Wednesday, December 31, 2014

Kekasih Tidak Direstui Orang Tua Karena Masalah Ekonomi, Apa yang Harus Aku Lakukan?

Tanya:

“Assalamualaikum Ustad

Saya ingin meminta pendapat ustad. Saya wanita berumur 23 tahun, saat ini saya tengah dekat dengan pria. Pria tersebut ingin menikah dengan saya, keluarga inti bahkan keluarga besar pihak pria tersebut telah menerima saya dengan baik, dan menganggap bahwa saya adalah calon dari pria tersebut. Saya pun telah mengenalkan pria tsb ke keluarga saya, pada awalnya keluarga saya menerima dengan baik pria tersebut.


Namun entah kenapa tiba-tiba setelah beberapa bulan Ibu saya berubah pikiran, Beliau tidak merestui saya untuk menikah dengan pria tersebut karna maslaah pekerjaan dan masalah ekonomi. Beliau mengatakan kata-kata yg sesungguhnya dapat membuat pihak keluarga pria sakit hati bila mendengarnya. Saya telah menjelaskan bahwa pria tersebut berasal dari keluarga baik-baik, agamanya pun bagus, dan masalah materi bukan masalah utama selama pris tsb selalu berusaha dan tidak pernah putus asa dalam mencari rezeki Allah.

Ibu saya tetap tidak setuju karna faktor ekonomi, ia juga agak merendahkan rumah dari keluarga pria yg sederhana. yg membuat saya sedih adalah beliau terkadang sampai berteriak kepada saya karena menolak saya menikah. Calon saya tsb sudah mengetahui masalah Ibu saya dan dia berkata dia akan berusaha semampunya untuk memenuhi kriteria ibu saya terlebih masalah pekerjaan.

Ustad apa yg harus saya lakukan, di satu sisi saya tidak ingin menjadi durhaka kepada Ibu saya, tetapi apakah pantas masalah materi yg menjadi permasalahannya?

Terlebih pihak keluarga pria sudah menganggap saya adalah calon dari pria tsb, saya yakin pihak keluarga pria akan sangat sakit hati apabila mendengar perkataan Ibu saya. Ibu saya sangat kukuh dengan perkataannya bahkan setelah saya menjelaskan bahwa materi bisa dicari dan materi tidaklah kekal karna pada dasarnya semua manusia adalah sama kecuali Ketaqwaannya yg membedakan. Saya harus bagaimana ustad?
Terima Kasih. Wassalamualaikum Wr. Wb”

Jawab:

Wa’alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh. Nasehat saya terkait permasalahan Anda:

Pertama, pernikahan adalah solusi terbaik bagi muda-mudi yang sedang dilanda asmara. Menjalin cinta kasih di luar pernikahan adalah haram menurut agama, karena hal itu merupakan sarana menuju perbuatan zina. Adakah laki-laki atau wanita yang bisa bersabar untuk tidak mencium , tidak menyentuh dan tidak berduaan dengan pasangannya?? Saya kira tidak ada. Ketiga hal yang saya sebutkan tadi adalah terlarang dalam Islam.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ

“Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” [HR. Ath-Thabrani dalam Mu’jam Al-Kabir, 20/ 211 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلَّا مَعَ ذِيْ مَحْرَمٍ

“Janganlah  seorang laki-laki berduaan dengan perempuan kecuali bersama mahramnya.” [HR. Al-Bukhari, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma]

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Hadist ini menunjukkan haramnya berduaan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram. Hal ini telah disepakati oleh para ulama dan tidak ada perselisihan di dalamnya.” [Fathul Bari, 4/32]

Sehingga saya menasehatkan Anda untuk segera menikah, agar terhindar dari pelanggaran-pelanggaran syariat di atas…

Kedua, suatu pernikahan menyangkut hubungan antara dua keluarga besar. Idealnya, pernikahan haruslah mendapat restu dari orang tua masing-masing. Sebab hal itu akan membantu dalam pemecahan masalah rumah tangga di masa yang akan datang. Apabila ada pertengkaran antara suami dan istri, orang tua dan mertua mungkin bisa menengahi dan memberikan solusi. Namun bagaimana jika dari awal ada salah satu pihak yang belum merestui? jika dipaksakan menikah, saya khawatir masalah ini akan bertambah pelik setelah pernikahan nanti.

Solusi dari saya, suruhlah pasangan Anda untuk datang melamar ke rumah menemui ibu. Usahakan pasangan Anda datang bersama orang tua dan saudaranya yang terpandang secara ekonomi dan memiliki kecakapan dalam negosiasi. Kenapa sebaiknya datang bersama saudaranya yang terpandang dan mampu secara ekonomi? Karena hal itu akan mengurangi anggapan buruk ibu bahwa pasangan Anda berasal dari keluarga yang kurang mampu.

