Thursday, October 29, 2015

Dialog Ringan Bersama Kyai Idrus Ramli (Mana Dalilnya Komposisi Bacaan Tahlilan)

WAHABI: “Apa dalil yang Anda gunakan dalam Tahlilan, sehingga komposisi bacaannya beragam atau campuran, ada dzikir, ayat-ayat al-Qur’an, sholawat dan lain-lain?”

ASWAJA: “Mengapa Anda menanyakan dalil? Apa pentingnya dalil bagi Anda, sedang Anda tidak mau Tahlilan?”

WAHABI: “Kalau Tahlilan tidak ada dalilnya berarti bid’ah donk. Jangan Anda lakukan!”

ASWAJA: “Sekarang saya balik tanya, adakah dalil yang melarang bacaan campuran seperti Tahlilan?”

Sunday, October 25, 2015

Tips Agar Rumah Tangga Anda Langgeng

Tidak sedikit kasus perceraian yang disebabkan oleh sifat emosional salah satu dari kedua mempelai, entah suami yang temperamen atau istri. Bahkan hal sepele pun bisa berujung perceraian. Berikut sedikit solusi agar rumah tangga Anda langgeng.

Saturday, October 24, 2015

Definisi Mumayyi’ (Bermanhaj Lembek) Menurut Asy-Syaikh Rabi’

Asy-Syaikh Prof. Dr. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah berkata:

أمَّا المُميّع فهو الذي أصوله فاسدةٌ أصلاً و يلبس ثوب السلفية و يتظاهر بذلك ،و هو يعتقد أن منهج أهل السَّنة و اسعٌ يسع حتى الإخوان و التبيلغ و غيرهم و أنهم من أهل السّنة، و يسعى في تقرير ذلك بين السلفيين بتأصيلات و قواعد باطلة ، فهو يريد أن يهدم السور الواقي بين السلفيين و أهل البدع ، أن يهدم البراء من أهل البدع بقواعد فاسدة

“Adapun mumayyi’, ia adalah seorang yang pada asalnya memiliki ushul (aqidah) yang rusak, memakai pakaian salafiyyah dan menampakkan dirinya sebagai seorang salafi. Ia meyakini bahwa manhaj ahlus-sunnah sangat luas, mencakup di dalamnya Ikhwanul Muslimin, Jama’ah Tabligh dan selain mereka, ia mengatakan kelompok sesat tersebut termasuk ahlus-sunnah. Ia berupaya memasukkan kaidah-kaidah batil itu ke dalam barisan salafiyyin. Ia ingin meruntuhkan perbedaan antara salafiyyin dan ahlul-bid’ah, ia ingin merobohkan aqidah al-bara' (berlepas diri) dari ahlul-bid’ah dengan menggunakan kaidah-kaidah batil…” [Situs Sahab.net]

Jika melihat dari keterangan Asy-Syaikh Rabi’ tentang definisi mumayyi’, terdapat beberapa point yang menjadi ciri khas mereka, diantaranya:

Friday, October 23, 2015

Kenapa Ulama Kibar Tidak Boleh Divonis Mubtadi' atau Ditahdzir?

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

ومن له علم بالشرع والواقع يعلم قطعا أن الرجل الجليل الذي له في الإسلام قدم صالح وآثار حسنة وهو من الإسلام وأهله بمكان قد تكون منه الهفوة والزلة هو فيها معذور بل ومأجور لاجتهاده فلا يجوز أن يتبع فيها ولايجوز أن تهدر مكانته وإمامته ومنزلته من قلوب المسلمين

"Barangsiapa yang memiliki ilmu syariat, secara fakta diketahui dengan pasti bahwa laki-laki yang mulia tersebut memiliki jasa besar dan pengaruh yang baik dalam Islam, serta memiliki kedudukan dalam Islam dan (di hati) kaum muslimin. Terkadang ia terjatuh dalam kesalahan dan ketergelinciran, ia diberikan udzur atas kesalahannya, bahkan ia memperoleh pahala karena ijtihadnya. Kesalahannya tidak boleh diikuti. Kemuliaan, keimaman dan kedudukannya di hati kaum muslimin tidak boleh dirusak" [I'lamul Muwaqi'in, 3/283]

Berikut beberapa ulama kibar di masa kita yang saya ketahui:

Thursday, October 22, 2015

Tips Agar Aib dan Kekuranganmu Tidak Tersebar

Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu berkata:

