Saturday, July 20, 2013

Penjelasan Ringkas Tentang Talak (Perceraian), Rujuk dan Iddah

Diantara perkara yang penting untuk diketahui adalah permasalahan talak, oleh karena itu pada kesempatan ini kami bawakan sedikit penjelasan seputar talak yang di rangkum dari beberapa kitab fiqih dengan harapan semoga bermanfaat bagi diri penulis pribadi dan kaum muslimin.
TALAK (PERCERAIAN)
Pembahasan Pertama: Pengertian talak
Talak secara bahasa : ( التخلية) Melepaskan.
Secara syar’i : ( حل قيد النكاح أو بعضه) Melepaskan ikatan pernikahan secara menyeluruh atau sebagiannya. (Al-mulakhos Al-Fiqhiy : 410)
Pembahasan Kedua: Dalil disyari’atkannya talak dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma.
Dalil dari Al-Qur’an :
الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ
“Thalak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (Al Baqarah : 229)
Dalil dari Sunnah
Diantaranya sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar rahiyallahu anhuma bahwasannya dia menalak istrinya yang sedang haidh. Umar menanyakan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا ثُمَّ لْيَتْرُكْهَا حَتَّى تَطْهُرَ ثُمَّ تَحِيضَ ثُمَّ تَطْهُرَ ثُمَّ إِنْ شَاءَ أَمْسَكَ بَعْدُ وَإِنْ شَاءَ طَلَّقَ قَبْلَ أَنْ يَمَسَّ فَتِلْكَ الْعِدَّةُ الَّتِى أَمَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ يُطَلَّقَ لَهَا النِّسَاءُ
“Perintahkan kepadanya agar dia merujuk istrinya, kemudian membiarkan bersamanya sampai suci, kemudian haid lagi, kemudian suci lagi. Lantas setelah itu terserah kepadanya, dia bisa mempertahankannya jika mau dan dia bisa menalaknya (mencraikannya) sebelum menyentuhnya (jima’)  jika mau. Itulah iddah seperti yang diperintahkan oleh Allah agar para istri yang ditalak dapat langsung menhadapinya (iddah)” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ijma
Berkata Asy-Syaikh Al-Allamah Shalih Al-Fauzan : “Sungguh telah dihikayatkan adanya ijma’ atas di syariat-kannya talak (cerai) lebih dari satu ulama.” (Al-Mulakhos Al-Fiqhiy : 411)

Pembahasan Ketiga: Hukum Talak
Berkata Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan : “Adapun hukumnya berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan, terkadang hukumnya mubah, terkadang hukumnya makruh, terkadang hukumnya mustahab (sunnah), terkadang hukumnya wajib, dan terkadang hukumnya haram. Hukumnya sesuai dengan hukum yang lima.” (Al-Mulakhos Al-Fiqhiy : 410)

Surat dari Istri Untuk Para Suami

Wahai suamiku…, kutulis surat ini dengan kehangatan cinta dan kasih sayang kepadamu. Semoga Allah senantiasa menjaga kita.
Wahai Suamiku, engkau adalah pemimpin rumah tangga kita, aturlah kami dengan aturan Allah, pimpinlah kami untuk taat kepada-Nya, bimbinglah kami terhadap apa yang maslahat (baik) untuk kami. Insya Allah engkau akan mendapatiku dan anak-anak menghormatimu, memuliakanmu dan taat kepadamu. Itulah kewajiban sebagai seorang yang dipimpin kepada yang memimpin.
Allah Ta’aalaa berfirman :
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ
 “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.” (Qs. an-Nisa’:34)