Kenapa harus pandai dalam bernegosiasi? Agar terjadi suasana yang kondusif dalam membahas masalah kekeluargaan, sehingga tidak terdapat kata-kata yang kasar dan menyakitkan. Sehingga apa pun hasil musyawarah itu akan diterima dari kedua belah pihak keluarga, tanpa ada salah satu pihak yang merasa diremehkan dan sakit hati

Hal ini selaras dengan firman Allah ta’ala:

وَشَاوِرْهُمْ فِي الأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ

Bermusyawarahlah bersama mereka dalam urusan tersebut. Apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah” [QS. Ali Imran: 159]

Ketiga, Anda dan pasangan Anda harus menerima apapun keputusan dalam musyawarah tersebut. Karena pihak-pihak yang ada dalam musyawarah tersebut adalah orang tua kalian sendiri, orang-orang yang paling kalian cintai, orang-orang terdekat kalian, orang-orang yang paling berjasa dalam kehidupan kalian. Mereka lebih mengetahui asam garam hidup berumah tangga. Mereka juga telah melewati berbagai permasalahan rumah tangga yang belum Anda lewati bersama pasangan Anda. Tidak sepantasnya bagi Anda menyakiti hati mereka. Jika memang kalian berdua berjodoh, Allah akan mudahkan jalannya… 

Bertakwalah kalian berdua kepada Allah, niscaya Allah akan memberikan jalan keluar. Allah ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا

Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan menjadikan baginya jalan keluar” [QS. Ath-Thalaq: 2]

Wabillahittaufiq, semoga bermanfaat…


Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 9 Rabi'ul Awwal 1436

Saturday, December 27, 2014

20 Permasalahan Seputar Khutbah Jum’at

[1] Apakah Khatib Wajib Berdiri Ketika Berkhutbah?

Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata:

أَنَّ اَلنَّبِيَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ يَخْطُبُ قَائِمًا

“bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan khutbah dalam keadaan berdiri…” [HR. Al-Bukhari no. 936 dan Muslim no. 863]

Ibnu Rajab rahimahullah berkata: “Para ulama berselisih tentang khutbah dalam keadaan duduk, sebagian ulama berpendapat tidak sah. Ini merupakan pendapat Asy-Syafi’i, dihikayatkan salah satu riwayat dari Malik dan Ahmad…Kebanyakan ulama berpendapat khutbah sah-sah saja dilakukan dengan duduk, meskipun khatib mampu berdiri, namun hukumnya makruh. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Malik, pendapat yang masyhur dari Ahmad dan para ulama Hanabilah, serta Ishaq“

Thursday, December 25, 2014

Diantara Akhlak Salaf yang Terlupakan “Menjaga Lisan”

Peringatan Allah kepada Orang yang Tidak Menjaga Lisan

Ingatlah saudaraku bahwa setiap apa yang terucap dari lisan kita akan dicatat oleh malaikat pencatat amal. Allah ta’ala berfirman:

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

Tidaklah ada perkataan yang terucap kecuali di sisinya terdapat malaikat yang mengawasi dan selalu hadir” [QS. Qaaf: 18]

Namun kenapa lisan ini tiada henti-hentinya merendahkan kehormatan orang lain? Tanpa bosan dan perasaan jenuh engkau mengisi pembicaraanmu dengan umpatan dan celaan…

Ingat pula firman Allah ta’ala:

وَيْلٌ لِكُلِّ هُمَزَةٍ لُمَزَةٍ

Celakalah bagi setiap pencela dan pengumpat” [QS. Al-Humazah: 1]

Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah berkata:

( لِكُلِّ هُمَزَةٍ ) : يقول: لكل مغتاب للناس، يغتابهم ويبغضهم

“Setiap Humazah adalah setiap orang yang suka berbuat ghibah terhadap manusia, senantiasa menyebutkan kejelekan manusia dan membenci mereka”

ويعني باللمزة: الذي يعيب الناس، ويطعن فيهم

Al-Lumazah adalah orang yang suka membuka aib dan mencela manusia” [Tafsir Ath-Thabari, 24/595]

Ar-Rabi’ bin Anas rahimahullah berkata:

الهُمَزة، يهمزه في وجه، واللمزة من خلفه

Al-Humazah adalah mencela seseorang di hadapannya, sedangkan Al-Lumazah adalah mencela seseorang di belakangnya”

Mujahid rahimahullah berkata:

الهمزة: باليد والعين، واللمزةُ: باللسان

Al-Humazah dengan tangan dan mata, sedangkan Al-Lumazah dengan lisan” [Tafsir Ibnu Katsir, 8/481]

Mujahid juga berkata:

هي عامة في حق كل من هذه صفته

“Ayat ini umum bagi siapa saja yang memiliki sifat-sifat tersebut” [Tafsir Al-Baghawi, 8/530]

Bukankah engkau telah mengetahui betapa besar dosa orang-orang yang mengada-adakan fitnah terhadap saudaranya… Allah ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَاناً وَإِثْماً مُبِينا

Dan orang-orang yang menyakiti kaum mukminin dan mukminah tanpa kesalahan yang mereka lakukan, sungguh mereka sedang memikul kedustaan dan dosa yang nyata” [QS. Al-Ahzab: 58]

Engkau menganggap remeh perbuatan tersebut, namun tahukah engkau bahwa perbuatan itu sangat besar dosanya di sisi Allah?

