Monday, September 23, 2013

Ensiklopedia Madinah Al-Munawwarah

Al-Madinah Al-Munawwarah (kota yang disinari) merupakan kota Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam. Kota ini merupakan kota pertama yang mendukung dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. Beliau shallallahu ‘alaihi wassalam sangat mencintai kota ini.
Kota yang dulu lebih dikenal ulama dengan sebutan “Al-Madinah An-Nabawiyah” namun sekarang lebih masyhur dengan sebutan “Al-Madinah Al-Munawwarah” ini terletak di barat laut Kerajaan Arab Saudi, berjarak 250 km dari timur Laut Merah dan berada pada ketinggian 620 m dari permukaan laut. Di sisi baratnya ada beberapa gunung berapi. Kota ini merupakan oase yang dikelilingi gunung dan bebatuan dari segala sisi. Luas kotanya 50 km persegi.
Kota Madinah beriklim panas. Allah berkehendak iklimnya dipengaruhi oleh Laut Mediterania di utara, dan cuaca musiman di selatan. Temperatur berkisar antara 36-45 derajat Celcius selama musim panas, dan 15-20 derajat Celcius selama musim dingin. Ada hujan kecil yang biasanya turun pada bulan Januari dan November.

Beberapa Permasalahan Wanita Seputar Haji dan Umrah

• Seorang Wanita Memiliki 1000 Dirham, Apakah Dia Menunaikan Ibadah Haji dengannya atau Digunakan untuk Menikahkan Putrinya?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya: Seorang perempuan memiliki uang 1000 dirham dan dia berniat akan menghadiahkan pakaiannya kepada anak putrinya, maka apakah yang lebih utama tetap memberikan perlengkapan rumah untuk anak putrinya atau dia menunaikan haji dengannya?
Maka beliau menjawab: Segala puji bagi Allah, benar, dia menunaikan haji dengan harta itu yaitu 1000 dirham dan yang semisalnya, dan menikahkan anak putrinya dengan harta yang tersisa darinya jika dia ingin, karena sesungguhnya haji merupakan kewajiban yang ditetapkan atasnya, jika dia sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Sedangkan orang yang memiliki harta sebanyak itu, berarti dia mampu mengadakan perjalanan haji tersebut.
• Jika Wanita Haji dan Tidak Umrah, Apakah Mungkin Dia Melakukan Haji untuk Anak Putrinya?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya: Seorang wanita melakukan haji dan tidak umrah, dan dalam tahun yang kedua dia berniat melakukan haji untuk anak putrinya. Sedangkan pada tahun pertama dia telah berihram untuk haji dan umrah, maka apakah dia harus melakukan umrah yang lain?
Maka beliau menjawab: Tidak ada umrah atasnya terhadap apa yang telah lalu. Adapun jika berumrah pada tahun ini untuk dirinya, itu bukan umrah untuk putrinya maka demikian itu adalah boleh.
• Apakah Wanita Melakukan Haji untuk yang Lainnya?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya: Seorang perempuan menunaikan haji untuk yang lainnya, apakah boleh?
Maka beliau menjawab: Seorang wanita boleh melakukan haji untuk wanita lain berdasarkan kesepakatan ulama, baik untuk anak putrinya atau selain anak putrinya. Demikian pula seorang wanita boleh melakukan haji untuk laki-laki menurut imam empat, dan mayoritas ulama, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan wanita khats’amiyah agar melakukan haji untuk bapaknya, tatkala dia berkata: Wahai Rasulullah sesungguhnya kewajiban haji atas hamba-hamba-Nya telah sampai ke bapak saya dan beliau dalam keadaan sangat tua, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepadanya agar menunaikan haji untuk bapaknya, padahal ihram lakh-laki lebih sempurna daripada ihram…. Wallahu a’lam.
• Wanita Tidak Melakukan Tahallul dari Umrahnya dan Dia Takut terhadap Suaminya karena Kerasnya
Syaikh bin Jibrin ditanya: Saya keluar untuk menunaikan umrah, bersama suami dan saya tidak tahallul dalam umrahku karena setan membuat saya lupa terhadap urusan itu, dan saya takut mengutarakan kepada suamiku karena dia sangat keras, kemudian saya jalani kehidupan suami istri sebagaimana dalam kebiasaan. Kemudian pada waktu lain saya diajak untuk melakukan umrah, maka saya umrah dan bertahallul darinya, padahal saya tidak melakukannya dari umrah yang pertama, maka hukum apa yang diwajibkan dalam keadaan seperti ini? Dan apa yang harus saya lakukan?
Maka beliau menjawab: Ketika engkau tidak tahallul dari umrah yang pertama setelah amalah umrah itu sempurna, maka engkau wajib mengeluarkan (membayar) fidyah, karena engkau tidak memotong atau mencukur rambut, dan fidyah itu adalah nasak (berkorban) yaitu dengan membayar dam. Umrah menjadi sempurna disebabkan ihram, thawaf, sa’i yang sempurna dan sisa amalan umrah yang lain adalah mencukur atau memotong rambut yang menjadi sebab tahallul. Maka ketika orang yang umrah tidak tahallul, maka dia harus membayar dam dengan menyembelih seekor kambing di Makkah unttk orang-orang miskin di tanah haram, dan tidak ada beban yang diwajibkan ketika engkau kembali menjalani kehidupan suami istri setelah berniat melakukan tahallul, yaitu memakai wewangian, bersetubuh, memotong kuku dan sejenis itu. Maka umrah yang kedua yang kamu lakukan dengan ihram yang baru adalah sah dan sempurna disebabkan engkau telah bertahallul dengan sempurna.
• Hukum Wanita Memakai Parfum sebelum Ihram
Syaikh Abdullah bin Humaid ditanya: Apakah wanita boleh memakai parfum ketika ihram dan apakah ada denda atas demikian itu? Berilah penjelasan kepada kami semoga Allah membalas kebaikan anda?
Maka beliau menjawab: Tidak, seorang wanita tidak boleh mengenakan parfum. Sesungguhnya parfum wanita adalah jelas warnanya dan kurang baunya, sedangkan parfum laki-laki jelas (kuat) baunya dan samar warnanya. Maka seorang wanita tidak pantas mengenakan parfum yang kuat baunya, karena kalau dia memakai parfum tersebut dan berjalan bersama yang lain atau pergi untuk ihram maka keluarlah bau yang harum dari dirinya. Dan dia dilarang memakai parfum ini di luar waktu ihram terlebih lagi jika dikeluarkan ke jalan-jalan atau bercampur baur dengan laki-laki, maka memakainya pada waktu ihram lebih keras larangannya. Padahal parfum wanita berwarna terang dan kurang baunya. Namun yang lebih utama seorang wanita tidak memakai parfum ketika ihram, terlebih lagi ketika dia berbaur dengan laki-laki melakukan thawaf dan sa’i sementara di kanan dan kirinya ada laki-laki yang mencium bau ini. Maka yang lebih utama dia meninggalkannya. Wallahu a’lam.
• Wanita Boleh Menyembelih Kurban Sendiri ketika Ada Hajat
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya: Jika datang waktu menyembelih dan di rumah tidak didapati seorang laki-laki, apakah seorang wanita itu boleh menyembelih kurban sendiri?
Maka beliau menjawab: Benar, seorang wanita boleh menyembelih kurban atau lainnya ketika ada hajat, ketika syarat-syarat menyembelih yang lain telah sempurna. Bagi yang menyembelih, ketika menyembelih kurban disunnahkan menyebut nama orang yang diniatkannya berkubar atas namanya baik dia masih hidup maupun sudah mati. Jika tidak melakukan demikian maka cukup dengan niat. Sedangkan jika dia tidak menyebut nama selain yang pemilik kurban tidak sengaja, maka itu tidak membahayakan. Maka Allah yang lebih tahu tentang niat, dan Allah yang memberi taufik.
• Seorang Wanita Berdesak-desakan dengan Laki-laki di Tengah-tengah Thawaf adalah Haram
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan ditanya: Apakah wanita boleh berdesak-desakan dengan laki-laki pada waktu melakukan thawaf di sekitar Ka’bah?
Maka beliau menjawab: Wanita dilarang berdesak-desakan dengan laki-laki secara mutlak di manapun, terlebih lagi dalam thawaf karena demikian itu mendatangkan fitnah, sedangkan berdesak-desakan dengan laki-laki dalam thawaf lebih besar larangannya, maka dia harus menjauhi kondisi manusia yang berdesak-desakan dalam thawaf, yaitu menanti saat yang tepat yang jauh dari kondisi manusia yang berdesak-desakan, atau dia berada di samping tempat thawaf walaupun posisinya jauh dari Ka’bah. Karena yang demikian itu lebih menjaga dirinya dan menjauhkan dirinya dari bahasa fitnah.
• Seorang Wanita Pergi ke Jeddah Sebelum Thawaf dan Dia Telah Disetubuhi oleh Suaminya
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Ali Syaikh ditanya: Seorang wanita melakukan ihram bersama suaminya dari Jeddah, dan dia telah menunaikan manasik-manasik, hanya saja ketika dia sampai di Makkah darah haidnya keluar, lalu dia pergi ke Jeddah sebelum thawaf ifadhah dan wada’, dan setelah suci suaminya menyetubuhinya sebelum dia melakukan thawaf ifadhah dan wada’?
Maka beliau menjawab: Segala puji bagi Allah, wanita tersebut tidak diperbolehkan kembali ke Jeddah sebelum menyempurnakan manasik-manasik haji, sebaliknya dia bermukim di Makkah sampai suci, kemudian menyempurnakan manasik-manasik, karena hadits: “Apakah dia (Shofiyah) menahan di sini?” Tetapi tidak ada denda yang dibebankan atasnya ketika dia kembali ke daerah sebelum ini, dan ketika itu suaminya tidak boleh menyetubuhinya karena dia belum melakukan thawaf ifadhah. Kemudian dia memilih antara menyembelih kambing atau puasa 3 hari atau memberi makan kepada enam orang miskin, dan dia wajib kembali ke Makkah dengan umrah. Maka dia melakukan ihram dari Jeddah kemudian masuk Makkah, lalu melakukan thawaf dan sa’i serta memotong rambutnya. Setelah itu dia melakukan thawaf ifadhah dan wada’. Jika dia segera (langsung) keluar dari Makkah setelah menyelesaikan thawaf ifadhah maka hal itu telah mencukupkannya, walaupun tidak melakukan thawaf wada’.
Sumber: Wanita Bertanya Ulama Menjawab (Bagian Pertama), disusun oleh: Abu Malik Muhammad bin Hamid bin Abdul Wahab (penerjemah: Abu Najiyah Muhaimin), Penerbit An Najiyah, hal. 222, 225, 230-231, dan 253-255 via fadhlihsan.wordpress.com