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَاللهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. al-Baqarah : 228)
Wahai suamiku, engkau adalah anugerah dan kenikmatan yang besar yang Allah karuniakan kepadaku. Ketika banyak para wanita yang belum menikah, Allah mengaruniakanku seorang suami shalih -Insya Allah- seperti dirimu. Ketika banyak dari para wanita yang mempunyai suami yang tidak memperhatikan agama istrinya, Allah memberikanku seorang suami yang selalu menyemangatiku untuk hadir ke majelis-majelis ilmu. Ketika banyak suami yang acuh-tak-acuh dengan perbuatan-perbuatan istrinya yang salah, Allah memberikan kepadaku seorang suami yang selalu menasehatiku. Ketika banyak suami yang tak peduli halal dan haram ketika ia mencari rezeki, Allah memberikan kepadaku seorang suami yang merasa cukup dengan yang halal. Banyak lagi kebaikan dan keutamaanmu, apakah pantas  bagiku untuk tidak bersyukur kepada Allah atas nikmat dirimu, apakah pantas bagiku untuk tidak berterima kasih  kepadamu dengan segala kebaikanmu, kasih sayangmu, perhatianmu, jerih payahmu untuk diriku…
Allah Ta’aala berfirman :
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan (ingatlah juga), tatkala Allah mema’lumkan, sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya adzab-Ku sagat pedih.” (Qs. Ibrahim : 7)
Dan dalam sebuah hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku melihat neraka dan aku melihat sebagian besar penduduknya adalah kaum wanita. Mereka (para sahabat) bertanya, ‘Mengapa demikian wahai Rasulullah?
يكفرن العشير ويكفرن الإلحسان, لو أحسنت الى إحداهن الدهر, ثم رأت منك شيأ قالت : ما رأيت منك خير قط
 Mereka mendurhakai suami dan mengingkari kebaikannya. Sekiranya seorang dari mereka engkau perlakukan dengan baik sepanjang masa, lalu ia melihat sesuatu (kesalahan) darimu, ia akan berkata, ‘Aku tidak pernah melihat satu pun kebaikan darimu selama ini.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Wahai suamiku, segala puji bagi Allah sematalah kemudian karena sebab pendidikan orang tuaku yang baik, yang telah mempersiapkan dan mendidikku untuk menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga yang baik, sehingga aku sadar bahwasanya pernikahan bukanlah surga yang tak ada problema, kesusahan dan kesulitan. Dan juga bukanlah neraka yang ada hanya kesusahan dan kesengsaraan. Semoga dengan sebab itu aku lebih siap dan tegar jika kesusahan, kesulitan datang menerpa. Wahai suamiku, Insya Allah engkau akan mendapatiku menjadi pendamping  yang kokoh dalam mengarungi kehidupan rumah tangga ini, hanya kepada Allahlah aku memohon pertolongan.
Allah Ta’aala berfirman :
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“ Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.” (Qs. al-Fatihah : 5)
Wahai suamiku, keinginanmu agar aku dekat dengan orang tuamu, akupun menginginkan hal yang demikian. Orang tuamu adalah orang tuaku juga. Dan aku ingin engkau tetap berbakti, melayani dan memberikan perhatian yang besar kepadanya walaupun engkau sudah menikah. Insya Allah aku akan membantumu untuk hal itu.
Allah Ta’alaa berfirman :
وَاعْبُدُوا اللهَ وَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا
“ Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua (ibu dan bapak).” (Qs. an-Nisa’ : 36)
Wahai suamiku, banyak hal yang tidak diperhatikan oleh sebagian istri tentang perkara-perkara yang membuat suaminya senang dan menghindari sesuatu yang membuat suaminya tidak suka. Di antaranya tampil apa adanya di depan suaminya, tidak mau berdandan dan mempercantik diri. Wahai suamiku, katakanlah kepadaku apa yang membuat dirimu senang sehingga aku berusaha untuk melakukannya dan katakanlah sesuatu yang membuatmu benci sehingga aku menjauhinya.
Dan dalam sebuah hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
خير النساء التي تسره إذا نظر إليها و تطيعه اذا أمر ولا تخالفه في نفسها ولا مالها بما يكرها
“ Sebaik-baik istri adalah yang menyenangkan suami apabila ia melihatnya, mentaati apabila suami menyuruhnya, dan tidak menyelisihi atas dirinya dan hartanya dengan apa yang tidak disukai suaminya.” (HR. ath-Thabrani dari ‘Abdullah bin Salam, dishahihkan oleh Syaikh al-Albani)
Wahai suamiku, sungguh sebuah keburukan kalau aku tidak bisa menerima kekurangan dirimu di mana kelebihanmu tak sebanding dengan kekuranganmu. Padahal aku tahu tak ada seorang yang sempurna. Apakah pantas aku bersikap seperti itu, sedangkan engkau ridha dan bershabar dengan berbagai kekurangan diriku.
Wahai suamiku, ketika aku merasa lelah dalam mengurus pekerjaan rumah, aku teringat kisahnya seorang wanita yang mulia, pemimpin wanita di surga yang merasa keletihan ketika ia mengerjakan tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Seorang wanita shalihah yang memiliki jiwa yang mulia, hati yang bersih dan akal yang terbimbing oleh syari’at yang agung. Semoga aku bisa meneladani keshabaran Fathimah putrinya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bukan malah meneladani wanita yang akalnya menjadi tempat sampah pemikiran barat yang menamakan dirinya Feminisme.
“ Suatu ketika Fathimah mengeluh kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam atas kelelahan yang ia rasakan sebab ia menarik alat penggiling hingga berbekas di kedua tangannya, menimba air dengan qirbah (tempat air pada masa itu) hingga qirbah membekas di lehernya, dan menyalakan api di tungku hingga mengotori pakaiannya. Itu semua terasa berat baginya. Lalu apa tanggapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang hal itu? Beliau menasehati Fathimah dan Ali bin Abi Thalib agar bertasbih sebanyak 33 kali, bertahmid 33 kali dan bertakbir 33 kali setiap hendak tidur .  Beliau bersabda kepada keduanya bahwa itu semua lebih baik dari pembantu (yang Fathimah minta –ed).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Wahai suamiku, seharusnya setiap istri sadar, termasuk diriku. Bahwa setiap suami mempunyai posisi dan status sosial yang berbeda. Ada di antara suami yang sangat dibutuhkan oleh keluarganya. Ada juga seorang suami yang memiliki kedudukan yang penting sehingga sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Ada juga seorang suami yang menjadi seorang da’i sehingga sangat dibutuhkan oleh ummat. Seharusnya setiap istri memperhatikan hal ini. Jika dia seorang suami yang sangat dibutuhkan keluarganya maka bantulah ia, dan relakanlah sendainya hak waktumu sedikit terkurangi. Bukan malah menghalangi dari keluarganya. Kalau dia seorang yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat atau ummat, maka bantulah ia, semangatilah ia dan berilah nasehat untuk ikhlas dalam melayani ummat dan bershabar atas mereka. Bukan malah bertindak seperti anak kecil yang merongrong suaminya hanya karena dia tidak selalu berada di sisinya. Atau sesekali ketika lagi bersendau gurau denganmu ia mengangkat telpon untuk sekedar memberikan nasehat atau saran kepada ummat. Wahai suamiku, semoga aku bisa memperhatikan hal ini. Dan aku pun sadar hakku telah kau tunaikan dengan baik.
Wahai suamiku, aku teringat sebuah ayat yang seharusnya membuatku untuk berfikir dan merenungi sejauh mana aku merealisasikan ayat ini atau malah sebaliknya.