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata:

وقوله: { وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا } أي: ينسبون إليهم ما هم بُرَآء منه لم يعملوه ولم يفعلوه

“Firman Allah ‘Dan orang-orang yang menyakiti kaum mukminin dan mukminah tanpa kesalahan yang mereka lakukan’ maknanya disandarkan kepada orang-orang yang beriman sesuatu yang mereka berlepas diri darinya, sesuatu yang tidak mereka lakukan, tidak pula mereka kerjakan”

{ فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا } وهذا هو البهت البين أن يحكى أو ينقل عن المؤمنين والمؤمنات ما لم يفعلوه، على سبيل العيب والتنقص لهم

“Firman-Nya ‘sungguh mereka sedang memikul kedustaan dan dosa yang nyata’, ini adalah kedustaan yang nyata ketika ia menghikayatkan atau menukil dari kaum mukminin dan mukminah sesuatu yang tidak mereka lakukan dengan tujuan untuk menimpakan aib dan perendahan terhadap mereka” [Tafsir Ibnu Katsir, 6/480]

Mencela dan Melaknat Bukan Sifat Orang Mukmin

Sahabat Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Nabi: “Siapakah kaum muslimin yang paling utama?”. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab:

من سَلِمَ المسلمون من لسانه ويده

“Seorang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya” [HR. Al-Bukhari no. 4 dan Muslim no. 162]

Sungguh lisan ini begitu banyak membawa keburukan dan menimpakan musibah bagi pelakunya, hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam biasa berdoa memohon perlindungan dari kejelekan lisan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengajarkan para sahabatnya untuk berdoa dengan doa berikut:

قل أعوذ بك من شر سمعي، وشرّ بصري، وشرّ لساني، وشرّ قلبي، وشرّ منيّي

“Katakanlah aku berlindung kepada-Mu dari keburukan pendengaranku, dari keburukan pandanganku, dari keburukan lisanku, dari keburukan hatiku dan dari keburukan maniku” [Shahih Sunan An-Nasa’i, 3/1108]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

ليس المؤمن بالطعان ولا باللعان

“Seorang mukmin bukanlah orang yang suka mencela, bukan pula orang yang suka melaknat…” [Silsilah Ash-Shahihah no. 320]

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

وكم ترى من رجل متورع عن الفواحش والظلم، ولسانه يفري في أعراض الأحياء والأموات، ولا يبالي ما يقول، ولا يدري هؤلاء أن كلمة واحدة يمكن أن تحبط جميع أعمالهم وتوبق دنياهم وأخراهم

“Berapa banyak engkau lihat orang yang nampak wara’ dari perbuatan keji dan zhalim, namun lisannya senantiasa merendahkan kehormatan orang-orang yang masih hidup maupun yang telah wafat. Ia tidak mempedulikan apa yang ia ucapkan. Mereka tidak tahu bahwa satu kalimat saja sudah cukup untuk dapat menghapuskan seluruh amalan kebaikannya, serta menghancurkan dunia dan akhiratnya”

Lisan adalah Anggota Badan yang Paling Banyak Kezalimannya

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إذا أصبح ابن آدم فإن الأعضاء كلها تكفِّر اللسان فتقول: اتقِ الله فينا، فإنما نحن بك فإن استقمت استقمنا، وإن اعوججت اعوججنا

“Saat anak Adam berada di waktu pagi, seluruh anggota badannya menebus kesalahan lisan, mereka berkata kepada lisan: ‘bertakwalah engkau kepada Allah dalam diri kami, sesungguhnya kami hanyalah mengikutimu, apabila engkau istiqamah kami pun akan istiqamah, apabila engkau bengkok kami pun akan bengkok’ ”[Shahih At-Tirmidzi no. 1962]

Suatu saat Ibnu Mas’ud berada bukit Shafa dalam keadaan bertalbiyah seraya berkata:

يا لسان قل خيراً تغنْم، أو أنصت تسلم من قبلِ أن تندم

“Wahai lisan, berkatalah yang baik engkau akan memperoleh kebaikan yang banyak, atau diamlah engkau akan selamat sebelum engkau menyesal”.

Lalu orang-orang di sekitarnya berkata:

يا أبا عبد الرحمن، هذا شيء تقوله، أو شيء سمعته؟

“Wahai Abu Abdirrahman, perkataan ini berasal darimu atau sesuatu yang engkau dengar (dari nabi)?”