Sunday, September 15, 2013

Hukum Menghajikan Orang Yang Meninggal

Tanya:
Manakah yang lebih tepat, boleh atau tidak menghajikan orang yang telah mati? Bagaimanakah tuntunannya?
Jawab:
Asy Syaikh Abu Usamah Abdullah bin ‘Abdurrahim Al-Bukhari hafidzahullah pada sore 5 syawal 1425 H, bertepatan 17/11/2004, menjawab sebagai berikut:
“Para ulama telah membahas permasalahan ini. Mereka menyatakan kebolehan menghajikan orang telah meninggal dengan syarat orang yang (akan menghajikan) telah melakukan haji untuk dirinya sendiri, sebagaimana dalam hadits Syubrumah, tatkala Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam mendengar seorang lelaki bertalbiyah, “Labbaikalla ‘an Syubrumah,” maka Beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya: “Apakah engkau telah haji untuk dirimu?”, “Belum” Jawabnya. Maka beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Berhajilah untuk dirimu, kemudian berhajilah engkau untuk Syubrumah.”
Apabila seseorang telah berhaji untuk dirinya, diperbolehkan baginya (untuk menghajikan, -pent.) dan bukan wajib, apalagi bila yang dihajikan itu adalah ayahnya, ibu atau karib kerabatnya yang meninggal dan belum mampu berhaji.”
Dalam pertanyaan pertama dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah no. 2200 yang ditanda tangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, Syaikh ‘Abdurrazzaq ‘Afify dan Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud rahimahumullah, disebutkan:
Tanya: 
Apakah boleh seorang muslim yang telah menunaikan kewajiban haji untuk menghajikan salah seorang kerabatnya yang berada di negeri Cina, karena ia tidak mampu untuk menunaikan ibadah haji?
Jawab:
Diperbolehkan bagi seorang muslim yang telah menunaikan kewajiban haji bagi dirinya untuk menghajikan orang lain berdasarkan hadits-hadits yang shohih yang menjelaskan tentang itu, jika orang lain tersebut tidak mampu karena umur yang tua, penyakit yang tidak diharapkan sembuhnya atau karena ia telah meninggal.
Adapun jika yang akan dihajikan tidak mampu karena suatu perkara yang diharapkan hilang udzurnya, seperti sakit yang diharapkan kesembuhannya, atau suatu alasan berkaitan dengan keadaan politik, atau keamanan dalam perjalanan dan selainnya, maka tidak sah untuk dihajikan. [Fatawa Al-Lajnah Ad Da’imah, 11/51]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“Boleh bagi seorang perempuan untuk menghajikan perempuan lain menurut kesepakatan para ‘ulama, baik itu putrinya atau selainnya. Dan demikian pula boleh seorang perempuan menghajikan seorang lelaki menurut Imam Empat [1] dan jumhur Ulama (kebanyakan ulama), sebagaimana Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan perempuan Al Juts’amiyah untuk menghajikan ayahnya, tatkala ia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kewajiban haji kepada hamba-hamba-Nya telah mendapati ayahku dan beliau adalah orang sudah tua,“ maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menghajikan ayahnya. Namun hajinya seorang lelaki lebih sempurna dari seorang perempuan.”
Syaikh Shalih Al-Fauzan ditanya sebagai berikut:
“Apakah boleh seorang ibu untuk menghajikan anaknya ketika ia telah meninggal, sementara ia sendiri sudah menunaikan ibadah haji?”
Jawab:
“Apabila ia telah menunaikan kewajiban haji untuk dirinya sebelum itu, maka tidaklah mengapa ia menghajikan anaknya yang telah meninggal, apalagi jika (anak itu) belum haji.” [Al-Muntaqa Min Fatawa Syaikh Shalih Al-Fauzan jilid 3 no.294)]
Referensi: Majalah An Nashihah Volume 09 Th. 1/1426 H./2005 M. Hal. 5
Footnote:
[1] Yaitu Imam Syafi’I, Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Ahmad bin Hambal, (-admin)

