Wednesday, May 28, 2014

Bolehkah Membicarakan Pemimpin yang Berkuasa di Wilayah Lain?

Yang diwajibkan taat kepada pemimpin pada suatu daerah hanyalah penduduk daerah tersebut. Adapun warga dari luar daerah tersebut tidaklah diharuskan untuk taat kepada pemimpin tersebut, tidak secara sya’i tidak pula secara undang-undang. Semua warga hanyalah diwajibkan taat kepada pemerintah yang tertinggi, yaitu Presiden. Oleh karena itu, apabila ada warga dari luar daerah pemerintah tersebut membicarakan pemerintah itu, maka itu tidak menjadi masalah” [Cetak tebal dan garis miring dari saya]

Saya akan memberikan contoh agar permasalahannya lebih jelas, misalkan Ali adalah seorang warga Jawa Timur, karena ia hanya diwajibkan taat kepada Gubernur Jawa Timur beserta jajaran Pemerintah Daerahnya, lalu ia membicarakan aib Gubernur Jogjakarta, lalu mengeksposnya di khalayak umum. Ia menganggap perbuatan itu boleh-boleh saja dan tidak menyalahi syariat…

Benarkah ungkapan di atas?

Jawabnya: keliru, meskipun nash-nash yang berkaitan dengan mendengar dan taat hanyalah berlaku bagi pemimpin muslim yang menguasai wilayah tempat ia berada, namun hal itu tidak melazimkan kebolehan membicarakan penguasa wilayah lain. Berikut beberapa alasannya:

Thursday, May 22, 2014

Menikahi Calon Laki-laki Pilihan Ibu atau Menunggu Sang Kekasih Datang Melamar?

Tanya:


“Assalamualaikum ustadz..

Saya mohon nasihat ustadz berikut penjelasan dalil2nya.. Saya perempuan berusia 23 tahun, sejak SMA saya memiliki teman dekat seorang laki2, setelah lulus kuliah teman saya bekerja di pulau lain..dia mengatakan ingin menikahi saya, dan skrg ingin mencari materi dan mempersiapkan ilmunya dulu.. saya pun menyetujui dan kita hidup masing2..ibu saya sudah tahu masalah ini, bahwa saya akan menunggu dia..tapi tiba2 ibu saya menjodohkan saya dengan laki2 lain..

Tentu saja saya merasa sangat keberatan, tapi ibu memaksa dan mengatakan ini takdir yg harus saya jalani dan saya tidak boleh memilih karena saya seorang perempuan dan saya harus mengikuti kemauan ibu saya dlm hal kebenaran..ayah saya sudah meniggal, saya hanya punya kakak laki2, kakak saya pun memihak kepada ibu karena semua keputusan di tangan ibu..

Ibu saya mengatakan tidak bermasalah dgn calon yang saya pilih, ibu menyukai, hanya saja calon dari ibu lebih tinggi ilmu agamanya dan satu mazhab dgn ibu yaitu salaf..jadi ibu memaksa dan menunggu sampai saya jawab iya, tapi saya tidak mau..
Pdhl calon yg saya pilih pun tidak ada kekurangan secara syar’i..
Mohon nasihatnya..terima kasih” (Verra)

Jawab:

Wa’alaikumussalam warahmatullah,

Perhatikan beberapa point berikut:

Pertama, tidak sepantasnya bagi wanita yang telah dewasa untuk menunda pernikahan. Dengan menikah, seorang wanita dapat lebih menjaga pandangan dan kehormatannya, serta menyempurnakan separuh agamanya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

“Wahai para pemuda, barangsiapa yang telah mampu diantara kalian, maka segeralah menikah. Hal itu lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, hendaklah ia berpuasa, karena puasa dapat menjadi perisai baginya (dari syahwat –pen).” [HR. Al-Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400]

Rasulullah shallalahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا تَزَوَّجَ العَبْدُ فَقَدْ كَمَّلَ نَصْفَ الدِّيْنِ ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي النِّصْفِ البَاقِي

“Jika seorang hamba menikah, sungguh ia telah menyempurnakan separuh agama. Maka bertakwalah pada Allah dalam separuh (agama –pen) yang lain.” [HR. Al-Baihaqiy dan dishahihkan oleh As-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 625]

Dengan menikah, kehidupan Anda akan semakin bermakna dan menjadikan hati lebih tenang dan damai.

Allah ta’ala berfirman:

وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا

Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah menciptakan isteri-isteri untukmu dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tenteram kepadanya.” [QS. Ar-Ruum: 21]

Tindakan Anda menunda-nunda pernikahan, padahal ibu telah memberikan restu dan motivasi, menurut saya kurang tepat. Apalagi alasan Anda menunda pernikahan adalah sesuatu yang belum pasti. Apakah ada kepastian laki-laki itu akan datang melamar bulan depan atau tiga bulan lagi atau tahun depan, atau kapan?

Tidak ada kepastian bahwa laki-laki itu akan memenuhi janjinya untuk menikahi Anda. Barangkali di pulau seberang, ia telah memiliki seorang “teman” wanita untuk menumpahkan rasa cinta, keluh-kesah dan teman mengobrol.  

Kedua, Ayah telah meninggal, sekarang Anda hanyalah bersama kakak dan seorang ibu yang telah melewati hari-hari bersama Anda dari kecil hingga dewasa. Ibu telah susah payah mendidik, merawat dan bersabar menghadapi seorang “Verra” yang bandel saat kecil, apakah setelah dewasa Anda akan tetap menjadi seorang anak yang bandel. Seorang anak memiliki kewajiban yang sangat besar untuk berbuat baik pada ibunya.

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ بِحُسْنِ صَحَابَتِى قَالَ « أُمُّكَ » . قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ « أُمُّكَ » . قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ « أُمُّكَ » . قَالَ ثُمَّ مَنْ قَالَ « ثُمَّ أَبُوكَ »

“Seorang pria pernah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu berkata, ‘Siapa dari kerabatku yang paling berhak aku berbuat baik padanya?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: ‘ibumu’, ia berkata lagi, ‘kemudian siapa lagi?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: ‘ibumu.’ Ia berkata lagi, ‘kemudian siapa lagi?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: ‘ibumu’. Ia berkata lagi, ‘kemudian siapa lagi?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: ‘ayahmu’.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Setiap ibu pasti menginginkan anaknya hidup bahagia, baik kebahagiaan di dunia, maupun di akhirat. Oleh karena itu, ibu memilihkan untuk Anda seorang calon suami yang menurut penilaian ibu lebih baik dari pilihan Anda itu. Ini adalah naluri seorang ibu, setelah ditunggu-tunggu kekasih Anda tidak kunjung datang melamar, ibu segera mencarikan penggantinya untuk Anda.

Ingatlah, ridha Allah bergantung pada keridhaan orang tua dan murka Allah juga bergantung dengan kemurkaan orang tua, tentunya dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan syariat. Dalam hal ini sikap ibu sudah tepat, yaitu ingin mencarikan pendamping hidup terbaik bagi anak perempuan satu-satunya yang ia cintai. Hal ini tidaklah menyelisihi syariat.


Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:

 رِضَا الرَّبِّ فِي رِضَا الْوَالِدِ، وَسُخْطُ الرَّبِّ فِي سُخْطِ الْوَالِدِ

“Ridha Allah bergantung pada keridhaan orang tua dan murka Allah bergantung kepada kemurkaan orang tua” [HR. Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad no. 2, At-Tirmidzi no. 173 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Adab Al-Mufrad]

Terkadang kita membenci sesuatu, padahal hal itu lebih baik bagi kita. Begitu pula sebaliknya, terkadang kita menyukai sesuatu padahal hal itu amat buruk bagi kita.

Allah ta’ala berfirman:

و عسى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وهُوَ خَيْرٌ لكَمْ وَعَسى أَنْ تُحِبُّوْا شَيْئا وهو شرٌّ لكم واللهُ يعلمُ وأَنْتُمْ لا تَعْلمُوْنَ

Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal hal itu lebih baik bagimu, dan bisa jadi kamu menyukai sesuatu, padahal hal itu amat buruk bagimu, dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” [QS. Al-Baqarah: 216]

Oleh karena itu, pasrahkanlah pilihan kita pada Allah. Shalatlah dua raka’at Istikharah, berdoalah dan mintalah petunjuk kepada-Nya. Jika pilihan ibu memang yang terbaik, maka mudahkanlah jalannya. Namun jika pilihan ibu bukan yang terbaik bagi Anda, mudah-mudahan segera digantikan dengan calon yang lebih baik…

Ketiga, janganlah Anda membuat ibu kecewa, berilah sedikit harapan kepada ibu, agar beliau merasa senang. Sampaikanlah pada ibu bahwa Anda bersedia menerima tawarannya, jika memang Anda merasa cocok dengan laki-laki tersebut. Mintalah pada ibu agar laki-laki yang ditawarkan segera datang ke rumah.

Setelah itu, silahkan Anda memberikan penilaian, jika Anda sedikitpun tidak merasa tertarik dengannya, Anda tidak perlu memaksakan diri. Berterus teranglah pada ibu bahwa Anda belum merasa cocok, saya yakin ibu pasti memakluminya dan mau mengerti. Berbeda keadaannya ketika Anda menolak pilihan ibu dari awal perjodohan, ibu akan merasa kecewa dan sakit hati.

Jika ternyata sebaliknya, laki-laki itu memiliki agama, akhlak dan kepribadian yang baik, serta membuat Anda tertarik, saya menasehatkan untuk menerimanya, karena jodoh Anda berada di depan mata. Mudah-mudahan ia adalah jodoh yang terbaik. Anda tidak perlu terlalu lama menunggu laki-laki yang berada di pulau seberang, sampai kapan Anda akan terus menunggu…

Buatlah ibu Anda senang, karena hal itu menunjukkan cinta dan bakti Anda kepada ibu. Sejak kecil hingga dewasa, ibu telah banyak berkorban dan berbuat baik, bukankah ibu tidak mengharapkan imbalan apapun kepada Anda? Sekarang ibu hanyalah memohon sebuah permintaan, itu pun demi kebaikan Anda juga, tegakah jika Anda menolaknya mentah-mentah?

Allahua’lam, semoga bermanfaat…


Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 23 Rajab 1435

Wednesday, May 21, 2014

Hukum Syariat Tentang Anak Zina

Tanya:

“Kami ingin mengajukan beberapa pertanyaan terkait dengan jawaban Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari tentang “Taubat dari Perbuatan Zina”, sebagai berikut:

1. Apa dalil wajibnya istibra` ar-rahim dari bibit seseorang atas seorang wanita yang berzina jika hendak dinikahi?

2. Apa dalil tidak bolehnya menasabkan anak hasil zina tersebut kepada lelaki yang berzina dengan ibunya? Apa dalil tidak bolehnya lelaki tersebut menjadi wali pernikahan anak itu dan bahwa lelaki tersebut bukan mahram anak itu (jika wanita)?

3. Jika kedua orang yang berzina tersebut menikah dalam keadaan wanitanya hamil, bagaimana hukumnya dan bagaimana status anak-anak mereka yang dihasilkan setelah pernikahan? Apakah mereka merupakan mahram bagi anak zina tadi dan bisa menjadi wali pernikahannya?

4. Siapa saja yang bisa menjadi wali pernikahan anak zina tersebut?” (Fulanah di Solo)

Jawab:

Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Saribini hafizhahullah menjawab:

"Alhamdulillah, wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi waman walah.

1.  Seorang wanita yang berzina dengan seorang lelaki, keduanya berstatus pezina selama belum bertaubat dari perzinaan itu. Maka wanita itu tidak boleh dinikahi oleh siapapun sampai terpenuhi dua syarat berikut:

a. Wanita itu bertaubat kepada Allah, dan jika yang hendak menikahinya adalah lelaki yang berzina dengannya maka juga dipersyaratkan laki-laki tersebut telah bertaubat. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat An-Nur: 3,

Laki-laki pezina tidaklah menikahi selain wanita pezina atau wanita musyrik, dan wanita pezina tidaklah menikahi selain lelaki pezina atau lelaki musyrik, dan hal itu diharamkan atas kaum mukminin.”

b. Wanita tersebut melakukan istibra` yaitu pembebasan rahim dari bibit lelaki yang telah berzina dengannya. Karena dikhawatirkan lelaki tersebut telah menanam bibitnya dalam rahim wanita itu. Artinya, wanita itu hamil akibat perzinaan itu.

Wanita itu harus melakukan istibra` untuk memastikan bahwa rahimnya kosong (tidak hamil), yaitu menunggu sampai dia mengalami haid satu kali karena dengan demikian berarti dia tidak hamil. Apabila diketahui bahwa dia hamil maka istibra`-nya dengan cara menunggu sampai dia melahirkan anaknya.

Kita tidak mempersyaratkan wanita itu melakukan ‘iddah[1] karena sebagaimana kata Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin  dalam Asy-Syarhul Mumti’ (5/215, cet. Darul Atsar):

“ ’Iddah adalah hak seorang suami yang menceraikan istrinya. Sedangkan lelaki yang berzina dengannya statusnya bukan suami melainkan fajir/pezina.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu’ Fatawa (32/112):  

Al-Istibra` bukan karena hak kehormatan mani lelaki pertama (yang menzinainya). Akan tetapi untuk hak kehormatan mani lelaki yang kedua (yang hendak menikahinya), karena tidak dibenarkan baginya untuk mengakui seseorang sebagai anaknya dan dinasabkan kepadanya padahal bukan anaknya.”

Demikian pula jika ditinjau dari sisi qiyas, Syaikhul Islam berkata (32/111): 

Seorang wanita yang khulu’[2] -karena dia bukan wanita yang dicerai-, dia tidak ber-’iddah dengan ‘iddah wanita yang dicerai. Bahkan dia harus melakukan istibra` (membebaskan rahimnya) dan istibra` juga disebut iddah. Maka, wanita yang digauli dengan nikah syubhat dan wanita yang berzina lebih utama untuk melakukan istibra`.”

Syaikhul Islam (32/110) juga berkata:

Karena wanita yang berzina bukanlah istri (yang ditalak) yang wajib untuk melakukan ‘iddah. Dan tidaklah keadaan wanita berzina melebihi keadaan budak wanita yang harus melakukan istibra` sebelum digauli oleh tuannya yang baru.