Ibnu Mas’ud berkata: “Tidak, bahkan aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إن أكثر خطايا ابن آدم في لسانه

“Sesungguhnya kebanyakan dari kesalahan-kesalahan anak Adam berasal dari lisannya” [HR. Al-Khathiib (1/436), Al-Haitsami berkata: ‘para perawinya adalah perawi kitab Ash-Shahih’” (10/300)]

Lisan yang Tidak Dijaga Menjerumuskan ke dalam Neraka

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

وإن العبد ليتكلم بالكلمة من سخط الله تعالى لا يلقى لها بالاً يهوي بها في جهنم

“Sungguh seorang hamba mengucapkan suatu kalimat yang mengandung kemurkaan Allah ta’ala, ia tidak peduli dengannya hingga ia dilemparkan ke dalam neraka Jahannam disebabkan kalimat yang ia ucapkan” [HR. Al-Bukhari no. 6478 dan Muslim no. 2988]

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah ditanya tentang amalan yang paling banyak memasukkan seseorang ke dalam surga, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab:

تقوى الله، وحسن الخلق

“Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik”.

Kemudian beliau ditanya tentang sesuatu yang paling banyak memasukkan seseorang ke dalam neraka, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab:

الأجوفان: الفم، والفرج

“Dua lubang yaitu mulut dan kemaluan” [HR. Ibnu Majah no. 4246, Al-Baghawi dalam Syarh As-Sunnah (13/80) dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani]

Berkatalah yang Baik atau Diam

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيراً أو ليصمت

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata yang baik atau diam” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

رحم الله عبداً قال خيراً فغنم، أو سكت عن سوء فسلم

“Allah merahmati seorang hamba saat ia berkata yang baik kemudian ia memperoleh kebaikan yang banyak atau saat ia diam dari perkataan yang buruk kemudian ia selamat” [HR. Ibnul Mubarak dalam Az-Zuhd no. 380 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 755]

An-Nawawi rahimahullah berkata:

وينبغي لمن أراد النطق بكلمة أو كلام، أن يتدبره في نفسه قبل نطقه، فإن ظهرت مصلحته تكلم، وإلا أمسك

“Barangsiapa yang ingin mengucapkan suatu kalimat atau perkataan, semestinya ia memikirkan ucapan tersebut dalam dirinya sebelum mengatakannya. Apabila terdapat maslahat, silahkan ia berbicara, namun apabila tidak terdapat maslahat, hendaklah ia menahan ucapannya” [Syarh Shahih Muslim, 18/328]

Perkataan yang Baik adalah Shadaqah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

والكلمة الطيبة صدقة

“Kalimat yang baik adalah shadaqah” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Jadilah Engkau Sebagai Pembuka Pintu Kebaikan bagi Hamba-hamba 
Allah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إن من الناس مفاتيح للخير مغاليق للشر، وإن من الناس مفاتيح للشر مغاليق للخير، فطوبى لمن جعل الله مفاتيح الخير على يديه وويل لمن جعل الله مفاتيح الشر على يديه

“Sungguh diantara manusia ada yang menjadi pembuka (pintu) kebaikan dan penutup (pintu) keburukan.  Dan diantara manusia ada yang menjadi pembuka (pintu) keburukan dan penutup (pintu) kebaikan. Maka beruntunglah bagi orang –orang yang Allah jadikan sebagai pembuka pintu-pintu kebaikan melalui kedua tangannya, serta celakalah orang-orang yang Allah jadikan sebagai pembuka (pintu) keburukan melalui kedua tangannya” [Silsilah Ash-Shahihah no. 1332]

Allahua’lam, semoga bermanfaat…


Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 3 Rabi’ul Awwal 1436

Thursday, December 18, 2014

Hukum Menuliskan Nama Orang Yang Mati di Batu Nisan

Tanya:

ما حكم وضع حجرين من مادة الإسمنت على القبر، يُكتب على أحدهما اسم المُتوفَّى لتعليم قبره لئلاَّ يشتبه بقبر آخر؟ وبارك الله فيكم.

“Apa hukum meletakkan dua batu yang bertuliskan nama mayat di atas kuburan, di salah satu dari kedua batu itu tertulis nama orang yang wafat agar kuburannya diketahui dan dapat dibedakan dengan kuburan yang lain? Barakallahufiikum

Jawab:

Asy-Syaikh Muhammad Ali Farkuuz hafizhahullah menjawab:

“Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat dan salam tercurah kepada nabi yang Allah utus sebagai rahmat bagi seluruh alam, keluarganya, sahabatnya, serta saudara-saudaranya hingga hari pembalasan, amma ba’du.