Kesalahan Yang Sering Dilakukan Jamaah Haji

Perjalanan suci menuju Baitullah membutuhkan bekal yang cukup. Di samping bekal harta, ilmu pun merupakan bekal yang mutlak dibutuhkan. Karena dengan ilmu, seseorang akan terbimbing dalam melakukan ibadah hajinya sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lebih dari itu, akan terhindar dari berbagai macam bid’ah dan kesalahan, sehingga hajinya pun sebagai haji mabrur yang tiada balasan baginya kecuali Al-Jannah.
Berangkat dari harapan mulia inilah, nampaknya penting sekali untuk diangkat berbagai kesalahan atau bid’ah (hal-hal yang diada-adakan dalam agama) yang sekiranya dapat menghalangi seseorang untuk meraih predikat haji mabrur. Di antara kesalahan-kesalahan itu adalah sebagai berikut:
Beberapa Kesalahan Sebelum Berangkat Haji
1. Mengadakan acara pesta (selamatan) dengan diiringi bacaan doa atau pun shalawat tertentu. Bahkan terkadang dengan iringan musik tertentu. Perbuatan semacam ini tidak ada contohnya dalam kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya radhiyallahu ‘anhum.
2. Mengiringi keberangkatan jamaah haji dengan adzan atau pun musik.
3. Mengharuskan diri berziarah ke kubur sanak-famili dan orang-orang shalih.
4. Keyakinan bahwasanya calon jamaah haji itu selalu diiringi malaikat sepekan sebelum keberangkatannya, sehingga doanya mustajab.
5. Kepergian wanita ke Baitullah tanpa disertai mahramnya. Atau melakukan apa yang diistilahkan dengan ‘persaudaraan nisbi/semu’, yaitu menjadikan seorang jamaah haji pria sebagai mahram bagi si wanita dalam perjalanan hajinya (padahal pria tersebut bukan mahram yang sesungguhnya), yang kemudian dapat bermuamalah sebagaimana layaknya dengan mahramnya sendiri. Demikian pula ‘nikah nisbi/semu’, yaitu dinikahkannya seorang calon jamaah haji wanita (baik sudah bersuami atau belum) dengan calon jamaah haji pria, yang kemudian keduanya dapat bermuamalah sebagaimana layaknya suami-isteri. Tentu, yang demikian ini adalah kemungkaran yang tidak diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala.
6. Melakukan perjalanan haji semata-mata bertujuan ingin ziarah ke makam Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
7. Melakukan shalat dua rakaat ketika akan berangkat haji.
8. Bersalaman bahkan berpelukan dengan seseorang yang bukan mahramnya menjelang keberangkatan ke tanah suci.
Beberapa Kesalahan Ketika Berihram dan Bertalbiyah
1. Melewati miqatnya dalam keadaan tidak berihram. Hal ini sering terjadi pada sebagian jamaah haji Indonesia kelompok kedua yang melakukan perjalanan dari tanah air (langsung) menuju Makkah. Mereka tidak berihram ketika melewati miqat (di atas pesawat terbang) dan baru berihram setibanya di Jeddah. Padahal kota Jeddah bukanlah miqat menurut pendapat yang benar.
2. Bertalbiyah bersama-sama dengan dipimpin seseorang di antara mereka.
3. Selalu dalam keadaan menampakkan pundak kanan ketika berihram (idhthiba’), padahal yang demikian itu hanya disunnahkan pada thawaf qudum.
4. Meninggalkan bacaan talbiyah dan menggantinya dengan tahlil dan takbir.
Beberapa Kesalahan Ketika Thawaf
1. Mengharuskan diri untuk mandi sebelum berthawaf.
2. Melafadzkan niat thawaf.
3. Mengangkat kedua tangan saat berisyarat kepada Hajar Aswad, seperti ketika takbiratul ihram dalam shalat.
4. Memulai putaran thawaf sebelum rukun Hajar Aswad.
5. Melakukan shalat tahiyyatul masjid sebelum thawaf.
6. Hanya mengelilingi bangunan Ka’bah yang bersegi empat saja dan tidak mengelilingi Hijr.
7. Melakukan jalan cepat (raml) pada seluruh putaran thawaf, padahal itu hanya dilakukan pada 3 putaran pertama dan itu pun khusus pada thawaf qudum saja.
8. Berdesak-desakan untuk mencium Hajar Aswad, yang terkadang sampai mendzalimi jamaah haji lainnya.
9. Mengusap-usap Hajar Aswad dalam rangka tabarruk (mengais berkah) dan berkeyakinan bahwa yang demikian itu dapat mendatangkan manfaat dan menolak bala.
10. Mencium dan mengusap-usap sebagian sudut Ka’bah atau keseluruhannya. Bahkan terkadang ada yang menarik-narik kiswah (kain penutup Ka’bah) untuk menyobeknya guna dijadikan jimat.
11. Membaca doa/dzikir khusus pada setiap putaran thawaf, karena yang demikian itu tidak ada tuntunannya dari baginda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.
12. Berthawaf dalam keadaan bersedekap.
13. Keyakinan bahwasanya barangsiapa mampu menggapai dinding atas dari pintu Ka’bah, maka dia telah berhasil memegang Al-‘Urwatul Wutsqa, yaitu: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ.
14. Berdesak-desakan untuk shalat (persis) di belakang maqam Ibrahim, karena dapat mengganggu jamaah lainnya yang sedang melakukan thawaf. Padahal diperbolehkan baginya untuk melakukannya walaupun agak jauh di belakang maqam Ibrahim.
15. Lebih parah lagi bila shalat setelah thawaf tersebut dilakukan lebih dari 2 rakaat.
16. Berdiri dan berdoa bersama seusai thawaf dengan satu komando. Lebih tragis lagi manakala doa itu dibaca dengan suara yang amat keras dan mengganggu kekhusyukan ibadah jamaah haji lainnya.
Beberapa Kesalahan Ketika Melakukan Sa’i
1. Berwudhu’ terlebih dahulu sebelum bersa’i, walaupun masih dalam keadaan suci.
2. Mengharuskan diri untuk naik ke Bukit Shafa dan menyentuhkan badan ke dindingnya.
3. Mengangkat kedua tangan sebagaimana layaknya takbiratul ihram sambil bertakbir tiga kali ketika berada di atas Shafa dan Marwah.
4. Berlari-lari kecil pada seluruh putaran di antara Shafa dan Marwah. Padahal yang dituntunkan hanyalah ketika lewat di antara dua tanda hijau saja.
5. Melakukan shalat dua rakaat seusai sa’i.
Beberapa Kesalahan ketika di Arafah
1. Mengharuskan diri mandi untuk menyambut hari Arafah.
2. Melakukan wuquf di Arafah pada tanggal 8 Dzul Hijjah dalam rangka ihtiyath (berhati-hati), atau karena adanya keyakinan bahwa hari Arafah itu pada tanggal 8 Dzul Hijjah sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian sekte sesat Syi’ah Rafidhah.
3. Melakukan wuquf di luar batas wilayah Arafah.
4. Meninggalkan pembicaraan (membisu) dan meninggalkan doa.
5. Masuk ke dalam kubah yang berada di atas Jabal Rahmah, lalu shalat padanya atau mengelilinginya (berthawaf) sebagaimana layaknya berthawaf di Ka’bah.
6. Berangkat dari Makkah ke Arafah sejak tanggal 8 Dzul Hijjah.
7. Keyakinan bahwa wuquf di Arafah pada Hari Jum’at merupakan haji akbar dan senilai dengan 72 kali haji.
8. Meninggalkan Arafah sebelum terbenamnya matahari tanggal 9 Dzul Hijjah.
Beberapa Kesalahan ketika di Muzdalifah
1. Tergesa-gesa saat beranjak dari Arafah menuju Muzdalifah.
2. Mengharuskan diri mandi untuk menginap di Muzdalifah.
3. Tidak segera melaksanakan shalat Maghrib dan ‘Isya saat tiba di Muzdalifah, bahkan sibuk mengumpulkan batu-batu kerikil.
4. Tidak menginap di Muzdalifah tanpa ada udzur syar’i.
5. Mengisi malamnya dengan shalat malam dan dzikir. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan malam tersebut untuk istirahat.
Beberapa Kesalahan ketika Melempar Jumrah
1. Mengharuskan diri untuk mandi sebelum melempar jumrah.
2. Mencuci batu kerikil terlebih dahulu sebelum dilemparkan.
3. Melempar jumrah dengan menggunakan batu besar, sepatu, dan lain sebagainya.
4. Keyakinan bahwa melempar jumrah itu dalam rangka melempar setan. Sehingga tidak jarang dari sebagian jamaah haji yang melemparkan benda-benda yang ada di sekitarnya, seperti sandal, payung, botol, dsb, agar lebih menyakitkan bagi setan.
5. Berdesak-desakan (saling mendorong) jamaah haji yang lainnya untuk bisa melakukan pelemparan.
6. Melemparkan kerikil-kerikil tersebut secara sekaligus. Padahal yang dituntunkan oleh baginda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah melemparkannya satu demi satu sambil diiringi takbir.
7. Mewakilkan pelemparan kepada orang lain, padahal ia mampu untuk melakukannya.
Beberapa Kesalahan Ketika Menyembelih Hewan Kurban dan Bertahallul
1. Enggan untuk menyembelih hewan kurban yang merupakan kewajiban untuk haji Tamattu’-nya, dan lebih memilih untuk bershadaqah senilai harga hewan kurban tersebut.
2. Menyembelih hewan kurban untuk haji tamattu’ di Makkah sebelum hari nahr (tanggal 10 Dzulhijjah).
3. Mencukur dari sebelah kiri, atau menggundul/mencukur sebagian kepala saja bagi laki-laki.
4. Melakukan thawaf di seputar masjid yang berada di dekat tempat pelemparan jumrah.
5. Tidak melakukan sa’i setelah thawaf ifadhah dalam haji tamattu’.
Beberapa Kesalahan Ketika Thawaf Wada’
1. Meninggalkan Mina pada hari nafar (12 atau 13 Dzulhijjah) sebelum melempar jumrah dan langsung melakukan thawaf wada’, kemudian kembali ke Mina untuk melempar jumrah. Setelah itu mereka langsung pulang ke negara masing-masing. Padahal semestinya, thawaf wada’-lah yang merupakan penutup dari seluruh manasik haji.
2. Berjalan mundur seusai thawaf wada’, dengan anggapan sebagai tanda penghormatan terhadap Ka’bah.
3. Membaca doa-doa tertentu yang tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagai “ucapan selamat tinggal” terhadap Ka’bah.
Beberapa Kesalahan ketika Berada di Kota Madinah
1. Meniatkan safar untuk menziarahi makam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal niat yang benar adalah dalam rangka mengunjungi Masjid Nabawi dan shalat di dalamnya.
2. Menitipkan pesan untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui jamaah haji dan para penziarah, agar disampaikan di kuburan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lebih aneh lagi disertai foto/KTP yang bersangkutan.

