Friday, February 21, 2014

Haruskah Berwudhu Setelah Mandi Besar (Junub)?

Tanya:

Ustadz, bagaimana jika dalam mandi wajib tersebut kita hanya berniat mandi wajib untuk menghilangkan hadats besar (tanpa meniatkan untuk menghilangkan hadats kecil)...karena dalam perkataan ulama diatas "dengan meniatkan bersuci dari dua hadats"..terima kasih..

Jawab:

Para ulama memiliki dua pendapat dalam permasalahan ini, jika seseorang hanya berniat mengangkat hadats besar saat mandi wajib,

Pertama, ia harus berwudhu setelah mandi, karena hadats kecilnya belum terangkat.

Ini merupakan pandapat yang masyhur dalam madzhab Hanabilah[1] dan sebagian Syafi’iyyah[2]. Diantara ulama yang merajihkan pendapat ini adalah Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz[3] dan Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan rahimahumallah. Dalilnya adalah hadits Umar radhiyallahu ‘anhu, nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إنما الأعمال بالنيات

“Sesungguhnya setiap amalan hanyalah tergantung pada niatnya” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Ketika ia hanya berniat mengangkat hadats besar, maka hadats yang terangkat hanyalah sebatas apa yang ia niatkan.

Kedua, tidak perlu berwudhu karena hadats kecilnya otomatis telah terangkat, meskipun ia tidak meniatkannya

Ini merupakan pendapat jumhur ulama, sisi pendalilannya adalah tidak ada perintah yang tegas dari nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar seorang yang mandi mengulangi wudhunya. Tidak pula nabi memberikan perincian hukum dengan membedakan niat saat mandi.

Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah membuat bab dalam kitab As-Sunan sebagai berikut,

باب الدليل على دخول الوضوء في الغسل

“Bab dalil tentang masuknya wudhu dalam mandi”.

Dipahami dari dzahir perkataan Al-Baihaqi bahwa mandi telah mencukupi dari wudhu, meskipun ia tidak berniat mengangkat hadats kecil saat mandi.

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

وهي الصحيحة دليلا لأن حكم الحدث الأصغر قد اندرج في الأكبر وصار جزءا منه فلم ينفرد بحكم

“Ini ada pendalilan yang tepat, karena hukum hadats kecil tercakup dalam hadats besar, sehingga hadats kecil ini menjadi salah satu bagian darinya. Oleh karena itu, hukumnya tidak disendirikan (saat mandi wajib –pen)” [Bada’iul Fawaid, 4/87]

Pendapat ini dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah[4], Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di dan Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin[5] rahimahumullah. Saya pribadi lebih condong pada pendapat kedua, namun yang lebih hati-hati hendaklah kita berniat mengangkat hadats besar dan kecil sekaligus saat mandi.

Allahua’lam


Sumber: Fathul 'Allam, 1/316-317 karya Asy-Syaikh Muhammad bin Hizam Al-Ba'dani hafizhahullah


[1] Al-Mughnii, 1/289, Al-Furuu’, 1/205 dan Al-Inshaaf, 1/249
[2] Al-Majmuu’, 2/194
[3] Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah, 5/326
[4] Majmuu’ Al-Fatawaa, 21/396
[5] Asy-Syarhul Mumti’, 1/308

Thursday, February 20, 2014

Jika Ulama Kibar Berselisih dalam Menilai Seseorang, Pendapat Manakah yang Diambil?

Misalkan Asy-Syaikh Muqbil berselisih dengan Asy-Syaikh Al-Utsaimin dalam menilai suatu hukum permasalahan kontemporer, atau Asy-Syaikh Ahmad An-Najmi berselisih dengan Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid dalam menilai person tertentu, atau Asy-Syaikh Rabi’ memiliki penilaian yang berbeda dengan Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan rahimahumullah

Apakah pendapat salah seorang dari para ulama tersebut wajib diterima dan diambil? Jika wajib diterima, pendapat ulama siapakah yang wajib diterima? Apakah Asy-Syaikh Al-Utsaimin, Asy-Syaikh Muqbil, Asy-Syaikh Rabii atau Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan?

Memang saat terjadi fitnah, solusi terbaik adalah kembali kepada ulama kibar karena keberkahan ilmu bersama mereka. Namun permasalahannya, para ulama kibar juga berselisih dalam memberikan arahan dan nasehat, apa yang harus kita lakukan?