Padahal seandainya dia telah dihamili oleh bekas tuannya maka anaknya dinasabkan kepada bekas tuannya itu. Maka wanita yang berzina (yang seandainya hamil maka anaknya tidak dinasabkan kepada laki-laki yang mezinainya) lebih wajib untuk melakukan istibra`.”

Dalil-dalil kewajiban istibra` pada budak wanita adalah:

a. Hadits Ruwaifi’ bin Tsabit, bahwa Rasulullah bersabda tentang sabaya (para wanita tawanan perang) pada perang Khaibar:

لَا يَحِلُّ لِامْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ يَسْقِيَ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ –يَعْنِي إِتْيَانَ الْحُبْلَى مِنَ السَّبَايَا- وَأَنْ يُصِيبَ اْمَرْأَةً ثَيِّبًا مِنَ السَّبْيِ حَتَّى يَسْتَبْرِئَهَا

“Tidak halal bagi seorang lelaki yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan air maninya di ladang orang –yakni menggauli wanita sabaya yang hamil– dan menggauli wanita sabaya yang telah bersuami sampai wanita itu melakukan istibra`.” [HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban, dihasankan oleh Al-Bazzar serta Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa` 1/201, 5/141, no. 2137]

b. Hadits Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah bersabda tentang para sabaya Authas:

لاَ تُؤْطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ وَلَا غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً

“Yang hamil tidak boleh digauli sampai melahirkan, demikian pula yang tidak hamil sampai haid satu kali.” [HR. Abu Dawud, dishahihkan oleh Al-Hakim, Adz-Dzahabi dan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa` no. 187 dan no. 1302]

2.  Anak hasil zina tidak dinasabkan kepada lelaki yang menzinai ibu anak tersebut meskipun kita mengetahui bahwa secara hukum kauni qadari anak zina tersebut adalah anaknya. Dalam arti, Allah menakdirkan terciptanya anak zina tersebut sebagai hasil percampuran air mani laki-laki itu dengan wanita yang dizinainya.

Akan tetapi secara hukum syar’i, anak itu bukan anaknya karena tercipta dengan sebab yang tidak dibenarkan oleh syariat, yaitu perzinaan. Permasalahan ini masuk dalam keumuman sabda Rasulullah:

الْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الْحَجَرُ

“Anak yang lahir untuk pemilik kasur (artinya, anak yang dilahirkan oleh istri seseorang atau budak wanitanya adalah miliknya), dan seorang pezina tidak punya hak pada anak hasil perzinaannya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah dan ‘Aisyah]

Dengan demikian, jika seorang lelaki menghamili seorang wanita dengan perzinaan kemudian dia bermaksud menikahinya dengan alasan untuk menutup aib dan menyelamatkan nasab anak tersebut, maka hal itu haram atasnya dan pernikahannya tidak sah, karena anak tersebut bukan anaknya menurut hukum syar’i.

Ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama sebagaimana dalam Al-Mughni (6/184-185) dan Syarah Bulughul Maram karya Asy-Syaikh Ibnu  ‘Utsaimin pada Bab ‘Iddah wal ihdad wal istibra, ini pula yang difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da`imah, 20/387-389.

Berdasarkan hal ini, seluruh hukum nasab antara keduanya pun tidak berlaku, diantaranya:

a. Keduanya tidak saling mewarisi.

b. Lelaki tersebut tidak wajib memberi nafkah kepadanya.

c. Lelaki tersebut bukan mahram bagi anak itu (jika dia wanita) kecuali apabila lelaki tersebut menikah dengan ibu anak itu dan telah melakukan hubungan (sah)  suami-istri, yang tentunya hal ini setelah keduanya bertaubat dan setelah anak itu lahir, maka anak ini menjadi rabibah-nya sehingga menjadi mahram.

d. Lelaki tersebut tidak bisa menjadi wali anak itu dalam pernikahan (jika dia wanita).

Namun bukan berarti laki-laki tersebut boleh menikahi putri zinanya. Yang benar dalam masalah ini, dia tidak boleh menikahinya, sebagaimana pendapat jumhur yang dipilih oleh Syaikhul Islam dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin. Karena anak itu adalah putrinya secara hukum kauni qadari berasal dari air maninya, sehingga merupakan darah dagingnya sendiri.

Dalil yang paling kuat dalam hal ini adalah bahwasanya seorang laki-laki tidak boleh menikahi anak susuannya yang disusui oleh istrinya dengan air susu yang diproduksi dengan sebab digauli olehnya sehingga hamil dan melahirkan. Kalau anak susuan seseorang saja haram atasnya, tentu seorang anak zina yang berasal dari air maninya dan merupakan darah dagingnya sendiri lebih pantas untuk dinyatakan haram atasnya. (Lihat Majmu’ Fatawa, 32/134-137, 138-140, Asy-Syarhul Mumti’, 5/170)

Para ulama menyatakan bahwa seorang anak zina dinasabkan kepada ibu yang melahirkannya, dan keduanya saling mewarisi. Jadi nasab anak tersebut dari jalur ayah tidak ada. Yang ada hanyalah nasab dari jalur ibunya.

Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah bahwasanya suami istri yang melakukan li’an[3] di hadapan hakim karena suaminya menuduh bahwa anak yang dikandung istrinya adalah hasil perzinaan sedangkan istrinya tidak mengaku lalu keduanya dipisahkan oleh hakim, maka anak yang dikandung wanita itu dinasabkan kepada ibunya dan terputus nasabnya dari jalur ayah. Sebagaimana dalam hadits Sahl bin Sa’d As-Sa’idi yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim.

3. Jika kedua orang yang berzina tersebut menikah dalam keadaan wanitanya hamil maka pernikahan itu tidak sah berdasarkan apa yang telah dijelaskan pada jawaban pertama dan kedua. Hanya saja, kalau pernikahan itu dilangsungkan dengan anggapan bahwa hal itu boleh dan sah sebagaimana mazhab sebagian ulama yang berpendapat: “Boleh bagi seorang lelaki yang menghamili seorang wanita dengan perzinaan untuk menyelamatkan nasab anak itu dengan cara menikahinya dalam keadaan hamil, dengan syarat keduanya telah bertaubat dari perzinaan dan diketahui dengan pasti/yakin bahwa yang menghamilinya adalah laki-laki itu”, maka pernikahan itu dikategorikan sebagai nikah syubhat. Artinya, pernikahan itu berlangsung dengan anggapan bahwa hal itu boleh menurut syariat, padahal sebenarnya tidak boleh.

Berarti pernikahan itu tidak mengubah status anak hasil perzinaan tersebut sebagai anak zina, dia tetap dinasabkan kepada ibunya dan tidak sah dinasabkan kepada lelaki tersebut. Adapun anak-anak yang dihasilkan setelah nikah syubhat, status mereka sah sebagai anak-anak keduanya[4]. Akan tetapi wajib atas keduanya untuk berpisah ketika mengetahui hakikat sebenarnya bahwa pernikahan itu tidak sah, sampai keduanya menikah kembali dengan akad nikah yang benar dan sah, tanpa harus melakukan istibra` ar-rahim. Ini adalah jawaban Syaikhuna Al-Faqih Abdurrahman Al-‘Adni hafizhahullah wa syafahu.