3. Adanya praktik-praktik kesyirikan yang dilakukan di kuburan Nabi, antara lain:
- Menyengaja shalat dengan menghadap ke kubur.
- Bertawassul atau meminta syafaat kepada beliau secara langsung.
- Mengusap-usap dinding kuburan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk ngalap berkah, yang tidak jarang disertai dengan tangisan histeris.
- Berdoa secara langsung kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam agar mencukupi kebutuhannya.
4. Meyakini bahwa ziarah ke kubur Nabi merupakan bagian dari manasik haji.
5. Keyakinan bahwa haji seseorang tidaklah sempurna tanpa menetap di Madinah selama 8 hari untuk melakukan shalat wajib selama 40 waktu, yang diistilahkan dengan “Arba’inan” [1].
Beberapa Kesalahan Setiba Di Kampung Halaman
1. Memopulerkan gelar ’Pak Haji’ atau ‘Bu Haji’. Sampai-sampai ada yang marah/tersinggung bila tidak dipanggil dengan panggilan tersebut.
2. Merayakannya dengan aneka pesta sambil diiringi shalawat Badar dan yang sejenisnya.
3. Meminta barakah kepada orang yang pulang haji, dengan keyakinan bahwa para malaikat sedang mengelilinginya.
Sumber Bacaan:
1. At-Tahqiq wal-Idhah Lilkatsir Min Masa`ilil Hajji wal Umrah waz Ziyarah, karya Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz.
2. Hajjatun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam Kama Rawaha ‘Anhu Jabir radhiyallahu ‘nhuma, karya Asy-Syaikh Muhammad Nashirudin Al-Albani.
3. Manasikul Hajji Wal ‘Umrah, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.
4. Al-Manhaj limuridil ‘Umrah wal Hajj, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.
5. Shifat Hajjatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karya Asy-Syaikh Muhammad Jamil Zainu.
6. Dalilul Haajji wal Mu’tamir wa Zaairi Masjidr Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, karya Majmu’ah minal Ulama’, terbitan Departemen Agama Saudi Arabia.
7. Mu’jamul Bida’, karya Asy-Syaikh Ra`id bin Shabri bin Abi Alfah.
Penulis : Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc.
Footnote:
[1] Hal ini berdasarkan sebuah hadits:

Barangsiapa yang shalat di masjidku (Masjid Nabawi) sebanyak 40 (empat puluh ) shalat, tanpa ada satu pun yang terlewati, maka ditetapkan baginya: bebas dari an-naar, selamat dari adzab, dan terlepas dari nifaq.” (HR. Ahmad dan Ath-Thabarani, dari shahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
Namun derajat hadits ini munkar (lebih parah daripada dha’if atau lemah). Hal itu dikarenakan tidak ada yang meriwayatkannya kecuali seorang perawi yang bernama Nabith, dan ia adalah seorang yang majhul (tidak dikenal).
Kemudian apa yang ia riwayatkan menyelisihi riwayat seluruh perawi hadits tersebut." (Lihat Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah no. 364 atau Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 6/318 karya Asy-Syaikh Al-Albani)

