Monday, September 29, 2014

Fatwa Ulama "Jihadi" Tentang ISIS (Nasehat Untuk Para Pemuda Pecinta Jihad)

Pada artikel yang lalu, kita telah mengetahui fatwa para ulama ahlus-sunnah tentang kelompok ISIS. Dalam artikel ini, para pembaca sekalian akan mengetahui, bukan hanya ulama ahlus-sunnah yang memperingatkan kesesatan ISIS, bahkan ulama “jihadi” (baca takfiri -ed) sendiri tidak setuju dengan ulah mereka. 

Para ulama “jihadi” tersebut adalah pujaan para teroris muda di negeri ini semacam Imam Samudra, Dr. Azahari dan konco-konconya. Mereka adalah  Dr. Aiman Azh-Zhawahiri, Abu Muhammad Al-Maqdisi, Abu Bashir At-Thurthusi, Abu Qatadah Al-Filisthni, dan yang setipe dengan mereka. 

Langsung kita simak apa penuturan mereka tentang ISIS (Islamic State of Iraq and Sham)

Thursday, September 25, 2014

14 Fatwa Ulama Islam Tentang Kesesatan ISIS (Islamic State of Iraq and Sham)

Berikut adalah beberapa fatwa ulama umat Islam tentang kesesatan ISIS (Islamic State of Iraq and Sham). Hal ini merupakan bukti bahwa para ulama ahlus-sunnah salafiyyun telah berlepas diri dari kebiadaban, kekejaman dan tindakan teror yang mereka lakukan, meskipun mengatasnamakan Islam.

Bolehkah Puasa, Jika Hari Arafah Bertepatan Dengan Hari Jum’at

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لا يَصُمْ أحدُكم يوم الجمعة؛ إلا أن يصوم قبله، أو يصوم بعده

“Janganlah salah seorang kalian berpuasa pada hari Jum’at, kecuali ia berpuasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya” [HR. Al-Bukhari no. 1985 dan Muslim no. 1144]

Jumhur ulama berpendapat makruh menyendirikan puasa hari Jum’at.[1]

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

إن السُّنة مضت بكراهة إفراد رجب بالصوم، وكراهة إفراد يوم الجمعة

“Sungguh dalam As-Sunnah telah berlalu (penjelasan -pen) tentang dimakruhkannya puasa di bulan Rajab dan menyendirikan puasa hari Jum’at.” [Majmuu’ Al-Fatawaa]

Bagaimana seandainya hari Jum’at bertepatan dengan hari Arafah, lalu kita hanya berpuasa pada hari Jum’at tanpa berpuasa sehari sebelumnya atau sesudahnya?

An-Nawawi rahimahullah berkata:

يكره إفراد يوم الجمعة بالصوم، إلا أن يوافق عادةً له؛ فإن وصله بيوم قبله أو بعده، أو وافق عادةً له، بأن نذر أن يصوم يوم شفاء مريضه أبداً، فوافق يوم الجمعة لم يكره

“Dimakruhkan menyendirikan puasa hari Jum’at, kecuali apabila bertepatan dengan kebiasaan puasanya. Apabila ia menyambungnya dengan puasa sehari sebelumnya atau sesudahnya atau bertepatan dengan kebiasaan puasanya, atau misalkan ia bernadzar puasa setelah sembuh dari sakitnya, lalu bertepatan dengan hari Jumat, maka hukumnya tidak makruh” [Syarh Shahih Muslim]

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:

ويُكره إفراد يوم الجمعة بالصوم؛ إلا أن يوافق ذلك صوماً كان يصومه، مثل مَنْ يصوم يوماً ويفطر يوماً؛ فيوافق صومه يوم الجمعة، ومن عادته صوم أول يوم من الشهر، أو آخره، أو يوم نصفه، ونحو ذلك.

“Dimakruhkan menyendirikan puasa hari Jum’at, kecuali apabila bertepatan dengan hari kebiasaannya berpuasa. Misalkan ia biasa berpuasa Daud lalu bertepatan dengan hari Jum’at, atau seorang yang memiliki kebiasaan berpuasa sunah di awal, pertengahan maupun akhir bulan, dan semisalnya.” [Al-Mughniy]

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata:


صوم يوم الجمعة]  مكروه، لكن ليس على إطلاقه، فصوم يوم الجمعة مكروه لمن قصده وأفرده بالصوم، لقول النبي[  ]  صلى الله عليه وسلم: "لا تخصوا يوم الجمعة بصيام، ولا ليلتها بقيام". 

وأما إذا صام الإنسان يوم الجمعة من أجل أنه صادف صوماً كان يعتاده فإنه لا حرج عليه في ذلك، وكذلك إذا صام يوماً قبله أو يوماً بعده فلا حرج عليه في ذلك، ولا كراهة. 

مثال الأول: إذا كان من عادة الإنسان أن يصوم يوماً ويفطر يوماً فصادف يوم صومه الجمعة فلا بأس، وكذلك لو كان من عادته أن يصوم يوم عرفة فصادف يوم عرفة يوم الجمعة فإنه لا حرج عليه أن يصوم يوم الجمعة ويقتصر عليه، لأنه إنما أفرد هذا اليوم لا من أجل أنه يوم الجمعة، ولكن من أجل أنه يوم عرفة، وكذلك لو صادف هذا اليوم يوم عاشوراء واقتصر عليه، فإنه لا حرج عليه في ذلك، وإن كان الأفضل في يوم عاشوراء أن يصوم يوماً قبله، أو يوماً بعده

“Puasa hari Jum’at hukumnya makruh, namun tidak secara mutlak demikian. Puasa hari Jum’at makruh apabila ia memang menyengaja ingin berpuasa di hari Jum’at secara bersendirian berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ‘Janganlah salah seorang kalian berpuasa pada hari Jum’at, kecuali ia berpuasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya'.

