Friday, October 31, 2014

Tertinggal Shalat Jum'at, Apa Yang Harus Kita Lakukan?

Misalkan saat seorang menghadiri shalat Jum’at, ia telah mendapati imam telah duduk tasyahud akhir, kemudian ia langsung duduk mengikuti imam dan sempat salam bersama imam. 

Apakah ia telah mendapatkan shalat Jum’at? Bukankah ia tidak sempat mendengarkan khutbah? Bagaimana ia mengqadha shalatnya, 4 rakaa’at atau 2 raka’at? Bukankah ia juga tidak mendapatkan satu raka’at bersama imam?

Para ulama berselisih kapankah seseorang dikatakan masih mendapatkan shalat Jum’at. Terdapat tiga pendapat yang masyhur dalam permasalahan ini:

Pertama, seorang mendapatkan shalat Jum’at jika ia mendengarkan khutbah. Barangsiapa yang tidak sempat mendengarkan khutbah, maka ia shalat Zhuhur. Sebab khutbah merupakan syarat sah Jum’at menurut pendapat ini. Diantara ulama yang berpegang dengan pendapat ini adalah Thawus, Atha’, Mujahid, Makhul dan Sa’id bin Jubair rahimahumullah.

Mereka berdalil dengan dalil ‘aqli bahwa khutbah merupakan pengganti dari dua raka’at shalat Zhuhur, sementara dua raka’at yang lain ditunaikan dengan dua raka’at Jum’at. Sehingga barangsiapa yang ketinggalan khutbah,  maka dua raka’at Jum’at tidak mencukupinya, ia harus shalat Zhuhur 4 raka’at.

Kedua, seorang mendapatkan shalat Jum’at jika ia masuk dalam shalat sebelum imam salam. Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Dawud Azh-Zhahiri dan dirajihkan oleh Ibnu Hazm rahimahumullah.

Dalil pendapat ini adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

فما أدركتم فصلوا وما فاتكم فأتموا

“Apa yang kalian dapati (dari gerakan shalat imam –pen), maka shalatlah (mengikuti gerakannya –pen), dan apa yang kalian tertinggal, maka sempurnakanlah” [HR. Al-Bukhari no. 636 dan Muslim no. 602]

Ketiga, seorang mendapatkan shalat Jum’at, jika ia mendapatkan satu raka’at shalat Jum’at bersama imam. Ini merupakan pendapat Al-Hasan Al-Bashri, Ibrahim An-Nakha’i, Az-Zuhri, Al-Auza’i, Al-Laits bin Sa’ad, Sufyan Ats-Tsauri, Malik, Asy-Syafi’i dan Ahmad.[1]

Dalil pendapat ini adalah riwayat hadits lain dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

من أدرك ركعة من الصلاة فقد أدرك الصلاة

“Barangsiapa yang mendapatkan satu raka’at shalat (bersama imam –pen), maka ia mendapatkan shalat tersebut” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]  

Ini juga merupakan pendapat yang ternukil dari sahabat Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud dan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhum.

Tarjih

Dalil pendapat ketiga merupakan nash dalam permasalahan ini. Hadits yang dijadikan dalil pendapat kedua hanyalah menunjukkan anjuran nabi untuk mengikuti gerakan imam saat ia tertinggal shalat. Sedangkan dalil pendapat pertama hanyalah logika ‘aqli yang justru membutuhkan dalil.

Kesimpulannya, pendapat ketiga lebih kuat, Allahua’lam. Pendapat ini dirajihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani, Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahumullah.[2]

Jika seorang makmum masuk dalam shalat Jum'at sesaat sebelum imam salam, maka menurut pendapat yang rajih, ia tidak teranggap mendapatkan shalat Jum'at, sehingga ia harus mengqadha' 4 raka'at dengan niat shalat Zhuhur.