Allah Ta’aala berfirman :
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى
“ Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan taqwa.” (Qs. al-Maidah : 2)
Ya Allah, jadikanlah aku istri shalihah yang membantu suamiku untuk taat kepada-Mu, berdakwah di jalan-Mu dan melakukan berbagai amalan kebaikan bukan malah sebaliknya menjadi fitnah baginya.
Allah Ta’aala berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ
 Wahai orang-orang yang beriman, ‘Sesungguhnya di antara istri-itrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka.” (Qs. at-Taghabun : 14)
Wahai suamiku, rezeki yang halal sudah sangat cukup bagiku. Nafkah yang kau berikan kepadaku sebagai bentuk tanggungjawabmu sebagai seorang suami sangatlah besar walaupun menurut sebagian orang dinilai kecil. Keindahan dan kebahagian hidup ini adalah ketika kita bisa bersyukur dan hidup dengan qana’ah. Ya Allah, aku berlindung kepadamu menjadi istri yang tidak pandai bersyukur yang bisanya hanya menuntut, terlebih lagi menjadi sebab suaminya mengambil yang haram.
Dan dalam sebuah hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
قد أفلح من اسلم ورزق كفا, وقنعه الله بما آتاه
 “Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, rezekinya cukup dan Allah memberikan kepuasan atas apa yang telah dikaruniakan kepadanya.“ (HR. Muslim dari ‘Abdullah bin Amr bin al-Ash)
Dan dalam hadits yang lain Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
من يستعفف يعفه الله ومن يستغن يغنه الله
“Barangsiapa yang menjaga kehormatan dirinya, maka Allah menjaga dirinya dan barang siapa yang merasa cukup, maka Allah akan memberi kecukupan baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
لا ينظر الله الى امراة لا تشكر لزوجها وهي لا تستغني عنه
“Allah tidak akan melihat kepada seorang wanita yang tidak bersyukur kepada suaminya, dan dia selalu menuntut (tidak pernah merasa cukup/qana’ah).” (HR. an-Nasa’i, al-Baihaqi, at-Tirmidzi dan ia berkata hadits ini sanadnya shahih dan disepakati oleh adz-Dzahabi dari ‘Abdullah bin ‘Amr)
Wahai suamiku, perkenankanlah aku untuk meminta maaf atas kekurangan dalam melayanimu. Karena itulah adalah tugas dan kewajibanku.  Hanya kepada Allah-lah aku memohon pertolongan untuk taat dan memberikan pelayanan yang terbaik kepada suamiku.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
اذا الصلت المراة خمسها, وصامت شهرها, وحصنت فرجها, وأطاعت بعلها, دخلت من أي أبواب الجنة شاءت 
“Apabila seorang istri mengerjakan shalat lima waktu, berpuasa pada bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya, niscaya ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia kehendaki.”  (HR. Ibnu Hibban dari Abu HurairahRadiyallaahu ‘anhu)
Wahai suamiku, maklumilah kalau engkau melihat diriku cemburu kepadamu karena inilah tabiat seorang wanita, disamping aku sangat mencintaimu. Ibunya kaum mukminin pun merasakan cemburu di hatinya, ketika ia berkata, “Aku tidak pernah merasa cemburu kepada salah seorang istri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam seperti cemburuku kepada Khadijah, disebabkan seringnya  Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebut namanya dan sanjungan beliau kepadanya.” (HR. Bukhari). Insya Allah, kecemburuanku adalah kecemburuan yang wajar yang merupakan tabiat seorang wanita, bukan kecemburuan yang menghalangi suaminya untuk taat kepada Allah, atau kecemburuan yang menjadi sebab suaminya terjatuh kepada yang haram, atau bukan kecemburuan yang menghalangi suaminya untuk mengambil haknya untuk berpoligami. Tidak wahai suamiku…!!. Sungguh aku bukan seorang istri yang merampas hak suaminya dengan menghalanginya untuk berpoligami, jika memang dia menginginkan dan mampu untuk hal itu. Tetapi, aku -Insya Allah- seorang istri yang berusaha meneladani para istri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, istri  para istri shahabat dan para istri shalihah yang memegang teguh syari’at ini termasuk syari’at poligami. Allah Subhaanahu wa ta’aala berfirman :
فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja.“ (Qs. an-Nisa’ : 3)
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالًا مُبِينًا
“Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang nyata.” (Qs. al-Ahdzab : 36)
Wahai suamiku, anak-anak kita adalah buah hati kita, buah cinta kita. Karunia yang Allah karuniakan kepada kita, sekaligus merupakan amanah yang Allah amanahkan kepada kita. Insya Allah, aku akan mendidiknya dengan pendidikan yang baik, dengan penuh kasih sayang dan kelembutan. Aku akan mendidiknya untuk mentauhidkan Allah, aku akan mendidiknya agar taat kepada Allah dan Rasul-Nya, aku akan mendidiknya agar berbakti kepada orangtuanya. Semoga Allah mengkaruniakan anak yang shalih dan shalihah kepada kita. Amiin.
Sebagaimana Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman :
رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ
“Ya Rabbku, berilah aku dari sisi-Mu seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar do’a.” (Qs. Ali Imran : 38)
Wahai suamiku, tentu sebagai seorang muslimah aku mendambakan surga Allah dan khawatir terhadap neraka-Nya. Aku sering teringat sebuah hadits di mana Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
فانظري أين أنت منه, فإنما هو جنتك ونارك
“Perhatikanlah posisimu terhadap suamimu sebab dia adalah surgamu dan nerakamu.”(HR. Ahmad dan al-Hakim dan selainnya, ia menyatakan hadits shahih dan disetujui oleh Imam adz-Dzahabi)
Dan di antara jalan menuju surga adalah dengan mentaatimu.
Sebagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
اذا الصلت المراة خمسها, وصامت شهرها, وحصنت فرجها, وأطاعت بعلها, دخلت من أي أبواب الجنة شاءت 
“Apabila seorang istri mengerjakan shalat lima waktu, berpuasa pada bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya, niscaya ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia kehendaki.”  (HR. Ibnu Hibban dari Abu HurairahRadiyallahu ‘anhu)
Dan sebaliknya di antara jalan menuju neraka adalah bersikap nusyuz kepadamu, durhaka dan tidak taat kepadamu. Wahai suamiku, Insya Allah aku akan selalu taat dan berbuat baik kepadamu dengan menjaga kehormatanku, menjaga diriku dari menyakitimu, tidak lalai melayanimu, tidak menggambarkan sosok wanita di hadapanmu, tidak keluar rumah tanpa seizinmu, tidak menyebarkan problema rumah tangga kepada orang lain dan tidak menolak ketika engkau mengajakku berhubungan.
Sebagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
اثان لا تجاوز صلاتهما رءوسهما عبد ابق من مواليه حتى يرجع ومرأة عصت زوجها حتى ترجع
 “Ada dua orang yang mana shalat mereka tidak naik melewati kepala mereka ; yakni seorang budak yang lari dari majikannya hingga kembali kepadanya, dan seorang istri yang bermaksiat kepada suaminya hingga ia kembali taat.” (HR. ath-Thabarani, al-Hakim dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani di dalam ash-Shahihah dari ‘Abdullah bin Amr al-Ash Radiyallahu ‘anhu)
إذا دعا الرجل امرأته إلى فراشه فأبت أن تجيء لعنتها الملا ئكة حتى تصبح
“Apabila seorang laki-laki memanggil istrinya di ranjang (untuk berhubungan –ed) lalu istrinya enggan untuk datang, maka para malaikat akan melaknatnya hingga (waktu) shubuh.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah Radiyallahu ‘anhu)