Adapun apabila ia berpuasa hari Jum’at karena bertepatan dengan hari kebiasaannya berpuasa, maka tidak apa-apa. Demikian pula apabila ia berpuasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya, hukumnya diperbolehkan, tidak makruh.

Contoh pertama, apabila ia terbiasa berpuasa Daud, lalu bertepatan dengan hari Jum’at,  maka tidak masalah ia berpuasa pada hari itu. Demikian pula apabila ia memiliki kebiasaan berpuasa Arafah, lalu hari itu bertepatan dengan hari Jum’at, ia juga boleh mencukupkan puasa hari Jum’at saja. Sebab ia mencukupkan puasa hari Jum’at bukan karena hari Jum’at itu sendiri, namun karena hari itu adalah hari Arafah. Demikian pula jika hari Jum’at bertepatan dengan hari Asyura, lalu ia berpuasa hari Jum’at saja, hal itu tidak menjadi masalah. Meskipun yang lebih utama adalah berpuasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya…” [Majmuu’ Fatawa wa Rasa’il Asy-Syaikh]

Para ulama menyatakan:  diantara hikmah larangan berpuasa hari Jum’at, dikarenakan hari Jum’at adalah hari yang disunahkan untuk memperbanyak dzikir, doa, shalawat dan ibadah. Pada hari itu disunahkan untuk bergegas berangkat ke masjid menghadiri Shalat Jum’at, mendengarkan khutbah dan mandi sebelumnya. Tidak berpuasa pada hari itu lebih menguatkan badan untuk mengisi seluruh aktivitasnya dengan ibadah.

Allahua’lam


Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 1 Dzulhijjah 1435




[1] Sebagian ulama yang lain berpendapat haram, berpegang pada kaidah ushul bahwa hukum asal larangan dalam syariat adalah haram. Diantara ulama yang menguatkan pendapat ini adalah Ibnu Hazm (Al-Muhalla no. 795), Ash-Shan’ani (Subulus-Salam, 4/170) dan Asy-Syaukani rahimahumullah

Syiah Hutsi Kuasai Ibukota Yaman, Akankah Pemerintah Sunni di Yaman Berganti Menjadi Rezim Syiah?

KIBLAT.NET, Sanaa – Pemerintah Yaman dan pemberontak Syiah Houthi sepakat untuk menandatangani perjanjian damai pada Ahad (21/09) yang ditengahi oleh PBB. Sementara para pemberontak Houthi telah menguasai gedung-gedung pemerintahan, stasiun radio dan televisi pemerintah di ibukota Sanaa.

Presiden Yaman Abdul Rabuh Mansour Hadi mendesak semua pihak untuk mematuhi kesepakatan tersebut.

Friday, September 19, 2014

Siapakah yang Boleh Memberikan Vonis Kafir, Apakah Harus Ulama? (Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan)

Tanya:

"Apakah hanya ulama yang boleh mengkafirkan para pelaku syirik akbar dan orang-orang yang mencela Allah?"

Asy-Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjawab:

Kapan Hujjah Dinyatakan Telah Tegak Bagi Para Pelaku Kesyirikan? (Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan)

Tanya: 

“Fadhilatus Syaikh semoga Allah memberikan taufiq kepada Anda, di sana terdapat orang-orang yang menyatakan bahwa wajib menegakkan hujjah kepada para penyembah kubur”

Asy-Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjawab: 

Thursday, September 18, 2014

10 Masalah Seputar Penguburan Jenazah


Hukum Menguburkan Jenazah

Al-Hafizh An-Nawawi rahimahullah berkata: “Menguburkan jenazah hukumnya fardhu kifayah berdasarkan ijma’ ” [Al-Majmuu’, 5/282]

Dalilnya adalah hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:

اذهبوا فادفنوا صاحبكم

“Pergilah, kuburkanlah sahabat kalian” [HR. Muslim no. 2236]

Bolehkah menguburkan jenazah di rumah?

Al-Hafizh An-Nawawi rahimahullah  berkata: 


“Diperbolehkan menguburkan jenazah di rumah maupun di area pemakaman. Menguburkan jenazah di area pemakaman lebih utama berdasarkan kesepakatan ulama” [Al-Majmuu’, 5/283]

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam biasa menguburkan jenazah para sahabatnya di area pemakaman khusus yaitu di pemakaman Baqi’. Adapun kebolehan menguburkan jenazah di rumah, karena Nabi, Abu Bakr dan Umar dikuburkan di rumah Aisyah radhiyallahu ‘anhum. Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah menyandarkan pendapat kebolehannya kepada jumhur ulama. [Fathul Bari no. 432]

Kebolehan yang dimaksud di sini adalah menguburkan jenazah di luar rumah, bukan persis di dalam rumah. Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang untuk menjadikan rumah sebagai kuburan.

Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah berkata: 

“Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang membangun kuburan. Seandainya manusia dikuburkan di dalam rumahnya, tentu kuburan dan rumah menjadi satu kesatuan, sedangkan shalat di kuburan terlarang dengan larangan makruh atau bahkan haram. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘shalat seseorang yang paling utama adalah di rumahnya kecuali shalat wajib’ . Hal ini menunjukkan bahwa tidak boleh menjadikan rumah-rumah sebagai kuburan. Adapun kuburan Nabi yang berada di dalam rumah Aisyah, maka ini merupakan kekhususan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam” [Siyar Al-A’lam, 8/29]

Bolehkah wanita menguburkan jenazah?

An-Nawawi rahimahullah berkata: 

“Asy-Syafi’i dan para sahabatnya menyatakan bahwa laki-laki lah yang semestinya menguburkan jenazah, meskipun jenazah itu seorang laki-laki atau perempuan. Tidak ada perselisihan dalam permasalahan ini. Para ulama menyebutkan adanya dua ‘illat: pertama, seperti yang disebutkan oleh penulis kitab, yaitu karena laki-laki lebih kuat dan lebih cakap dalam membawa (jenazah –pen). Kedua, jika perempuan diserahi tugas menguburkan jenazah, hal itu dapat menyebabkan tersingkapnya sebagian badannya (aurat -pen).“ [Al-Majmuu’, 5/288]

Siapakah yang lebih berhak menguburkan jenazah?