Pada asalnya membangun kuburan, membuat pondasi dengan semen, menulis di atasnya, serta duduk di sisi kuburan tidak diperbolehkan, berdasarkan hadits yang dikeluarkan oleh Muslim dan selainnya, dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma berkata:

نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ القَبْرُ، وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ، وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ أَوْ يُزَادَ عَلَيْهِ، أَوْ يُكْتَبَ عَلَيْه

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang kuburan disemen, duduk di atasnya, dibangun atau ditambah, maupun ditulis di atasnya” [HR. Muslim dalam Al-Jana’iz no. 2245, Abu Daud dalam Al-Jana’iz no. 3326, An-Nasa’i dalam Al-Jana’iz no. 2027, Al-Hakim no. 1396, dari hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu]

Disebutkan dalam hadits Abu Al-Hayyaj Al-Asadiy, ia berkata: Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata kepadaku: “Maukah engkau aku utus sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengutusku,

أَن لاَ تَدَعَ تِمْثَالاً فِي بَيْتٍ إِلاَّ طَمَسْتَهُ، وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَه

“Janganlah engkau meninggalkan gambar dalam suatu rumah,  kecuali engkau hapus. Jangan pula engkau meninggalkan kuburan yang tinggi kecuali engkau ratakan” [HR. Muslim dalam Al-Jana’iz no. 2243, Abu Daud dalam Al-Jana’iz no. 3218, At-Tirmidzi dalam Al-Jana’iz no. 1049, An-Nasa’i dalam Al-Jana’iz no. 2031 dan Ahmad no. 743, dari hadits Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu]

Meskipun para ulama membenci penulisan di atas kubur secara mutlak, namun mereka membuat pengecualian (pembolehan –pen) sebatas ada kebutuhan, misalkan hanya menuliskan nama orang yang wafat di atas kuburan agar kuburannya dikenali, bukan dalam kategori bermegah-megahan. Pengambilan hukum ini diqiyaskan dari hadits berikut:

وَضْعِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ الحَجَرَ عَلَى قَبْرِ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan batu di atas kuburan Utsman bin Mazh’un” [HR. Ibnu Majah dalam Al-Jana’iz no. 1561, dari hadits Anas radhiyallahu ‘anhu. Al-Albani berkata dalam Shahih Ibnu Majah: “hasan shahih”]

Hadits ini merupakan takhshiish bil qiyas dari keumuman larangan, kaidah ini dipakai oleh kebanyakan ulama. Hendaklah ia meminimalisir penulisan nama sebatas agar kuburan itu dikenali saja ketika dikhawatirkan kuburan itu hilang atau dilupakan. Mungkin dengan penulisan nama saja atau nomor makam tanpa penambahan bangunan dan semisalnya. Hal ini sesuai dengan kaidah,

مَا جَازَ لِعُذْرٍ بَطَلَ بِزَوَالِه

“Hal-hal yang diperbolehkan karena udzur, menjadi terlarang apabila udzur itu hilang”.

Apabila memungkinkan dengan batu atau yang lain agar dapat dikenali, maka tidak apa-apa. Semua itu adalah upaya untuk mencapai tujuan yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap kuburan Utsman bin Mazh’un radhiyallahu ‘anhu dalam haditsnya:

أَتَعَلَّمُ بِهَا قَبْرَ أَخِي، وَأَدْفِنُ إِلَيْهِ مَنْ مَاتَ مِنْ أَهْلِي

“Apakah kuburan saudaraku ini diberi tanda? Aku akan menguburkan bersamanya orang-orang yang wafat dari keluargaku” [HR. Abu Daud dalam Al-Jana’iz no. 3206, Al-Baihaqi no. 6843, dari hadits Al-Muthalib bin Abdillah bin Hanthab radhiyallahu ‘anhu. Hadits ini dihasankan oleh Ibnul Mulaqqin dalam Al-Badr Al-Munir (2/29), Ibnu Hajar dalam Talkhis Al-Habiir (5/229) dan Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah (7/161)]

Wal’ilmu ‘idallah, waakhiru da'wana Anilhamdulillah rabbil ‘alamin washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa’ala alihi washahbihi, waikhwanihi ilaa yaumid din wasallam tasliman."