Wahai suamiku, aku mencintai dan menyayangimu, dekaplah aku di kehangatan cinta dan kasih sayangmu, belailah aku di kelembutan perhatianmu, hiburlah  aku di canda dan tawamu semoga Allah melanggengkan rumah tangga kita dan mengumpulkan kita di dalam surga-Nya.
Ditulis oleh Ustadz Abu Ibrahim Abdullah Bin Mudakir al-Jakarti hafidzahullah dari nikahmudayuk.wordpress.com

Friday, July 19, 2013

Apakah Malam Lailatul Qadr Bisa Dilihat?

Mungkin baik untuk diketahui bahwa lailatul qadr bisa dilihat. Hal tersebut terjadi terhadap siapapun di antara hamba-hamba-Nya yang Allah kehendaki. Lailatul qadr tersebut bisa dilihat dengan mata kepala, yaitu melalui tanda-tandanya, yang akan diterangkan nanti, insya Allah. Selain itu, lailatul qadr juga bisa dilihat di dalam mimpi sebagaimana yang dijelaskan dalam sejumlah hadits dan telah terkisahkan dalam sejarah hidup kaum salaf.
Dalam pembahasan sebelumnya, telah berlalu pula hadits Ibnu Umar radhiyallâhu ‘anhumâ bahwa beliau berkata, “Seorang lelaki melihat (dalam mimpi) bahwa lailatul qadr (turun) pada malam kedua puluh tujuh. Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam pun bersabda,
"Saya melihat mimpi-mimpi kalian (bahwa lailatul qadr berada) pada sepuluh malam terakhir. Carilah (malam itu) pada malam-malam ganjil (di antara sepuluh malam) tersebut.” [1]
Juga dalam hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Lailatul qadr telah diperlihatkan kepadaku, tetapi sebagian istriku membangunkanku maka saya pun dibuat lupa terhadap (malam) itu. Oleh karena itu, carilah (lailatul qadr) pada sepuluh malam yang tersisa.” [2]
Selain itu, dalam hadits lain, dari Abu Musa Al-Asy’ary radhiyallâhu ‘anhu, beliau berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf pada sepuluh malam pertama dari Ramadhan, kemudian beri’tikaf pada sepuluh malam pertengahan dari Ramadhan dalam sebuah kubah turkiyah, yang puncak (kubah) itu (tertutup) oleh tikar. Maka, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengambil tikar itu dengan tangannya, kemudian menyingkirkan (tikar) itu ke sudut kubah. Lalu, beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam memunculkan kepalanya untuk berbicara kepada manusia sehingga mereka mendekat. Selanjutnya, beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,


"Sesungguhnya saya beri’tikaf pada sepuluh malam pertama (guna) mencari malam (Al-Qadr) ini. Kemudian, saya beri’tikaf pada sepuluh malam pertengahan, lalu saya tiba (pada akhir dari sepuluh malam tersebut) maka dikatakan kepadaku bahwa (lailatul qadr) itu berada pada sepuluh malam terakhir. Barangsiapa di antara kalian yang ingin beri’tikaf, silakan dia beri’tikaf."
Oleh karena itu, manusia pun beri’tikaf bersama beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
"‘Sesungguhnya, saya melihat (lailatul qadr) itu pada malam ganjil, dan sesungguhnya, pada pagi hari, saya sujud di tanah dan air."
Oleh karena itu, pada pagi hari dari malam kedua puluh satu, beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam berdiri untuk mengerjakan shalat Shubuh, sementara langit telah menumpahkan hujan, yang membuat air hujan menetes dari atas masjid sehingga terlihatlah tanah dan air.
Beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam keluar ketika selesai mengerjakan shalat Shubuh, sementara, pada dahi dan ujung hidung beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam, terdapat tanah dan air. Oleh karena itu, itu adalah malam kedua puluh satu dari sepuluh malam terakhir.” [3]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullâh berkata, “Terkadang Allah menyingkap (lailatul qadr) untuk sebagian manusia (ketika dia berada) dalam (keadaan) tertidur maupun terjaga sehingga dia melihat cahaya-cahaya (lailatul qadr) atau melihat orang yang berkata kepadanya, ‘Ini adalah lailatul qadr,’ dan terkadang (Allah) membuka hatinya dengan musyâhadah ‘penyaksian’ yang membuat perkara itu menjadi jelas.” [4]
Imam An-Nawawy rahimahullâh berkata, “Ketahuilah bahwa lailatul qadr bisa dilihat oleh siapapun di antara anak Adam yang Allah kehendaki pada setiap tahun pada (bulan) Ramadhan sebagaimana yang dijelaskan secara gamblang dalam hadits-hadits dan berita-berita orang-orang shalih. Penglihatan mereka terhadap lailatul qadr adalah lebih banyak daripada sesuatu yang bisa terbilang.” [5]
Ibnul Mulaqqin rahimahullâh berkata, “Yang ma’ruf adalah bahwa malam (Al-Qadr) ini bisa dilihat secara hakikat.” [6]
Adapun ucapan Al-Muhallab bin Abi Shufrah rahimahullâh bahwa lailatul qadr ini tidak mungkin dilihat secara hakiki, itu bukanlah ucapan yang bisa dijadikan sandaran.
Wallâhu A’lam.

Footnote:
[1] Diriwayatkan oleh Muslim.
[2] Diriwayatkan oleh Muslim.
[3] Dikeluarkan oleh Al-Bukhary dan Muslim.
[4] Majmû Al-Fatâwâ 25/286.
[5] Al-Majmû’ 6/462.
[6] Al-I’lâm 5/405.