Allahua’lam


Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 7 Muharram 1436





[1] Al-Ausath, 4/100
[2] Fathul ‘Allam, 2/127

Saturday, October 18, 2014

Sikap Yang Benar Terhadap Kesalahan Seorang Ulama

Pertanyaan: Semoga Allah berbuat baik kepada Anda, ada dua pertanyaan tentang manhaj yang sepantasnya bagi seorang penuntut ilmu untuk berjalan di atasnya jika muncul kesalahan dari sebagian Masayikh, yaitu dari Masayikh dan para ulama, dan sebagian penuntut ilmu mendengar ada yang menggelari mereka dengan ucapan yang buruk atau menjatuhkan kehormatan mereka atau mencela mereka. Maka bagaimana bimbingan Anda terhadap hal semacam ini, terkhusus jika sebuah kesalahan muncul dari sebagian Masayikh?
Jawaban Asy-Syaikh Rabi’ bin Hady Al-Madkhaly Hafizhahullah

Jika Air Sedikit Bercampur Najis, Namun Tidak Mengubah Warna, Bau atau Rasanya, Sucikah?

Misalkan satu ember air terkena percikan air kencing, tentu air dalam ember itu tetap nampak  bening tanpa mengalami perubahan warna, bau atau rasanya. Bolehkah air itu digunakan untuk mandi atau berwudhu?

An-Nawawi rahimahullah berkata: “Ibnul Mundzir dan ulama yang lain menghikayatkan ada tujuh pendapat dalam masalah ini”[1]. Namun ada dua pendapat yang lebih kuat diantara tujuh pendapat itu:

Pendapat pertama menyatakan jika jumlah air itu mencapai dua qullah atau lebih, lalu bercampur dengan najis tanpa ada perubahan salah satu dari tiga sifatnya, maka air itu suci. Namun jika jumlah air kurang dari dua qullah, lalu bercampur najis, maka air itu teranggap najis, baik mengalami perubahan atau tidak.

Ini merupakan pendapat dalam madzhab Asy-Syafi’i, Ahmad dalam salah satu riwayat, Ishaq bin Rahawaih dan Abu Ubaid. Mereka berdalil dengan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إذا كان الماء قلتين لم يحمل الخبث

Apabila air itu mencapai dua qullah, maka tidak mengandung najis” [HR. Abu Daud no. 63, An-Nasa’i no. 52, At-Tirmidzi no. 67, Ibnu Majah no. 517, Ibnu Khuzaimah no. 92, Ibnu Hibban no. 1249 dan Al-Hakim (1/132)]. Dalam riwayat lain disebutkan dengan lafazh [لم ينجس] artinya tidak najis.

Hadits ini dishahihkan oleh Ahmad, Ishaq, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Ad-Daraquthni, Al-Baihaqi[2], Al-‘Alla’iy, Ibnu Hajar[3] dan Al-Albani[4] rahimahumullah.

Mafhuum mukhalafah dari hadits di atas, apabila jumlah air itu tidak mencapai dua qullah, lalu bercampur dengan najis, maka air itu mengandung najis.

Pendapat kedua menyatakan air banyak atau sedikit yang bercampur dengan najis, tidak otomatis dihukumi najis hingga mengalami perubahan salah satu dari tiga sifatnya.

An-Nawawi rahimahullah berkata: “Pendapat ini dihikayatkan dari Ibnu Abbas, Ibnul Musayyab, Al-Hasan Al-Bashri, Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Atha’, Abdurrahman bin Abi Laila, Jabir bin Zaid, Yahya bin Sa’id Al-Qaththan dan Abdurrahman bin Mahdi. Sahabat kami berkata: ‘ini adalah madzhab Malik, Al-Auza’i, Sufyan Ats-Tsauri dan Dawud.’

Ibnul Mundzir rahimahullah berkata: ‘Aku berpendapat dengan madzhab ini, pendapat ini juga dipilih oleh sebagian ulama Syafi’iyyah.”[5]

Ini juga merupakan pendapat Ahmad dalam salah satu riwayat dan salah satu qaul Asy-Syafi’i.[6]

Para ulama tersebut berdalil dengan hadits Anas bin Malik dan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma bahwa suatu saat ada seorang arab badui yang kencing di masjid, maka Nabi shallallahu ’alaihi wasallam memerintahkan untuk mengambil seember air, lalu disiramkan di atas bekas kencingnya. [HR. Al-Bukhari no. 221 dan Muslim no. 284]

Sisi pendalilan dari hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hanya memerintahkan untuk menyiramkan satu ember air untuk menghilangkan najis air kencing orang badui tadi, dan itu telah mencukupi. Hal ini menunjukkan apabila jumlah air mendominasi najis, lalu bekas najis telah hilang, maka campuran air itu tidak dihukumi najis.