Aljaza’ir, 25 Dzulhijjah 1427 H bertepatan dengan 14 Januari 2007

Berikut teks fatwa beliau:

الحمدُ لله ربِّ العالمين، والصلاةُ والسلامُ على من أرسله اللهُ رحمةً للعالمين، وعلى آله وصَحْبِهِ وإخوانه إلى يوم الدين، أمّا بعد:
فالأصلُ أنه لا يجوز بناءُ القبور وتجصيصُها، والكتابةُ عليها، والقعودُ عليها، لما أخرجه مسلمٌ وغيرُه من حديث جابر بن عبد الله رضي الله عنهما قال: «نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ القَبْرُ، وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ، وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ أَوْ يُزَادَ عَلَيْهِ، أَوْ يُكْتَبَ عَلَيْهِ»(1- أخرجه مسلم في «الجنائز»: (2245)، وأبو داود في «الجنائز»: (3226)، والنسائي في «الجنائز»: (2027)، والحاكم: (1396)، من حديث جابر رضي الله عنه)، وفي حديث أبي الهياج الأَسْدِيِّ قال: «قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَلاَ أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ، أَن لاَ تَدَعَ تِمْثَالاً فِي بَيْتٍ إِلاَّ طَمَسْتَهُ، وَلاَ قَبْرًا مُشْرِفًا إِلاَّ سَوَّيْتَهُ»(2- أخرجه مسلم في «الجنائز»: (2243)، وأبو داود في «الجنائز»: (3218)، والترمذي في «الجنائز»: (1049)، والنسائي في «الجنائز»: (2031)، وأحمد: (743)، من حديث علي بن أبي طالب رضي الله عنه).
هذا، وإن كان أهلُ العلم يكرِّهون الكتابةَ على القبر مُطلقًا إلاّ أنهم يستثنون ما تدعو الحاجة إليه كالتعرّف على القبر بأن يُكتفى بكتابة اسم الميّت لا على سبيل الزخرفة، إلحاقًا قياسيًّا على «وَضْعِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ الحَجَرَ عَلَى قَبْرِ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ»(3- أخرجه ابن ماجه في «الجنائز» باب ما جاء في العلامة في القبر: (1561)، من حديث أنس رضي الله عنه، قال الألباني في «صحيح ابن ماجه» (1/498): «حسن صحيح»)، وهو من تخصيصِ عمومِ النهي بالقياس وهو جائزٌ عند الجمهور.
غير أنه يُقتصر على أدنى ما يحصل به التعرّف عليه إذا خُشِيَ زوالُه أو نسيانُه سواء بكتابة اسمه فقط أو رقمه العددي من غير الزيادة عليه ببناءٍ أو غيرِه جريًا على قاعدة: «مَا جَازَ لِعُذْرٍ بَطَلَ بِزَوَالِهِ»، وهذا إذا تعذّر تعليمه بحَجَرٍ ونحوِه، كلُّ ذلك سَعْيًا لتحقيق الغاية التي من أجلها وَضَع النبيُّ صَلَّى الله عليه وآله وسلم الحجرَ على قبر عثمان بن مظعون رضي الله عنه وهي قوله: «أَتَعَلَّمُ بِهَا قَبْرَ أَخِي، وَأَدْفِنُ إِلَيْهِ مَنْ مَاتَ مِنْ أَهْلِي»(4- أخرجه أبو داود في «الجنائز»: (3206)، والبيهقي: (6843)، من حديث المطلب بن عبد الله بن حنطب رضي الله عنه. والحديث حسنه ابن الملقن في «البدر المنير»: (2/29)، وابن حجر في «تلخيص الحبير»: (5/229)، والألباني في «السلسلة الصحيحة»: (7/161)).
والعلمُ عند الله تعالى، وآخر دعوانا أنِ الحمد لله ربِّ العالمين، وصَلَّى اللهُ على نبيِّنا محمّد، وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدِّين، وسلّم تسليمًا.
الجزائر في: 25 من ذي الحجة 1427ه

الموافق ل: 14 يناير 2007م

Saturday, December 13, 2014

Tugas َUshul Fiqh di Universitas Islam Madinah

بسم الله الرحمن الرحيم


المقدمة

الحمد لله الذي بين لنا الحلال والحرام وأحل لنا الطيبات وحرم علينا الخبائث واللآثام والصلاة والسلام على نبينا محمد خير الأنام وعلى آله وأصحابه البررة الكرام, أما بعد

إن من علامة الخير في العبد المسلم أن يوفقه الله للفقه في دينه, قال رسول الله صلى الله علبه وسلم: ((من يرد الله به خيرا يفقه في الدين))[1] ومن أنواع هذا الفقه فقه الأحكام الشرعية الذي هو من أنواع الفقه المحمود في دين الله. إن لعلم أصول الفقه أهمية بالغة في استنباط الأحكام الشرعية من مصادرها المعتبرة في الشرع، وعن طريقه يتمكن الفقيه من الوصول للحكم بسهولة ويُسر، ويتمكن من معرفة الراجح من المرجوح من أقوال الفقهاء، وتمييز الأقوال الصحيحة من السقيمة، وكان أصول الفقه  ولا زال  وسيلة للدفاع عن الدِّين

وفائدة أصول الفقه لا تقتصر على استنباط الأحكام الفقهية وحسب، بل تتعدى إلى جميع الأحكام الشرعية؛ فلا يستغني عن أصول الفقه فقيه، ولا مفسِّر، ولا محدِّث، ولا شارح للعقيدة؛ فهو علم لتفسير النصوص، والترجيح بين الأقوال، وبه يفهم مراد الله ومراد رسوله صلى الله عليه وسلم