Para ulama menyatakan bahwa orang yang paling berhak menguburkan jenazah adalah karib kerabatnya. Allah ta’ala berfirman:

وَأُولُو الْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَى بِبَعْضٍ

Dan orang-orang yang memiliki ikatan rahim (kekerabatan –pen), sebagian mereka lebih berhak kepada sebagian yang lain” [QS. Al-Anfal: 75]

Jika diurutkan dari yang terdekat sebagai berikut: ayah dari mayit, kakeknya, anak laki-lakinya, cucu laki-lakinya, saudara laki-lakinya, pamannya, anak dari pamannya, dan seterusnya.

Para ulama berselisih, siapakah yang lebih berhak menguburkan jenazah seorang suami, istri ataukah kerabat laki-laki suami. Ibnu Hazm rahimahullah lebih menguatkan pendapat yang mendahulukan kerabat suami dari istrinya berdasarkan keumuman ayat di atas. [Al-Muhalla no. 585]

Bolehkah laki-laki menguburkan jenazah wanita yang bukan mahramnya?

Jawabnya boleh, laki-laki yang tidak menggauli istrinya pada malam sebelumnya lebih didahulukan dari laki-laki yang menggauli istrinya. Disebutkan dalam riwayat Al-Bukhari, saat menghadiri pemakaman putrinya,  Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أيكم لم يقارف الليلة

“Siapa diantara kalian yang tidak menggauli (istrinya –pen) malam kemarin?”

Abu Thalhah berkata: “Aku”. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

فانزل في قبرها

“Turunlah ke liang lahat kuburnya”.  Maka Abu Thalhah turun dan menguburkan putri nabi. [HR. Al-Bukhari no. 1285 dari Anas radhiyallahu’anhuma]

Memperdalam dan Memperluas Liang Lahat

Dalil disunahkannya memperdalam dan memperluas liang lahat adalah dua hadits. Pertama, hadits Hisyam bin Amir radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang para syuhada Uhud:

احفرو ا وأعمقوا وأحسنوا وادفنوا الإثنين والثلاثة في القبر

“Galilah, perdalam, perbaiki, kuburkanlah dua atau tiga orang dalam satu liang lahat” [HR. Ahmad (4/19), An-Nasa’i (4/83) dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa’ no. 734]

Kedua, hadits dari salah seorang Anshar, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه

“Perluaslah wilayah bagian kedua kakinya, perluaslah wilayah bagian kepalanya” [HR. Abu Daud no. 3332, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa’ no. 744 dan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahih Al-Musnad no. 1483]

Batas minimal kedalaman penggalian liang lahat adalah sampai jenazah terlindungi dari galian binatang buas dan tidak tercium bau dari luar.

Melepas Ikatan Tali Kafan

Penggunaan tali kafan saat pengurusan jenazah bertujuan untuk mengikat mayat agar tidak terlepas dari kain kafannya, sehingga saat jenazah berada di liang lahat, ikatan tersebut tidak dibutuhkan lagi. Adapun sangkaan orang-orang awam bahwa mayat yang tidak dilepas tali kafannya akan gentayangan dan menjadi pocong, hal itu adalah khurafat yang dapat merusak aqidah seorang muslim. Sebab berbicara dalam perkara ghaib harus bersandar pada dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih.

Memiringkan Jenazah Menghadap Kiblat

Ibnu Hazm rahimahullah berkata: 

“Dalam liang lahat, jenazah diletakkan miring bertumpu pada bagian tubuh yang kanan, wajahnya dihadapkan ke arah kiblat, kepalanya berada di sebelah kanan kiblat dan kedua kakinya berada di sebelah kiri kiblat. Ini merupakan amalan kaum muslimin sejak masa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallah hingga hari ini.” [Al-Muhalla no. 560]

An-Nawawi rahimahullah berkata: 

“Para ulama telah bersepakat bahwa disunahkan meletakkan jenazah miring bertumpu pada bagian tubuh yang kanan. Seandainya jenazah itu bertumpu pada bagian tubuh yang kiri, selama masih menghadap ke arah kiblat, hal itu tidak apa-apa, hanya saja menyelisihi yang lebih utama” [Al-Majmuu’, 5/293]

Doa yang Dibaca Saat Meletakkan Jenazah dalam Liang Lahat

بسم الله وبالله وعلى ملة رسول الله

“Dengan menyebut nama Allah, demi Allah dan di atas agama Rasulullah” [HR. Al-Hakim, 1/366 dengan sanad shahih. Seluruh perawinya adalah perawi Al-Bukhari dan Muslim kecuali Muhammad bin Isma’il, ia adalah perawi At-Tirmidzi dan An-Nasa’i yang tsiqah lagi hafizh]

Jika jenazah memasang gigi emas, apakah giginya ditanggalkan (dicopot) sebelum dikuburkan?

Para ulama Al-Lajnah Ad-Da’imah yang diketuai oleh Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahumullah berkata: 

“Jika mampu untuk ditanggalkan sebelum penguburan dan tidak menimbulkan mudharat pada jenazah, maka lebih baik ditanggalkan. Namun jika jenazah telah dikubur dan gigi emas itu belum sempat ditanggalkan, maka tidak boleh menggali kembali kuburnya untuk menanggalkan gigi emas tersebut” [Fatawa Al-Lajnah, 8/365]

Demikian pula yang difatwakan oleh Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah, hanya saja jika ahli waris sepakat ingin mengambil gigi emas itu, mereka boleh menggali kembali kuburnya setelah mayat itu terurai, karena tindakan membuang harta dengan sia-sia dilarang oleh Nabi shallallahu’alaihi wasallam. [Majmu ‘ Fatawa Al-Utsaimin, 17/88]