Mengenal Haji Tamattu', Qiran dan Ifrad

Seorang calon jamaah haji, sudah seharusnya mengenali jenis-jenis haji dan miqatnya. Agar dia bisa melihat dan memilih, jenis haji apakah yang paling tepat baginya dan dari miqat manakah dia harus melakukannya.
Jenis-jenis Haji
Berdasarkan riwayat-riwayat yang shahih dari Nabi shallallah ‘alahi wa sallam, ada tiga jenis haji yang bisa diamalkan. Masing-masingnya mempunyai nama dan sifat (tatacara) yang berbeda. Tiga jenis haji tersebut adalah sebagai berikut:
1. Haji Tamattu’
Haji Tamattu’ adalah berihram untuk menunaikan umrah di bulan-bulan haji (Syawwal, Dzul Qa’dah, 10 hari pertama dari Dzul Hijjah), dan diselesaikan umrahnya (bertahallul) pada waktu-waktu tersebut [1]. Kemudian pada hari Tarwiyah (tanggal 8 Dzul Hijjah) berihram kembali dari Makkah untuk menunaikan hajinya hingga sempurna. Bagi yang berhaji Tamattu’, wajib baginya menyembelih hewan kurban (seekor kambing/sepertujuh dari sapi/sepertujuh dari unta) pada tanggal 10 Dzul Hijjah atau di hari-hari tasyriq (tanggal 11,12,13 Dzul Hijjah). Bila tidak mampu menyembelih, maka wajib berpuasa 10 hari; 3 hari di waktu haji (boleh dilakukan di hari tasyriq [2]. Namun yang lebih utama dilakukan sebelum tanggal 9 Dzul Hijjah/hari Arafah) dan 7 hari setelah pulang ke kampung halamannya.
2. Haji Qiran
Haji Qiran adalah berihram untuk menunaikan umrah dan haji sekaligus, dan menetapkan diri dalam keadaan berihram (tidak bertahallul) hingga hari nahr (tanggal 10 Dzul Hijjah). Atau berihram untuk umrah, dan sebelum memulai thawaf umrahnya dia masukkan niat haji padanya (untuk dikerjakan sekaligus bersama umrahnya). Kemudian melakukan thawaf qudum (thawaf di awal kedatangan di Makkah), lalu shalat dua rakaat di belakang maqam Ibrahim. Setelah itu bersa’i di antara Shafa dan Marwah untuk umrah dan hajinya sekaligus dengan satu sa’i (tanpa bertahallul), kemudian masih dalam kondisi berihram hingga datang masa tahallulnya di hari nahr (tanggal 10 Dzul Hijjah). Boleh pula baginya untuk mengakhirkan sa’i dari thawaf qudumnya yang nantinya akan dikerjakan setelah thawaf haji (ifadhah). Terlebih bila kedatangannya di Makkah agak terlambat dan khawatir tidak bisa tuntas mengerjakan hajinya bila disibukkan dengan sa’i. Untuk haji Qiran ini, wajib menyembelih hewan kurban (seekor kambing, sepertujuh dari sapi, atau sepertujuh dari unta) pada tanggal 10 Dzul Hijjah atau di hari-hari tasyriq (tanggal 11, 12, 13 Dzul Hijjah). Bila tidak mampu menyembelih, maka wajib berpuasa 10 hari; 3 hari di waktu haji (boleh dilakukan di hari tasyriq, namun yang lebih utama dilakukan sebelum tanggal 9 Dzul Hijjah/hari Arafah) dan 7 hari setelah pulang ke kampung halamannya.
3. Haji Ifrad
Haji Ifrad adalah melakukan ihram untuk berhaji saja (tanpa umrah) di bulan-bulan haji. Setiba di Makkah, melakukan thawaf qudum (thawaf di awal kedatangan di Makkah), kemudian shalat dua rakaat di belakang maqam Ibrahim. Setelah itu bersa’i di antara Shafa dan Marwah untuk hajinya tersebut (tanpa bertahallul), kemudian menetapkan diri dalam kondisi berihram hingga datang masa tahallulnya di hari nahr (tanggal 10 Dzul Hijjah). Boleh pula baginya untuk mengakhirkan sa’i dari thawaf qudumnya, dan dikerjakan setelah thawaf hajinya (ifadhah). Terlebih ketika kedatangannya di Makkah agak terlambat dan khawatir tidak bisa tuntas mengerjakan hajinya bila disibukkan dengan kegiatan sa’i, sebagaimana haji Qiran. Untuk haji Ifrad ini, tidak ada kewajiban menyembelih hewan kurban. (Disarikan dari Dalilul Haajji wal Mu’tamir, terbitan Departemen Agama Saudi Arabia hal. 15,16, & 19, danhttp://www.attasmeem.com, Manasik Al-Hajj wal ‘Umrah, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin)
Jenis Haji Apakah yang Paling Utama (Afdhal)?
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Berdasarkan penelitian, maka keutamaan tersebut tergantung pada kondisi orang yang akan melakukannya. Jika dia safar untuk umrah secara tersendiri (lalu pulang), kemudian safar kembali untuk berhaji, atau dia bersafar ke Makkah sebelum bulan-bulan haji untuk berumrah lalu tinggal di sana, maka para ulama sepakat bahwa yang afdhal baginya adalah haji Ifrad. Adapun jika dia bersafar ke Makkah pada bulan-bulan haji untuk melakukan umrah dan haji (sekali safar) dengan membawa hewan kurban, maka yang afdhal baginya adalah haji Qiran. Dan bila tidak membawa hewan kurban maka yang afdhal baginya adalah haji Tamattu’.” (Lihat Taudhihul Ahkam juz 4, hal. 60)
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa haji Tamattu’ lebih utama dari semua jenis haji secara mutlak. Bahkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berpendapat bahwa hukum haji Tamattu’ adalah wajib, sebagaimana dalam kitab beliau Hajjatun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (hal. 11-17, cet. ke-4). Namun demikian, beliau rahimahullah mengatakan: “Mungkin ada yang berkata, ‘Sesungguhnya apa yang engkau sebutkan tentang wajibnya haji Tamattu’ dan bantahan terhadap yang mengingkarinya, sangatlah jelas dan bisa diterima. Namun masih ada ganjalan manakala ada yang mengatakan bahwa Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun justru melakukan haji Ifrad. Bagaimanakah solusinya?’
Jawabannya: ‘Dalam bahasan yang lalu telah kami jelaskan bahwasanya haji Tamattu’ itu hukumnya wajib, bagi seseorang yang tidak membawa hewan kurban. Adapun bagi seseorang yang membawa hewan kurban, maka tidak wajib baginya berhaji Tamattu’. Bahkan (dalam kondisi seperti itu) tidak boleh baginya untuk berhaji Tamattu’. Yang afdhal baginya adalah haji Qiran atau haji Ifrad. Sehingga apa yang telah disebutkan bahwa Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun berhaji Ifrad, dimungkinkan karena mereka membawa hewan kurban. Dengan demikian masalahnya bisa dikompromikan, walhamdulillah.” (Hajjatun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hal. 18-19)
Miqat Haji
Miqat haji ada dua macam:
1. Miqat zamani: Yaitu batasan-batasan waktu di mana dilakukan ibadah haji. Batasan waktu tersebut adalah bulan-bulan haji (Syawwal, Dzul Qa’dah, dan 10 hari pertama dari bulan Dzul Hjjah). Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُوْمَاتٌ
Haji itu pada bulan-bulan yang telah ditentukan.” (Al-Baqarah: 197)