Dengan demikian, diketahuilah bahwa hubungan antara anak zina tersebut dengan anak-anak yang lahir dengan nikah syubhat tersebut adalah saudara seibu tidak seayah, yang berarti mereka adalah mahramnya. Namun tidak bisa menjadi wali pernikahannya menurut pendapat jumhur, yang menyatakan bahwa wali pernikahan seorang wanita adalah setiap lelaki yang merupakan ‘ashabah[5] wanita itu, seperti ayahnya, kakeknya dari jalur ayah, putranya, anak laki-laki putranya, saudara laki-lakinya yang sekandung atau seayah, pamannya dari jalur ayah dan ‘ashabah lainnya[6]

4. Yang menjadi walinya adalah sulthan. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin berkata dalam Asy-Syarhul Mumti’ (5/154):

Yang dimaksud dengan sulthan adalah imam (amir) atau perwakilannya…. Adapun sekarang, urusan perwalian ini dilimpahkan oleh pemerintah kepada petugas khusus.”

Di negeri kita, mereka adalah para petugas (penghulu) Kantor Urusan Agama (KUA). Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah, Rasulullah bersabda:

أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ … فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ

“Siapa saja wanita yang menikah tanpa izin dari walinya maka pernikahannya batil…, dan jika para wali berselisih untuk menikahkannya maka sulthan adalah wali bagi seorang wanita yang tidak punya wali.” [HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dishahihkan oleh Abu ‘Awanah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, Al-Albani dalam Al-Irwa` (no. 1840) serta guru kami Al-Wadi’i dalam Ash-Shahihul Musnad (2/493)]

Ash-Shan’ani berkata dalam Subulus Salam (3/187):

“Hadits ini menunjukkan bahwa sulthan adalah wali bagi seorang wanita yang tidak punya wali dalam pernikahan, baik karena memang tidak ada walinya atau walinya ada namun tidak mau menikahkannya[7].”

Jika ada yang bertanya: Bukankah ibu seorang anak zina dan ‘ashabah ibunya merupakan ‘ashabah bagi anak zina itu sebagaimana pendapat sebagian ulama? Tidakkah mereka dianggap sebagai wali?

Jawabannya: Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (6/183) menerangkan bahwa kedudukan mereka sebagai ‘ashabah anak zina itu hanya dalam hal waris semata dan tidak berlaku dalam perkara perwalian nikah. Karena hubungan nasab mereka hanya melalui jalur ibu, sehingga tidak ada hak perwalian untuk mereka. Wallahu a’lam bish-shawab."

Sumber: http://asysyariah.com/status-anak-zina/


[1] ‘Iddah adalah masa penantian yang diatur oleh syariat bagi seorang wanita yang diceraikan oleh suaminya, yaitu selama tiga kali masa haid. Adapun jika diceraikan dalam keadaan hamil maka ‘iddah-nya sampai melahirkan.

[2] Khulu’ adalah perpisahan suami-istri karena permintaan istri yang disertai dengan pembayaran ganti (harta) dari pihak istri.

[3] Li’an adalah persaksian demi Allah yang diucapkan empat kali oleh masing-masing suami dan istri yang dikuatkan dengan sumpah untuk pembelaan diri masing-masing, kemudian yang kelima kalinya: disertai pernyataan dari suami bahwa laknat Allah l atas dirinya jika dia berdusta menuduh istrinya berzina, dan disertai pernyataan dari istri bahwa murka Allah l atasnya dirinya jika suaminya benar.

[4] Pendapat bahwa anak hasil nikah syubhat sah sebagai anak adalah pendapat Al-Imam Ahmad, Al-Imam Asy-Syafi’i, dan yang lainnya, dipilih oleh Syaikhul Islam, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dan Al-Lajnah Ad-Da`imah. Lihat Al-Mughni (7/288), Majmu’ Fatawa (32/66-67), Asy-Syarhul Mumti’ (5/641, cet. Darul Atsar) dan Fatawa Al-Lajnah (28/387).

[5] Yaitu seluruh lelaki yang mewarisi harta wanita itu tanpa ada ketetapan bagian tertentu, melainkan mewarisi secara ta’shib. Artinya jika ahlul fardh (ahli waris yang telah ditentukan bagiannya) telah mengambil haknya maka harta warisan yang tersisa akan diwarisi oleh ‘ashabah, atau jika tidak ada ahlul fardh maka mereka yang mewarisi seluruh hartanya.

[6] Lihat mazhab jumhur tentang wali pernikahan seorang wanita dalam Mukhtasar Al-Khiraqi bersama Al-Mughni (6/319-322), Fathul Bari (9/187), Nailul Authar (6/120), Subulus Salam (3/185), Asy-Syarhul Mumti’, (5/145-154).

[7] Yaitu tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat

Langit Akan Tetap Bening

Anak muda itu memanggil saya Abang. Sebenarnya tidak ada hubungan darah antara saya dan dia. Umur kami terpaut sepuluh tahunan. Namun, dikarenakan hubungan baik di antara kami, saya sering menyebutnya Adik. Sementara dia memanggil saya Abang dalam keseharian. Barangkali ia menganggap saya benar-benar seperti Abangnya, sehingga hal-hal pribadi pun sering ia bagikan dengan saya.

Itulah Bang, sulit juga rasanya untuk melupakan dia… Gimana ya, Bang?  Meskipun tidak aku harapkan, terkadang wajahnya muncul dalam mimpi-mimpiku.

Memang, Bang… orangnya cantik dan baik. Itu bukan menurutku sendiri, Bang. Orang-orang pun bilang seperti itu juga. Ah… susahlah, Bang!”, keluhnya kepadaku suatu saat.

Karena ia memberikan kepercayaan kepada saya, beberapa saran dan masukan pun saya berikan untuknya. Memposisikan seolah-olah sebagai Abangnya. Saya sampaikan, ”Sudahlah… tidak usah kau pikirkan sampai seperti itu. Belum tentu orang yang kau pikirkan saat ini, sedang memikirkanmu juga. Orang baik akan berpasangan dengan orang baik. Sebaliknya pun demikian. Kalau kau baik, jodohmu pun baik, insya Allah…”

Apakah dia sudah ngaji Salaf?”, selanjutnya saya yang bertanya.
Anak muda itu masih berusaha jujur. Katanya, “Belum sih, Bang… Cuman dia udah berjilbab, Bang. Insya Allah dia maulah kalau disuruh pakai cadar. Gimana, Bang?”

Begini, Dek…Semua orang yang masih normal, pasti berharap rumah tangganya kelak harmonis dan bahagia. Kau tahu, nggak? Modal terbesar untuk hidup harmonis itu apa? Kesamaan visi dan kesatuan misi. Cara pandang hidupnya harus sama. Jika tidak, akan payah nantinya. Tidak bisa juga kita ingin menyamakan visi, misi dan cara pandang hidup dengan sambil jalan. Jangan terlalu berspekulasi! Jangan-jangan… bukannya kita yang bisa membawa, malah kita yang terseret arus. Na’udzu billah“, saya mencoba memberi pengertian.