بناء على هذا كتبت بحثا موجزا بعنوان "حكم العام الوارد على سبب خاص" قدمته للحصول على درجة أعمال السنة في مادة قاعة البحث للمستوى السادس في كلية الشريعة بالجامعة الإسلامية للعام 1436ه
وقد قسمت البحث إلى هذه المقدمة ومبحثين وخاتمة على النحو التالي:

Friday, December 5, 2014

9 Alasan Kenapa Tidak Boleh Mencela Ulama

1) Karena ulama adalah wali Allah

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam hadits qudsi yang panjang, Allah ta’ala berfirman:

مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ

“Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, sungguh aku telah mengumumkan perang kepadanya…” [HR. Al-Bukhari no. 6502 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]

Al-Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata:

إن لم يكن الفقهاء أولياء الله فليس لله ولي

“Apabila para fuqaha’ (ulama) bukan wali-wali Allah, maka Allah tidak memiliki wali”

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

إن لم يكن الفقهاء أولياء الله في الآخرة فما لله ولي

“Apabila para fuqaha’ (ulama) bukan wali-wali Allah di akhirat, maka Allah tidak memiliki wali”

‘Ikrimah rahimahullah berkata:

إياكم أن تؤذوا أحداً من العلماء، فإن من آذى عالماً فقد آذى رسول الله - صلى الله عليه وسلم -

“Berhati-hatilah kalian, janganlah menyakiti salah seorang pun dari ulama. Barangsiapa yang menyakiti seorang ulama, sungguh ia telah menyakiti rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam”

Monday, December 1, 2014

Keutamaan Yaman (Dari Manakah Fitnah itu Datang?)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan keberkahan bagi penduduk Yaman, beliau bersabda:

اللهم بارك لنا في شامنا ، اللهم بارك لنا في يمننا

“Ya Allah berkahilah Syam kami, Ya Allah berkahilah Yaman kami” [HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya; Kitab Al-Fitan, 8/95]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

ألا إن الإيمان يمان، والحكمة يمانية، وأجد نَفَسَ ربكم من قبل اليمن

“Ketahuilah, sesungguhnya iman berada di Yaman dan hikmah (bersama penduduk) Yaman. Aku mendapati Rabb kalian memberikan jalan keluar (dari kesempitan dan permasalahan) dari arah Yaman” [HR. Ahmad dalam Al-Musnad no. 10555 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]

Hadits di atas shahih, Al-Haitsami rahimahullah berkata:

رواه أحمد ورجاله رجال الصحيح غير شبيب وهو ثقة

“Diriwayatkan oleh Ahmad, para perawinya merupakan perawi kitab shahih (Al-Bukhari dan Muslim –pen) selain Syubaib, ia tsiqah” [Majma’ Az-Zawa’id (10/31) no. 16627]

Ibnu Faris rahimahullah berkata:

النَّفس: كل شيء يفرج به عن مكروب

An-Nafas adalah segala sesuatu yang menjadi jalan keluar dari kesempitan dan permasalahan” [Maqayis Al-Lughah, 5/369]

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata:

معنى الحديث: أن تنفيس الله تعالى عن المؤمنين يكون من أهل اليمن

“Makna hadits ini bahwa Allah ta’ala memberikan jalan keluar bagi orang-orang beriman melalui penduduk Yaman” [Al-Qawa’id Al-Mutslaa hal. 51]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

وهؤلاء هم الذين قاتلوا أهل الردةوفتحوا الأمصار، فبهم نَفَّسَ الرحمن عن المؤمنين الكربات

“Mereka (penduduk Yaman -pen) lah yang memerangi orang-orang murtad, menaklukkan negeri-negeri dan dengan sebab mereka, Ar-Rahman memberikan jalan keluar bagi orang-orang beriman dari berbagai kesempitan dan permasalahan” [Majmuu’ Al-Fatawaa, 6/398]

Al-Imam Muslim rahimahullah membuat judul bab dalam kitab Shahih-nya:

باب تفاضل أهل الإيمان فيه ورجحان أهل اليمن فيه

“Bab Ahlul-iman Memiliki Iman yang Bertingkat-tingkat dan Kekokohan 
Penduduk Yaman dalam Iman” [Shahih Muslim:  Kitab Al-Iman]

Atau dengan ungkapan yang lebih tepat, judul bab dalam kitab Shahih Muslim yang tercetak sekarang dibuat oleh An-Nawawi rahimahullah, sebagaimana diterangkan oleh guru kami Asy-Syaikh Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah di berbagai majelisnya. Allahua'lam

Kemudian Al-Imam Muslim menyebutkan riwayat berikut: dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