Sumber: Dzulqarnain.net

Adakah Doa Khusus yang Dibaca Di Sela-Sela Shalat Tarawih atau Shalat Wajib di Bulan Ramadhan?

ﻋَﻦْ ﻋَﺎﺋِﺸَﺔَ ، ﺃَﻧَّﻬَﺎ ﻗَﺎﻟَﺖْ : ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ، ﺃَﺭَﺃَﻳْﺖَ ﺇِﻥْ ﻭَﺍﻓَﻘْﺖُ ﻟَﻴْﻠَﺔَ ﺍﻟْﻘَﺪْﺭِ ﻣَﺎ ﺃَﺩْﻋُﻮ ؟ ﻗَﺎﻝَ : ﺗَﻘُﻮﻟِﻴﻦَ : ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺇِﻧَّﻚَ ﻋَﻔُﻮٌّ ﺗُﺤِﺐُّ ﺍﻟْﻌَﻔْﻮَ ﻓَﺎﻋْﻒُ ﻋَﻨِّﻲ.
Dari Aisyah radhiyallahu’anha, bahwasannya beliau berkata: “Ya Rasulullah, do’a apakah yang harus aku baca jika aku mendapati lailatul qadr? Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: Engkau mengucapkan,
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺇِﻧَّﻚَ ﻋَﻔُﻮٌّ ﺗُﺤِﺐُّ ﺍﻟْﻌَﻔْﻮَ ﻓَﺎﻋْﻒُ ﻋَﻨِّﻲ
Allahumma innaka ‘Afuwwun tuhibbul’afwa fa’fu anniy.”
“Ya Allah sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf lagi mencintai pemaafan, maka maafkanlah aku”.” [HR. Ahmad (6/170, 182, 183, 208), At-Tirmidzi (3513), An-Nasai dalam Amalul Yaum wal Lailah (872-875) Ibnu Majah (3850), Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (3/338-339), dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dan Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arnauth]
Adapun lafaz yang dha’if (lemah) adalah tambahan Kariimun [ﻛﺮﻳﻢ] setelah ‘Afuwwun [ﻋﻔﻮ] yang terdapat dalam Sunan At- Tirmidzi.
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah menjelaskan,
‏)ﺗﻨﺒﻴﻪ:( ﻭﻗﻊ ﻓﻲ “ﺳﻨﻦ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ ” ﺑﻌﺪ ﻗﻮﻟﻪ: “ﻋﻔﻮ” ﺯﻳﺎﺩﺓ: “ﻛﺮﻳﻢ !“ ﻭﻻ ﺃﺻﻞ ﻟﻬﺎ ﻓﻲ ﺷﻲﺀ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺼﺎﺩﺭ ﺍﻟﻤﺘﻘﺪﻣﺔ، ﻭﻻ ﻓﻲ ﻏﻴﺮﻫﺎ ﻣﻤﻦ ﻧﻘﻞ ﻋﻨﻬﺎ، ﻓﺎﻟﻈﺎﻫﺮ ﺃﻧﻬﺎ ﻣﺪﺭﺟﺔ ﻣﻦ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻨﺎﺳﺨﻴﻦ ﺃﻭ ﺍﻟﻄﺎﺑﻌﻴﻦ؛ ﻓﺈﻧﻬﺎ ﻟﻢ ﺗﺮﺩ ﻓﻲ ﺍﻟﻄﺒﻌﺔ ﺍﻟﻬﻨﺪﻳﺔ ﻣﻦ ” ﺳﻨﻦ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ ” ﺍﻟﺘﻲ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺷﺮﺡ “ﺗﺤﻔﺔ ﺍﻷﺣﻮﺫﻱ ” ﻟﻠﻤﺒﺎﺭﻛﻔﻮﺭﻱ /4) (264، ﻭﻻ ﻓﻲ ﻏﻴﺮﻫﺎ. ﻭﺇﻥ ﻣﻤﺎ ﻳﺆﻛﺪ ﺫﻟﻚ: ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺴﺎﺋﻲ ﻓﻲ ﺑﻌﺾ ﺭﻭﺍﻳﺎﺗﻪ ﺃﺧﺮﺟﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻄﺮﻳﻖ ﺍﻟﺘﻲ ﺃﺧﺮﺟﻬﺎ ﺍﻟﺘﺮﻣﺬﻱ، ﻛﻼﻫﻤﺎ ﻋﻦ ﺷﻴﺨﻬﻤﺎ )ﻗﺘﻴﺒﺔ ﺑﻦ ﺳﻌﻴﺪ( ﺑﺈﺳﻨﺎﺩﻩ ﺩﻭﻥ ﺍﻟﺰﻳﺎﺩﺓ. “‏
Peringatan: Terdapat dalam Sunan At-Tirmidzi, setelah ucapan beliau ‘Afuwwun [ﻋﻔﻮ] tambahan Kariimun [ﻛﺮﻳﻢ], dan ini tidak ada asalnya sama sekali pada sumber-sumber terdahulu, tidak pula dari yang menukil langsung dari sumber-sumber tersebut. Maka yang nampak bahwa lafaz tersebut mudrajah (sesuatu yang ditambahkan) oleh sebagian pencatat dan pencetak. Karena lafaz tersebut tidak terdapat dalam cetakan Sunan At-Tirmidzi India yang dijadikan acuan oleh Al-Mubaarakfuri (4/264) dan tidak pula pada selain kitab tersebut. Dan diantara yang menguatkan hal itu, bahwa An-Nasai pada sebagian riwayatnya mengeluarkan hadits ini dari jalan yang sama dengan yang dikeluarkan oleh At-Tirmidzi, keduanya dari syaikh mereka berdua, Qutaibah bin Sa’id dengan sanadnya tanpa tambahan tersebut.” [Ash- Shahihah, pada pembahasan hadits no. 3337]