2. Miqat makani: Yaitu sebuah tempat yang telah ditentukan dalam syariat, untuk memulai niat ihram haji dan umrah.
Miqat Makani tersebut ada lima [3], yaitu:
Pertama: Dzul Hulaifah (sekarang dinamakan Abyar ‘Ali atau Bir ‘Ali). Tempat ini adalah miqat bagi penduduk kota Madinah dan yang datang melalui rute mereka. Jaraknya dengan kota Makkah sekitar 420 km.
Kedua: Al-Juhfah. Tempat ini adalah miqat penduduk Saudi Arabia bagian utara dan negara-negara Afrika Utara dan Barat, serta penduduk negeri Syam (Lebanon, Yordania, Syiria, dan Palestina). Jaraknya dengan kota Makkah kurang lebih 208 km. Namun tempat ini telah ditelan banjir, dan sebagai gantinya adalah daerah Rabigh yang berjarak kurang lebih 186 km dari kota Makkah.
Ketiga: Qarnul Manazil (sekarang dinamakan As-Sail), yang berjarak kurang lebih 78 km dari Makkah, atau Wadi Muhrim (bagian atas Qarnul Manazil) yang berjarak kurang lebih 75 km dari kota Makkah. Tempat ini merupakan miqat penduduk Najd dan yang setelahnya dari negara-negara Teluk, Irak (bagi yang melewatinya), Iran, dll. Demikian pula penduduk bagian selatan Saudi Arabia yang berada di seputaran pegunungan Sarat.
Keempat: Yalamlam (sekarang dinamakan As-Sa’diyyah), yang berjarak kurang lebih 120 km dari kota Makkah (bila diukur lewat jalur selatan Tihamah). Ini adalah miqat penduduk negara Yaman, Indonesia, Malaysia, dan sekitarnya.
Kelima: Dzatu ‘Irqin (sekarang dinamakan Adh-Dharibah), yang berjarak kurang lebih 100 km dari kota Makkah. Ini adalah miqat penduduk negeri Irak (Kufah dan Bashrah) dan penduduk negara-negara yang melewatinya. Awal mula direalisasikannya Dzatu ‘Irqin sebagai miqat adalah di masa khalifah ‘Umar bin Al-Khaththab. Yaitu ketika penduduk Kufah dan Bashrah merasa kesulitan untuk pergi ke miqat Qarnul Manazil, dan mengeluhkannya kepada khalifah. Mereka pun diperintah untuk mencari tempat yang sejajar dengannya. Dan akhirnya dijadikanlah Dzatu ‘Irqin sebagai miqat mereka dengan kesepakatan dari khalifah Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, yang ternyata mencocoki sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam Shahih Muslim dari hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma. (Lihat Taudhihul Ahkam juz 4, hal. 43-48, Asy-Syarhul Mumti’ juz 4, hal. 49-50, Irwa`ul Ghalil, juz 4 hal. 175)
Wallahu a’lam.
Penulis : Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc hafidzahullah
Footnote:
[1] Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata: “Seseorang dikatakan berhaji tamattu’, ketika dia datang ke Baitullah untuk berumrah (di bulan-bulan haji, pen.) kemudian tinggal di sana (di Makkah) untuk menunaikan hajinya (di tahun itu).” (Mansak Al-Imam Ibni Baz, hal. 39)
[2] Berdasarkan riwayat Al-Bukhari, dari ‘Aisyah dan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhum bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membolehkan bershaum di hari Tasyriq kecuali bagi seseorang yang berhaji (Tamattu’/Qiran, pen.) dan tidak mampu menyembelih hewan kurban. (Lihat Irwa`ul Ghalil, juz 4 hal. 132, dan keterangan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Manasik Al-Hajji wal ‘Umrah)
[3] Sebagaimana dalam hadits Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma yang diriwayatkan Al-Bukhari no. 1524 dan Muslim no. 1811, dan penentuan khalifah Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu tentang Dzatu ‘Irqin yang terdapat dalam riwayat Al-Bukhari no. 1531 yang mencocoki sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma. (Lihat Irwa`ul Ghalil, juz 4 hal. 175)

Wednesday, September 4, 2013

7 Adab Ziarah Kubur Secara Ringkas

Dari Buraidah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
Sesungguhnya aku pernah melarang kalian untuk menziarahi kubur, maka (sekarang) ziarahilah kuburan.” (HR. Muslim no. 977)
At-Tirmizi menambahkan:
Sebab ziarah kubur itu akan mengingatkan pada hari akhirat.”

Bagaimanakah Puasa di Negara yang Waktu Siangnya Jauh Lebih Panjang dari Waktu Malam?