كان بالمدينة أقوام لهم عيوب فسكتوا عن عيوب الناس فأسكت الله الناس عنهم عيوبهم فماتوا ولا عيوب لهم

"Dahulu di Madinah terdapat suatu kaum yang memiliki banyak aib, mereka diam (tidak membicarakan) aib-aib manusia. Maka Allah menjadikan manusia diam terhadap aib mereka. Kemudian mereka mati dalam keadaan tidak memiliki aib (yang diketahui)" [Al-Firdaus bi Ma'tsur Al-Khitab no. 4830]

Al-Imam Malik rahimahullah berkata:

ادركت اقواما كانت لهم عيوب، فسكتوا عن عيوب الناس فسكت الناس عن عيوبهم، وادركت اقواما، لم تكن لهم عيوب، فتكلموا في الناس، فأحدث الناس لهم عيوبا

"Aku mendapati suatu kaum yang dahulu mereka memiliki aib dan kekurangan. Mereka diam (tidak membicarakan) aib-aib manusia, maka manusia pun diam terhadap aib-aib mereka.

Aku juga mendapati suatu kaum yang dahulu tidak memiliki aib dan kekurangan, kemudian mereka membicarakan (aib) manusia. Maka Allah mendatangkan aib bagi mereka" [Bada'ius Salik fi Thaba'i Al-Malik, 1/285]

Syadzan Al-Madani rahimahullah berkata:

 رأيت أقواما من الناس لهم عيوب فسكتوا عن عيوب الناس فستر الله عيوبهم وزالت عنهم تلك العيوب ورأيت أقواما لم تكن لهم عيوب اشتغلوا بعيوب الناس فصارت لهم عيوب

"Aku melihat suatu kaum dari manusia yang memiliki aib-aib, kemudian mereka diam (tidak membicarakan) aib manusia, maka Allah menutup aib dan kekurangan mereka. Aib tersebut senantiasa ada pada mereka

Aku juga melihat suatu kaum yang tidak nampak memiliki aib dan kekurangan, kemudian mereka sibuk membicarakan aib manusia, maka nampaklah aib-aib mereka" ['Uyubun Nafs, 1/13]


Sungguh benar sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:

من ستر مسلما ستره الله

“Barangsiapa menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya.” [HR. Al-Bukhari no. 2442 dan Muslim no. 2580]

Allahua'lam, semoga bermanfaat

Thursday, October 15, 2015

Perselisihan Ulama Tentang Ucapan Selamat Tahun Baru Hijriyah

Para ulama berselisih tentang hukumnya, sebagian ulama membolehkan ucapan tahun baru hijriyah karena hal itu termasuk dalam kebiasaan dan adat yang tidak bertentangan dengan syariat. Sebagian ulama yang lain melarangnya, karena perbuatan tersebut tidak disyariatkan dan tidak dicontohkan oleh salaf. Berikut beberapa fatwa ulama dalam masalah ini:

Pendapat Ulama yang Melarang

Para ulama Al-Lajnah Ad-Da’imah yang beranggotakan Asy-Syaikh Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid dan Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan pernah ditanya dengan pertanyaan berikut:

هل يجوز تهنئة غير المسلمين بالسنة الميلادية الجديدة ، والسنة الهجرية الجديدة ، ومولد النبي صلى الله عليه وسلم ؟

“Apakah boleh mengucapkan tahni’ah dalam (peringatan-peringatan) yang bukan berasal dari kaum muslimin, seperti peringatan tahun baru masehi, tahun baru hijriyah dan maulid nabi shallallahu ‘alaihi wasallam?

Para ulama Al-Lajnah Ad-Da’imah menjawab:

لا تجوز التهنئة بهذه المناسبات ؛ لأن الاحتفاء بها غير مشروع

“Tidak diperbolehkan mengucapkan tahni’ah dalam momen-momen tersebut, karena merayakan momen-momen itu tidak disyariatkan” [Fatawa Al-Lajnah, 1/454 no. 20.795]

Pendapat Ulama yang Membolehkan

Al-Hafizh As-Suyuthi rahimahullah berkata:

ورأيتُ - فيما نقل من فوائد الشيخ زكي الدين عبد العظيم المنذري - أنَّ الحافظ أبا الحسن المقدسيَّ سُئل عن التهنئة في أوائل الشهور والسنين: أهو بدعة أم لا؟

فأجاب بأن الناس لم يزالوا مُختلفين في ذلك، قال: والذي أراه أنه مباح؛ ليس بسُنة، ولا بدعة

“Aku melihat –dari apa yang dinukilkan dari faidah Asy-Syaikh Zakiyuddin Abdul Azhim Al-Mundziri- bahwa Al-Hafizh Abul-Hasan Al-Maqdisi pernah ditanya tentang tahni’ah (doa ucapan selamat) dalam permulaan bulan dan tahun, apakah hal itu termasuk bid’ah?

