Saturday, June 29, 2013

Pujian Syaikh Shalih Al-Fauzan Terhadap Syaikh Rabii’ Al-Madkhali

Tulisan ini khusus saya persembahkan kepada sebagian Thalibul Ilmi yang sehari-harinya sibuk membahas fitnah yang terjadi diantara para ulama di dunia facebook. Apakah tidak ada kesibukan lain selain membahas permasalahan-permasalahan tersebut !! 

Baru-baru ini saya mendapatkan berita yang sangat mengejutkan lewat email bahwa “Syaikh Shalih Al-Fauzan telah mentahdzir Syaikh Rabii’!!” Benarkah ?? Saya pribadi belum mengetahui kevalidan berita tersebut. Namun dalam artikel ini, saya hanya akan menuliskan sesuatu yang saya ketahui dari Syaikh Shalih Al-Fauzan berkaitan dengan penilaian beliau terhadap Syaikh Rabii’ Al-Madkhali hafidzahumallah

Syaikh Shalih Al-Fauzan hafidzahullah berkata:

من هؤلاء الذين بينوا ونصحوا فضيلة الشيخ الدكتور: ربيع بن هادي المدخلي في هذا الكتاب الذي بين أيدينا وهو بعنوان : ( منهج الأنبياء في الدعوة إلى الله فيه الحكمة والعقل ) فقد بين- وفقه الله وجزاه خيراً- منهج الرسل في الدعوة إلى الله كما جاء في كتاب الله وسنة رسوله وعرض عليه منهج الجماعات المخالفة ليتضح الفرق بين منهج الرسل وتلك المناهج المختلفة والمخالفة لمنهج الرسل، وناقش تلك المناهج مناقشة علمية منصفة مع التعزيز بالأمثلة والشواهد، فجاء كتـابه -والحمد لله- وافياً بالمقصود، كافياً لمن يريد الحق، وحجة على من عاند وكابر، فنسأل الله أن يثيبه على عمله، وينفع به وصلى الله وسلم على نبينا محمد وآله وصحبه

“Diantara mereka (para ulama –pen-) yang telah memberikan penjelasan dan nasehat adalah Fadhilatus Syaikh Dr. Rabii’ bin Hadi Al-Madkhali dalam kitab yang berada di tengah-tengah kita, dengan judul “Manhaj Al-Anbiya fid Da’wah ila Allah fihil Hikmah wal Aql”. Sungguh beliau –semoga Allah memberikan taufiq dan mebalasnya dengan kebaikan- telah menjelaskan manhaj para rasul dalam berdakwah kepada Allah sebagaimana yang terdapat dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Beliau juga telah menjelaskan jama’ah-jama’ah yang menyimpang, agar diketahui dengan jelas perbedaan antara manhaj para rasul dan bermacam-macam manhaj yang menyelisihinya.

Thursday, June 27, 2013

Hukum Mengusap Kerudung Ketika Berwudhu Bagi Wanita

Tanya:

"Dalam agama yang mulia ini ada pensyariatan mengusap di atas ‘imamah/sorban bagi laki-laki ketika berwudhu sebagai pengganti mengusap kepala. Yang menjadi pertanyaan, apakah wanita juga diperkenankan mengusap di atas kerudungnya bila ia mengenakan kerudung saat berwudhu?"

Jawab:

Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab,

“Yang masyhur dalam madzhab Al-Imam Ahmad rahimahullah adalah boleh bagi wanita mengusap di atas kerudungnya apabila kerudung itu dikaitkan di bawah tenggorokan [1], karena adanya riwayat dari sebagian shahabiyyah (para wanita dari kalangan sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) [2], semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhai mereka.

Bagaimana pun keadaannya, bila memang terdapat kesulitan/kepayahan, mungkin udara yang dingin atau sulit dilepas, maka pengizinan dalam kondisi semisal ini tidak apa-apa. Namun yang lebih utama adalah si wanita tidak mengusap di atas kerudungnya (namun ia langsung mengusap kepalanya saat berwudhu, pen.).

Wallahu a’lam." [Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Fadhilatusy Syaikh, 11/171]
Footnote:

[1] Tidak diletakkan begitu saja di kepala, karena yang seperti ini tidak sulit melepaskannya. [Asy-Syarhul Mumti’, 1/240]

[2] Ibnu Abi Syaibah rahimahullah dalam Mushannaf-nya, kitab Ath-Thaharah, fil Mar’ah Tamsahu ‘ala Khimariha, no. 249 dari Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah, dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha disebutkan bahwa ia mengusap di atas kerudungnya.