Saturday, February 15, 2014

78 Dosa Besar Dalam Islam Yang Wajib Anda Ketahui

Allah ta’ala berfirman:

إن تجتنبوا كبائر ما تنهون عنه نكفر عنكم سيئاتكم و ندخلكم مدخلا كريما

Jika kalian menjauhi dosa-dosa besar yang kalian dilarang darinya, niscaya Kami akan hapuskan kesalahan-kesalahan kalian, lalu Kami masukkan kalian ke dalam tempat yang mulia (surga –pen)” [QS. An-Nisaa’: 31]

Definisi Dosa Besar

Al-Munawi rahimahullah berkata:

كل ذنب رتب الشارع عليه حدا وصرح بالوعيد عليه

“Dosa besar adalah setiap dosa yang ditetapkan hukum had bagi pelakunya oleh syariat atau terdapat ancaman yang tegas di dalamnya” [Faidhul Qadir]

Badruddin Al-‘Aini rahimahullah berkata:

وقيل كل ذنب قرن بنار أو لعنة أو غضب أو عذاب

"Dikatakan bahwa dosa besar adalah setiap dosa yang diiringi dengan ancaman neraka, laknat, murka atau azab” [‘Umdatul Qari]

Berikut adalah sejumlah dosa besar yang disebutkan oleh Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah dalam Kitab Al-Kabaa’ir,

Friday, February 14, 2014

Adab Malam Pertama

Tanya: 

Fadhilatusy Syaikh, Anda mengetahui -semoga Allah subhanahu wata’ala menjaga Anda- bahwa pernikahan merupakan sarana yang aman untuk memenuhi kebutuhan naluriah antara seorang pria dan wanita. Jika kebutuhan tersebut terpenuhi maka seseorang akan dapat menjaga kehormatan dirinya. Namun jika tidak terpenuhi, maka muncullah kerusakan yang akan menyebabkan hancurnya umat ini. Apakah nasehat Anda bagi mereka yang ingin menikah? Apakah yang seharusnya dilakukan oleh suami dan istri pada malam pengantin?

Jawab:

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab,

“Nasehatku bagi yang ingin menikah adalah hendaklah ia memilih wanita yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mewasiatkan kalian untuk menikahi mereka,  beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Nikahilah wanita yang penyayang dan subur.”
Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
seorang wanita dinikahi karena hartanya, kedudukannya, kecantikannya dan agamanya. Maka carilah wanita yang memiliki agama.”
Hendaklah seorang wanita memilih pria yang memiliki akhlak dan agama berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
Jika datang kepada kalian, seorang pria yang kalian pandang baik agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah ia.”
Seorang wanita pun hendaknya betul-betul bersikap teliti dan tidak boleh tergesa-gesa untuk menerima pinangan, sampai ia mencari tahu perihal pria yang meminangnya, agar ia tidak menyesal di kemudian hari.
Di antara hal yang harus diperhatikan pada saat malam pengantin, hendaklah sang suami masuk menemui istrinya dengan wajah cerah dan berseri-seri, agar istrinya merasa nyaman. Karena pada saat itu sang istri akan merasa sedikit takut, sungkan dan cemas.
Lalu sang suami memegang ubun-ubun istrinya sambil mengucapkan doa yang telah populer:
Allohumma inni as-aluka khoiroha wa khoira maa jabaltahaa ‘alaihi, wa a’uudzubika min syarriha wa syarri maa jabaltahaa ‘alaih.” (Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepada-Mu kebaikannya dan kebaikan watak yang telah Engkau jadikan padanya. Dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya dan keburukan watak yang telah Engkau jadikan padanya)
Doa ini diucapkan dengan bersuara kecuali jika sang suami khawatir istrinya akan merasa cemas dan tidak suka. Jika khawatir demikian, ia cukup meletakkan tangannya di atas ubun-ubun sang istri dan membaca doa ini tanpa bersuara.
Ketika seseorang ingin melakukan hubungan badan dengan istrinya, hendaklah ia mengucapkan hal-hal yang dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Ketika salah seorang dari kalian mendatangi istrinya, hendaklah ia mengucapkan, “bismillahi jannibnasy-syaithoona wa jannibisy-syaithoona maa rozaqtanaa” (Dengan nama Allah, jauhkanlah setan dari kami dan jauhkanlah ia dari apa yang Engkau karuniakan kepada kami).
Jika ditakdirkan dari keduanya akan lahir seorang anak, maka setan tidak akan dapat membahayakan anak tersebut.”
Hal ini termasuk salah satu sebab keshalehan anak. Ini sangat mudah dilakukan. Demikian juga di antara hal yang harus diketahui, jika terjadi hubungan badan, maka keduanya diwajibkan untuk mandi meskipun tidak terjadi ejakulasi. Sebagian orang mengira bahwa mandi itu tidak wajib kecuali ketika terjadi ejakulasi. Ini adalah pemahaman yang keliru. Mandi tetap diwajibkan ketika kemaluan suami masuk ke dalam kemaluan istri, meskipun tidak sampai ejakulasi, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Jika seorang pria duduk di antara cabang tubuh istrinya yang empat (dua tangan dan kaki -pen), kemudian ia mengerahkan tenaga (untuk menyetubuhinya) maka ia telah diwajibkan mandi, meskipun belum keluar”
Oleh karena itu, mandi dihukumi wajib dengan salah satu dari dua hal:
1.  `Ketika terjadi ejakulasi baik disebabkan oleh ciuman, pelukan atau melihat dengan syahwat maupun ejakulasi hanya sekedar berbincang-bincang
2.    ketika keduanya bersetubuh (masuknya kemaluan suami –pen) meskipun tidak keluar
Dan termasuk hal yang perlu disinggung adalah bahwa sebagian suami -semoga Allah subhanahu wata’ala memberikan hidayah pada mereka- tidak memperhatikan pelaksanaan shalat shubuh di pagi harinya. Mereka melakukan shalat Subuh di akhir waktu tanpa berjamaah bahkan terkadang mereka tidak shakat, kecuali setelah matahari terbit. Ini termasuk kebiasaan buruk yang tidak mencerminkan rasa syukur atas nikmat Allah subhanahu wata’ala, karena mensyukuri nikmat Allah subhanahu wata’ala adalah dengan melakukan ketaatan kepada-Nya.
Tanya (2):
Semoga Allah subhanahu wata’ala menjaga Anda, apa pendapat Anda tentang perkataan sebagian ulama “seorang pengantin pria diberikan uzur meninggalkan shalat berjamaah ketika menunggu kedatangan pengantin wanita”?
Jawab:

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab,
“Pendapat kami, perkataan-perkataan ulama terkadang keliru dan terkadang benar. Kewajiban kita adalah mengembalikan hal ini kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Para ulama yang menyatakan ini, mereka berbicara tidak lain tentang keadaan di zaman mereka, ketika itu sang suamilah yang menyambut kedatangan istrinya, bukan sang istri yang menyambut kedatangan suaminya. Sang suami yang berada di rumah, sedangkan istri yang datang kepadanya.
Dalam keadaan ini, pengantin pria diberikan udzur meninggalkan shalat berjamaah, karena jika ia pergi ke masjid menunaikan shalat berjamaah, perasaan di hatinya tidak menentu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
Tidak ada shalat ketika ada makanan yang dihidangkan.”
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu pernah mendengar imam membaca suratan (saat shalat berjamaah), namun beliau tetap melanjutkan makan malamnya. Beliau tidak bangkit melaksanakan shalat hingga beliau selesai makan. Jika seseorang diberikan uzur meninggalkan shalat berjamaah dalam keadaan ini, maka pengantin pria yang menunggu kedatangan pengantin wanita, ia lebih pantas diberikan udzur karena keadaan hatinya yang tidak menentu.
Namun adat kebanyakan manusia sekarang adalah kebalikannya, suamilah yang datang ke tempat istrinya, ia pula yang menentukan kapan waktu yang tepat, sehingga dalam keadaan ini ia tidak diberi uzur meninggalkan shalat berjamaah.”
Tanya (3): 

Fadhilatusy Syaikh, telah populer di kalangan masyarakat, apabila seorang pengantin pria masuk menemui pengantin wanita, hendaklah keduanya melakukan shalat dua rakaat bersama. Namun terjadi pada sebagian orang, ketika ia baru masuk menemui istrinya, ia langsung melakukan shalat, meskipun ia belum berbincang-bincang dengan istrinya. Apakah hal ini disunahkan?

