Sunday, July 5, 2015

Mengenal Wanita yang Haram Dinikahi, Siapakah Mahram-mu?

Ada beberapa pertanyaan yang masuk seputar permasalahan muhrim, demikian para penanya menyebutnya, padahal yang mereka maksud adalah mahram. Perlu diluruskan bahwa muhrim dalam bahasa Arab adalah muhrimun, mimnya di-dhammah yang maknanya adalah orang yang berihram dalam pelaksanaan ibadah haji sebelum tahallul. Sedangkan mahram bahasa Arabnya adalah mahramun, mimnya di-fathah.
Mahram ini berasal dari kalangan wanita, yaitu orang-orang yang haram dinikahi oleh seorang lelaki selamanya (tanpa batas). (Di sisi lain lelaki ini) boleh melakukan safar (perjalanan) bersamanya, boleh berboncengan dengannya, boleh melihat wajahnya, tangannya, boleh berjabat tangan dengannya dan seterusnya dari hukum-hukum mahram.
Mahram sendiri terbagi menjadi tiga kelompok, yakni mahram karena nasab (keturunan), mahram karena penyusuan, dan mahram mushaharah (kekeluargaan kerena pernikahan).

Kelompok pertama, yakni mahram karena keturunan, ada tujuh golongan:
1.Ibu, nenek dan seterusnya ke atas baik dari jalur laki-laki maupun wanita
2.Anak perempuan (putri), cucu perempuan dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita
3.Saudara perempuan sekandung, seayah atau seibu
4.Saudara perempuan bapak (bibi), saudara perempuan kakek (bibi orang tua) dan seterusnya ke atas baik sekandung, seayah atau seibu
5.Saudara perempuan ibu (bibi), saudara perempuan nenek (bibi orang tua) dan seterusnya ke atas baik sekandung, seayah atau seibu
6.Putri saudara perempuan (keponakan) sekandung, seayah atau seibu, cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita
7.Putri saudara laki-laki sekandung, seayah atau seibu (keponakan), cucu perempuannya dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita
Mereka inilah yang dimaksudkan Allah subhanahu wa ta’ala:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ
Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan…” (An-Nisa: 23)
Kelompok keduajuga berjumlah tujuh golongan, sama dengan mahram yang telah disebutkan pada nasab, hanya saja di sini sebabnya adalah penyusuan.
Dua di antaranya telah disebutkan Allah subhanahu wa ta’ala:
وَأُمَّهَاتُكُمُ الاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُم مِّنَ الرَّضَاعَةِ
Dan (diharamkan atas kalian) ibu-ibu kalian yang telah menyusukan kalian dan saudara-saudara perempuan kalian dari penyusuan.” (An-Nisa 23)
Ayat ini menunjukkan bahwa seorang wanita yang menyusui seorang anak menjadi mahram bagi anak susuannya, padahal air susu itu bukan miliknya melainkan milik suami yang telah menggaulinya sehingga memproduksi air susu. Ini menunjukkan secara tanbih bahwa suaminya menjadi mahram bagi anak susuan tersebut . Kemudian penyebutan saudara susuan secara mutlak, berarti termasuk anak kandung dari ibu susu, anak kandung dari ayah susu, serta dua anak yang disusui oleh wanita yang sama. Maka ayat ini dan hadits yang marfu':
يَحْرُمُ مِنَ الرَّضَاعِ مَا يَحْرُمُ مِنَ النَّسَبِ
Apa yang haram karena nasab maka itupun haram karena punyusuan.” (Muttafaqun ‘alaihi dari Ibnu ‘Abbas),
keduanya menunjukkan tersebarnya hubungan mahram dari pihak ibu dan ayah susu sebagaimana tersebarnya pada kerabat (nasab). Maka ibu dari ibu dan bapak (orang tua) susu misalnya, adalah mahram sebagai nenek karena susuan dan seterusnya ke atas sebagaimana pada nasab. Anak dari orang tua susu adalah mahram sebagai saudara karena susuan, kemudian cucu dari orang tua susu adalah mahram sebagai anak saudara (keponakan) karena susuan, dan seterusnya ke bawah.
Saudara dari orang tua susu adalah mahram sebagai bibi karena susuan, saudara ayah/ ibu dari orang tua susu adalah mahram sebagai bibi orang tua susu dan seterusnya ke atas.
Adapun dari pihak anak yang menyusu, maka hubungan mahram itu terbatas pada jalur anak keturunannya saja. Maka seluruh anak keturunan dia, berupa anak, cucu dan seterusnya ke bawah adalah mahram bagi ayah dan ibu susunya.
