Tuesday, August 25, 2015

Menafkahi Istri atau Ibu yang Lebih Didahulukan?

Saat membaca sebuah status di forum share faidah ilmu BBG As-Sunnah, muncul keganjalan di hati saya. Di sana terdapat pertanyaan fiqih seputar masalah nafaqah yang dijawab oleh Al-Ustadz Abdul Mu’thi hafizhahullah, berikut redaksi pertanyaannya:

MENAFKAHI IBU ATAU ISTRI
Tanya:
Apabila seorang laki-laki telah menikah,kepada siapakah nafkah dan tanggungjawabnya yang lebih utama, istri ataukah ibunya?
Jawab:
Seorang anak lelaki yang menikah tentu tanggung jawabnya kepada istrinya, kecuali bila tak ada lagi yang bertanggung jawab kepada kebutuhan ibunya, maka sang ibu menjadi tanggung jawab anaknya. Bila kebutuhan ibu yang demikian berbenturan dengan kebutuhan istri, maka dia lebih mengedepankan kebutuhan ibunya, karena hak ibunya yang besar terhadap dirinya, bahkan hal itu sampai diulangi Rasul shallallahu 'alaihi wasallam sebanyak tiga kali, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dan Muslim. Wallahu a'lam bish shawab. (Ustadz Abdul Mu'thi)” [Disalin dari forum BBG As-Sunnah di sini]

Dalam artikel ini, saya berusaha meluruskan jawaban dari Al-Ustadz hafizhahullah yang saya pandang keliru, karena diantara kewajiban seorang muslim adalah menyampaikan nasehat kepada saudaranya. Hal ini bukan dalam rangka membuka aib seorang muslim atau ingin merendahkan kehormatannya, namun sebagai pengamalan terhadap firman Allah ta’ala dan hadits Rasulullah berikut:

وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ

Berilah peringatan, sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi kaum mukminin” [QS. Adz-Dzariyat:]

Dari Abu Ruqayyah Tamim Ad-Dariy radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Agama adalah nasehat”. Para sahabat bertanya: “Untuk siapa wahai Rasulullah?”. Rasulullah menjawab:

لله, و لكتابه, و لرسوله, و لأئمة المسلمين, و عامتهم

“Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin secara umum”. [HR. Muslim]

Semoga tulisan ini tidak disalah-pahami sebagai bentuk pelecehan dan mengumbar aib seorang ustadz. Sebab para ulama telah menjelaskan dalam berbagai fatwanya, cara meluruskan kesalahan yang telah tersebar adalah menyampaikannya di khalayak, agar kaum muslimin yang terlanjur salah paham mendapatkan pencerahan dan rujuk kepada kebenaran. Berbeda ketika kesalahan tersebut belum tersebar, mungkin nasehat itu cukup disampaikan secara pribadi.

Diantara adab yang juga tidak boleh dilupakan saat meluruskan kesalahan seorang yang berilmu adalah tidak menggunakan kata-kata kasar, membongkar aib, bernada merendahkan, dan seterusnya, karena diantara hak seorang yang berilmu adalah dimuliakan dan dihormati atas jerih payahnya dalam berdakwah menyeru manusia kembali kepada Allah subhanahu wata’ala.

Barangkali kesalahannya yang sedikit hanyut dalam kebaikan-kebaikannya yang banyak. Tidak ada seorang pun yang luput dari kesalahan, dan sebaik-baik manusia adalah yang bertaubat dari kesalahannya.

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengingatkan para penuntut ilmu tentang hal ini:

وقد شاع في هذا العصر أن كثيرا من المنتسبين إلى العلم والدعوة إلى الخير يقعون في أعراض كثير من إخوانهم الدعاة المشهورين , ويتكلمون في أعراض طلبة العلم والدعاة والمحاضرين . يفعلون ذلك سرا في مجالسهم . وربما سجلوه في أشرطة تنشر على الناس , وقد يفعلونه علانية في محاضرات عامة في المساجد , وهذا المسلك مخالف لما أمر الله به ورسوله من جهات عديدة
“Telah tersebar di masa ini, banyak orang yang menyandarkan dirinya kepada ilmu dan dakwah kepada kebaikan, mereka  menodai kehormatan banyak saudara mereka para da’i yang dikenal (mendakwahkan manhaj salaf). Mereka berbicara untuk menjatuhkan kehormatan para penuntut ilmu, para da’i dan para penceramah. Mereka melakukan itu secara sembunyi-sembunyi di majelis-majelis mereka, terkadang merekamnya dan menyebarkannya di khalayak. Terkadang mereka juga melakukannya terang-terangan dalam ceramah umum di masjid-masjid. Ini merupakan metode yang menyelisihi perintah Allah ta’ala dan Rasul-Nya dari banyak sisi.” [Uslub An-Naqd baina Du’at wa Ta’qib]
Kembali ke point permasalahan,  disebutkan di atas ada seorang penanya yang bertanya tentang kondisi seorang laki-laki yang telah menikah, nafkah siapakah yang lebih didahulukan, istri atau ibu? Kemudian Al-Ustadz hafizhahullah menjawab hak ibu lebih besar dari hak istri, sehingga nafkah kepada ibu lebih didahulukan daripada nafkah kepada istri, demikian jawaban beliau secara makna.