Allahua’lam

Sumber: Fathul ‘Allam, 2/346-354


Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 23 Dzulqa’dah 1435    

Monday, September 15, 2014

Beberapa Kaidah Syari’at dalam Pengkafiran

  1. Menghukumi suatu perbuatan sebagai kekafiran atau pelakunya telah kafir adalah hukum syar’i
Berbicara tentang kekafiran suatu perbuatan dan pengkafiran pelakunya sama halnya dengan pembicaraan suatu hukum dalam syari’ah, haruslah berdasarkan ilmu (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Sebab Allah Ta’ala telah mengharamkan pembicaraan dalam agama-Nya tanpa didasari ilmu, sebagaimana firman-Nya:

وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللَّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ 

“(Allah mengharamkan) kalian berkata atas Allah apa yang tidak kalian ketahui.” [Al-A’rof: 33]

Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata, “Makna firman Allah Ta’ala, “(Allah mengharamkan) kalian berkata atas Allah apa yang tidak kalian ketahui”, mencakup pembicaraan tentang nama-nama Allah Ta’ala, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya dan syari’ah-Nya. Semua bentuk pembicaraan tanpa ilmu telah diharamkan oleh Allah Ta’ala. Dia melarang hamba-hamba-Nya untuk melakukan hal itu, karena dalam perbuatan tersebut terdapat kerusakan yang khusus maupun umum.” [Lihat Tafsir As-Sa’di (hal. 283)]

Maka tidak diragukan lagi bahwa pembicaraan tentang kekafiran dan pengkafiran adalah masalah syari’ah yang harus berdasarkan ilmu. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Kekafiran adalah hukum syar’i, hanya boleh ditetapkan dengan dalil-dalil syar’iyyah.” [Lihat Majmu’ Al-Fatawa (17/78)]

Beliau juga berkata, “Oleh karena itu para ulama Sunnah tidak mengkafirkan (semua) yang menyelisihi mereka, meskipun orang yang menyelisihi itu mengkafirkan mereka, karena (menetapkan) kekafiran adalah hukum syar’i.” [Lihat Ar-Roddu ‘alal Bakri (2/492)]

Saturday, September 13, 2014

Sahkah Shalat di Belakang Imam yang Terjatuh dalam Kesyirikan?

Tanya:

“Terdapat seorang laki-laki di wilayah kami, ia membaca Al-Qur’an tanpa tajwid dan tartil. Ia meyakini  penghuni kubur dan orang-orang mati dapat memberikan manfaat dan madharat, ia juga bernadzar untuk mereka. Apakah diperbolehkan shalat bermakmum di belakangnya? Apakah diperbolehkan menshalati mayit yang keadaannya demikian?”

Jawab:

Asy-Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjawab:


من كان يعتقد في الأموات أنهم ينفعون أو يضرون وينذر لهم ويتقرب إليهم فهذا مشرك الشرك الأكبر، والعياذ بالله؛ لأن هذا يعبد غير الله فلا تجوز الصلاة خلفه، ولا تصح ؛ لأنه ليس بمسلم مادام على هذه الحالة‏.‏ ولكن الواجب عليكم أن تناصحوه، وأن تبينوا له أن هذا شرك أكبر، وأنه يجب عليه التوبة إلى الله عز وجل، والعمل بالتوحيد الخالص، وترك عبادة الأموات، فإن تاب ورجع إلى الله جازت الصلاة خلفه، أما مادام على هذه الحالة فهو ليس بمسلم ولا تصح منه صلاة ولا تجوز الصلاة خلفه، وإذا مات فإنه لا يصلى عليه ولا يدفن في مقابل المسلمين ولا يتولاه المسلمون وإنما يتولاه الكفار

“Barangsiapa yang meyakini bahwa orang-orang mati dapat memberikan mannfaat dan mudharat, ia bernadzar kepada mereka, melakukan taqarrub (peribadahan) kepada mereka, maka ia adalah seorang musyrik yang terjatuh dalam syirik akbar, wal ‘iyadzubillah, karena ia beribadah kepada selain Allah. Tidak diperbolehkan dan tidak sah shalat bermakmum di belakangnya. Sebab ia bukanlah seorang muslim selama ia tetap dalam keadaannya.

Namun wajib bagi kalian menasehatinya, menjelaskan kepadanya bahwa perbuatan tersebut termasuk syirik akbar. Wajib baginya untuk bertaubat kepada Allah ‘azza wajalla, merealisasikan tauhid yang murni, meninggalkan peribadahan kepada orang-orang mati. Jika ia bertaubat dan kembali kepada Allah, maka diperbolehkan shalat bermakmum di belakangnya.

Adapun jika ia tetap dalam keadaannya, maka ia bukanlah seorang muslim, shalatnya tidak sah dan tidak boleh shalat bermakmum di belakangnya. Jika ia mati, maka tidak dishalati, tidak dimakamkan di pekuburan muslim dan kaum muslimin tidak boleh ber-wala’ kepadanya. Hanyalah orang-orang kafir yang boleh ber-wala’ kepadanya.” [http://www.alfawzan.af.org.sa/node/3937]


Hukum Melangkahi Punggung Manusia di Masjid

Saat kita telat menghadiri shalat Jum’at, biasanya shaf-shaf  di masjid telah penuh, tinggal tersisa shaf di belakang yang masih kosong. Terkadang sebagian orang melangkahi punggung-punggung manusia untuk sampai pada barisan depan, karena ingin mendapatkan keutamaan shaf terdepan. Apakah perbuatan itu diperbolehkan?

Jumhur ulama berpendapat hukumnya makruh, berdalil dengan hadits Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melihat seorang laki-laki yang melangkahi punggung-punggung manusia, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

اجلس فقد اذيث

Duduklah, sungguh engkau telah mengganggu” [HR. Abu Daud]

Sebagian ulama Asy-Syafi’iyyah seperti Ibnul Mundzir, Al-Ghazali, dan An-Nawawi berpendapat hukumnya haram,  berdalil dengan hukum asal dalam larangan hadits yang bermakna tahriim.