Jawab:

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab
“Mengenai hal ini, terdapat beberapa atsar dari sebagian sahabat radhiyallahu ‘anhum. Apabila seorang pria masuk menemui istrinya (untuk yang pertama kali), maka hal pertama yang ia lakukan adalah shalat dua rakaat, meskipun tidak ada riwayat yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai hal tersebut. Melakukan shalat dua raka’at maupun meninggalkannya tidak apa menurutku.” [Majmu'ah As'ilah Tahummul Usrah Al-Muslimah]

Sumber: Majalah Akhwat vol. 4/1431/2010, hal. 89-92 via http://fadhlihsan.wordpress.com/2010/07/15/tanya-jawab-seputar-pengantin-baru/

Istri Yang Tidak Pernah Merasakan Kenikmatan

Tanya:
Ustadz saya mau bertanya apakah seorang istri berhak merasakan kepuasan hubungan suami istri? saya selama 6 tahun berumah tangga tidak pernah merasakkan kepuasan hubungan suami istri?
Jawab:
“Ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan disini terkait dengan apa yang ditanyakan oleh  penanya:
Pertama, wajib bagi suami mempergauli istrinya dengan baik. Allah subhaanahu wata’aala berfirman :

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالمَعْرُوفِ

“…Dan bergaullah dengan mereka secara patut.” [QS. An-Nisa’: 19]

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالمَعْرُوفِ

“…Dan para wanita mempunyai hak yang simbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf…” [QS. Al-Baqarah: 228]
Kedua, diantara bentuk pergaulan yang baik dan hak seorang istri yang suami mempunyai kewajiban untuk menunaikannya adalah memenuhi kebutuhan biologis istrinya. Yang mesti disadari bahwa seseorang menikah diantara tujuan yang terbesar adalah untuk memenuhi kebutuhan biologisnya dengan cara yang halal, maka berusaha memenuhi hajat biologis pasangannya merupakan diantara kewajibannya yang terbesar.
Ketiga, diantara yang perlu diperhatikan bahkan dianjurkan bagi seorang suami untuk mencumbu istrinya sebelum berhubungan suami istri untuk membangkitkan syahwatnya, sehinga istrinya akan merasakan kenikmatan sebagaimana yang diperoleh oleh suaminya.
Hal ini dilakukan agar bisa mencapai kepuasan bersama atau istri bisa merasakannya walaupun suami terlebih dahulu, oleh karena itu dianjurkan bagi suami tidak tergesa-gesa untuk melepaskannya ketika sudah mencapai kepuasan agar istri bisa merasakan kepuasan disisa-sisa tenaganya. Ini diantara etika berhubungan suami istri yang mesti diperhatikan.

Dijawab oleh Al-Ustadz Abu Ibrahim ‘Abdullah hafizhahullah

Sumber: http://nikahmudayuk.wordpress.com/2012/04/03/apakah-seorang-istri-berhak-merasakan-kepuasan-hubungan-suami-istri/

Saturday, February 8, 2014

Tazkiyah Ulama Terhadap Asy-Syaikh Abdurrazaq Al-Abbad (Adab Seorang Ulama Rabbani Terhadap Ulama Yang lebih Tua)

Fadhilatus Asy-Syaikh Ubaid Al-Jabiri hafizhahullah berkata:

والسباب الذي جعلني أقوم بهذا المقال طعن أهل البدع فى الشيخ عبد الرزاق العباد و منهم فالح الحربي

وقد إنطلا هذا الأمر على بعض الشباب وترك الأستفاد من الشيخ عبد الزراق بل منهم من يحذر منه

ويتعلقون بكلام ليس له معني كا الشيخ يخالط الحزبيين وغيرها من الكلام والله المستعان

“Sebab yang menjadikan aku menyatakan pernyataan ini adalah celaan ahlul bid’ah kepada Asy-Syaikh Abdurrazaq Al-Abbad, diantara mereka yang suka mencela beliau adalah Falih Al-Harbi.

Friday, February 7, 2014

Hukum Pernikahan Beda Agama

Tanya:

Afwan mau tanya, bagaimana penerapan yang benar dari penjelasan QS: Al Maidah ayat 5? karena hal ini sering dijadikan dalil oleh kaum liberal untuk pernikahan beda agama? syukron untuk penjelasannya.

Jawab:

Untuk mengetahui kesalahan kelompok Islam Liberal (JIL) dalam menerapkan ayat tersebut, Anda harus memahami isi artikel ini dengan baik. Jika Anda telah memahaminya, Insya Allah Anda dapat menjawab syubhat mereka di atas ilmu.