Tanya: 
"Apa yang diperbuat orang-orang yang waktu siang mereka panjangnya sampai dua puluh satu jam, apakah mereka mengira-ngira puasa mereka? Dan apa yang diperbuat mereka jika waktu siangnya pendek sekali? Demikian pula apa yang harus dilakukan jika waktu siang berlangsung terus menerus sampai enam bulan, dan waktu malam juga berlangsung terus menerus sampai enam bulan?"
Jawab:
Siapa pun yang memiliki malam dan siang dalam lingkup dua puluh empat jam, mereka tetap berpuasa di siang itu, baik siangnya pendek atau panjang, dan puasa mereka tetap sah, meski siang mereka sangat pendek. Tetapi barangsiapa yang waktu siang dan malamnya lebih panjang dari di atas, seperti enam bulan misalnya, maka mereka harus mengira-ngira untuk berpuasa dan mengerjakan shalat. Seperti yang diperintahkan nabi pada hari Dajjal yang seperti satu tahun, demikian pula pada hari yang seperti satu bulan dan satu minggu, maka shalat juga dikira-kira pada hari-hari tersebut.
Dalam masalah ini majlis para ulama di Saudi Arabia telah mengeluarkan sebuah keputusan, yaitu no: 61 tanggal 12-4-1398 H yang menyatakan,
"Segala puji bagi Allah dan shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada rasulullah, keluarga dan para sahabat, wa ba`du:
Pada daurah (seminar) yang kedua belas di kota Riyadh, tepatnya pada hari-hari awal di bulan Rabiul Akhir tahun 1398 H, Majlis Hai`ah Kibar Ulama` (Dewan Himpunanr para ulama` senior) disuguhi surat dari Ketua Umum Rabitah alam islami di Makkah Al-Mukarramah no: 555 tanggal: 16-1-1398 H, yang isinya berkenaan dengan surat dari ketua organisasi islam di Kota Malu, Swedia. Ia memberitahukan bahwa negara Skandinavia, pada musim panas, waktu siangnya menjadi sangat panjang, sedangkan musim dingin, waktu siangnya menjadi sangat pendek, karena letak geografis daerah tersebut.
Demikian pula pada bagian utara daerah itu, matahari tak pernah tenggelam di musim panas. Kebalikannya, saat musim dingin matahari selalu terbenam. Kaum muslimin di daerah tersebut bertanya bagaimana cara berbuka dan kapan dimulai berpuasa di bulan ramadhan. Dan bagaimana cara menentukan waktu-waktu shalat di negara tersebut. Ketua organisasi itu mengharap kepada ketua Umum rabitah untuk memberikan fatwa dalam hal ini.
Setelah mempelajari dan menelitih dengan seksama, majlis pun memberi keputusan sebagai berikut:
Pertama: Barangsiapa tinggal di negara yang malamnya bisa dibedakan dari siang dengan terbitnya fajar dan tenggelamnya matahari, hanya saja waktu siangnya sangat panjang saat musim panas dan sangat pendek saat musim dingin, maka wajib baginya mengerjakan shalat lima waktu tepat pada waktunya yang telah ditentukan. Karena keumuman firman Allah yang berbunyi,
Dirikanlah shalat sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan dirikan pula shalat subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan oleh malaikat.” (QS. Al-Isra`: 78)
Juga firman-Nya,
Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS: An-Nisa`: 103)
Juga karena ada sebuah hadits sahih dari Buraidah, dari Nabi Shallallahu `alaihi wa Sallam,
((أَنَّ رَجُلًا سَأَلَهُ عَنْ وَقْتِ الصَّلَاةِ، فَقَالَ لَهُ: صَلِّ مَعَنَا هَذَيْنِ يَعْنِي الْيَوْمَيْنِ، فَلَمَّا زَالَتِ الشَّمْسُ أَمَرَ بِلَالًا فَأَذَّنَ، ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ الظُّهْرَ، ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ الْعَصْرَ وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ بَيْضَاءُ نَقِيَّةٌ، ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ الْمَغْرِبَ حِينَ غَابَتِ الشَّمْسُ، ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ الْعِشَاءَ حِينَ غَابَ الشَّفَقُ، ثُمَّ أَمَرَهُ فَأَقَامَ الْفَجْرَ حِينَ طَلَعَ الْفَجْرُ، فَلَمَّا أَنْ كَانَ الْيَوْمُ الثَّانِي أَمَرَهُ فَأَبْرَدَ بِالظُّهْرِ، فَأَنْعَمَ أَنْ يُبْرِدَ بِهَا، وَصَلَّى الْعَصْرَ وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ أَخَّرَهَا فَوْقَ الَّذِي كَانَ، وَصَلَّى الْمَغْرِبَ قَبْلَ أَنْ يَغِيبَ الشَّفَقُ، وَصَلَّى الْعِشَاءَ بَعْدَمَا ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ، وَصَلَّى الْفَجْرَ فَأَسْفَرَ بِهَا ثُمَّ قَالَ: أَيْنَ السَّائِلُ عَنْ وَقْتِ الصَّلَاةِ؟ فَقَالَ الرَّجُلُ: أَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: وَقْتُ صَلَاتِكُمْ بَيْنَ مَا رَأَيْتُمْ)) (رواه البخاري ومسلم)
“Bahwa seorang lelaki bertanya kepada beliau tentang waktu shalat, maka beliau menjawab, “Kerjakan shalat bersama kami dalam dua hari ini.”
Maka, ketika matahari tergelincir, beliau menyuruh Bilal mengumandangkan adzan, kemudian memerintahnya untuk mendirikan shalat dhuhur. Lalu rasulullah menyuruhnya kembali untuk mendirikan shalat ashar, yang saat itu matahari sangat tinggi, putih dan masih terang. Tak lama kemudian, Rasulullah menyuruhnya untuk mendirikan shalat Maghrib ketika terbenam matahari. Kemudian beliau menyuruhnya mendirikan shalat isya` ketika awan-awan merah di langit menghilang. Lalu menyuruhnya mendirikan shalat subuh saat datang fajar.
Ketika datang hari kedua, beliau menyuruh Bilal mengerjakan shalat dhuhur saat hari dingin. Lalu shalat ashar saat matahari tinggi, beliau mengakhirkan shalat ashar ini dari yang kemarin. Kemudian mengerjakan shalat maghrib sebelum awan merah di langit menghilang. Lalu mengerjakan shalat isya` setelah hilang sepertiga malam, dan mengerjakan shalat subuh, saat hari benar-benar telah terang.
Lalu beliau bertanya, “Mana orang yang bertanya tentang waktu shalat?” lelaki itu menjawab, “Saya wahai rasulullah.” Kemudian beliau bersabda, “Waktu shalat kalian adalah diantara (dua waktu) yang telah kalian lihat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits lain,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ ابْنِ عَمْرٍو أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ((وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ، وَكَانَ ظِلُّ الرَّجُلِ كَطُولِهِ مَا لَمْ يَحْضُرِ الْعَصْرُ، وَوَقْتُ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ، وَوَقْتُ صَلَاةِ الْمَغْرِبِ مَا لَمْ يَغِبِ الشَّفَقُ، وَوَقْتُ صَلَاةِ الْعِشَاءِ إِلَى نِصْفِ اللَّيْلِ الْأَوْسَطِ، وَوَقْتُ صَلَاةِ الصُّبْحِ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ مَا لَمْ تَطْلُعِ الشَّمْسُ، فَإِذَا طَلَعَتِ الشَّمْسُ، فَأَمْسِكْ عَنِ الصَّلَاةِ فَإِنَّهَا تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ)) (أخرجه مسلم في صحيحه)
“Dari Abdullah bin Amru bin Ash, sesungguhnya nabi Shallallahu `alaihi wa Sallam bersabda, “Waktu dhuhur dimulai saat matahari tergelincir, yang saat itu bayang-bayang seseorang seperti panjang tubuhnya selama waktu ashar belum datang. Waktu ashar ketika matahari belum menguning. Waktu shalat maghrib sebelum awan-awan merah menghilang. Waktu shalat isya` sampai pertengahan malam. Dan waktu shalat subuh dimulai sejak terbitnya fajar selama matahari belum terbit. Jika matahari telah terbit, maka jangan mengerjakan shalat, karena ia terbit di antara dua tanduk syetan”.” (HR. Muslim)
Juga hadits-hadits lain yang menyebutkan ketentuan waktu shalat, baik dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Hadits-hadits yang ada itu, tidak membedakan antara panjang dan pendeknya siang. Juga tidak membedakan panjang dan pendeknya malam, selama waktu-waktu shalat bisa dibedakan dengan tanda-tanda yang diterangkan rasulullah Shallallahu `alaihi wa Sallam. Ini jawaban yang berkenaan dengan penentuan waktu shalat mereka.
Adapun yang berkenaan dengan penentuan waktu puasa di bulan ramadhan, maka setiap mukallaf dari mereka, harus berhenti makan, minum, dan meninggalkan segala hal yang membatalkan puasa dalam setiap harinya, dimulai dari terbit fajar sampai matahari terbenam di negara mereka, selama waktu siang bisa dibedakan dari waktu malam, dan keseluruhan waktunya adalah dua puluh empat jam.