Saya memiliki beberapa catatan atas pernyataan Al-Ustadz:

Pertama, memang benar bahwa seorang ibu memiliki hak yang besar atas anaknya, dimana  sang anak juga berkewajiban menanggung nafkah kedua orang tuanya terkhusus ibu.

Allah ta’ala berfirman:

وقضى ربك ألا تعبدوا إلا إياه وبالوالدين إحسانا

Rabb-mu telah mewasiatkan (mewajibkan) agar kalian jangan beribadah melainkan hanya kepada-Nya dan agar berbuat baik (ihsan) kepada kedua orang tua” [QS. Al-Isra’: 23]

Diantara perbuatan ihsan adalah memberikan nafkah kepada keduanya di saat mereka membutuhkan, apalagi di saat tidak ada orang lain yang bertanggung jawab menafkahi mereka selain anaknya.

Allah ta’ala juga berfirman:

وصاحبهما في الدنيا معروفا

Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan cara yang ma’ruf” [QS. Luqman: 15]

Juga diantara perbuatan yang ma’ruf kepada orang tua adalah mencukupi kebutuhan mereka. Al-Imam Ibnul Mundzir rahimahullah menukilkan ijma’ tentang kewajiban anak untuk menafkahi orang tuanya apabila tidak ada orang lain yang dapat menafkahi mereka

Imam Ibnul Mundzir rahimahullah berkata:

وأجمعوا على أن نفقة الوالدين اللذين لا كسب لهما ولا مال واجبة في مال الولد

“Para ulama telah bersepakat bahwa nafkah untuk kedua orang tua yang tidak memiliki penghasilan dan tidak memiliki harta adalah wajib dari harta anaknya” [Al-Mughni, 11/373]

Namun nafkah anak untuk kedua orang tuanya dihukumi wajib apabila memenuhi tiga syarat, sebagaimana yang dijelaskan oleh fuqaha’:

Syarat pertama: kedua orang tuanya faqir (miskin), tidak memiliki harta maupun penghasilan.
Apabila orang tuanya berkecukupan atau memiliki penghasilan sendiri, maka tidak ada kewajiban nafkah atas anaknya[1], karena pada asalnya nafkah kepada orang tua termasuk dalam bab ihsan (berbuat baik), apabila tidak dibutuhkan, maka hukumnya tidak wajib.

Hanya saja para ulama berselisih tentang kondisi orang tua faqir yang wajib dinafkahi, apakah disyaratkan keduanya tidak memiliki pekerjaan dan penghasilan ? Al-Malikiyyah dan Al-Hanabilah mempersyaratkan keduanya tidak mampu bekerja dan tidak berpenghasilan, sementara Al-Hanafiyyah dan Asy-Syafi’iyyah tidak mempersyaratkannya, karena seorang anak yang mengharuskan orang tua yang telah tua renta untuk berkerja mencari nafkah dalam keadaan dirinya berkecukupan, tidak mencerminkan sifat seorang anak yang berbakti.[2]

Syarat kedua: kondisi anak yang berkecukupan, syarat ini telah disepakati oleh fuqaha’.
Apabila kondisi ekonomi sang anak tidak mampu, ia tidak wajib memberikan nafkah kepada orang tuanya.

Syarat ketiga: sang anak memiliki harta yang berlebih setelah mencukupi kebutuhan dirinya, anak dan istrinya.
Apabila harta sang anak hanya cukup sebatas kebutuhan dirinya, anak dan istrinya, maka sang anak tidak berkewajiban menafkahi orang tuanya.  Point ketiga ini dipersyaratkan oleh Al-Hanafiyyah, Asy-Syafi’iyyah dan Al-Hanabilah.[3]

Kedua, ketika berbenturan antara nafkah untuk orang tua (ayah ibu) dan nafkah untuk istri, nafkah siapakah yang lebih didahulukan?