Saya  terus melanjutkan, “Masalahnya, bukan ia mau pakai cadar ataukah tidak nantinya. Kesamaan visi dan kesatuan misi tidak hanya sebatas cadar saja. Ada aspek-aspek lain yang mesti diperhatikan. Kau kan sudah lama ngaji… sudah merasakan manisnya Thalabul Ilmi… Nah, itu yang harus kau syukuri! Kau harus menjaga nikmat ini dengan memilih istri yang telah sungguh-sungguh mengerti tentang dirimu!”

Lalu kami terdiam sambil menikmati malam…

Percakapan di atas memang saya ungkapkan ulang di sini dengan gaya bahasa berbeda. Namun… tidak mengubah makna sama sekali. Bukan sekali dua kali saya menghadapi kasus seperti ini. Berapa banyak sudah, kawan dan sahabat yang mengungkapkan hal yang sama. Sampai pastinya berapa banyaknya, saya sudah lupa. Akan tetapi, satu hal yang menarik untuk dicermati, dan barangkali inilah benang merah yang merajutkan dari semua kasus tersebut adalah budaya ikhtilath.

Ikhtilath bisa dipahami sebagai budaya perbauran antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram-nya dalam kondisi selain darurat. Islam sebagai ajaran mulia nan luhur sangat membatasi pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram –nya. Sebagai misal adalah penyakit sosial masyarakat yang seringkali muncul karena faktor ikhtilath. Islam sendiri telah mengatur, di manakah area dan medan laki-laki dalam kehidupan sehari-hari dan di manakah pula perempuan semestinya berada.
Sudahlah… tidak usah kita mempertanyakan ulang tentang hal ini.

Bukankah fakta telah berbicara? Bukankah realita pahit semacam ini merupakan kebenaran yang tak terbantahkan? Ikhtilath memang menjadi salah satu faktor munculnya penyakit masyarakat.
Enam dari sepuluh perempuan Indonesia telah hilang kegadisannya sebelum menikah secara resmi. Hasil dari salah satu survey ini tentu membuat kulit merinding dan hati bergidik.

Kasus pemerkosaan ibarat menghiasi bibir setiap harinya. Pelecehan seksual selalu mengintai di mana-mana. Apakah kita akan menutup mata dari fakta? Aborsi merajalela, janin dan jabang bayi ditemukan teronggok di sembarang tempat, sepasang remaja yang tertangkap sedang berbuat mesum di warnet, kasus perceraian yang disebabkan perselingkuhan dengan ipar sendiri, affair antara seorang bos dengan bawahannya dan lain sebagainya. Belum lagi realita kumpul kebo di kalangan mahasiswa. Allahumma sallim

Atau jika masih ragu (padahal semestinya tidak perlu ragu lagi), datang dan bertanyalah kepada para petugas KUA, “Dalam setahun, berapakah pasangan menikah di bawah umur? Karena accident before married (hamil sebelum menikah)?”

Saat ini muncul polemik tentang wacana test keperawanan untuk calon sisiwi sekolah menengah atas. Seperti biasa, ada pro dan kontra. Namun, bukan itu yang menjadi titik pembahasan. Keprihatinan akan pergaulan bebas di kalangan pelajar bahkan bisnis prostitusi yang melibatkan pelajar, seperti itulah alasan penggagasnya.

Mufti Agung Kerajaan Arab Saudi, Syaikh Bin Baz pernah menerbitkan fatwa mengenai hal ini (Majmu’ Fatawa Ibn Baz 4/248-253). Fatwa tersebut untuk menyanggah pernyataan seorang rektor dari sebuah kampus di Negara Yaman.

Rektor dimaksud menyatakan bahwa bentuk pendidikan dengan memisahkan antara siswa dan siswi justru menyelisihi syari’at Islam. Ia beralasan bahwa shalat berjama’ah di masjid dilaksanakan sejak zaman Nabi Muhammad dengan tanpa memisahkan antara laki-laki dan perempuan.

Saya merasa heran. Kenapa bisa pernyataan semacam ini diucapkan oleh seorang rektor dari sebuah kampus Islam di negeri Muslimin. Padahal semestinya ia justru dituntut untuk mengarahkan masyarakatnya –kaum laki-laki dan perempuannya- demi meraih kesuksesan dan keselamatan dunia akhirat. Inna lillah wa inna ilaihi ra’jiun Laa haula wa laa quwwata illa billah“,

Syaikh Bin Baz memulai sanggahannya dengan menyatakan demikian. Beliau melanjutkan, “Tidak perlu diragukan lagi bahwa pernyataan tersebut merupakan pelanggaran besar terhadap syari’at Islam! Sebab, syaria’t Islam tidak mengajarkan ikhtilath !… Justru Islam melarang ikhtilath dan sangat tegas dalam hal ini!!”

Setelah itu beliau menyebutkan sejumlah ayat dan beberapa hadits Rasulullah untuk menjelaskan bahwa Islam sangat antipati terhadap budaya ikhtilath. Sehingga, proses belajar mengajar yang menggunakan metode ikhtilath sangatlah bertentangan dengan Islam.

Hmmm… pembahasan ini pasti akan panjang lebar.
Baiklah… Kita kembali saja ke salah satu pointnya. “Langit akan Tetap Bening” sejatinya ditujukan untuk ikhwan-ikhwan muda Salafy yang masih juga belum lepas dari kenangan “manis”nya saat kuliah atau bangku sekolah. Jerat-jerat ikhtilath telah meninggalkan kesan pahit setelah ia serius mengaji Salaf. Bayang-bayang masa lalunya seakan terus mengejar. Walaupun sebagian orang menyebutnya sebagai masa-masa paling indah “kisah kasih di sekolah”, tetap saja kaum muda Salafy yang telah memilih jalan Thalabul Ilmi akan menganggapnya sebagai kenangan “pahit”.…

Lah gimana, Ustadz… Tiap hari pasti ketemu di sekolah. Sama-sama berada di dalam ruangan kelas selama sekian lama. Banyak kegiatan yang dilalui bareng-bareng. Khan nggak mungkin momen-momen seperti itu pergi tanpa kesan

Kalimat-kalimat semacam di atas pun pernah menjadi salah satu bahan diskusi saya dengan beberapa ikhwan yang dahulu masih aktif sekolah . Budaya ikhtilath memang sebuah problem besar bagi kalangan muda yang serius untuk mengaji.

Dalam sebuah kajian di salah satu SMA Negeri, pertanyaan tentang ikhtilath dan pacaran seakan mengalir tiada henti. Ada pertanyaan yang langsung disampaikan secara verbal, ada juga yang bertanya dengan menggunakan selembar kertas, terutama peserta akhwat. Bahkan satu dua pertanyaan sangat “menggelikan” karena terkait dengan kontak komunikasi antara ikhwan dan akhwat sesama pengurus Kajian Sekolah.

Salah satu pertanyaan yang sulit saya lupakan hingga saat ini kurang lebih demikian. “Ustadz, apakah hukumnya seorang ikhwan yang sama-sama berjanji dengan seorang akhwat. Keduanya setelah lulus SMA akan berangkat mondok di tempat yang berbeda. Setelah itu mereka berdua sepakat untuk menikah?”