Pernikahan suami istri yang beda agama tidak terlarang secara mutlak, tidak pula diperbolehkan secara mutlak. Namun hukumnya dirinci sebagai berikut:

Pertama, seorang muslim menikahi wanita ahlul-kitab (Yahudi dan Nashrani). Wanita ahlul-kitab terbagi menjadi dua:

1. Wanita ahlul-kitab yang menjaga kehormatannya (bukan pezina), hukumnya pernikahannya halal.

2. Wanita ahlul-kitab yang tidak menjaga kehormatannya (pezina), hukumnya pernikahannya haram

Allah ta’ala berfirman:


الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ

Pada hari ini dihalalkan bagi kalian yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al-Kitab itu halal bagi kalian, dan makanan kalian halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan menikahi) wanita-wanita yang beriman yang menjaga kehormatannya dan wanita-wanita yang menjaga kehormatannya dari orang-orang yang diberikan Al-Kitab sebelum kalian.” [QS. Al Maidah: 5]

Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata:

وهذه الآية أباحت نكاح الكتابية . وقد روي عن عثمان أنه تزوج نائِلة بنت الفرافصة على نسائه وهي نصرانية . وعن طلحة بن عبيد الله : أنه تزوج يهودية

“Ayat ini menjelaskan tentang kebolehan menikahi wanita ahlul-kitab. Telah diriwayatkan dari Utsman bahwa ia menikahi Na’ilah bintu Al-Farafishah seorang wanita nashrani. Begitu pula diriwayatkan dari Thalhah bin Ubaidillah bahwa ia menikahi wanita Yahudi” [Zaadul Masiir, 2/173]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Wanita ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) boleh dinikahi oleh laki-laki muslim berdasarkan ayat ini.” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 14/91]

Kedua, seorang muslim menikahi wanita ahlul-kitab harbi yang membenci dan memusuhi Islam. Sahabat Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu tidak menghalalkannya, berdalil dengan firman Allah ta’ala,

لا تجدُ قوماً يؤمنون بالله واليوم الآخر يوادّون من حادّ الله ورسوله

Engkau tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman pada Allah dan hari akhir mencintai orang-orang yang melakukan permusuhan terhadap Allah dan rasul-Nya” [QS. Al-Mujadilah: 22]

Dimaklumi bahwa pernikahan akan menumbuhkan kecintaan suami pada istrinya, sedangkan tidak halal bagi seorang yang beriman pada Allah mencintai orang-orang yang memusuhi Islam. Kecuali jika wanita kafir tersebut diharapkan keislamannya. Oleh karena itu jumhur ulama tidak mengharamkannya. Allahua’lam. [Zaadul Masiir, 2/174]

Ketiga, seorang kafir (ahlul-kitab atau musyrik) menikahi wanita muslimah, hukumnya pernikahannya haram berdasarkan firman Allah ta’ala,

فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ

Jika kalian mengetahui mereka adalah wanita-wanita beriman, janganlah kalian mengembalikan mereka (wanita beriman –pen) kepada orang-orang kafir. Mereka (wanita beriman) tidak halal bagi mereka (orang kafir). Mereka (orang kafir) pun tidak halal bagi mereka (wanita beriman).” [QS. Al-Mumtahanah: 10]  

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata:

هذه الآية هي التي حَرّمَت المسلمات على المشركين

“Ayat ini menunjukkan keharaman (pernikahan -pen) wanita-wanita muslimah dengan orang-orang musyrik” [Tafsir Ibnu Katsir, 8/93]

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah juga berkata:

لا تزوجوهم بمسلمة حتى يؤمنوا

“Janganlah kalian menikahkan mereka (orang musyrik) dengan wanita muslimah hingga mereka beriman” [Tafsir Ibnu Katsir, 1/217]

Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata:

لأن الله تعالى لم يبح مؤمنة لمشرك

“Karena Allah tidak menghalalkan wanita beriman bagi orang musyrik” [Zaadul Masiir, 6/21]

Keempat, seorang muslim menikahi wanita musyrik selain ahlul-kitab, misalkan menikah dengan wanita beragama Hindu, Budha atau Majusi. Hukum pernikahannya haram.

Allah ta’ala berfirman

وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ

Janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik hingga mereka beriman” [QS. Al-Baqarah: 221]

Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata:

وقد حرم الله عز وجل نكاح المشركات عقداً ووطءاً .