Hanya saja, berdasar pendapat yang paling kuat (rajih), yaitu pendapat jumhur dan dipilih oleh Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di, Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dan Syaikhuna (Muqbil) rahimahumullahu, bahwa penyusuan yang mengharamkan adalah yang berlangsung pada masa kecil sebelum melewati usia 2 tahun, berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama 2 tahun penuh bagi siapa yang hendak menyempurnakan penyusuannya.” (Al-Baqarah: 233)
Dan Hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha muttafaqun ‘alaihi bahwa penyusuan yang mengharamkan adalah penyusuan yang berlangsung karena rasa lapar dan hadits Ummu Salamah yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa (no. hadits 2150) bahwa tidak mengharamkan suatu penyusuan kecuali yang membelah (mengisi) usus dan berlangsung sebelum penyapihan.
Dan yang diperhitungkan adalah minimal 5 kali penyusuan. Setiap penyusuan bentuknya adalah: bayi menyusu sampai kenyang (puas) lalu berhenti dan tidak mau lagi untuk disusukan meskipun diselingi dengan tarikan nafas bayi atau dia mencopot puting susu sesaat lalu dihisap kembali.
Kelompok ketigajumlahnya 4 golongan, sebagai berikut:
1.Istri bapak (ibu tiri), istri kakek dan seterusnya ke atas berdasarkan surat An-Nisa ayat 23.
2.Istri anak, istri cucu dan seterusnya ke bawah berdasarkan An-Nisa: 23.
3.Ibu mertua, ibunya dan seterusnya ke atas berdasarkan An-Nisa: 23.
4.anak perempuan istri dari suami lain (rabibah), cucu perempuan istri baik dari keturunan rabibah maupun dari keturunan rabib, dan seterusnya ke bawah berdasarkan An-Nisa: 23.
Nomor 1, 2 dan 3 hanya menjadi mahram dengan akad yang sah meskipun belum melakukan jima’ (hubungan suami istri). Adapun yang keempat maka dipersyaratkan bersama dengan akad yang sah dan harus terjadi jima’, dan tidak dipersyaratkan rabibah itu harus dalam asuhannya menurut pendapat yang paling rajih yaitu pendapat jumhur dan dipilih oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu.
Dan mereka tetap sebagai mahram meskipun terjadi perceraian atau ditinggal mati, maka istri bapak misalnya tetap sebagai mahram meskipun dicerai atau ditinggal mati. Dan Rabibah tetap merupakan mahram meskipun ibunya telah meninggal atau diceraikan, dan seterusnya.
Selain yang disebutkan di atas, maka bukan mahram. Jadi boleh seseorang misalnya menikahi rabibah bapaknya atau menikahi saudara perempuan dari istri bapaknya dan seterusnya.
Begitu pula saudara perempuan istri (ipar) atau bibi istri, baik karena nasab maupun karena penyusuan maka bukan mahram, tidak boleh safar berdua dengannya, berboncengan sepeda motor dengannya, tidak boleh melihat wajahnya, berjabat tangan, dan seterusnya dari hukum-hukum mahram tidak berlaku padanya. Akan tetapi tidak boleh menikahinya selama saudaranya atau keponakannya itu masih sebagai istri hingga dicerai atau meninggal. Hal ini berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala:
وَأَنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ اْلأُخْتَيْنِ
Dan (haram atasmu) mengumpulkan dua wanita bersaudara sebagai istri (secara bersama-sama).” (An-Nisa: 23)
Dan hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu muttafaqun ‘alihi bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang mengumpulkan seorang wanita dengan bibinya sebagai istri secara bersama-sama. Wallahu a’lam bish-shawab.
(Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir As-Sa’di, Syarhul Mumti’, 5/168-210)
Dikutip dari Asysyariah.com offline Penulis : Al Ustadz Abu Abdillah Muhammad Sarbini, Judul: Siapa Saja Mahram itu?

Saturday, July 4, 2015

Bolehkah Makan Sampai Kenyang?

Sering terdengar di telinga kita ungkapan “makanlah setelah lapar dan berhentilah makan sebelum kenyang”. Ungkapan tersebut berasal dari sebuah riwayat hadits yang disandarkan kepada nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berikut:

نَحْنُ قَوْمٌ لا نَأْكُلُ حَتَّى نَجُوعَ، وَإِذَا أَكَلْنَا لَا نَشْبَع

“Kami adalah suatu kaum yang tidak makan hingga lapar, apabila makan kami tidak makan sampai kenyang”

Shahihkah riwayat tersebut?