Dan ini adalah taraju’ Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah yang sebelumnya menshahihkan lafaz tambahan tersebut dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi (2789).
Hukum Membaca Do’a Lailatul Qadr Setiap Habis Sholat Lima Waktu Secara Berjama’ah di Bulan Ramadhan
‏ ﺑِﺴْﻢِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ ﺍﻟﺮَّﺣِﻴﻢِ ‏
Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhutsil ‘Ilmiyah wal Ifta yang diketuai oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah:
‏ ﺱ : ﻓﻲ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺃﺛﻨﺎﺀ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﺑﻌﺪ ﺻﻼﺓ ﺍﻟﻈﻬﺮ ﻭﺍﻟﻌﺼﺮ ﻭﺍﻟﻔﺠﺮ ، ﺃﻭ ﺃﻱ ﻓﺮﺽ ﻓﻲ ﺭﻣﻀﺎﻥ ، ﺧﺎﺻﺔ ﺑﻌﺪ ﺍﻹﻓﺎﺿﺔ ﻣﺒﺎﺷﺮﺓ ، ﻧﻘﻮﻝ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﺍﻟﺘﺎﻟﻲ : ﺃﺷﻬﺪ ﺃﻥ ﻻ ﺇﻟﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﺳﺘﻐﻔﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﻧﺴﺄﻟﻚ ﺍﻟﺠﻨﺔ ﻭﻧﻌﻮﺫ ﺑﻚ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺭ . ﺛﻼﺙ ﻣﺮﺍﺕ . ﻭﻧﻘﻮﻝ : ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺇﻧﻚ ﻋﻔﻮ ﻛﺮﻳﻢ ﺗﺤﺐ ﺍﻟﻌﻔﻮ ﻓﺎﻋﻒ ﻋﻨﺎ ﻳﺎ ﻛﺮﻳﻢ . ﺛﻼﺙ ﻣﺮﺍﺕ . ﺛﻢ ﺳﺒﺤﺎﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﻟﻚ ﺍﻟﺤﻤﺪ . ﻭﻟﻜﻦ ﺟﺎﺀ ﻋﻠﻤﺎﺀ ﺍﻟﻌﺼﺮ ﺍﻷﺧﻴﺮ ﻭﻗﺎﻟﻮﺍ : ﺃﻱ ﺩﻋﺎﺀ ﻳﻜﻮﻥ ﺑﺎﻟﺠﻤﻊ ﻻ ﻳﻤﻜﻦ ﺃﻭ ﺟﻬﺮ ﻻ ﻳﻤﻜﻦ ، ﺇﻧﻤﺎ ﻳﻜﻮﻥ ﻛﻞ ﺩﻋﺎﺀ ﻳﺪﻋﻴﻪ ﺍﻟﺸﺨﺺ ﻟﻨﻔﺴﻪ ﻭﻳﻜﻮﻥ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﺳﺮﺍ . ﺝ : ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﺍﻟﺠﻤﺎﻋﻲ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺑﺪﻋﺔ ﻻ ﺃﺻﻞ ﻟﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﺸﺮﻉ ، ﻭﺍﻟﻤﺸﺮﻭﻉ ﺍﻟﺬﻛﺮ ، ﻭﺍﻟﺪﻋﺎﺀ ﺑﺎﻟﻮﺍﺭﺩ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﻣﻦ ﻛﻞ ﻣﺼﻞ ﺑﻤﻔﺮﺩﻩ . ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ . ‏
Pertanyaan: Pada bulan Ramadhan ketika sedang berpuasa, setelah sholat zhuhur, ashar dan shubuh, atau pada setiap shalat fardhu di bulan Ramadhan, khususnya setelah sholat secara langsung, kami membaca do’a sebagai berikut, “Asyhadu ‘anla ilaaha illallah astaghfirullah, nasalukal jannata wa na’audzu bika minan naar” (3 kali). Dan kami membaca, “Allahumma innaka ‘Afuwwun Kariimun tuhibbul ‘afwa fa’fu annaa yaa kariim” (3 kali), kemudian,”Subhaanallah wa lakal hamdu.” Akan tetapi ada beberapa ulama di zaman ini mengatakan bahwa do’a apa saja yang dilakukan berjama’ah atau dengan suara keras tidak dibenarkan, hendaklah setiap orang membaca do’a masing-masing secara pelan?
Jawaban:
Do’a berjama’ah tersebut setelah sholat adalah bid’ah, tidak ada asalnya dalam syari’at. Dan yang disyari’atkan setelah sholat adalah berdzikir dan do’a setelah salam yang sesuai dalil, dilakukan oleh setiap orang yang melakukan sholat secara sendiri-sendiri.” Wallahu A’lam.
‏ ﻭﺑﺎﻟﻠﻪ ﺍﻟﺘﻮﻓﻴﻖ ، ﻭﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﻧﺒﻴﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﻭﺁﻟﻪ ﻭﺻﺤﺒﻪ ﻭﺳﻠﻢ .‏
[Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 2/241-242]