Tarjih

Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, Asy-Syaukani, Ash-Shan’ani, Ibnu Baz dan Ibnu Utsaimin rahimahumullah merajihkan pendapat kedua.  Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Apabila najis yang bercampur dengan air tidak merubah (salah satu dari tiga sifatnya –pen), maka air itu tetap sama seperti asal penciptaanya yaitu thayyib (suci –pen). Air itu termasuk dalam firman Allah ta’ala: [ويحل لهم الطيبات] artinya Allah menghalalkan bagi mereka sesuatu yang baik.[7].[8]

Adapun hadits qullatain yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama, telah dijawab oleh Asy-Syaukani rahimahullah dalam perkataannya: “Adapun air yang belum mencapai dua qullah, syariat tidak memberitahukan secara pasti bahwa air itu mengandung najis. Apabila jumlah air belum mencapai dua qullah, mafhuum hadits qullatain mengandung beberapa kemungkinan, mungkin air itu berubah menjadi najis atau mungkin pula tidak. Air yang berubah menjadi najis haruslah mengalami perubahan pada salah satu dari sifat-sifatnya.”[9]

Allahua’lam

Sumber: Fathul ‘Allam, 1/27-31


Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 24 Dzulhijjah 1435





[1] Al-Majmuu’ Syarhul Muhadzdzab, 1/112
[2] Al-Badrul Muniir, 1/408-409
[3] At-Talkhish Al-Habiir 1/19
[4] Irwa’ul Ghaliil, 1/60
[5] Al-Majmuu’, 1/113
[6] Al-Mughniy, 1/39
[7] QS. Al-A’raf: 157
[8] I’laamul Muwaqi’in, 1/391
[9] Sa’ilul Jaraar, 1/55

Thursday, October 9, 2014

Mengenal 3 Ulama Kibar di Makkah Yang Masih Hidup

Pertama, Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah

Nama dan nasab beliau

Beliau adalah Asy-Syaikh Al-‘Allamah Al-Muhaddits Rabi’ bin Hadi bin Muhammad ‘Umair Al-Madkhali, berasal dari suku Al-Madakhilah yang terkenal di Jaazaan, sebuah daerah di sebelah selatan Kerajaan Arab Saudi. Suku ini termasuk keluarga Bani Syubail, sedangkan Syubail adalah anak keturunan Yasyjub bin Qahthan.

Kelahiran beliau

Syaikh Rabi’ dilahirkan di desa Al-Jaradiyah, sebuah desa kecil di sebelah barat kota Shamithah sejauh kurang lebih tiga kilometer dan sekarang telah terhubungkan dengan kota tersebut. Beliau dilahirkan pada akhir tahun 1351 H. Ayah beliau meninggal ketika beliau masih berumur sekitar satu setengah tahun, beliau tumbuh berkembang di pangkuan sang ibu -semoga Allah Ta’ala merahmatinya. Sang ibu membimbing dan mendidik beliau dengan sebaik-baiknya, mengajarkan kepada beliau akhlak yang terpuji, berupa kejujuran maupun sifat amanah, juga memotivasi putranya untuk menunaikan shalat dan meminta beliau menepati penunaian ibadah tersebut. Selain pengasuhan ibunya, beliau diawasi dan dibimbing pula oleh pamannya (dari pihak ayah).