Asy-Syaikh Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata:

فإن هذا القول الذي نسبه إلى النبي - صلى الله عليه وسلم - لا أصل له !

“Perkataan yang disandarkan kepada nabi shallalahu ‘alaihi wasallam ini tidak ada asalnya (tidak dikeluarkan dalam kitab-kitab hadits yang ma’ruf –pent)” [Keterangan beliau terhadap hadits no. 3942 dalam Silsilah Ash-Shahihah]

Para ulama Al-Lajnah Ad-Da’imah yang beranggotakan Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid, Asy-Syaikh Abdullah bin Ghudayyan dan Asy-Syaikh Abdul Aziz Alu Asy-Syaikh rahimahumullah pernah ditanya dengan pertanyaan berikut:

هل هذا حديث صحيح : ( نحن قوم لا نأكل حتى نجوع وإذا أكلنا لا نشبع ) ؟

“Apakah riwayat ini “kami adalah suatu kaum yang tidak makan hingga lapar, apabila makan kami tidak makan sampai kenyang” merupakan hadits shahih?

Al-Lajnah Ad-Da’imah menjawab:

هذا اللفظ المذكور ليس حديثا فيما نعلم .وبالله التوفيق ، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

“Lafazh yang disebutkan ini bukan hadits menurut sepengetahuan kami, hanya kepada Allah kita memohon taufiq, shalawat dan salam dari Allah tercurah kepada nabi kita Muhammad, pengikutnya dan para sahabatnya.” [Fatawa Al-Lajnah no. 18072]

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata:

وفي سنده ضعف

“Dalam sanadnya terdapat kelemahan” [Majmuu’ Fatawa Ibn  Baz, 4/122]

Asy-Syaikh Abdul Aziz As-Sadhaan hafizhahullah berkata:

فتشت عنه كثيراً، وسألت عنه كثيراً، فلم أظفر بشيء غير ما ذكره سماحة الشيخ عبد العزيز بن باز

“Aku bolak-balik memeriksa hadits ini, aku banyak bertanya tentang hadits ini, namun aku tidak menemukan apapun selain apa yang disebutkan oleh Samahatu Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz” [Tahta Al-Mihjar, 2/61]

Bolehkah makan sampai kenyang? 

Jawabnya boleh, asalkan tidak memudharatkan tubuh. Hal ini berdasarkan hadits nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

فَقَالَ اشْرَبْ فَشَرِبْتُ فَمَا زَالَ يَقُولُ اشْرَبْ حَتَّى قُلْتُ لَا وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا أَجِدُ لَهُ مَسْلَكًا قَالَ فَأَرِنِي فَأَعْطَيْتُهُ الْقَدَحَ فَحَمِدَ اللَّهَ وَسَمَّى وَشَرِبَ الْفَضْلَةَ

“Minumlah,” lalu aku minum. Beliau terus memerintahkanku minum, hingga aku berkata,”cukup, demi yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak menemukan tempat lagi untuk makanan. Beliau bersabda,”berikanlah kepadaku,” aku pun menyerahkan gelas tadi, kemudian beliau shalalllahu ‘alaihi wasallam memuji Allah dan meminum yang tersisa” [HR. Al-Bukhari no. 5971]

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata:

وفيه جواز الشبع ولو بلغ أقصى غايته أخذا من قول أبي هريرة لا أجد له مسلكا وتقرير النبي صلى الله عليه وسلم على ذلك

“Dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya makan hingga kenyang, meskipun perutnya telah penuh berisi makanan. Faidah ini diambil dari perkataan Abu Hurairah, “aku tidak menemukan tempat lagi untuk makanan” dengan persetujuan (taqrir) dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atas hal itu.” [Fathul Bari, 11/288]

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata:

ولا بأس بالشبع أحياناً لكن الذي قال النبي صلى الله عليه وسلم فيه ما ملأ ابن آدم وعاءً شر من البطن يريد إذا كان في جميع أكلاته يملأ بطنه وأما إذا شبع أحياناً وملأ بطنه أحياناً فلا بأس

“Tidak apa-apa makan sampai kenyang di sebagian waktu. Adapun makna yang dimaksud dalam sabda nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Tidaklah anak Adam memenuhi wadah yang lebih buruk dari perut’ adalah apabila setiap kali makan, ia selalu memenuhi perutnya (kenyang). Adapun jika kenyang sesekali dan memenuhi perutnya. maka tidak apa-apa.” [Fatawa Nurun ‘alad Darb, 22/111]

Allahua’lam, semoga bermanfaat



Ditulis oleh Abul-Harits, 4 Juli 2015