Hukum Mengadakan Ta'lim atau Pengajian Sebelum Shalat Tarawih

Berikut adalah fatwa Syaikh Al-Albani, Syaikh Ibnu Utsaimin dan Syaikh Ubaid Al-Jabiri rahimahumullah dalam permasalahan ini.

Tanya :

"Kami di Kuwait ada kebiasaan menyampaikan ceramah setelah raka'at keempat pada shalat Tarawih. Apakah hal tersebut diperbolehkan? Jika boleh, bagaimana bentuk ceramah ini?"

Jawab :

Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin rahimahullah menjawab,

"Saya berpandangan bahwa hendaknya hal tersebut tidak dilakukan, karena :

Pertama : hal tersebut bukan termasuk petunjuk Salaf.

Kedua : bahwa sebagian orang (yang datang ke masjid) terkadang hanya ingin shalat Tarawih, setelah itu pulang ke rumah. Sehingga jika disampaikan ceramah, maka bisa menghalangi keinginan mereka itu, membuat mereka bosan, dan merupakan bentuk pemaksaan bagi mereka untuk mendengarkan ceramah itu. Untaian nasehat, jika tidak diterima maka kejelekannya akan lebih banyak daripada manfaatnya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu 'alaihi wa alihi sallam dahulu menyelang-nyeling dalam menyampaikan ceramah kepada para shahabat beliau, tidak memberatkan mereka, dan tidak mengulang-ulangnya. Menurut saya, meninggalkannya lebih utama. Jika imam memang ingin memberikan ceramah kepada jama'ah, hendaknya menjadikannya di bagian akhir, tatkala shalat telah usai. Hingga mereka memiliki piihan untuk tetap berada di masjid atau keluar." (Liqa' Bab Al Maftuh 6/229)

Tanya :

"Apa hukum menyampaikan ceramah di antara shalat Tarawih atau di pertengahannya, yang mana hal itu dilakukan terus-menerus?"

Jawab :

Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin rahimahullah menjawab,

"Adapun menyampaikan ceramah, hendaknya tidak dilakukan karena hal itu bukan termasuk petunjuk Salaf. Tetapi jika memang dibutuhkan atau imam shalat berkehendak, ceramah boleh disampaikan setelah Tarawih. Jika hal itu dimaksudkan sebagai bentuk ibadah, maka itu adalah bid'ah. Dan tanda bahwa amalan itu dia jadikan sebagai ibadah adalah terus menerus dilakukan setiap malam. Kemudian kita katakan : Wahai saudaraku, kenapa engkau berceramah kepada orang-orang? Kadang sebagian orang memiliki kesibukan sehingga mereka ingin bisa langsung pergi setelah selesai Tarawih agar bisa mendapatkan pahala yang disebutkan dalam sabda Rasul 'alaihish shalatu was salam :

من قام مع الإمام حتى ينصرف كتب له قيام ليلة

"Barangsiapa yang shalat tarawih bersama imam sampai selesai, maka akan dituliskan baginya pahala shalat semalam suntuk." (1)

Jika engkau ingin mengadakan ceramah dalam kondisi setengah dari jama'ah atau bahkan tiga perempat dari mereka juga menginginkan demikian, maka janganlah engkau menahan seperempat dari mereka untuk keluar dari masjid. Bukankah Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إذا أمّ أحدكم الناس فليخفف فإن من ورائه ضعيف والمريض وذي الحاجة

"Jika salah seorang dari kalian mengimami manusia, hendaknya dia ringankan karena di belakangnya ada orang yang lemah, sakit, dan memiliki kepentingan." (2)

Atau sebagaimana yang dikatakan oleh beliau 'alaihish shalatu was salam. Maksudnya, jangan mengukur orang lain dengan dirimu sendiri atau orang yang suka terhadap ceramah. Ukurlah orang lain dengan sesuatu yang tidak memberatkan mereka. Imamilah shalat Tarawih mereka. Jika kalian telah selesai dari shalat tersebut, silahkan berikan ceramah yang engkau inginkan.

Kami memohon kepada Allah agar memberikan rezeki kepada kami dan juga kalian berupa ilmu yang bermanfaat dan amal shalih. Bergembiralah untuk mendapatkan kebaikan dengan datangnya kalian ke tempat ini, karena :

من سلك طريقاً يلتمس فيه علماً سهل الله له به طريقاً إلى الجنة

“Barangsiapa menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu (syar’i), Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga dengan upaya tersebut.” (HR. Muslim No. 2699 dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu).

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga tetap Dia limpahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga beliau, serta seluruh shahabat beliau." (Liqa' Bab Al Maftuh 29/118)

***

Tanya :

"Apakah boleh bagi imam masjid dalam shalat Tarawih untuk menyampaikan ceramah setiap selesai beberapa raka'at?"

Jawab :

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah menjawab,

"Bisa boleh dan bisa tidak. Jika berupa peringatan, teguran, serta perintah dan larangan terhadap suatu perkara yang baru terjadi, maka ini adalah wajib. Adapun jika dijadikan sebagai kebiasaan yang teratur, maka ini menyelisihi sunnah." (Silsilah Al Huda wa An Nur no. 656)

Beliau rahimahullah juga berkata :

"Shalat malam di bulan Ramadhan disyariatkan untuk menambah pendekatan diri kepada Allah 'Azza wa Jalla dengan bentuk shalat Tarawih saja. Oleh karena itu, kami berpandangan bahwa tidak boleh bagi kita untuk mencampur shalat Tarawih dengan sesuatu dari ilmu, ta'lim, dan yang semisalnya. Yang seyogyanya dilakukan adalah shalat Tarawih saja. Adapun ilmu, ia memiliki waktu tersendiri. Tidak dibatasi dengan waktu tertentu, tetapi melihat kepada maslahat hadirin. Ini hukum asalnya. Maksud saya dari penjelasan tadi bahwa orang yang membuat kebiasaan memberikan ta'lim atau ceramah kepada orang-orang dalam shalat Tarawih di antara setiap empat raka'at misalnya, dan dia menjadikannya sebagai kebiasaan, maka itu adalah perkara yang dibuat-buat dalam agama ini dan menyelisihi sunnah."

(Transkrip kaset Silsilah Al Huda wa An Nur no. 693, menit ke-28.)

Bagaimana jika ceramah atau ta'lim itu diadakan setelah Isya sebelum dilaksanakannya Tarawih? Ustadz Askari hafidhahullah pernah menanyakan kepada Syaikh Muhammad bin Ghalib hafidhahullah tentang pelajaran/ta'lim yang diadakan setelah shalat Isya sebelum dilaksanakannya Tarawih. Pertanyaan ini kemudian disampaikan kepada Syaikh Ubaid Al Jabiri hafidhahullah. Beliau menjawab bahwa setelah Isya lebih utama untuk tidak diadakan pelajaran. Silahkan simak di sini.