Asy-Syaukani rahimahullah berkata:

Abu Hamid (Al-Ghazali –pen) menghikayatkan  ta’liq dari Al-Imam Asy-Syafi’i yang menegaskan keharamannya” [Nailul Authar, 2/527]

An-Nawawi rahimahullah berkata:

Pendapat yang terpilih (dalam madzhab Asy-Syafi’i –pen) adalah haram” [Al-Majmuu’, 4/547]

Namun pendapat jumhur ulama lebih kuat Allahua’lam, terdapat dalil yang memalingkan dari keharamannya yaitu hadits ‘Uqbah bin Al-Harits radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

أن النبي صلئ العصر فتخطى رقاب الناس إلى بيته

Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah shalat Ashar, kemudian beliau melewati punggung-punggung manusia saat pulang ke rumahnya” [HR. Al-Bukhari no. 851]

Kapankah hal itu dilarang?

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata:

Kebanyakan ulama menghukumi makruh melewati punggung-punggung manusia  khusus di hari Jum’at, baik imam telah hadir menyampaikan khutbah maupun belum hadir. Sebagian ulama yang lain berpendapat tidak makruh kecuali setelah imam hadir. Diantara ulama yang berpendapat demikian adalah Ats-Tsauri, Malik, Al-Auza’i dalam satu riwayat dan  Muhammad bin Al-Hasan” [Fathul Bari, 5/442]

Para ulama tersebut berdalil dengan hadits Arqam bin Al-Arqam Al-Makhzuumi radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الذي يتخطى الناس يوم الجمعة ويفرق بين الإثنين بعد خروج الإمام ...

Seorang yang melangkahi punggung-punggung manusia pada hari Jum’at dan memisahkan antara dua orang, setelah imam keluar…” [HR. Ahmad, 3/417]

Namun hadits ini dha’if karena di dalam sanadnya terdapat perawi bernama Hisyam bin Ziyad Abu Al-Miqdam. Para ulama al-jarh wat ta’dil melemahkannya. Kesimpulannya, hukum makruh di sini berlaku umum, baik imam telah hadir menyampaikan khutbah maupun belum, karena ‘illat dalam larangan hadits adalah “mengganggu”.

Bagaimana jika terdapat shaf di depan yang masih kosong, lalu kita harus melangkahi punggung manusia untuk sampai ke sana?

Ibnu Rajab rahimahullah berkata:

Jika ia mendapatkan shaf yang masih kosong, lalu ia tidak mungkin sampai ke sana kecuali dengan melewati punggung manusia, para ulama memiliki dua pendapat.  Pendapat pertama menyatakan tidak makruh saat itu, ini merupakan pendapat Al-Hasan, Qatadah, Al-Auza’i, Asy-Syafi’i dan selainnya. Pendapat kedua menyatakan makruh, ini merupakan pendapat ‘Atha, Ats-Tsauri dan Ahmad dalam satu riwayat” [Fathul Bari, 5/442]

Bagaimana jika wudhu kita batal, lalu kita tidak bisa keluar dari masjid kecuali dengan melewati punggung manusia?

Ibnu Rajab rahimahullah melanjutkan perkataannya:

Kapan terdapat kebutuhan yang sangat mendesak, seperti wudhu atau berjalan menuju satu-satunya tempat shalat yang masih tersisa atau ia adalah seorang imam yang hendak menuju tempat shalatnya, maka hukumnya tidak makruh. Telah berlalu penyebutan hadits Uqbah bin Al-Harits saat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam segera bangun dari tempat shalat, lalu beliau berjalan sambil melewati punggung-punggung manusia

Allahua’lam



Sumber: Fathul 'Allam, 2/165-168


Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 18 Dzulqa’dah 1435

Thursday, September 11, 2014

Pengumuman Mahasiswa Baru Universitas Islam Madinah Tahun 1436 / 2014

DetailsEnglish NameArabic Name 
DetailsASEP RIDWAN TAUFIQأسيف رضوان توفيق
DetailsMIFTAH FARID ABDUR RAHMANمفتاج فريد عبد الرحمن
DetailsLALU SIDRATUL MUNTAHAلالو سدرة المنتهى
DetailsMUHAMMAD NASIRUDDIN NASIRمحمد ناصر الدين ناصر
DetailsJUNDI QORIBAجندي قريبا
DetailsTUBAGUS ALIعلي بن توباغوس زين العابدين
DetailsSURYADIN AHMADسريا دين
DetailsISMAIL NUR ALAMSHAHإسماعيل بن نور عالمشاه

Saturday, September 6, 2014

Hukum Penggunaan Kartu Kredit (Meluruskan Sebagian Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI)

Kartu kredit adalah kartu yang diterbitkan oleh bank atau perusahaan pengelola kartu kredit yang memberikan hak kepada orang yang memenuhi persyaratan tertentu untuk menggunakannya sebagai alat pembayaran secara kredit atas perolehan barang atau jasa, atau untuk menarik uang tunai dalam batas kredit sebagaimana telah ditentukan oleh bank atau pengelola kartu kredit.

Dalam pembayaran kembali kredit tersebut, pemegang kartu tidak diwajibkan untuk melakukan pembayaran sekaligus, tetapi diberikan kelonggaran untuk membayar secara angsuran dengan tingkat bunga tertentu dan nilai angsuran sebesar persentase tertentu dari saldo kredit yang telah digunakan.

Pada umumnya pemegang kartu kredit tidak disyaratkan memiliki rekening deposito atau tabungan pada bank penerbit kartu. Khusus bagi pemegang kartu kredit yang berdasarkan pengalaman bank tidak mempunyai kemampuan yang pasti untuk membayar, biasanya pihak bank mensyaratkan pemegang kartu agar memiliki rekening deposito atau tabungan pada bank penerbit.