Kemudian beliau menjawab, manusia (para ulama) selalu berselisih dalam masalah tersebut. Beliau berkata: “Aku berpendapat hal itu termasuk perkara yang boleh, bukan sunah, bukan pula bid’ah” [Wushulul Amaniy]

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata:

مسألة التهنئة بالعام الجديد وما أشبهها مبنية على أصل عظيم نافع وهو أن الأصل في جميع العادات القولية والفعلية الإباحة والجواز فلا يحرم منها ولا يكره إلا ما نهى عنه الشارع أو تضمن مفسدة شرعية وهذا الأصل الكبير قد دل عليه الكتاب والسنة في مواضع وذكره شيخ الإسلام ابن تيمية وغيره

فهذه الصور المسؤول عنها وما أشبههامن هذا القبيل فإن الناس لم يقصدوا التعبد بها وإنما هي عوائد وخطابات وجوابات جرت بينهم في مناسبات لا محذور فيها بل فيها مصلحة دعاء المؤمنين بعضهم لبعض بدعاء مناسب وتألف القلوب كما هو مشاهد

أما الإجابة لمن هنأ بالعام الجديد فالذي نرى أنه بجب عليه أن يجيبه بالجواب المناسب مثل الأجوبة بينهم لأنها من العدل ولأن ترك الإجابة يوغر الصدور ويشوس الخواطر

“Masalah tahni’ah (doa ucapan selamat) tahun baru dan yang semisalnya, hal itu dibangun di atas kaidah yang agung yaitu hukum asal seluruh adat dan kebiasaan, baik dalam bentuk perkataan maupun perbuatan adalah boleh. Tidak dihukumi haram ataupun makruh kecuali jika syariat melarangnya atau mengandung kerusakan secara syar’i. Pokok kaidah agung ini ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam banyak tempat. Demikian pula disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan ulama yang lain.

Gambaran permasalahan yang ditanyakan itu termasuk dalam kaidah ini, karena manusia tidak mengucapkan tahni’ah dengan tujuan ibadah. Hal itu hanyalah teranggap sebagai bentuk interaksi dan komunikasi diantara mereka pada momen-momen tertentu. Tidak ada pelanggaran syariat di dalamnya, bahkan di sana terdapat maslahat yaitu doa sebagian mukminin kepada mukminin yang lain dengan doa-doa yang baik. Hal itu dapat menumbuhkan kecintaan dalam hati sebagaimana yang kita saksikan.

Adapun tentang hukum menjawab bagi orang yang diberi ucapan tahni’ah (doa selamat) tahun baru, kami berpendapat ia wajib menjawab doa tersebut dengan doa yang baik, seperti yang biasa mereka lakukan, karena hal itu termasuk perbuatan adil. Alasan lain, karena tidak menjawab tahni’ah menyebabkan kebencian dalam hati dan merusak tatanan persaudaraan” [Al-Majmu’ah Al-Kamilah li Muallafat As-Sa’di hal. 348]

Bahkan Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah telah mengamalkan apa yang beliau fatwakan. Pada permulaan tahun 1367 H, Asy-Syaikh Sa’di mengucapkan tahni’ah tahun baru kepada murid kesayangan beliau, Asy-Syaikh Abdullah bin Aqil rahimahullah.

Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata:

نهنئكم بالعام الجديد جدد الله علينا وعليكم النعم ودفع عنا وعنكم النقم

“Kami mengucapkan selamat tahun baru, semoga Allah senantiasa menambah nikmat-Nya dan menghindarkan berbagai musibah pada kita…” [Surat Asy-Syaikh Sa’di kepada Asy-Syaikh Al-Aqil]

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata:

فالتهنئة بالعام الجديد لا نعلم لها أصلاً عن السلف الصالح، ولا أعلم شيئاً من السنة أو من الكتاب العزيز يدل على شرعيتها، لكن من بدأك بذلك فلا بأس أن تقول وأنت كذلك إذا قال لك كل عام وأنت بخير أو في كل عام وأنت بخير فلا مانع أن تقول له وأنت كذلك نسأل الله لنا ولك كل خير أو ما أشبه ذلك أما البداءة فلا أعلم لها أصلاً

“Kami tidak mengetahui adanya asal dari As-Salafus Shalih tentang ucapan tahni’ah (doa selamat) tahun baru, aku juga tidak mengetahui dalil dari As-Sunnah dan Al-Qur’an Al-Aziz yang menunjukkan disyariatkannya hal itu. Namun siapa yang memulai ucapan selamat kepadamu, tidak apa-apa engkau membalasnya dengan ucapan “semoga engkau juga demikian”. Apabila dikatakan kepadamu “semoga setiap tahun Anda berada dalam kebaikan”, tidak masalah jika engkau membalasnya dengan ucapan “semoga engkau juga demikian, kita memohon kepada Allah setiap kebaikan” atau ucapan yang semisal. Adapun memulai ucapan selamat, aku tidak mengetahui dalil yang melandasinya” [http://www.binbaz.org.sa/node/10042]

Dalam fatwa di atas, Asy-Syaikh Ibnu Baz tidak membid’ahkan ucapan tahni’ah tahun baru, padahal biasanya beliau sangat tegas mengingkari berbagai kebid’ahan. Seandainya beliau membid’ahkan ucapan tahni’ah tahun baru, kenapa beliau membolehkan seorang muslim membalas ucapan tahni’ah dengan doa? Hal ini menunjukkan bahwa perkara ini bukan bid’ah menurut Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah, Allahua'lam

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata:

أرى أن بداية التهنئة في قدوم العام الجديد لا بأس بها ولكنها ليست مشروعة بمعنى: أننا لا نقول للناس: إنه يسن لكم أن يهنئ بعضكم بعضاً، لكن لو فعلوه فلا بأس، وإنما ينبغي له أيضاً إذا هنأه في العام الجديد أن يسأل الله له أن يكون عام خيرٍ وبركة فالإنسان يرد التهنئة. هذا الذي نراه في هذه المسألة، وهي من الأمور العادية وليست من الأمور التعبدية

“Aku berpendapat memulai tahni’ah (doa ucapan selamat) tahun baru tidak apa-apa, meskipun hal itu tidak disyariatkan. Maksudnya, kami tidak menyatakan disunahkannya tahni’ah sebagian kalian kepada yang lain. Namun tidak apa-apa jika mereka melakukannya. Apabila ia memberi ucapan tahni’ah tahun baru, semestinya ia memohon kepada Allah agar tahun ini memperoleh kebaikan dan barakah. Seorang yang diberi tahni’ah harus menjawab ucapan doanya. Ini pendapat kami dalam masalah ini. Ucapan tahni’ah termasuk kebiasaan dan adat, bukan termasuk perkara ibadah” [Liqa Al-Bab Al-Maftuh, Kamis 25 Dzulhijjah 1415, pertemuan ke 93]

Asy-Syaikh Abdul Karim Al-Khudhair hafizhahullah berkata:

الدعاء للمسلم بدعاء مطلق لا يتعبد الشخص بلفظه في المناسبات كالأعياد لا بأس به لاسيما إذا كان المقصود من هذه التهنئة التودد ، وإظهار السرور والبشر في وجه المسلم . قال الإمام أحمد رحمه الله : لا ابتدئ بالتهنئة فإن ابتدأني أحد أجبته لأن جواب التحية واجب وأماالابتداء بالتهنئة فليس سنة مأمورا بها ولا هو أيضا مما نهي عنه

“Mendoakan seorang muslim dengan doa mutlak tanpa disertai niat ibadah dalam momen-momen tertentu seperti hari ‘ied adalah perkara yang boleh. Apalagi jika tujuan dari ucapan tahni’ah ini  untuk menumbuhkan kecintaan, menampakkan kebahagiaan dan kabar gembira kepada seorang muslim. Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Aku tidak memulai ucapan tahni’ah. Apabila ada seorang yang memulai ucapan tahni’ah kepadaku, aku akan menjawabnya". Karena menjawab doa hukumnya wajib. Adapun memulai tahni’ah, tidak termasuk sunah yang diperintahkan, tidak pula dilarang.” [Fatawa Asy-Syaikh Al-Khudair no. 21.290]

Dari fatwa-fatwa para ulama di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa masalah ini termasuk dalam ranah khilafiyyah ijtihadiyyah. Seorang muslim mengambil pendapat ulama yang lebih kuat menurut apa yang ia yakini, tidak perlu memaksakan pendapatnya kepada yang lain. Paling tidak, agar ribut-ribut seperti kejadian tempo hari tentang masalah hadiah bacaan Al-Qur’an untuk mayit tidak terulang kembali.