Dan dihalalkan bagi mereka makan, minum, bersetubuh dan yang lainnya, pada malam hari saja, meski waktunya sangat pendek. Karena syariat Islam umum bagi semua manusia di seluruh negara. Allah berfirman,
Makan dan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu waktu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al-Baqarah: 187)
Barangsiapa tidak mampu menyempurnakan puasa sehari penuh karena waktunya yang sangat panjang, atau mengetahui dengan tanda, penelitihan, atau kabar dari seorang dokter ahli yang bisa dipercaya, atau berkeyakinan penuh bahwa berpuasa akan membinasakannya, atau bakal menderita penyakit sangat parah, atau menyebabkan lambatnya kesembuhan dirinya, atau penyakitnya bertambah parah, maka dia harus berbuka, dan mengqadha` hari-hari yang ia berbuka di hari-hari itu pada bulan lainnya yang ia mampu melakukannya. Allah berfirman,
Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Allah juga berfirman,
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
Juga firman-Nya,
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al-Hajj: 78)
Kedua: Barangsiapa tinggal di negara yang matahari sama sekali tidak terbenam selama musim panas, dan tidak muncul sama sekali di musim dingin, atau berada di negara yang siangnya terus menerus selama enam bulan, atau malamnya terus menerus selama enam bulan pula, maka wajib atas mereka untuk mengerjakan shalat lima waktu dalam setiap dua puluh empat jam. Yaitu dengan mengkira-kirakan waktu dan menentukannya sesuai negara terdekat, yang disitu waktu shalat bisa dibedakan antara yang satu dengan yang lain. 
Hal ini sesuai hadits Isra` mi`raj, bahwasanya Allah Subhaanahu wa Ta`ala mewajibkan atas umat ini lima puluh kali shalat dalam sehari semalam, tetapi nabi Muhammad Shallallahu `alaihi wa Sallam senantiasa memohon keringanan kepada-Nya, sampai Dia Berfirman,
((ياَ مُحَمَّدُ، إِنَّهُنَّ خَمْسُ صَلَوَاتٍ كُلَّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ، لِكُلِّ صَلاَةٍ عَشْرٌ فَذَلِكَ خَمْسُوْنَ صَلاَةً))
“Wahai Muhammad! Sesungguhnya kewajiban itu adalah lima kali shalat dalam sehari semalam. Bagi setiap shalat ada sepuluh pahala, maka semuanya menjadi lima puluh kali shalat.”
Juga sesuai dengan hadits Talhah bin Ubaidillah ia berkata,
((جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ أَهْلِ نَجْـدٍ ثَائِرَ الرَّأْسِ، نَسْمَعُ دَوِيَّ صَوْتِهِ وَلاَ نَفْقَهُ مَا يَقُوْلُ، حَتَّى دَناَ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَإِذاَ هُوَ يَسْأَلُ عَنِ اْلإِسْلاَمِ، فَقاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِي اْليَوْمِ وَاللَّيْلَةِ، فَقَالَ: هَلْ عَلَيَّ غَيْرُهُنَّ؟ قاَلَ: لاَ، إِلاَّ أَنْ تَطَّوَعَ…))
“Datang seorang lelaki dari penduduk Najed kepada rasulullah dengan kepala yang awut-awutan. Kami mendengar sedikit suaranya tapi tak bisa memahami apa yang dikatakannya. Sampai ia mendekat kepada rasulullah. Rupanya ia bertanya tentang islam. Maka rasulullah menjawab, “Lima kali shalat dalam sehari semalam.” Lelaki itu bertanya, apakah ada kewajiban lain bagiku selain shalat lima kali itu? Beliau menjawab, “tidak, kecuali jika kamu mengerjakannya secara tathowwu`”.”
Juga sesuai dengan hadits Anas bin Malik, ia berkata,
((نُهِيْناَ أَنْ نَسْأَلَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ شَيْءٍ، فَكاَنَ يُعْجِبُناَ أَنْ يَجِيْءَ الرَّجُلُ مِنْ أَهْلِ الْباَدِيَةِ الْعَاقِلُ فَيَسْأَلُهُ وَنَحْنُ نَسْمَعُ فَجاَءَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْباَدِيَةِ فَقاَلَ: ياَ مُحَمَّدُ! أَتاَناَ رَسُوْلُكَ، فَزَعَمَ أَنَّكَ تَزْعُمُ أَنَّ اللهَ أَرْسَلَكَ. قَالَ: صَدَقَ، إِلَى أَنْ قاَلَ: وَزَعَمَ رَسُوْلُكَ أَنَّ عَلَيْنَا خَمْسُ صَلَوَاتٍ فِيْ يَوْمِناَ وَلَيْلَتِناَ. قاَلَ: صَدَقَ، قَالَ: فَبِالَّذِيْ أَرْسَلَكَ، آللهُ أَمَرَكَ بِهَذَا؟ قَالَ: نَعَمْ…))
“Kami dilarang bertanya kepada rasulullah karena suatu hal. Sehinggga kami sangat berharap jika ada seorang lelaki dari penduduk kampung (baduwi) yang cerdas dan bertanya kepada beliau. Sehingga kami bisa mendengar apa yang ditanyakannya. Maka datanglah seorang lelaki dari penduduk kampung, ia bertanya, “Wahai Muhammad! Telah datang kepada kami utusan kamu, ia mengatakan bahwa Allah-lah yang mengutusmu.” Nabi menjawab, “Benar!” sampai ia berkata, “Utusanmu mengatakan bahwa kami wajib mengerjakan lima kali shalat dalam sehari semalam.” Nabi menjawab, “Benar!” kemudian lelaki itu berkata, “Demi Dzat Yang mengutusmu! Apakah Allah yang menyuruhmu dengan semua ini?” beliau menjawab, “benar”.”
Juga disebutkan dalam sebuah hadits,
((أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَ أَصْحَابَهُ عَنِ الدَّجاَّلِ، فَقاَلُوْا: مَا لُبْثُهُ فِي اْلأَرْضِ؟ قَالَ: أَرْبَعُوْنَ يَوْماٍ، يَوْمٌ كَسَنَةٍ، وَيَوْمٌ كَشَهْرٍ، وَيَوْمٌ كَجُمُعَةٍ، وَسَائِرُ أَياَّمِهِ كَأَيَّامِكُمْ، فَقِيْلَ: ياَ رَسُوْلَ اللهِ! اَلْيَوْمُ الَّذِيْ كَسَنَةٍ، أَيَكْفِيْناَ فِيْهِ صَلاَةُ يَوْمٍ؟ قَالَ: لاَ، أَقْدِرُوْا لَهُ قَدْرَهُ))
“Bahwa nabi Shallallahu `alaihi wa Sallam bercerita kepada para sahabat tentang dajjal. Lalu mereka bertanya, “Berapa lama ia tinggal di bumi?” Nabi menjawab, “Empat puluh hari, satu hari seperti setahun, hari kedua seperti satu bulan, hari ketiga seperti satu jum`at (satu minggu), kemudian hari-hari berikutnya seperti hari-hari yang ada pada kalian.” Lalu seseorang bertanya, “Wahai rasulullah! Mengenai hari yang seperti setahun, apakah kita cukup mengerjakan shalat sehari saja?” Beliau menjawab, “Tidak! Tapi perkirakan hari itu.”
Pada hadits ini, rasulullah tidak menganggap satu hari yang seperti setahun sebagai satu hari, yang cukup mengerjakan shalat lima kali saja pada hari itu. Tapi beliau mewajibkan pada hari yang seperti setahun itu, shalat lima waktu setiap dua puluh empat jam. Beliau memerintah para sahabat untuk meletakkan shalat-shalat itu pada masing-masing waktunya, sesuai dengan jarak antara waktu shalat yang satu dengan waktu shalat lainnya pada hari-hari biasa di negeri mereka.
Jadi! Wajib bagi kaum muslimin yang menetap dalam negeri yang ditanyakan dalam pertanyaan ini, untuk menentukan waktu-waktu shalat sesuai dengan negara terdekat, yang disitu bisa dibedakan antara malam dengan siang, juga bisa diketahui dengan jelas semua waktu shalat yang lima dengan tanda-tanda syar`inya pada setiap dua puluh empat jam.
Mereka juga wajib berpuasa ramadhan dan mengkira-kirakan puasa mereka, yaitu dengan menentukan permulaan bulan ramadhan dan akhirannya. Memulai imsak, juga waktu berbuka pada setiap hari di negeri tersebut sesuai permulaan bulan dan akhirannya. Sesuai dengan terbitnya fajar dan terbenamnya matahari dalam setiap harinya menurut negara terdekat, yang disitu malam dan siang bisa dibedakan. Sehingga semua waktu itu berjumlah dua puluh empat jam, sebagaimana dijelaskan nabi Shallallahu `alaihi wa Sallam dalam hadits Dajjal, juga sesuai petunjuk beliau kepada para sahabat, mengenai cara menentukan waktu shalat dalam hari-hari Dajjal itu, karena tidak ada perbedaan antara puasa dan shalat.
Semoga Allah memberi taufiq kepada kita semua, dan shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita nabi Muhammad Shallallahu `alaihi wa Sallam dan para sahabat…"
Sumber:
تُحْـفَةُ اْلإِخْوَانِ بِأَجْوِبَةٍ مُهِمَّةٍ تَتَعَلَّقُ بِأَرْكاَنِ اْلإِسْلاَمِ
(Tuhfatul Ikhwaan Bi Ajwibatin Muhimmatin Tata`allaqu Bi Arkaan Al-Islam) Oleh : Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz Rahimahullah, Daar Thaibah, Riyadh, Cet. 1, 1421 H/2000 M.