Apabila pemegang kartu kredit tidak mampu membayar kredit, maka bank mempunyai hak untuk menggunakan rekening tabungan atau deposito untuk membayar atau melunasi tagihan. Kartu kredit jenis ini dinamakan kartu kredit berjaminan (secured credit card)

Perbedaan Antara Vonis Kafir Secara Umum dan Vonis Kafir Mu’ayyan (Individu)

Tanya:

Apa perbedaan antara memberikan vonis kekafiran secara umum dan memvonis kafir individu tertentu, serta kapan kita boleh berkeyakinan bahwa ia telah kafir?

Jawab:

 
Asy-Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjawab:

أما الحكم بالكفر على الأعمال كدعاء غير الله ،والذبح لغير الله، والاستغاثة بغير الله ، والاستهزاء بالدين ، هذا كفر بالإجماع بلا شك، لكن الشخص الذي يصدر منه هذا الفعل في الامور الخفيةهذا يتأمل فيه فإن كان جاهلا أو كان متأولا ، أو مقلدا فيدرأ عنه الكفرحتى يبين له، لأنه قد يكون عنده شبهة أو عنده جهل ، فلا يتسرع في إطلاق الكفر عليه حتى تقام عليه الحجة، فإذا أقيمت عليه الحجة واستمر على ما هو عليه فإنه يحكم عليه بالكفر لأنه ليس له عذر.

Bolehkah Bersalaman (Berjabat Tangan) Menggunakan Dua Tangan?

Tanya: 
 
Bolehkah bersalaman (berjabat tangan) menggunakan dua tangan sekaligus?”

Jawab:

Asy-Syaikh Abdul Aziiz bin Baz rahimahullah menjawab:


إن صافح بيد واحدة اليمنى كفى، وإن دعت الحاجة إلى أن يضع يده على يده فلا بأس، مع الزيادة، الأمر في هذا واسع، واليمنى كافية، وإن وضع يده زيادة على اليد اليسرى، زيادة، فلا حرج إن شاء الله من باب العناية والوفاء.


“Cukup baginya berjabat tangan dengan satu tangan kanannya, tidak apa-apa jika ia memerlukan tambahan yaitu meletakkan tangan kanan di atas tangan kirinya. Permasalahan ini memiliki keluasan. Penggunaan tangan kanan sudah mencukupi, jika ia ingin menggabungkan tangan kirinya, tidak masalah insya Allah. Hal itu termasuk bentuk perhatian dalam memenuhi (hak saudaramu -pen).”

Dengarkan rekaman suara beliau di sini (mp3)

Thursday, September 4, 2014

Menjawab Kritikan Terhadap Syaikh Rabi' dalam Permasalahan Iman (Asy-Syaikh Shalih Al-Luhaidan)

Tanya:
 
Apa nasehat Anda kepada para pemuda di sisi kami, di negara Maroko, mereka melemparkan keraguan tentang kedudukan Syaikh Rabi’ hafizhahullah. Terkadang mereka menyatakan Syaikh Rabi’ telah pikun, terkadang menyatakan syaikh tidak memiliki apa-apa kecuali sekedar tulisan-tulisan bantahan, terkadang mereka menyatakan syaikh telah menginjak usia yang renta. Saya membutuhkan jawaban secara terperinci -semoga Allah senantiasa menjaga Anda-”

Jawab:


Asy-Syaikh Shalih Al-Luhaidan hafizhahullah menjawab:

“Semoga Allah memaafkan syaikh, ia belum lah menjadi seorang tua renta yaitu belum menjadi pikun, iya. Usianya di bawah usiaku menurut apa yang aku ketahui, ini point pertama. Ia lulus dari fakultas Syariah di Universitas kira-kira empat tahun setelahku.

Hukum Bedah Mayat dan Otopsi Jenazah (Fatwa Al-Lajnah Ad-Da'imah)

Tanya: 

Kami mengharapkan jawaban tentang hukum Islam terhadap mahasiswa kedokteran yang ketika masa kuliahnya melakukan praktikum bedah mayat. Selain itu mereka harus menyingkap aurat wanita atau sebagiannya. 

Mereka mengatakan bahwa hal tersebut dalam rangka mempelajari kedokteran dan harus dilakukan agar mereka tidak menjadi dokter yang bodoh (tentang anatomi) dan tidak bisa mengobati penyakit yang diderita wanita. Apabila ini terjadi, tentulah para wanita muslimah akan ditangani oleh dokter-dokter Nasrani atau yang lain.

Jawab:
 
Para ulama yang tergabung dalam lembaga fatwa Al-Lajnah ad-Daimah menjawab:

"Pertama, tentang operasi bedah mayat, telah keluar ketetapan dari Haiah Kibarul Ulama (Dewan Ulama Besar) Kerajaan Arab Saudi yang garis besarnya sebagai berikut.

Masalah ini memiliki tiga keadaan:

a. Bedah mayat (otopsi) untuk meneliti sebuah kasus kriminalitas.

b. Otopsi untuk meneliti sebuah penyakit yang mewabah dalam rangka menemukan prosedur perlindungan (masyarakat) dari penyakit tersebut.

c. Bedah mayat untuk kepentingan ilmu pengetahuan, yakni kegiatan belajar dan mengajar.

Setelah komisi yang terkait bertukar pikiran, beradu argumentasi, dan mempelajari masalah di atas, forum mengeluarkan ketetapan sebagai berikut. Tentang dua keadaan yang pertama (yakni poin a dan b), forum memandang bahwa pembolehannya bisa mewujudkan banyak maslahat dalam bidang keamanan dan pengadilan, serta perlindungan masyarakat dari penyakit yang mewabah. Efek negatif tindakan otopsi tersebut akan tertutup oleh sekian banyak maslahat yang nyata dan berdampak luas.

Oleh karena itu, forum sepakat menetapkan bolehnya pembedahan mayat untuk dua tujuan ini, baik mayat tersebut terlindungi (oleh hukum syariat, -pent.) maupun tidak.