Sunday, October 5, 2014

Menjual Kulit Hewan Kurban dan Memberikan Upah Tukang Jagal

Tanya: 
Bolehkah menjual kulit hewan kurban?
Jawab:
Al-Ustadz Qomar Sua'idi, Lc hafizhahullah (Redaktur Majalah Asy-Syariah dan Penanggung Jawab Majalah Tashfiyah) menjawab:
"Orang yang berkurban tidak boleh menjual kulit hewan kurbannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam melarangnya dalam sabda beliau:
Barang siapa yang menjual kulit hewan kurbannya maka tiada kurban baginya.” (HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dihasankan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahihul Jami’)
Tapi, diriwayatkan bahwa Ibnu Umar membolehkan menjualnya bila untuk disedekahkan juga. Namun demikian, tentu hadits Nabi lebih diutamakan, sehingga semaksimal mungkin yang berkurban jangan menjualnya. Bisa dia pakai sendiri untuk keperluan tertentu atau dia sedekahkan.
Hukum ini berlaku bagi orang yang berkurban, adapun bagi seseorang yang diberi atau disedekahi kulit tersebut, maka boleh saja baginya menjualnya, karena ini sudah menjadi miliknya, dan kurban itu telah mencapai sasarannya.
Tanya: 
Bolehkah memberikan sebagian hasil kurban kepada jagalnya sebagai upah jasa?
Jawab:
"Tidak boleh, upah diambil dari luar hewan kurban, atau jagalnya ikhlas tidak mengharapkan upah.
Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam berpesan kepada Ali radhiyallahu ‘anhu,
Dari Ali radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, “Rasulullah memerintahkan aku untuk menyembelihkan untanya, dan untuk menyedekahkan dagingnya, kulitnya serta kain yang ada di atas unta tersebut, serta tidak memberikan sedikit pun darinya kepada tukang jagal (tukang sembelih).” Ali radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami memberikan upah kepadanya dari harta kami sendiri.” (HR. Muslim)
Sumber: Majalah Tashfiyah edisi 09 vol. 01 1432 H-2011 M, hal. 47 & 49.

Hukum Puasa Hari Sabtu

Ash-Shamma’ binti Busr radhiyallahu ‘anha berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لا تَصُومُوا يَوْمَ السَّبْتِ إِلا فِيمَا افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ

“Janganlah kalian berpuasa pada hari Sabtu, kecuali puasa yang diwajibkan Allah kepada kalian” [HR. At-Tirmidzi no. 744 , Abu Daud no. 242 dan Ibnu Majah no. 1726 serta dishahihkan oleh Al-Albani dalam Al-Irwa’ no. 960]

Sepintas membaca hadits di atas, mungkin terlintas dalam benak kita larangan berpuasa sunah pada hari Sabtu secara mutlak, baik bertepatan dengan puasa Arafah, puasa Asyura maupun hari-hari yang lain. Benarkah demikian?

Abu ‘Isa At-Tirmidzi rahimahullah berkata:


هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ ، وَمَعْنَى كَرَاهَتِهِ فِي هَذَا أَنْ يَخُصَّ الرَّجُلُ يَوْمَ السَّبْتِ بِصِيَامٍ لأَنَّ الْيَهُودَ تُعَظِّمُ يَوْمَ السَّبْتِ

“Hadits ini hasan, makna larangan makruh dalam hadits ini adalah saat seorang mengkhususkan hari Sabtu untuk berpuasa, karena orang-orang Yahudi sangat mengagungkan hari Sabtu. [Jami’ At-Tirmidzi no. 744]

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:

يكره إفراد يوم السبت بالصوم ... والمكروه إفراده , فإن صام معه غيره ; لم يكره ; لحديث أبي هريرة وجويرية . وإن وافق صوما لإنسان , لم يكره

“Dimakruhkan mengkhususkan puasa hari Sabtu… hukum makruh berlaku jika puasa itu dikhususkan pada hari Sabtu. Jika ia berpuasa bersamaan dengan hari Sabtu (misalkan puasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya –pen), maka tidak makruh berdasarkan hadits Abu Hurairah dan hadits Juwairiyyah. Jika puasa hari Sabtu bertepatan dengan kebiasaan puasa seseorang, hukumnya juga tidak makruh.” [Al-Mughni, 3/52]

Hadits Abu Hurairah yang dimaksud oleh Ibnu Qudamah adalah riwayat berikut:

لا يَصُومَنَّ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِلا يَوْمًا قَبْلَهُ أَوْ بَعْدَه

“Janganlah salah seorang kalian berpuasa pada hari Jum’at, kecuali ia berpuasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya” [HR. Al-Bukhari no. 1985 dan Muslim no. 1144]

Sedangkan hadits Juwiriyyah yang dimaksud adalah riwayat Al-Bukhari, saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada Juwairiyyah dalam keadaan ia sedang berpuasa pada hari Jum’at:

أَصُمْتِ أَمْسِ ؟ قَالَتْ : لا . قَالَ : تُرِيدِينَ أَنْ تَصُومِي غَدًا ؟ قَالَتْ : لا . قَالَ : فَأَفْطِرِي

Apakah kamu kemarin berpuasa?”

Juwairiyyah menjawab: “tidak

Rasulullah bersabda: “Apakah kamu ingin berpuasa besok?”

Ia menjawab: “tidak

Beliau bersabda: “Berbukalah”. [HR. Al-Bukhari no. 1986]

Hadits Abu Hurairah dan Hadits Juwairiyyah di atas menunjukkan kebolehan berpuasa sunah hari Sabtu, jika bersamaan dengan hari Jum’at, sehingga larangan puasa sunah hari Sabtu sebagaimana hadits Ash-Shamma’ binti Busr tidaklah dipahami secara zhahir.

Demikian pula telah shahih dari nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:

أَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ كان َيَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا

“Puasa yang paling dicintai Allah adalah puasa Daud, ia sehari berpuasa dan sehari tidak berpuasa” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Jika seseorang konsisten berpuasa Daud, tentu puasanya akan bertepatan dengan hari Sabtu. Apakah puasa Daud yang bertepatan dengan hari Sabtu terlarang? Tentu jawabnya tidak. Hal ini juga menguatkan bahwa larangan puasa hari Sabtu tidaklah mutlak, namun terbatas jika puasa itu dikhususkan.

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata:
وليعلم أن صيام يوم السبت له أحوال :
الحال الأولى : أن يكون في فرضٍ كرمضان أداء ، أو قضاءٍ ، وكصيام الكفارة ، وبدل هدي التمتع ، ونحو ذلك ، فهذا لا بأس به ما لم يخصه بذلك معتقدا أن له مزية .
الحال الثانية : أن يصوم قبله يوم الجمعة فلا بأس به ؛ لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال لإحدى أمهات المؤمنين وقد صامت يوم الجمعة : ( أصمت أمس ؟ ) قالت : لا ، قال : ( أتصومين غدا ؟ ) قالت : لا ، قال : ( فأفطري ) . فقوله : ( أتصومين غدا ؟ ) يدل على جواز صومه مع الجمعة .
الحال الثالثة : أن يصادف صيام أيام مشروعة كأيام البيض ويوم عرفة ، ويوم عاشوراء ، وستة أيام من شوال لمن صام رمضان ، وتسع ذي الحجة فلا بأس ، لأنه لم يصمه لأنه يوم السبت ، بل لأنه من الأيام التي يشرع صومها .
الحال الرابعة : أن يصادف عادة كعادة من يصوم يوما ويفطر يوما فيصادف يوم صومه يوم السبت فلا بأس به ، كما قال النبي صلى الله عليه وسلم لما نهى عن تقدم رمضان بصوم يوم أو يومين : ( إلا رجلاً كان يصوم صوماً فليصمه ) ، وهذا مثله .
الحال الخامسة : أن يخصه بصوم تطوع فيفرده بالصوم ، فهذا محل النهي إن صح الحديث في النهي عنه
“Ketahuilah bahwa puasa hari Sabtu memiliki beberapa keadaan:

Pertama, puasa hari Sabtu yang hukumnya wajib, seperti puasa Ramadhan, puasa qadha Ramadhan, puasa kaffarah, puasa  menebus hadyu haji tamattu’ dan semisalnya. Puasa Sabtu dalam keadaan ini tidak apa-apa, selama ia tidak meyakini adanya keutamaan khusus jika berpuasa pada hari itu