“Sungguh Allah ‘azza wajalla mengharamkan menikahi wanita-wanita musyrik, baik melakukan akad nikah maupun hanya sekedar jima’ (melalui perbudakan –pen).” [Zaadul Masiir, 1/216]

Kelima, seorang muslim menikahi budak wanita ahlul-kitab (Yahudi dan Nashrani). Hukum pernikahannya juga haram menurut pendapat jumhur ulama. Pendapat ini dipegang oleh Asy-Syafi’i, Malik, Al-Hasan Al-Bashri, Al-Auza’i, Al-Laits, Az-Zuhri, Makhul, Suyfan Ats-Tsauri dan Ishaq bin Rahawaih rahimahumullah. [Al-Mughni, 9/554]


Dalilnya adalah mafhuum dari firman Allah ta'ala berikut,



فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَات



"Diperbolehkan bagi kalian menikahi budak-budak wanita beriman yang kalian miliki” [QS. An-Nisaa’: 25]



Dalam ayat di atas, Allah hanya memberikan keringanan menikahi budak wanita muslimah. -*-


Sebagai tambahan faidah, saya tambahkan dua point permasalahan,


Keenam, seorang muslim menikahi budak wanita muslimah. Hukum pernikahannya diperbolehkan dengan tiga syarat:

  1. Budak wanita muslimah yang hendak ia nikahi menjaga kehormatannya (bukan pezina)
  2. Ia tidak mampu menikahi wanita muslimah merdeka
  3. Ia khawatir terjatuh dalam zina
 Syarat pertama berdasarkan firman Allah ta’ala,

وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِين

Wanita pezina tidak dinikahi kecuali oleh laki-laki pezina atau musyrik. Yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang yang beriman” [QS. An-Nuur: 3]

Sedangkan syarat kedua dan ketiga terdapat dalam firman Allah ta’ala,

وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ مِنْكُمْ طَوْلًا أَنْ يَنْكِحَ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ فَمِنْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ مِنْ فَتَيَاتِكُمُ الْمُؤْمِنَات

Barangsiapa diantara kalian yang tidak mampu menikahi wanita-wanita beriman yang merdeka, maka diperbolehkan bagi kalian menikahi budak-budak wanita beriman yang kalian miliki” [QS. An-Nisaa’: 25]

ذَلِكَ لِمَنْ خَشِيَ الْعَنَتَ مِنْكُمْ وَأَنْ تَصْبِرُوا خَيْرٌ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيم

Hal itu bagi orang-orang yang mengkhawatirkan dirinya terjatuh dalam perbuatan zina. Namun bersabar bagi kalian lebih baik. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS. An-Nisaa’: 25]

Meskipun hukumnya boleh jika ketiga syarat terpenuhi, namun bersabar lebih utama baginya, hingga ia memiliki kecukupan harta untuk menikahi wanita muslimah yang merdeka (bukan budak).

Ketujuh, seorang muslim menikahi wanita pezina atau sebaliknya wanita muslimah menikahi laki-laki pezina. Hukum pernikahannya haram.

Allah ta’ala berfirman:

وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِين

Wanita pezina tidak dinikahi kecuali oleh laki-laki pezina atau musyrik. Yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang yang beriman” [QS. An-Nuur: 3]

Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata:

وقال قتادة، ومقاتل بن حَيّان: حرم الله على المؤمنين نكاح البغايا

“Qatadah dan Muqatil bin Hayyan berkata: “Allah mengharamkan orang-orang yang beriman menikahi para pelacur (pezina)” [Tafsir Ibnu Katsir, 6/9]

Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata:

ومذهب أصحابنا أنه إِذا زنى بامرأة لم يجز له أن يتزوجها إِلا بعد التوبة منهما

“Madzhab para sahabat kami (madzhab hambali –pen), ketika ada laki-laki berzina dengan seorang wanita, maka ia tidak boleh menikahi wanita yang dizinahinya, kecuali jika keduanya telah bertaubat. [Zaadul Masiir, 4/431]

Allahua’lam


Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 7 Rabii’ul Akhiir 1435


Saturday, February 1, 2014

Khazanah Islam II (Tahukah Anda?)

Tahukah Anda?
• Penduduk Arab pertama yang masuk Islam setelah kaum Anshar adalah penduduk Yaman. (Al Awa’il, At Thabarani rahimahullah hlm. 60)
• Komandan pertama yang ditunjuk oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Abdullah bin Jahsy. (Al Awa’il, At Thabarani rahimahullah hlm. 62)
• Orang pertama yang mengucapkan “Amama ba’du” adalah Nabi Dawud ‘alaihis salam. (Al Awa’il, At Thabarani rahimahullah hlm. 40)