القوس كل ذلك مثل الاعتماد على العصا يحصل به المقصود، والقول بأنَّ الرسول صلى الله عليه وسلم فعله للحاجة ليس هناك شيء يدل عليه

“Meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan membuahkan kebaikan dan barakah. Bersandar pada pedang atau busur panah, hukumnya semisal dengan tongkat, karena tujuan juga dapat tercapai dengan hal itu. Pendapat yang menyatakan bahwa Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersandar pada tongkat hanya ketika  diperlukan, tidak ada dalil yang menunjukkan demikian”

Alasan lain adalah sebagaimana dijelaskan oleh Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah:

وذلك ليكون أسكن له، وأدعى إلى عدم حركته وحركة يده، وأيضاً ليتكئ عليها، وفي ذلك تخفيف عليه من طول قيامه

“Hal itu lebih membuatnya tenang, menyebabkan khatib tidak banyak bergerak dan tidak banyak menggerakkan tangannya. Demikian pula ia bisa bersandar, agar beban ketika ia lama berdiri menjadi lebih ringan” [Syarh Sunan Abi Daud bab (باب الرجل يخطب على قوس) hadits no. 1096]

Allahua’lam, semoga bermanfaat


Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 29 Shafar 1437







[1] Jawahirul Ikliil, 1/97 dan  Hasyiyah Ad-Dasuuqiy, 1/382

[2] Al-Inshaaf, 2/397

[3] Nihayaatul Muhtaaj, 2/326 dan Hasyiyah Qalyuubiy, 1/272

[4] Al-Majmuu’ Syarh Al-Muhadzab, 4/526

[5] Dha’if Abu Daud, 3/96

Bolehkah Mempertahankan Istri yang Selingkuh?

Tanya:

Ass Wr Wb. langsung saja pertanyaan : "Bagaimana pandangan Islam. jika istri telah mengulangi perbuatan Zina. Pertama thun 2010 istri pernah melakukan selingkuh/Zina selama 1 thun dan istri sempat ajukan gugatan cerai tanpa spengetahuan suami dan vonis cerai tp suami tdak terima cerai dan memaafkan hdup tetap 1 rmah sperti biasa. Pd bulan Maret 2015 smpai sekrang istri mengulangi lagi selingkuh dan berzina. Jadi bagaimana pandangan islam tindakan suami tdak menceraikan istri? Terima kasih.

Jawab:

Wa'alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh,

Jika memang tuduhan zina yang dialamatkan kepadanya terbukti atau ia sendiri telah mengakui, namun ia masih saja mengulangi perbuatannya dan enggan bertaubat dari selingkuh, maka wanita macam itu tidak pantas menjadi istri Anda.

Allah mengharamkan laki-laki yang beriman menikah dengan wanita pezina. Allah ta'ala berfirman:

وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِين

"Wanita pezina tidak menyetubuhinya kecuali laki-laki pezina atau laki-laki musyrik. Hal yang demikian itu (menikahi wanita pezina) diharamkan bagi orang-orang yang beriman" [QS. An-Nuur: 3]

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menukil perkataan ulama ahli tafsir ketika menafsirkan ayat di atas. Qatadah dan Muqatil bin Al-Hayyan rahimahumallah berkata:

حرم الله على المؤمنين نكاح البغايا

"Allah telah mengharamkan laki-laki beriman menikahi wanita-wanita pezina" [Tafsir Ibnu Katsir, 6/9]

Untuk apa mempertahankan wanita itu, bukankah ia akan terus menyakiti hati Anda? Apakah ia mau mengerti penderitaan yang Anda rasakan selama ini? Wanita macam itu tidak akan berhenti memuaskan nafsunya. Mungkin ia akan berhenti selingkuh dan meminta maaf, tapi itu hanya sementara, kalo ada kesempatan lain, ia akan mengulanginya lagi.

Bukankah tujuan Anda menikah adalah memperoleh ketenangan, ketentraman dan kebahagiaan hidup bersama istri dan anak-anak Anda? Hal itu mustahil diwujudkan jika Anda masih terus bersamanya. Satu-satunya solusi yang tepat adalah cerai.

Barangkali Anda masih mencintainya. Tapi ingatlah, cinta itu hanya membawa petaka dalam hidup Anda. Di dunia, Anda merasakan kegelisahan dan sengsara hidup bersamanya, dan di akhirat Anda terancam dengan hadits nabi berikut.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

ثلاثة حرم الله عليهم الجنة: مدمن الخمر، والعاق، والدَّيُّوث الذي يقر في أهله الخبث

"Tiga model manusia yang Allah haramkan surga atas mereka; pecandu khamr (segala sesuatu yang memabukkan), anak yang durhaka dan suami yang rela melihat perbuatan keji istrinya" [HR. Ahmad, 2/69 dan Al-Haitsami, 8/47]

Meskipun meninggalkan orang yang kita cintai itu pahit, namun insya Allah itu yang terbaik. Allah ta'ala berfirman:

وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُون

"Barangkali kalian membenci sesuatu, padahal hal itu baik bagi kalian. Dan barangkali kalian mencintai sesuatu, padahal hal itu buruk bagi kalian. Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak tahu" [QS. Al-Baqarah: 216]

Wanita lain yang lebih cantik, lebih shalihah dan lebih setia di dunia ini masih banyak. Jika Anda menceraikannya karena Allah, niscaya Allah akan menggantikannya dengan istri yang jauh lebih baik darinya. Tunggulah, kelak akan datang wanita yang mau mencintai Anda sepenuh hati, setia dan tentunya memiliki akhlak perilaku yang baik insya Allah. Yakinlah akan janji Rasulullah shallallahu 'alahi wasallam berikut:

إنك لن تدع شيئًا لله - عز وجل - إلا بدّلك الله به ما هو خير لك منه

"Sesungguhnya tidaklah engkau meninggalkan sesuatu karena Allah 'azza wajalla, melainkan Allah akan menggantikannya untukmu dengan sesuatu yang lebih baik darinya" [HR. Ahmad dalam Al-Musnad 5/87, Al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman no. 5748 dan dishahihkan oleh Al-Albani]

Semoga Allah melapangkan hati kita dan memberikan jalan keluar dari setiap masalah yang kita hadapi, innahu waliyyu dzalika wal qadiru ‘alaih


Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 29 Shafar 1437 H