Geeerrrrr… ada tawa secara koor yang tak dapat ditahan ketika saya membacakan pertanyaan itu.

Sebenarnya gundah gulana yang dirasakan oleh mereka yang ingin dan sedang serius mengaji, sementara mereka masih berjiwa muda adalah bersumber dari ikhtilath. Seakan percuma saja nasehat untuk menundukkan mata di sampaikan, ajaran untuk menjaga hati dari syahwat diungkapkan atau trik-trik lain untuk terhindar dari godaan syahwat. Sebab, sumber segala-galanya masih juga ada. Jangan bermain api jika tidak ingin terbakar. Kalau tak mau basah, mengapa bermain air ?…

Syaikh Utsman As Salimi dalam sebuah kesempatan menyampaikan nasehat yang sangat mengena di hati. Kata beliau,

Syahwat itu muncul jika digelorakan. Oleh sebab itu, jangan pernah engkau membangkitkannya! Jauhi faktor-faktor yang dapat membangkitkan syahwat terlarang. Syahwat yang terus diikutkan tidak akan pernah ada habisnya

Nah… anak muda yang saya sebutkan di atas atau anak muda lainnya yang bernasib sama, tentu tepat untuk meresapi nasehat Syaikh Utsman di atas. Bagaimana bisa melupakan kenangan lama, sementara facebook miliknya terus menerus ”diintip-intip”? Bagaimana mungkin dapat menghapus bayang-bayangnya, sementara dirinya selalu dilamunkan?  Tentu akan sulit dilupakan jika selalu dikenang!

Ada saja alasan yang terus ditampilkan oleh setan untuk mengungkung manusia agar sulit melupakan masa lalunya.Bahkan tidak jarang,alasan tersebut terkesan ilmiah dan benar. Sebagai contoh adalah satu pertanyaan yang pernah diajukan kepada saya pada salah satu kajian di Kalimantan.

Apakah boleh Ustadz, seseorang mendoakan kebaikan untuk mantan kekasihnya?”

Terasa indah kan alasannya? Ketika itu saya kemudian menjelaskan tentang keharusan untuk saling mendoakan di antara kaum muslimin. Akan tetapi, apakah tidak ada orang lain yang lebih berhak untuk didoakan? Orangtua, saudara atau kerabat dekat, misalnya. Apakah ada alasan baginya mendoakan mantan kekasih, sementara masih ada orang yang lebih berhak untuk didoakan? Selain itu, hal semacam ini tentu hanya akan membekaskan penyakit-penyakit hati..

Ibnu Qayyim  di dalam Raudhatul Muhibbin menukilkan beberapa kisah cinta yang kiranya perlu untuk disampaikan di sini. Dari dua kisah yang akan saya sebutkan dalam tulisan ini, ada satu hal yang harus ditarik sebagai sebuah kesimpulan: Hawa nafsu harus dikekang di dalam bingkai syari’at! Jangan terseret arus syahwat!

Seorang pemuda ahli ibadah pernah tertarik kepada seorang wanita jelita. Tumbuhlah rasa cinta di antara mereka berdua. Cinta si pemuda ternyata disambut oleh wanita tersebut. Bahkan hubungan di antara mereka berdua dapat dirasakan oleh hampir seluruh warga Mekkah.

Di sebuah lokasi sepi, si wanita kembali mengucapkan cinta. Sang pemuda pun mengungkapkan hal yang sama.

Aku ingin engkau menciumku”, kata si wanita tersebut.

Sang pemuda menjawab, ”Aku pun demikian”.

Lalu kenapa engkau tidak melakukannya?”, tanya si wanita.

Sang pemuda menjelaskan, “Celaka! Sungguh aku pernah mendengar sebuah firman Allah yang berbunyi,

الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِين

“Orang-orang yang saling mencintai (selama di dunia) pada hari itu (hari kiamat) sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa.” [QS. Az-Zukhruf: 67]

Demi Allah, aku tidak berharap hubungan kita di dunia ini berubah menjadi permusuhan di hari akhir kelak”, pemuda itu mengucapkan kata-kata ini sambil bangkit berdiri lalu pergi. Kedua matanya tak mampu menahan air mata.

Kota Kufah juga menyimpan banyak cerita tentang cinta. Seorang pemuda tampan pernah tinggal menetap di sana, di sebuah kampung suku Nakha’. Secara kebetulan, pemuda itu melihat seorang gadis jelita yang membuatnya jatuh cinta. Jiwanya merasakan gelisah oleh cinta.

Lalu pemuda itu datang menemui ayah si gadis untuk menyatakan pinangan. Ternyata, gadis tersebut telah dilamar oleh sepupunya sendiri. Betapa berat rasa di hati!  Pemuda itu benar-benar kecewa.
Si gadis yang mengetahui rasa cintanya lalu memerintahkan seseorang untuk menyampaikan pesan kepada sang pemuda.

Aku sudah mengetahui perasaanmu kepadaku. Ternyata aku pun merasakannya. Sekarang silahkan engkau pilih, aku yang pergi untuk menemuimu ataukah aku berusaha mencarikan jalan agar engkau bisa menemuiku di rumahku?”, seperti itulah pesan si gadis.

Pemuda itu lalu menjawab, “Sampaikanlah kepadanya! Tidak ada satu pun yang aku pilih. Aku sangat takut dengan adzab yang pedih jika durhaka kepada Nya. Aku takut Neraka Nya yang tidak pernah berhenti kobaran apinya juga tidak akan berkurang panasnya”.

Melihat kenyataan dari jawaban sang pemuda, gadis itu lalu berujar, ”Dengan besarnya rasa cinta di hati, ia masih juga takut kepada Allah? Sungguh, hanya dia yang berhak atas diriku”.

Sejak hari itu, si gadis meninggalkan kehidupan dunia dan memilih menjalani hari-hari ibadah sampai tidak berapa lama kemudian ia meninggal sambil menyimpan cinta kepada si pemuda. Tidak lama berselang, si pemuda itu juga meninggal dunia…

Ada serangkai doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah kepada seorang pemuda (hadits Abu Umamah riwayat Imam Ahmad). Sambil mengusapkan telapak tangan di dada anak muda itu, Nabi Muhammad berucap,

اللّهُمَّ اغْفِرْ ذَنْبَهُ وَطَهِّرْ قَلْبَهُ وَحَصِّنْ فَرْجَهُ

Ya Allah… Ampunilah dosanya. Sucikanlah hatinya dan jagalah kemaluannya

Anak muda tersebut mula-mula datang menemui Rasulullah dengan harapan diijinkan berbuat zina. Walaupun sebagian sahabat yang hadir saat itu merasa tersinggung, namun Rasulullah menghadapinya dengan penuh kelembutan dan kesabaran.

Nabi Muhammad justru bertanya kepada anak muda tersebut, jika perbuatan zina itu menimpa ibunya? Menimpa saudari perempuan atau bibinya? Bagaimanakah sikapnya jika hal itu menimpa keluarganya? Dengan tegas anak muda itu menyatakan tidak senang. Nah, seperti itulah yang dirasakan oleh orang lain. Rasulullah berhasil menanamkan cara bersikap yang lurus kepada anak muda itu. Tak lupa Rasulullah mendoakannya.
Bukankah kita sangat membutuhkan doa semacam ini?