Kedua, bersamaan dengan puasa sehari sebelumnya yaitu hari Jum’at, ini juga diperbolehkan. Sebab nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda kepada salah seorang istri beliau yang sedang berpuasa pada hari Jum’at. “Apakah kamu kemarin berpuasa”. Ia menjawab: “tidak”. Nabi bertanya: “Apakah kamu ingin berpuasa besok?”. Ia menjawab: “tidak”. Nabi berkata: “Berbukalah”. Perkataan nabi “Apakah kamu ingin berpuasa besok?” menunjukkan kebolehan berpuasa hari Sabtu jika bersamaan dengan Jum’at.

Ketiga, bertepatan dengan puasa di hari-hari yang disyariatkan, seperti puasa ayyamul bidh (puasa tanggal 13,14 dan 15 tiap bulan hijriyyah –pen), puasa Arafah, puasa Asyura, puasa 6 hari di bulan Syawwal bagi yang telah sempurna berpuasa Ramadhan, puasa 9 hari di awal Dzulhijjah,  puasa ini juga diperbolehkan. Sebab ia berpuasa bukan karena hari itu adalah hari Sabtu, namun karena hari itu adalah hari yang memang disyariatkan berpuasa

Keempat, bertepatan dengan kebiasaan puasa Daud, ini juga diperbolehkan berdasarkan sabda nabi shallallahu ‘alaihi wasallam saat melarang untuk mendahului puasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan: “kecuali seorang yang memiliki kebiasaan puasa, silahkan ia berpuasa”. Larangan puasa ini juga semisal dengan larangan puasa hari Sabtu.

Kelima, mengkhususkan puasa sunah pada hari Sabtu, inilah larangan yang terkandung dalam hadits, jika hadits tersebut shahih[1]. [Asy-Syarhul Mumti’, 20/57]

Allahua’lam

Sumber: islamqa.info


Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 11 Dzulhijjah 1435




[1] Hadits larangan berpuasa hari Sabtu shahih tanpa ada keraguan. Hadits ini dishahihkan oleh At-Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Ibnu As-Sakan, Al-Baihaqi, Ibnu Abdil Barr, An-Nawawi, Al-Albani dan lainnya –rahimahumullah- [Fathul ‘Allam, 2/724]

Aurat Terbuka Saat Shalat, Apakah Shalatnya Batal?

Aurat yang Tersingkap Lebar

Jika bagian tubuh (aurat) yang terbuka lebar dan tersingkap dalam waktu yang lama, maka shalatnya batal. Namun apabila ia segera menutup kembali auratnya, shalatnya sah. Ini merupakan pendapat Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah [Asy-Syarhul Mumti’, 2/168]

Aurat yang Tersingkap Sedikit

Jika aurat yang terbuka hanya sedikit, para ulama memiliki dua pendapat:

Pertama, shalatnya tidak batal, ini merupakan pendapat Ahmad dan Abu Hanifah. Dalilnya adalah hadits dalam Shahih Al-Bukhari no. 4302. Di sana dinyatakan bahwa ‘Amr bin Salamah radhiyallahu 'anhu pernah mengimami shalat para sahabat dalam keadaan sedikit terbuka auratnya, dan beliau tidak mengulangi shalatnya. Demikian pula para sahabat yang bermakmum tidak mengulangi shalatnya.

Kedua, shalatnya batal, ini merupakan pendapat Asy-Syafi’i dan Ahmad dalam salah satu riwayat. Alasan pendapat ini, karena menutup aurat merupakan syarat sah shalat, sehingga tidak dibedakan apakah aurat yang tersingkap sedikit atau banyak. [Al-Mughni, 2/287]

Tarjih

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahumallah menguatkan pendapat pertama, karena pendapat ini didukung oleh nash hadits 'Amr bin Salamah.

[Majmu’ Al-Fatawa, 22/123 dan Asy-Syarhul Mumti’, 2/167]

Jika seseorang sengaja membuka auratnya saat shalat, baik sedikit atau banyak, maka shalatnya batal. Allahua’lam


Sumber: Fathul ‘Allam, 1/540