Adapun terkait dengan jenis bedah mayat yang ketiga, yaitu untuk kepentingan ilmiah, dengan mempertimbangkan bahwa:

• syariat Islam membawa terwujudnya maslahat dan memperbanyaknya,

• syariat Islam mencegah mafsadat dan mempersedikitnya,

• bolehnya dilakukan sebuah tindakan yang lebih kecil kerusakannya untuk menghilangkan hal yang kerusakannya lebih besar,

• apabila dua hal yang bermaslahat ternyata kontradiktif, dipilih yang lebih banyak efek positifnya,

• pembedahan terhadap hewan tidak bisa menggantikan pembedahan mayat,

• operasi bedah mayat berefek positif terhadap kemajuan berbagai bidang ilmu kedokteran; maka forum memandang bolehnya operasi bedah mayat manusia secara global.

Di sisi lain, forum mempertimbangkan:

• perhatian syariat Islam terhadap kemuliaan seorang muslim yang telah meninggal sebagaimana saat hidupnya; sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Mematahkan tulang mayat (hukumnya) seperti mematahkannya saat ia hidup.”

• pembedahan mayat mengandung perendahan terhadap kemuliaan seorang muslim,

• kebutuhan operasi bedah mayat muslim bisa diganti dengan mayat yang tidak dilindungi (mayat non-muslim -ed); maka forum memandang hendaknya dicukupkan dengan operasi bedah terhadap mayat yang semacam ini dan tidak melakukannya terhadap mayat yang dilindungi, dalam keadaan yang telah disebutkan.

Kedua, tentang menyingkap aurat wanita, apabila ada wanita lain yang bisa melakukannya, seorang lelaki tidak boleh melakukannya.

Apabila tidak ada wanita yang bisa melakukannya -sementara ada faktor yang mengharuskan aurat si wanita disingkap- seorang lelaki muslim boleh melakukannya sekadarnya, dalam rangka mengetahui penyakit si wanita. 

Apabila mayatnya adalah wanita non-muslim atau yang tidak dilindungi (oleh syariat), tidak ada halangan auratnya disingkap dalam rangka kegiatan belajar mengajar dan mengetahui penyakit-penyakit yang diderita wanita serta cara penyebuhannya, berdasarkan ketetapan Haiah Kibarul Ulama yang disebutkan di atas.

Wallahul muwaffiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi wa sallam..."
 
Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal Ifta (Komite Tetap untuk Pembahasan Ilmiah dan Fatwa)

Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Wakil: Abdur Razzaq Afifi
Anggota: Abdullah bin Ghudayyan, Abdullah bhn Qu’ud
(Fatawa al-Lajnah 25/93-95, pertanyaan ke-4 dari fatwa no. 3685)


Sumber: Majalah Asy Syariah no. 95/VIII/1431 H/2013, hal. 75-76 via fadhlihsan.wordpress.com

Tuesday, September 2, 2014

Hukum Asuransi Dalam Islam dan Jenis Asuransi Yang Diperbolehkan

Asuransi adalah perjanjian antara penanggung (perusahaan asuransi) dengan pihak tertanggung untuk memberikan penggantian kepada pihak tertanggung atas resiko kerugian yang tertera dalam perjanjian dan pihak tertanggung berkewajiban membayar premi kepada perusahaan asuransi.

Asuransi modern muncul pertama kali di Italia pada abad ke-14 Masehi yaitu asuransi laut. Para pedagang membawa dagangan mereka dengan jasa kapal laut. Saat itu kapal laut merupakan sarana transportasi dengan resiko tinggi. Maka lahir lah polis asuransi, dimana para pedagang membayar sejumlah uang kepada suatu pihak dan bila terjadi kerusakan atas barang atau hilang selama dalam perjalanan, pihak tersebut bersedia mengganti seluruh kerugian. Karena asuransi ini dianggap menguntungkan kedua belah pihak, maka  perjanjian asuransi ini berkembang pesat dan meluas di seluruh kalangan manusia.

Setelah itu bermunculan berbagai jenis asuransi, dari asuransi kebakaran, asuransi jiwa, asuransi kesehatan, hingga asuransi pendidikan.

Hukum Asuransi

Asuransi semenjak awal kemunculannya telah diharamkan oleh para ulama, baik berbentuk lembaga maupun perorangan. Pada abad ke-19, asuransi mulai masuk ke negara-negara Islam. Al-Imam Ibnu Abidin Al-Hanafi rahimahullah (wafat 1836 M) telah menfatwakan keharaman asuransi. Beliau rahimahullah berkata:

“Ini merupakan pembahasan penting tentang asuransi yang dibayarkan oleh pedagang sebagai imbalan jaminan yang diberikan oleh kafir harbi. Banyak pertanyaan tentang hukum asuransi dewasa ini. Telah menjadi tradisi di kalangan para pedagang, apabila mereka menyewa kapal barang milik seorang kafir harbi, mereka membayar sewa sekaligus membayar sejumlah uang untuk kafir harbi di negerinya. Bayaran ini dinamakan asuransi.

Jika terjadi kecelakaan dan barang niaga di kapal terbakar, tenggelam atau dirampok, maka kafir harbi tersebut memberikan jaminan (mengganti barang –pen) sebagai imbalan dari asuransi yang diterimanya. Kafir harbi tersebut memiliki agen di negeri kita (Islam) yang berada di pesisir pantai. Agen ini menerima setoran asuransi dari para pedagang. Izin tinggal mereka disetujui oleh penguasa. Apabila terjadi kecelakaan pada barang niaga, agen ini akan memberikan ganti rugi. Menurut saya, pedagang tidak halal mengambil ganti rugi tersebut…” [Raddul Mukhtaar, 7/170]

Pada tahun 1978, Al-Majma’ Al-Fiqh Al-Islami (Divisi Fiqh Lembaga Rabithah Alam Islami) dalam muktamar pertama telah memutuskan bahwa asuransi dengan segala jenisnya adalah haram.