Cinta itu memang unik. Apapun definisi tentang cinta yang diungkapkan pasti akan berujung dengan perdebatan.Wajar saja jika seorang ulama menyatakan; cinta itu tidak mungkin bisa didefinisikan. Mendefinisikan cinta sama artinya dengan mempersempit makna cinta. Apalagi jika berurusan dengan “cinta pertama” yang seringnya lahir di saat sekolah maupun di bangku kuliah.

Sebuah musibah besar yang muncul karena dosa ikhtilath. Untuk anak muda yang saya sebutkan di awal tulisan, juga kepada anak-anak muda lainnya. Mereka yang telah diberi kesempatan oleh Allah untuk mereguk manisnya thalabul ilmi, menjalani hari-hari denganmengaji Salaf. Mereka yang telah diberi hidayah untuk mencintai Al Qur’an dan As Sunnah. Barangkali saya bisa menitipkan sebuah pesan melalui tulisan ini.

Belum tentu yang engkau anggap baik, akan benar-benar baik nantinya. Mengapa harus terbelenggu oleh kenangan-kenangan lama? Padahal Allah telah berjanji untuk memberikan pengganti yang jauh lebih baik, bagi hamba yang siap meninggalkan sesuatu karena Nya.

Hargailah Manhaj Salaf yang telah engkau pilih ini! Tidak ada yang lebih berharga di dunia ini selain Manhaj Salaf. Peganglah erat-erat thalabul ilmi yang telah engkau pilih! Jangan mau engkau terhalang dari thalabul ilmi hanya karena terganggu oleh kenangan-kenangan lama.

Yakinlah… di sana masih banyak mutiara-mutiara terpendam yang selalu siap untuk engkau petik. Seorang wanita shalihah yang hidup dalam kesucian dan ‘iffah. Seorang wanita yang akan selalu membantu dirimu untuk sama-sama beribadah kepada Allah. Seorang wanita yang menjadi salah satu perhiasan terbaik di dunia ini. Seorang wanita yang akan menjadi istrimu untuk sama-sama berjuang di atas Manhaj Salaf.

Anggap saja kenangan-kenangan lama itu sebagai mendung yang hanya sesaat melintas. Engkau (yang telah memilih Manhaj Salaf) adalah langit. Mendung-mendung itu pasti akan berlalu. Sebab, langit akan tetap bening…


Ditulis oleh Al-Ustadz Mukhtar iben Rifa’i hafizhahullah (http://www.ibnutaimiyah.org/2013/09/langit-akan-tetap-bening/)

Saturday, May 17, 2014

Manakah yang Lebih Utama, Membeli Kitab atau Bersedekah?

Tanya:

“Ketika aku memiliki sejumlah harta dari hasil yang halal, manakah yang lebih utama, aku gunakan untuk membeli kitab-kitab ilmu, aku sedekahkan sebagian hartaku atau aku sedekahkan semuanya?

Jawab:

Asy-Syaikh Al-‘Allamah Abdul Aziiz bin Abdillah bin Baz rahimahullah menjawab,

إذا كان عنده مال وهو يحتاج إلى كتب العلم، كتب العلم أولى، يشتري كتب العلم حتى يستفيد منها، أو عنده من يحتاج إليها في البلد..... مكتبة، يستفيد منها طلبة العلم فإنه يشتري كتباًً تنفع الناس مثل الصحيحين، السنن الأربعة، مثل المغني مثل غيره من الكتب النافعة، تفسير ابن كثير، تفسير البغوي، تفسير ابن جرير إلى غير ذلك من الكتب المفيدة، كونه يشتري كتب مفيدة في مكتبة يحتاجها هو أو يحتاجها أولاده أو إخوانه أو طلبة العلم أو يجعلها في مكتبة المسجد، أو في مكتبة عامة يأتي إليها الناس ويستفيد منها الناس فهذا أولى من الصدقة، وأما إذا كان ما هناك حاجة إلى مكتبة لأن هناك كتب تغني عن شرائه فإذا تصدق بها على الفقراء من أقاربه أو غيرهم فهذا حسن، لأنها قربى إلى الله جل وعلا، لكن الكتب إذا كانت لمصلحة حاجة أولى وأفضل لأن نفعها أعظم.

Thursday, May 15, 2014

Dijodohkan Orang Tua Dengan Calon Yang Tidak Disukai, Apa Yang Harus Aku Lakukan?

Tanya:

1. “Assalamualaikum uztad.. saya mau tanya.. saya dijodohin oleh orang tua saya dengan kakak ipar saya, dia beranak satu. Tetapi saya sudah punya pacar dan pacar saya berniat untuk melamar saya, tapi keluarga saya tidak merestui dan bersikap keras agar saya tetap menikah dengan kakak ipar saya, tapi saya tidak mencintai dia dan menganggap dia seperti kakak ipar saya. Berat bagi saya untuk melepaskan pacar saya tapi di sisi lain saya juga sayang dengan orang tua saya. Apa yang harus saya lakukan ustad? terimakasih” (Nurmalla Ayu)

2. “Assalamualaikum ustad… Saya ingin bertanya tentang permasalahan saya.. Saya wanita sudah berumur 29tahun dan sudah ingin menikah.. Saya sudah dilamar hingga 3x oleh pacar saya.. Tapi orangtua tidak pernah setuju hanya karena alasan saya harus bersuamikan pemuda yang lebih kaya raya.. Saya sedih ustad..


Untuk menjaga dosa kami berdua memilih untuk berkarir terlebih dahulu dan berada terpisah kota (Long Distance Relationship)..
Kami bersama-sama berjuang untuk menabung mencari sebongkah berlian yang orang tua inginkan untuk calon suami saya..
Lamaran terakhir malah orang tua saya memberikan kesaksian palsu bahwa pernah melihat pacar saya mencium kakak kandung saya, dan kakak mengiyakan..


Mereka melakukan itu supaya saya benar-benar lepas dari pacar saya.. Hingga sekarang keluarga dari pacar saya sangat marah dengan orangtua saya karena seolah-olah seperti menghina mereka.. Dan selalu berulang ulang memberikan saya semangat supaya saya selalu sabar memiliki orang tua yang seperti itu…

Saya ingin segera menikah ustad..


Tapi orangtua tidak mau saya menikah kalo bukan bersama laki2 kaya…Terakhir saya dijodohkan dengan laki2 yg masih teman kecil saya, tapi karena tinggi hati sudah di restui orangtua, dia berlaku tidak senonoh dengan saya yg masih belum jadi istrinya, akhirnya saya marah dan tidak ingin lagi bertemu dengan dia..

Apa yang harus sy lakukan ustad..Saya selalu menangis kalo melihat tingkah laku orgtua saya.. :( Saya selalu dibilang “durhaka” dengan orgtua saya..Krn tidak pernah menuruti perkataan mereka utk lepas dari pacar saya.. :( saya takut ustad..” (Rani)

Jawab:

Wa’alaikumussalam warahmatullah,

Pacaran merupakan musibah yang menimpa para muda-mudi saat ini, pacaran memiliki berbagai dampak buruk diantaranya:

- menjerumuskan kepada perbuatan zina,

- memalingkan seseorang dari ilmu yang bermanfaat yaitu di saat para pemuda dan pemudi yang taat beragama sibuk menghadiri majelis ilmu, mereka disibukkan dengan berpacaran siang dan malam, Allahulmusta’an..