Al-Ustadz menjelaskan bahwa nafkah untuk ibu lebih didahulukan dari istri, karena hak ibu yang lebih besar bagi sang suami, kemudian Al-Ustadz menyebutkan sebuah hadits nabi secara makna. Namun pendalilan ini keliru, Allahua'lam. Berkenaan dengan permasalahan ini, terdapat nash hadits yang lebih jelas untuk menjawab pertanyaan penanya.

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا ، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ

“Mulailah dari dirimu, infakkanlah untuk dirimu, jika masih tersisa sesuatu maka untuk keluargamu, jika untuk keluargamu masih tersisa, maka untuk kerabat-kerabatmu” [HR. Muslim no. 997]

Juga disebutkan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Berinfaklah”. Seorang laki-laki berkata: “Wahai Rasulullah aku memiliki satu dinar”. Rasulullah berkata: “Infakkanlah untuk dirimu”, Laki-laki itu berkata: “Aku masih memiliki yang lain”.

Rasulullah berkata: Infakkanlah sisanya untuk istrimu”. Laki-laki itu berkata: “Aku masih memiliki yang lain”. Rasulullah berkata: “Infakkanlah sisanya untuk anakmu”. Laki-laki itu menimpali: “Aku masih memiliki yang lain”. Rasulullah berkata: “Infakkanlah untuk pembantumu”. Laki-laki itu berkata: “Aku masih memiliki yang lain”. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alai wasallam berkata:

أَنْتَ أَبْصَرُ

“Engkau yang lebih tau” [HR. Abu Daud no. 1681 dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ul Ghalil no. 895]

Sejenak kita membaca penjelasan para ulama dalam memahami hadits-hadits di atas. Imam Al-Khaththabi rahimahullah berkata:

هَذَا التَّرْتِيب إِذَا تَأَمَّلْته عَلِمْت أَنَّهُ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَآله وَسَلَّمَ قَدَّمَ الْأَوْلَى فَالْأَوْلَى وَالْأَقْرَب فَالْأَقْرَب

“Apabila engkau memperhatikan urutan ini, engkau akan mengetahui bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mendahulukan orang yang lebih berhak dan yang lebih berhak setelahnya (dalam infak), demikian pula beliau mendahulukan orang yang lebih dekat dan yang lebih dekat” [‘Aunul Ma’bud, 5/67]

Imam Al-Muhallab rahimahullah berkata:

النَّفَقَة عَلَى الْأَهْل وَاجِبَة بِالْإِجْمَاعِ , وَإِنَّمَا سَمَّاهَا الشَّارِع صَدَقَة خَشْيَة أَنْ يَظُنُّوا أَنَّ قِيَامهمْ بِالْوَاجِبِ لَا أَجْر لَهُمْ فِيهِ , وَقَدْ عَرَفُوا مَا فِي الصَّدَقَة مِنْ الْأَجْر فَعَرَّفَهُمْ أَنَّهَا لَهُمْ صَدَقَة , حَتَّى لَا يُخْرِجُوهَا إِلَى غَيْر الْأَهْل إِلَّا بَعْد أَنْ يَكْفُوهُمْ ; تَرْغِيبًا لَهُمْ فِي تَقْدِيم الصَّدَقَة الْوَاجِبَة قَبْل صَدَقَة التَّطَوُّع

“Nafkah kepada keluarga adalah wajib berdasarkan ijma’. Pembuat syariat menamakan nafkah dengan istilah sedekah karena dikhawatirkan manusia akan menyangka bahwa menunaikan  nafkah yang wajib tidak ada pahalanya bagi mereka. Sungguh mereka telah mengetahui bahwa bersedekah mendatangkan pahala, demikian pula nafkah yang mereka keluarkan akan bernilai sedekah, agar mereka tidak mengeluarkan hartanya kepada  selain keluarga, kecuali setelah kebutuhan keluarganya tercukupi. Juga sebagai motivasi bagi mereka agar mendahulukan sedekah yang wajib dari sedekah yang sunah” [Fathul Bari, 9/623]

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:

إذا اجتمع على الشخص الواحد محتاجون ممن تلزمه نفقتهم ، نظرَ: إن وفَّى ماله أو كسبه بنفقتهم فعليه نفقة الجميع قريبهم وبعيدهم .وإن لم يفضل عن كفاية نفسه إلا نفقة واحد ، قدَّم نفقة الزوجة على نفقة الأقارب ...لأن نفقتها آكد ، فإنها لا تسقط بمضي الزمان ، ولا بالإعسار
“Apabila terkumpul pada satu orang kewajiban menafkahi orang-orang yang memang menjadi tanggungannya, maka dilihat, jika harta dan penghasilannya cukup untuk menafkahi mereka seluruhnya, maka ia wajib menafkahi mereka, baik kerabat yang dekat maupun kerabat yang jauh. Apabila (hartanya) cukup untuk menafkahi dirinya dan tersisa hanya untuk nafkah satu orang, maka ia lebih mendahulukan nafkah istri dari nafkah kerabatnya.. Nafkah untuk istri lebih ditekankan karena kewajiban menafkahi istri tidak gugur dengan berlalunya waktu, juga tidak gugur dalam kondisi sulit sekalipun” [Raudhatut Thalibin, 9/93]

Imam Al-Mardawi rahimahullah berkata:

الصَّحِيحُ مِنْ الْمَذْهَبِ : وُجُوبُ نَفَقَةِ أَبَوَيْهِ وَإِنْ عَلَوَا ، وَأَوْلَادِهِ وَإِنْ سَفَلُوا بِالْمَعْرُوفِ ...إذَا فَضَلَ عَنْ نَفْسِهِ وَامْرَأَتِهِ 

“Yang benar dalam madzhab (Hambali), wajibnya menafkahi kedua orang tuanya dan kakek-neneknya ke atas, demikian pula wajib menafkahi anak-anaknya dan cucu-cucunya sampai ke bawah dengan cara yang ma’ruf… apabila nafkah untuk dirinya dan istrinya masih tersisa” [Al-Inshaf, 9/392]

Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata:

وقد انعقد الإجماع على وجوب نفقة الزوجة ، ثم إذا فضل عن ذلك شيء فعلى ذوي قرابته

“Telah terjadi ijma’ tentang kewajiban menafkahi istri, kemudian apabila hartanya masih tersisa, maka diberikan kepada kerabatnya” [Nailul Authar, 6/381]

Point permasalahan yang diperselisihkan ulama hanyalah tentang nafkah untuk istri dan anak, mana yang lebih didahulukan?

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:

فالصواب أنه يبدأ بنفسه ، ثم بالزوجة ، ثم بالولد ، ثم بالوالدين ، ثم بقية الأقارب

“Yang benar, ia mulai dari dirinya, kemudian istri, kemudian anak, kemudian orang tua, kemudian kerabatnya yang tersisa” [Fathu Dzil Jalali wal Ikram, 5/194]

Demikian ulasan ringkas yang bisa dituliskan, semoga bermanfaat bagi penulis dan para pembaca, sekaligus sebagai masukan untuk Al-Ustadz hafizhahullah.

Allahua’lam, wabillahittaufiq






[1] Minahul Jalil (2/448), Al-Inshaf (9/392).

[2] Hasyiyah Ibnu Abidin (2/678), Mughnil Muhtaj (3/446)

[3] idem

Hukum Mengumumkan Berita Kematian Ulama atau Seorang Muslim di Masjid dan Media Sosial (Internet)

Pertanyaan:

“Apa hukum mengumumkan wafatnya ulama atau kematian selain ulama di internet dan media-media sosial, apakah perbuatan ini termasuk an-na’yu (mengumumkan kematian yang dilarang) atau bukan?"

Asy-Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah  menjawab:

“Mengabarkan kematian seorang muslim agar didoakan dan dishalatkan tidak apa-apa, perbuatan  itu bukan termasuk an-na’yu yang diharamkan[1], karena saat An-Najasyi wafat, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  mengabarkan kematian An-Najasyi kepada para sahabatnya. Kemudian beliau dan  para sahabatnya keluar untuk melaksanakan Shalat Gha’ib[2].