“Setelah melakukan kajian yang mendalam dan bermusyawarah, Majelis Al-Majma’ memutuskan berdasarkan suara terbanyak (dari para ulama anggota musyawarah -ed) bahwa  asuransi dengan segala bentuknya berupa asuransi jiwa, asuransi niaga, dan lainnya adalah haram” [Qararat Al-Majma’ Al-Fiqh Al-Islami hal. 33]

Pada tahun 1985, para ulama Islam sedunia yang tergabung dalam Rabithah Al-Alam Al-Islami dalam konferensi kedua di Jeddah sepakat mengeluarkan keputusan no. 9 (9/2) 1985:

“Transaksi asuransi dengan premi tertentu yang diselenggarakan oleh perusahaan asuransi merupakan transaksi dengan tingkat gharar (spekulasi) tinggi. Hal ini membuat hukum transaksi batal (menurut syariat). Oleh karena itu, transaksi ini diharamkan dalam Islam”

Keputusan lembaga-lembaga fatwa internasional yang mengharamkan asuransi didasarkan pada alasan-alasan berikut:

Pertama, polis asuransi termasuk akad tukar-menukar uang dengan uang (sharf). Akad asuransi ini mengandung gharar (spekulasi) tingkat tinggi. Pada saat melakukan akad, pihak tertanggung tidak mengetahui berapa jumlah uang (premi) yang harus ia bayar. Jika terjadi kecelakaan, pihak tertanggung diuntungkan karena memperoleh ganti rugi. Namun jika tidak terjadi apa-apa, maka pihak tertanggung dirugikan  karena diwajibkan untuk terus-menerus membayar premi hingga waktu yang telah disepakati tanpa ada timbal balik yang ia dapatkan.

Pada saat akad, pihak penanggung (perusahaan asuransi) juga tidak mengetahui berapa jumlah uang yang akan dikeluarkan jika terjadi resiko yang ditanggungkan. Bisa jadi penanggung memberikan dana seperti yang disepakati dalam polis dan bisa jadi penanggung tidak memberikan apapun kepada pihak tertanggung, jika resiko itu tidak terjadi.

Tingkat gharar (spekulasi) dalam polis asuransi ini sangat tinggi, sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengharamkan  segala transaksi yang mengandung gharar. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata:

نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن بيع الغرر

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang jual beli (transaksi) yang mengandung gharar” [HR. Muslim]

Kedua, polis asuransi termasuk bentuk perjudian yang diharamkan. Apabila premi dibayarkan sampai waktu yang disepakati dan tidak terjadi kecelakaan, maka penanggung (perusahaan asuransi) diuntungkan dan pihak tertanggung (penyetor) dirugikan. 

Dan sebaliknya, jika terjadi kecelakaan, maka pihak tertanggung akan diuntungkan dan pihak penanggung akan dirugikan. Inilah hakikat perjudian, yaitu saat terdapat salah satu pihak yang diuntungkan, kemudian pihak lain dirugikan. Allah ta’ala telah mengharamkan perjudian dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُون

Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya arak, judi, berhala dan mengundi nasib adalah perbuatan keji yang termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian beruntung” [QS. Al-Maidah: 90]

Ketiga, polis asuransi adalah akad tukar-menukar uang dengan uang (sharf),artinya pihak tertanggung menerima uang ganti rugi sebagai timbal balik dari uang premi yang ia setorkan. Dalam akad tukar-menukar uang (sharf), apabila mata uangnya sejenis, disyaratkan harus sama jumlah nominalnya dan harus diserah-terimakan secara tunai. Jika salah satu persyaratan tidak terpenuhi, maka transaksi tersebut tergolong riba.

Faktanya, dua syarat itu tidak terpenuhi dalam polis asuransi, sehingga transaksi ini tergolong riba fadhl dan riba nasi’ah saat terjadi perbedaan antara jumlah nominal premi yang disetorkan dan uang ganti rugi yang diterima. Riba fadhl karena jumlah nominalnya berbeda, riba nasi’ah karena transaksi ini merupakan tukar menukar dua uang tidak secara tunai. Allahua’lam

Asuransi Yang Diperbolehkan

Pada tahun 2005 Al-Majma’ Al-Fiqh Al-Islami dalam Muktamar ke XVI menghasilkan keputusan no. 149 (7/16) yang membolehkan asuransi kesehatan bila diselenggarakan secara langsung oleh lembaga penyelenggara kesehatan.

“Hukum Asuransi Kesehatan

Jika asuransi kesehatan diselenggarakan secara langsung oleh badan penyelenggara kesehatan, maka hukumnya diperbolehkan dalam syariat, dengan syarat tata cara penyelenggaraannya harus diperhatikan agar gharar dapat ditekan seminimal mungkin. Sebab hukum gharar yang sedikit itu dimaafkan dan akad gharar yang dibutuhkan orang banyak lagi bersifat mendesak seperti asuransi kesehatan dalam rangka menyelamatkan jiwa, akal dan keturunan termasuk hal terpenting yang dijaga dalam syariat Islam, maka hukum gharar-nya dimaafkan.

Diantara hal teknis yang perlu diperhatikan:

Pertama, membuat perjanjian yang sangat rinci dan jelas tentang hak dan kewajiban kedua belah pihak

Kedua, memeriksakan kondisi kesehatan pihak tertanggung terlebih dahulu, sehingga dapat diperkirakan jenis pengobatan dan biaya yang akan ditanggung oleh pihak penyelenggara asuransi

Ketiga, tagihan pembayaran yang diklaim oleh pihak rumah sakit harus sesuai dengan tindakan pengobatan yang telah diberikan kepada pihak tertanggung, bukan berdasarkan rekayasa sebagaimana yang sering dilakukan oleh asuransi komersial”

Allahua’lam, semoga bermanfaat.


Dikutip oleh Abul-Harits dari “Harta Haram Muamalat Kontemporer” di Madinah, 7 Dzulqa’dah 1435