- berpacaran terkadang menimbulkan konflik antar sahabat (karena cemburu/selingkuh) atau bahkan antar keluarga seperti yang disebutkan oleh penanya

- berpacaran terkadang menjadi sebab perselingkuhan setelah muda-mudi itu menikah, yaitu saat ia menikah dengan laki-laki atau wanita lain (bukan pacarnya), namun cinta itu masih tumbuh di hatinya, sementara ia terus melakukan kontak dengan pacarnya setelah pernikahan.

Mungkin dampak yang saya sebutkan ini baru sedikit, masih banyak dampak-dampak buruk yang lain.

Allah ta’ala berfirman:

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

Dan janganlah kalian mendekati zina, sesungguhnya zina adalah perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” [QS. Al Isro’: 32]

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

كُتِبَ عَلَى ابْنِ آدَمَ نَصِيبُهُ مِنَ الزِّنَى مُدْرِكٌ ذَلِكَ لاَ مَحَالَةَ فَالْعَيْنَانِ زِنَاهُمَا النَّظَرُ وَالأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الاِسْتِمَاعُ وَاللِّسَانُ زِنَاهُ الْكَلاَمُ وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ وَالرِّجْلُ زِنَاهَا الْخُطَا وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ وَيُكَذِّبُهُ

“Setiap anak Adam telah ditakdirkan bagiannya dalam berzina dan ini suatu yang pasti terjadi. Zina kedua matanya dengan melihat, zina kedua telinganya dengan mendengar, zina lisannya dengan berbicara, zina tangannya dengan meraba (menyentuh), zina kakinya dengan melangkah dan zina hatinya dengan keinginan nafsu dan berangan-angan, lalu kemaluanlah yang akan membenarkan atau mendustakannya.” [HR. Muslim no. 6925]

Saya memandang bahwa permasalahan rumit ini timbul akibat pengaruh buruk berpacaran. Lihatlah ikhwan-ikhwan dan akhwat-akhwat yang taat beragama, menikah bagi mereka bukanlah suatu hal yang sulit bidznillah. Setelah mendapatkan restu orang tua untuk menikah, mereka hanyalah menunggu jodoh yang dianugrahkan oleh Allah, sambil berusaha mencari info ke sana kemari. Allah tidak akan menyia-nyiakan orang-orang yang taat dan menolong agama-Nya, pasti Allah akan memberikan jodoh yang terbaik pada mereka.

Allah ta’ala berfirman:


وَ الطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِيْنَ وَ الطَّيِّبُوْنَ لِلطَّيِّبَاتِ.

Wanita-wanita yang baik untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik untuk wanita-wanita yang baik. [QS. An Nur: 26]

Saya menasehatkan kepada kalian berdua untuk bertaubat pada Allah dan menjauhi pacaran sedapat mungkin, kemudian segeralah menikah. Mengenai permasalahan kalian berdua, saya memiliki beberapa pilihan solusi:

Pertama, saya menasehatkan untuk meneriwa tawaran orang tua dengan beberapa catatan:

1. Calon laki-laki yang ditawarkan orang tua itu memiliki agama dan akhlak yang baik

2. Calon laki-laki itu menarik hati Anda, meskipun cinta itu sekarang belum tumbuh, paling tidak bisa menjadi titik awal menuju hubungan pernikahan. Sebab diharapkan cinta itu akan tumbuh setelah pernikahan nanti. Hal ini sangat membantu Anda untuk dapat melupakan pacar

3. Anda bersedia dan bertekad kuat untuk melupakan pacar, memutuskan hubungan, serta menghapus seluruh kontak yang berkaitan dengannya.

Kedua, silahkan Anda tetap memilih untuk menikahi pacar Anda, jika ia memang memiliki agama dan akhlak yang baik. Namun Anda harus siap menanggung beberapa resiko berikut:

1. Hubungan Anda dan orang tua (keluarga) akan renggang, butuh waktu yang lama untuk memperbaikinya

2. Jika terjadi problem di tengah-tengah bahtera rumah tangga yang akan kalian lewati, orang tua kemungkinan besar enggan memberikan bantuan, baik dalam memecahkan permasalahan maupun bantuan materi.

Penting untuk menjadi pertimbangan, cinta menggebu-gebu seperti yang Anda rasakan saat ini, hanyalah datang saat ada tantangan yang menghalangi. Setelah hidup Anda dan suami mapan setelah pernikahan, lalu kalian memperoleh anak keturunan, cinta yang dulu begitu besar akan terkikis dengan berjalannya waktu. Tidak sedikit dari suami atau istri yang selingkuh saat mengalami fase ini. Jadi, Anda tidak perlu berlebihan mencintai pacar Anda. Mungkin sekarang ia setia dan sangat mencintai Anda, tapi hari esok saat ia bosan, belum tentu ia akan tetap setia.

Saya menyinggung hal ini untuk mengingatkan betapa pentingnya mencari pendamping hidup seorang laki-laki yang memiliki agama dan akhlak yang baik. Dengan berkembangnya sarana komunikasi dewasa ini berupa facebook, BBM, whatsapp, dsb, tidak ada yang menghalangi seorang suami atau istri melakukan selingkuh kecuali rasa takut kepada Allah. Jangan sampai Anda salah memilih…

Ketiga, mencari jalan tengah, mintalah kriteria seperti apa yang dikehendaki orang tua, lalu Anda berusaha mencari laki-laki yang memenuhi kriteria tersebut.

Sampaikan pada orang tua bahwa Anda bersedia meninggalkan pacar, asalkan keluarga harus menerima calon laki-laki berikutnya yang Anda tawarkan. Jadi semuanya harus mengalah, Anda tidak memaksakan keluarga untuk menerima pacar Anda, orang tua juga tidak boleh memaksakan pilihannya pada Anda.

Sampaikanlah bahwa Anda akan tetap nekat menikahi pacar Anda, jika orangtua bersikeras tidak mau mengalah, tidak ada pilihan lain bagi orang tua. Ini hanyalah sedikit solusi agar orang tua mau memberikan harapan restu kepada Anda dan calon Anda nanti. Pernikahan yang ideal adalah pernikahan yang mendapatkan restu kedua keluarga, bukankah demikian?

Jika Anda mencari pilihan sendiri, Anda tidak akan tersiksa batin, orang tua juga tidak merasa dilangkahi oleh anaknya. Setiap orang tua pasti merasa ingin dihormati, dihargai dan ingin anaknya berbakti. Saat orang tua terlanjur berpikiran negatif pada seseorang (misalkan pada pacar), maka sangat sulit untuk meyakinkan mereka kembali dan meluruskannya.

Tidak lupa mohonlah petunjuk kepada Allah dengan melakukan shalat Istikharah, kemudian terimalah apa yang menjadi ketetapan dan pilihan Allah nanti, jika memang sudah jodoh, pasti jalannya akan dimudahkan...

Allahua’lam, semoga bermanfaat…


Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 16 Rajab 1435