Allahua’lam, semoga bermanfaat


Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 2 Muharram 1437

Wednesday, October 14, 2015

Manakah Jarh yang Lebih Parah, Kadzdzab atau Mubtadi’?

Jika ditinjau dari periwayatan hadits, kadzab lebih jelek dari mubtadi’ (ahlul bid’ah), karena para ulama jarh wa ta’dil telah bersepakat meninggalkan riwayat para pendusta (kadzab).  

Abdurrahman bin Abi Hatim Ar-Razi rahimahullah berkata:

وإذا قالوا: متروك الحديث، أو ذاهب الحديث، أو كذاب، فهو ساقط الحديث، لا يُكتب حديثه،

“Apabila mereka (ulama jarh wa ta’dil) menyatakan matruuk al-hadits, dzahibul hadits atau kadzab, maka haditsnya jatuh, tidak ditulis haditsnya” [Al-Jarh wat Ta’dil, 2/37]

Al-Hafizh An-Nawawi rahimahullah berkata:

وإذا قالوا: متروك الحديث، أو ذاهبه، أو كذاب، فهو ساقط لا يكتب حديثه

“Apabila mereka (ulama jarh wa ta’dil) menyatakan matruuk al-hadits, dzahibah atau kadzab, maka ia telah jatuh, tidak ditulis haditsnya” [At-Taqriib, 1/8]

Adapun mubtadi’, para ulama masih berselisih tentang kebolehan mengambil riwayat darinya.

Tuesday, October 6, 2015

Perbedaan Keyakinan Rabi’ Al-Madkhali dan Ali Hasan Al-Halabi dalam Permasalahan Iman (Memahami Istilah “Amal Merupakan Penyempurna Iman”)

Diantara penyimpangan Khawarij adalah mengkafirkan pelaku dosa besar, baik dosa besar karena meninggalkan amal yang wajib maupun dosa besar terjatuh dalam maksiat. Menurut Khawarij, afraad a’mal adalah syarat keshahihan iman. 

Apabila seorang muslim meninggalkan salah satu amalan wajib yang menjerumuskan dalam dosa besar, maka ia kafir. Misalkan seorang muslim yang meninggalkan zakat, maka ia kafir, karena zakat termasuk syarat keshahihan iman. Seorang yang meninggalkan puasa Ramadhan, maka ia kafir, karena puasa Ramadhan termasuk syarat keshahihan iman, dan seterusnya. Ditinjau dari sudut pandang ini, maka pernyataan “amal adalah syarat keshahihan iman” adalah keyakinan Khawarij

Friday, October 2, 2015

Buah Pala Haram Dimakan?