Sumber : http://media-sunni.blogspot.com/2012/07/hukum-ceramah-di-antara-shalat-tarawih.html
-------------


Catatan kaki :

1. Hadits Abu Dzar radhiallahu 'anhu riwayat At Tirmidzi (806) dan beliau menshahihkannya, Abu Dawud (1375), An Nasa'i (1605), dan Ibnu Majah (1327). Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi.
2.  Hadits Muttafaqun 'alaihi dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu dengan lafadz:
إِذَا أَمَّ أَحَدُكُم النَّاسَ فَلْيُخَفِّفْ، فَإِنَّ فِيهِمُ الصَّغِيرَ وَالْكَبِيرَ وَالضَّعِيفَ وَذَا الْحَاجَةِ، فَإِذَا صَلَّى وَحْدَهُ فَلْيُصَلِّ كَيْفَ شَاءَ

"Jika salah seorang dari kalian mengimami manusia, hendaknya dia ringankan karena di antara mereka ada anak kecil, orang yang lanjut usia, lemah, dan memiliki kepentingan. Jika dia shalat sendirian, silahkan shalat sebagaimana yang dia inginkan."

Wednesday, July 17, 2013

Syaikh Shalih Al-Fauzan: Apakah Sekedar Mengucapkan Syahadat Sudah Termasuk Muslim?

Tanya : 
"Syahadah Laa Ilaha illallah adalah kunci dan pokok yang paling mendasar dari agama Islam. Apakah orang yang sekedar mengucapkannya walaupun tanpa ada amalan sudah termasuk ke dalam kaum muslimin ? Dan apakah agama-agama yang turun dari langit (Yahudi dan Nashara) –selain agama islam yang dibawa oleh Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam- juga datang dengan pokok yang sangat mendasar ini ?"
Jawab : 
Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah menjawab,

Hukum Memerintahkan Puasa Anak Kecil yang Belum Baligh

Tanya : 
"Apakah anak kecil yang belum mencapai usia 15 tahun diperintahkan untuk berpuasa sebagaimana dalam shalat?"
Jawab : 
Fadhilatus Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab,

"Ya, anak-anak kecil yang belum mencapai usia baligh diperintahkan untuk berpuasa jika mereka mampu. Sebagaimana hal ini dilakukan oleh para shahabat terhadap anak-anak mereka.
Sungguh para ulama telah mengatakan dengan tegas bahwa seorang pemimpin itu memerintahkan orang yang di bawah kepemimpinannya dari anak-anak kecil untuk berpuasa agar mereka terlatih dan terbiasa serta akan menjadi tabiat (kebiasaan-red) untuk melaksanakan prinsip (dasar) dari agama Islam pada hati-hati mereka.
Akan tetapi jika hal ini memberatkan atau bermudharat kepada mereka, tidak diharuskan bagi mereka untuk melaksanakannya. Dan saya ingin memeberi peringatan terhadap apa yang dilakukan oleh para bapak dan ibu, dimana mereka melarang anak-anak mereka untuk berpuasa. Mereka mengannggap bahwa pelarangan terhadap anak-anak mereka untuk berpuasa merupakan kasih sayang buat mereka dan merasa kasihan. Padahal, hakikatnya mengasihi para anak itu ialah dengan memerintahkan mereka untuk mengerjakan syariat-syariat Islam dan membiasakannya. Karena ini tidak diragukan lagi adalah sebaik-baik mendidik mereka dan sempurna dia dalam mengatur orang yang di bawah pimpinannya (tanggung jawabnya). Telah bersabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam :
"Sesungguhnya seseorang itu akan menjadi pemimpin terhadap keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya" (HR. Bukhari No. 2409, Muslim No. 1829)
Sepantasnya bagi para pemimpin yaitu orang-orang yang Allah jadikan di sebagai pemimpin terhadap keluarganya dan anak-anak kecil untuk bertakwa (takut) kepada Allah dalam urusan mereka dan hendaklah para pemimpin itu memerintahkan mereka dengan syariat Islam." (af)
Sumber : 48 Soal Jawab tentang Puasa bersama Syaikh Utsaimin-rahimahullah, Penulis : Syaikh Salim bin Muhammad Al-Juhani, Penerbit : Maktabah Al-Ghuroba’ Solo via almakassari.com

Ayah dan Anak yang Berebut Surga

Tatkala Perang Badar tiba, sahabat yang mulia yang bernama Khutsaimah bin Harits mengadakan undian bersama putranya yang bernama Sa’ad untuk menentukan siapakah di antara keduanya yang akan keluar untuk jihad dan siapa yang tetap tinggal di rumah untuk menjaga para wanita.
Ternyata undian diraih oleh putranya Sa’ad, maka ayahnya berkata kepadanya: “Wahai anakku relakanlah hari ini agar ayah yang keluar untuk berjihad, biarkanlah engkau yang mengurusi para wanita“. Sa’ad berkata “Demi Alloh wahai ayahku seandainya saja bukan karena masalah  surga, niscaya akan aku berikan padamu (kesempatan ini), tetapi ini adalah syurga yang luasnya seluas langit dan bumi, saya tidak akan memberikan bagianku kepada seorang pun“.
Akhirnya Sa’ad keluar untuk Perang Badar dan gugur di dalamnya, sedangkan ayahnya pun selalu berharap setelah itu, sehingga beliau pun juga gugur dalam perang Uhud. Semoga Alloh meridhoi mereka semua.
(Sumber : Al–Ishobah Ibnu Hajar)
Mutiara Kisah :
1) Mengenal lebih dekat sahabat yang mulia Sa’ad bersama ayahandanya yang bernama Khutsaimah bin Harits.
2)   Keutamaan Sa’ad dan ayahnya Khutsaimah
3)   Keutamaan mati syahid
4)   Tidak ada balasan bagi orang yang mati syahid kecuali syurga
5)   Para sahabat mereka adalah orang yang berlomba-lomba diatas kebaikan
6)   Kehidupan didunia adalah kehidupan yang sementara,negeri akhirat lebih baik dan lebih kekal.
7)   Hendaknya antara orang tua dan anak berlomba-lomba untuk melakukan kebaikan.
Sumber : Kisah-kisah Keteladanan, Kepahlawanan, Kejujuran, Kesabaran, Menggugah, serta Penuh dengan Hikmah dan Pelajaran Sepanjang Masa. Penerbit : Maktabah At-Thufail, Panciro-Gowa (Makassar-Sulsel) via almakassari.com