Mengabarkan kematian seseorang, baik di surat kabar, masjid-masjid atau  internet dengan tujuan agar didoakan dan dishalatkan tidak apa-apa. Ataupun dengan tujuan  misalkan si mayit memiliki hak atau  hutang, agar haknya ditunaikan dan hutangnya dilunasi, hal ini juga diperbolehkan. Adapun mengabarkan kematian seseorang yang menunjukkan kegoncangan dan kesedihan yang melampaui batas, maka hal ini tidak diperbolehkan karena termasuk perbuatan Niyahah (meratapi mayit)” [Al-Ijabat Al-Muhimmah fi Al-Masyakil Al-Mulimmah, 2/19]






[1] Diantara contoh an-na’yu yang tidak diperbolehkan adalah  mengabarkan kematian seseorang dengan tujuan untuk menyebut-nyebut dan membanggakan kebaikan-kebaikannya atau dengan tujuan agar mayat tersebut diratapi sebagaimana yang biasa dilakukan di masa Jahiliyyah.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah  berkata: “Tidak semua an-na’yu (mengumumkan berita kematian) diharamkan. An-na’yu yang diharamkan hanyalah seperti yang dilakukan orang-orang Jahiliyyah dahulu” [Fathul Bari, 3/116]

[2] HR. Al-Bukhari no. 1245

Monday, August 24, 2015

Bolehkah Bermadzhab? (Rincian Fatwa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan)

Pertanyaan:

Apa hukum bermadzhab? Apakah bermadzhab termasuk perbuatan tercela? Apa hukum menyandarkan diri kepada madzhab tertentu seperti Al-Hambali, Asy-Syafi’i dan Al-Maliki?

Asy-Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjawab:

“Permasalahan ini memiliki tiga perincian:

Pertama, seorang yang memiliki kemampuan ilmiyyah dan keahlian ijtihad, artinya syarat-syarat berijtihad telah ada pada dirinya, maka ia tidak boleh bermadzhab, bahkan ia wajib melihat dalil-dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah, lalu mengambil apa yang nampak kebenarannya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tidak ada seorang pun yang mencapai tingkatan ini selain para imam besar seperti imam yang empat dan ulama yang telah sampai derajat mujtahid, ia tidak diperkenankan taklid. Sebab ia tidak membutuhkan taklid, ia diperintahkan mengikuti Al-Qur’an dan As-Sunnah, mereka memang mampu untuk hal itu. Ia tidak boleh taklid (mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui dalilnya)

Kedua, penuntut ilmu yang keilmuannya telah mapan, ia belum sampai pada derajat mujtahid. Ia boleh menyandarkan dirinya kepada salah satu dari madzhab yang empat seperti Al-Hambali, Al-Hanafi, Asy-Syafi’i atau Al-Maliki. Namun ia mengambil pendapat yang lebih kuat (rajih) dengan dalilnya dari pendapat imam (madzhabnya) atau imam (madzhab) lain, maupun pendapat para ulama yang lebih kuat menurut pandangannya ditinjau dari dalil yang dipakai

Ketiga, penuntut ilmu pemula dan orang awam, mereka boleh mengikuti salah satu dari madzhab yang empat dan bertanya kepada ulama. Allah ta’ala berfirman:

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Bertanyalah kepada ulama jika kalian tidak mengetahui” [QS. An-Nahl: 43]

Hendaklah ia bertanya kepada ulama yang tsiqah menurutnya dari sisi ilmu dan agama, ia mengambil apa yang difatwakan ulama tersebut. Ia wajib taklid, seandainya ia tidak taklid tentu ia akan celaka.

Manusia dalam kondisi ini memiliki tiga tingkatan:

Pertama, mujtahid mutlak, ia tidak boleh taklid

Kedua, mujtahid madzhab, ia boleh taklid namun tidak taklid tanpa mengetahui dalilnya, ia harus men-tarjih (memilih pendapat yang lebih kuat berdasarkan dalil)

Ketiga, seorang yang tidak memiliki kemampuan (berijtihad), ia belum mencapai tingkat pertama maupun kedua, ia bukan mujtahid mutlak, bukan pula mujtahid madzhab, ia wajib taklid kepada ulama seperti imam madzhab yang empat dan bertanya kepada ulama yang tsiqah menurutnya dari sisi agama dan ilmu. Ia bertanya kepada ulama dan mengambil apa yang difatwakan ulama tersebut. [As’ilah Syarh Zaadul Mustaqni’, Kitab Ath-Thaharah]


Sumber: Al-Ijabat Al-Muhimmat fil Masyakil Al-Mulimmah, 2/82-83

Sunday, August 23, 2015

Hukum Buang Air Menghadap atau Membelakangi Kiblat

Jumhur ulama berpendapat tidak boleh menghadap ataupun membelakangi kiblat saat buang air[1], berdasarkan hadits Abu Ayyub Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إذا أتيتم الغائط؛ فلا تستقبلوا القبلة بغائط ولا بول