قد جاء أهل اليمن أرق الناس أفئدة الإيمان يمان والفقه يمان والحكمة يمانية

“Penduduk Yaman datang kepada kalian, hati mereka paling lembut diantara manusia. Iman berada di Yaman, fiqih berada di Yaman dan hikmah (dimiliki oleh penduduk) Yaman” [HR. Al-Bukhari no. 4129, Muslim no. 52 dan At-Tirmidzi no. 3935]

Al-Baghawi rahimahullah berkata:

هَذَا حَدِيثٌ مُتَّفَقٌ عَلَى صِحَّتِهِ أَخْرَجَاهُ مِنْ طُرُقٍ ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَة

“Hadits ini telah disepakati keshahihannya, dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari berbagai jalan dari Abu Hurairah” [Syarhus Sunnah, 1/957]

Dalam riwayat lain disebutkan:

أتاكم أهل اليمن هم ألين قلوباً وأرق أفئدة، الإيمان يمان والحكمة يمانية، رأس الكفر قبل المشرق

“Penduduk Yaman datang kepada kalian, hati mereka paling lembut dan penyayang. Iman berada di Yaman, hikmah (dimiliki oleh penduduk) Yaman, sedangkan pokok kekufuran berada di arah Timur”

Asy-Syaikh Muhammad Al-Amiin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata:

"الإيمان يمان" أي: يتأخر الإيمان بها بعد فقده من جميع الأرض

“Iman berada di Yaman, maknanya iman akan keluar terakhir dari Yaman setelah iman itu hilang dari seluruh wilayah bumi” [Adhwa’ul Bayaan, 1/26]

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

كان أهل المشرق يومئذ أهل كفر، فأخبر صلى الله عليه وسلم أن الفتنة تكون من تلك الناحية فكان كما أخبر، وأول الفتن كان من قبل المشرق فكان ذلك سبباً للفرقة بين المسلمين، وذلك ما يحبه الشيطان ويفرح به، وكذلك البدع نشأت من تلك الجهة

“Saat itu penduduk Timur merupakan orang-orang kafir, nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberitahukan bahwa fitnah akan datang dari arah sana, maka terjadilah sebagaimana yang diberitakan oleh nabi. Fitnah pertama datang dari arah timur yang hal tersebut menjadi sebab perpecahan di antara kaum muslimin. Perpecahan sangat disukai setan dan membuat setan bergembira. Demikian pula bid’ah-bid’ah muncul dari arah sana.” [Fathul Bari, 8/98]

Badruddin Al-Ainiy rahimahullah berkata:

إنما أشار عليه الصلاة والسلام إلى المشرق لأن أهله يومئذ أهل كفر فأخبر أن الفتنة تكون من تلك الناحية، وكذا وقع فكان وقعة الجمل ووقعة صفين ثم ظهور الخوارج في أرض نجد والعراق وما وراءها من المشرق، وكان أصل ذلك كله وسببه قتل عثمان بن عفان رضي الله عنه، وهذا علم من أعلام نبوته صلى الله عليه وسلم

“Alasan nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berisyarat ke arah Timur, karena penduduk Timur saat itu adalah orang-orang kafir. Nabi memberitahukan bahwa fitnah akan muncul dari arah sana. Demikian pula di sana lah terjadi perang Jamal, perang Shiffin, munculnya Khawarij di Najd, Irak, serta berbagai wilayah lain di arah Timur. Pokok dari itu semua merupakan sebab terbunuhnya Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu. Inilah diantara bukti dari sekian banyak bukti kenabian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. [Umdatul Qari’, 35/156]

Al-Imam Ath-Thabrani rahimahullah meriwayatkan hadits dengan redaksi yang berbeda, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

جاء الفتح ونصر الله وجاء أهل اليمن

“Penaklukan dan pertolongan Allah telah datang, penduduk Yaman telah datang.”

Seorang laki-laki bertanya:

يا رسول الله، وما أهل اليمن؟

“Wahai Rasulullah, siapakah penduduk Yaman?”.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

قوم رقيقة قلوبهم لينة قلوبهم، الإيمان يمان والفقه يمان

“Kaum yang memiliki hati lembut dan penyayang. Iman berada di Yaman dan fiqih berada di Yaman” [HR. Ath-Thabrani no. 11903]

Al-Haitsami rahimahullah berkata:

رواه الطبراني في الكبير والأوسط بأسانيد، وأحد أسانيد رجاله رجال الصحيح

“Ath-Thabrani meriwayatkan hadits itu dalam Al-Kabiir dan Al-Ausath dengan sanad-sanadnya. Seluruh perawi dalam salah satu sanadnya adalah perawi kitab Shahih (Al-Bukhari dan Muslim –pen)” [Majma’ Az-Zawa’id, 9/26]

Allahua’lam, semoga bermanfaat


Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 9 Shafar 1436