Pertanyaan:
Apakah hukum menggunakan buah pala sebagai bumbu masakan? Dan apakah diperbolehkan menjualnya di toko-toko ataukah tidak? Ataukah tidak diperbolehkan untuk menjual dan mengonsumsinya sebagaimana khamr?
Jawaban:
Pohon pala sudah dikenal sejak jaman dahulu kala dan buahnya pun telah lama digunakan sebagai salah satu bumbu rempah untuk menambah aroma dan citarasa masakan. Bangsa Mesir kuno juga menggunakan pala sebagai obat sakit perut dan untuk mengeluarkan angin.
Pohon pala mampu tumbuh hingga mencapai ketinggian sekitar 10 meter dan selalu berdaun hijau. Buahnya memiliki bentuk mirip seperti buah pir, namun ketika sudah matang, buah tersebut akan diselimuti oleh cangkang/kulit yang keras dan inilah yang dikatakan buah pala. Pohon ini tumbuh di daerah tropis seperti India, Indonesia dan Sri Lanka.
Pengaruh (efek) yang dihasilkan buah ini ialah seperti halnya pengaruh ganja. Jika dikonsumsi dalam jumlah besar maka seseorang akan mengalami gangguan pada pendengarannya (berdenging), sembelit (susah buang air besar), kesulitan untuk buang air kecil, diliputi kecemasan dan tegang (mengalami stress), terganggunya sistem syaraf pusat, dan bahkan mampu menyebabkan kematian.
Adapun berkenaan dengan hukumnya, maka para ulama berbeda pendapat dan terbagi kepada dua pendapat:
Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat haramnya menggunakan buah pala baik dalam jumlah sedikit maupun banyak.
Sedangkan ulama yang lain berpendapat bolehnya menggunakan buah pala dalam jumlah sedikit bila dicampurkan dengan bahan-bahan yang lain.
Ibnu Hajar al-Haytami (wafat 974 H) berpendapat:
Ketika terjadi perselisihan antara ulama Haramain (Mekah dan Madinah) dan ulama Mesir mengenai kehalalan dan keharaman buah pala, maka muncul pertanyaan: adakah di antara para imam atau para pengikutnya yang menyatakan haramnya mengonsumsi buah pala?
Dan jawaban ringkasnya adalah seperti yang dinyatakan secara jelas oleh Syaikhul Islam Ibnu Daqiq al-‘Ied, bahwasanya ia merupakan sesuatu yang memabukkan.
Ibnu al-‘Imad berpendapat lebih jauh dan memandang bahwa ia sebanding dengan ganja (hasyisy).
Para pengikut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali bersepakat, bahwa buah pala tersebut merupakan sesuatu yang memabukkan dan sebagaimana disebutkan dalam kaidah umum:
كل مسكر خمر ، وكل خمر حرام
“Setiap yang memabukkan adalah khamr dan setiap khamr adalah haram.”
Adapun pengikut mazhab Hanafi, mereka memandang bahwa pala ini bisa digolongkan semacam khamr ataupun seperti narkotika. Dan semuanya bisa menganggu atau merusak akal, sehingga hukumnya haram {akhir kutipan}.
Lihat kitab Az-Zawaajir ‘an Iqtiraab al-Kabaa’ir (1/212) dan Al-Mukhaddiraat oleh Muhammad Abdul Maqshud (halaman 90).
Dalam konferensi Lembaga Fiqih Kedokteran (An-Nadwah Al-Fiqhiyyah Al-Thibbiyyah) yang ke-8 mengenai “Pandangan Islam dalam Beberapa Masalah-masalah Kesehatan” dengan sub-bahasan “Bahan-bahan yang Haram dan Najis dalam Makanan dan Obat-obatan” yang di adakan di Kuwait, 22-24 Dzulhijjah 1415H (22-24 Mei 1995), mereka berpendapat:
Bahan-bahan narkotika adalah terlarang (haram) dan tidak diperbolehkan untuk mengkonsumsinya kecuali untuk tujuan pengobatan tertentu dimana takaran pemakaiannya berdasarkan ketentuan dokter dan murni tanpa adanya campuran bahan (kimia) lainnya.
Tidaklah mengapa menggunakan buah pala sebagai penyedap rasa suatu masakan, selama dalam jumlah yang sedikit, dan tidak memabukkan atau menghilangkan kesadaran akal.
Syaikh Dr. Wahbah al-Zuhaili berkata,
“Tidak terlarang menggunakan sedikit pala sebagai bumbu penyedap baik pada makanan, kue dan sejenisnya namun menjadi terlarang (haram) bila banyak jumlahnya, karena akan menjadikan orang tersebut mabuk. Namun yang lebih selamat adalah pendapat yang melarangnya walaupun dicampur dengan bahan yang lain dan meskipun jumlahnya sedikit, karena ‘setiap yang memabukkan dalam jumlah yang banyak, maka yang sedikitnya pun haram‘.”
Sebagai informasi bahwa buah pala –baik dalam bentuk biji ataupun bubuk- terlarang untuk diimpor atau dibawa ke negara Arab Saudi dan hanya diperbolehkan untuk mengimpor bubuk pala bila telah dicampur dengan bahan rempah-rempah lainnya dalam prosentasi yang diijinkan, tidak lebih dari 20% saja. Allahu A’lam.
Islam Q&A
Fatwa Syaikh Muhammad Shalih Al-Munajjid
(Diambil dari http://www.islamqa.com/en/​ref/39408)