 “Apabila kalian mendatangi tempat buang air, janganlah menghadap kiblat ataupun membelakanginya saat buang air besar dan kecil” [HR. Al-Bukhari, 1/498 dan Muslim, 1/224]

Juga diriwayatkan dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila salah seorang kalian duduk untuk buang air, janganlah menghadap kiblat ataupun membelakanginya” [HR. Muslim, 1/224]

Buang air menghadap atau membelakangi kiblat diharamkan jika terpenuhi dua syarat:

Friday, August 21, 2015

Problem Keluarga Seputar Nikah Syubhat

Tanya:

Asalammualaikum pak ustat ...sy mau bertanya pak ustat apakah talak di saat nikah syubhat itu sah karna suami sering menalak saat itu? Karna nikah syubhat itu adalah akad yg rusak/ tidak sah karna saat menikah saya keadaan hamil sampai terlahir 3 anak anak pertama laki2 dan ke dua anak sy perempuan bagai mana nasib anak2 saya pak ustad, apakah anak sy adalah anak zina ?dan jika terlanjur anak yg lahir di nikah syubhat adlh anak sah secara syari?

Sy pernah melakukan akad ke dua pak tpi saat itu sy belum bertobat karna blum mengerti hanya ad rasa ingin berumah tangga yg baik memulai hidup baru....di akad ke dua terjadi ucap talak satu...tanpa adanya kata2 rujuk sampai masa iddah habiss apakah dengan berhubungan suami istri itu salah satu rujuk...karna ingin berhati2 dan sudah mengetahui syariat yg sebenarnya saya pun bertobat dengan amat menyasal memohon ampun ke pada allah begitupun suami....kami bertobat...dan melakukan akad yg ke tiga kali....tanpa istibra..disini apakah yg saya lakukan dengan suami sudah benar pak ustad mohon jawabanya pak ustad wasalam.... (Laras Putri)

Jawab:

Waa’alaikumussalam warahmatullah,

Nikah Syubhat adalah menikah dengan akad yang tidak sah secara syar’i dalam keadaan kedua pasangan tidak mengetahui kalo akad nikahnya tidak sah. Beberapa konsekuensi dari nikah syubhat:


Pertama, anak hasil nikah syubhat tetap sah sebagai anak dari ayahnya dan dinisbahkan perwaliannya kepada ayah. Anak dan ayah tetap memiliki hubungan saling mewarisi harta

Kedua, akah nikah tersebut harus diulangi hingga memenuhi syarat-syarat nikah seperti ijab qabul, mahar, wali dan dua saksi. Tidak harus diadakan walimah ulang atau pesta pernikahan besar-besaran yang membutuhkan banyak biaya.

Ketiga, meskipun akad nikah tersebut tidak sah, keduanya tidaklah dianggap sebagai pezina karena ketidak-tahuan kedua pasangan tersebut saat melakukan akad, sehingga tidak diterapkan hukuman had di dunia

Dalam hal ini, pernikahan ibu dalam keadaan hamil termasuk nikah syubhat, setelah ibu mengulangi akad nikah yang baru, maka ibu dan sang suami telah sah menikah secara syar’i.

Namun yang menjadi masalah, setelah ibu dan suami telah sah menikah, kemudian suami menceraikan (men-talak) ibu dan tidak rujuk hingga habis masa iddah. Perlu ibu ketahui bahwa rujuk dari talak memiliki dua keadaan:

Pertama, rujuk saat istri masih dalam masa iddah, ini cukup dengan ucapan rujuk atau dengan berhubungan intim dengan niat rujuk

Kedua, rujuk saat istri telah sempurna melewati masa iddah, cara rujuknya harus dengan akad yang baru dengan memenuhi syarat nikah seperti ijab qabul, mahar, wali dan dua saksi.

Tindakan ibu sudah tepat ketika melakukan akad nikah yang ketiga, karena tindakan rujuk suami setelah melewati masa iddah tidak cukup hanya berhubungan intim. Ketika ibu telah melewati masa iddah secara sempurna, hal itu sudah cukup sebagai bentuk istibra’ (memastikan ketiadaan janin dalam rahim), kemudian sang suami boleh melakukan akad nikah yang ketiga bersama ibu.

Nasehat saya, sebelum ibu melakukan sesuatu, hendaklah dikonsultasikan kepada ahli ilmu agar ibu tidak melakukan kesalahan yang sama di kemudian hari.

Allahua’lam, wabillahittaufiq

Sumber: Al-Fatawa Al-Kubra, 4/9, Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah no. 2195, Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah, 8/123