Ali Ibnul Madini rahimahullah berkata, “Al-Hasan melihat Ummu Salamah, namun tidak mendengar hadits darinya.” [Jami’ut Tahshil, hal. 163 dan ta’liq Asy-Syarhul Mumti’, 1/239, Dar Ibnil Jauzi, cet. pertama, Dzulqa’dah 1422 H]


Sumber: http://fadhlihsan.wordpress.com/2010/04/27/mengusap-kerudung-ketika-berwudhu/

Istilah-Istilah Dasar dalam Ilmu Hadits


Berikut ini adalah penjelasan secara ringkas beberapa istilah-istilah dasar dalam ilmu hadits (musthalah):

1. Mutawatir

Hadits yang diriwayatkan dari banyak jalan (sanad) yang lazimnya dengan jumlah dan sifatnya itu, para rawinya mustahil bersepakat untuk berdusta atau kebetulan bersama-sama berdusta. Dan perkara yang mereka bawa adalah perkara yang inderawi yakni dapat dilihat atau didengar. Hadits mutawatir memberikan faidah ilmu yang harus diyakini tanpa perlu membahas benar atau salahnya terlebih dahulu.


2. Ahad

Hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir.


3. Shahih

Hadits yang dinukilkan oleh orang yang adil (muslim, baligh, berakal, bebas dari kefasiqan yaitu melakukan dosa besar atau selalu melakukan dosa kecil, dan bebas dari sesuatu yang menjatuhkan muru’ah/kewibawaan) dan sempurna hafalannya/penjagaan kitabnya terhadap hadist itu, dari orang yang semacam itu juga dengan sanad yang bersambung, tidak memiliki ‘illah (penyakit/kelemahan) dan tidak menyelisihi yang lebih kuat. Hadits shahih hukumnya diterima dan berfungsi sebagai hujjah.

4. Hasan (baik)

Hadits yang sama dengan hadits yang shahih kecuali pada sifat rawinya di mana hafalannya/penjagaan kitabnya terhadap hadits tidak sempurna, yakni lebih rendah. Hadits hasan hukumnya diterima.


5. Dha’if (lemah)


Hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits shahih atau hasan. Hadits dha’if hukumnya ditolak.


6. Maudhu’ (palsu)


Hadits yang didustakan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam padahal beliau tidak pernah mengatakannya, hukumnya ditolak.


7. Mursal


Yaitu seorang tabi’in menyandarkan suatu ucapan atau perbuatan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Hukumnya tertolak karena ada rawi yang hilang antara tabi’in tersebut dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan mungkin yang hilang itu adalah rawi yang lemah.


8. Syadz


Hadits yang sanadnya shahih atau hasan namun isinya menyelisihi riwayat yang lebih kuat dari hadits itu sendiri, hukumnya tertolak.


9. Mungkar


Hadits yang sanadnya dha’if dan isinya menyelisihi riwayat yang shahih atau hasan dari hadits itu sendiri, hukumnya juga tertolak.


10. Munqathi’


Hadits yang terputus sanadnya secara umum, artinya hilang salah satu rawinya atau lebih dalam sanad, bukan di awalnya dan bukan di akhirnya dan tidak pula hilangnya secara berurutan. Hukumnya tertolak.


11. Sanad


Rangkaian para rawi yang berakhir dengan matan.


12. Matan


Ucapan rawi atau redaksi hadits yang terak dalam sanad.


13. Rawi


Orang yang meriwayatkan atau membawakan hadits.


14. Atsar


Suatu ucapan atau perbuatan yang disandarkan kepada selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yakni kepada para shahabat dan tabi’in.


15. Marfu’


Suatu ucapan atau perbuatan atau persetujuan yang disandarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.


16. Mauquf


Suatu ucapan atau perbuatan yang disandarkan kepada shahabat.


17. Jayyid (bagus)


Suatu istilah lain untuk shahih.


18. Muhaddits


Orang yang menyibukkan diri dengan ilmu hadits secara riwayat dan dirayat (fiqih hadits), serta banyak mengetahui para rawi dan keadaan mereka.


19. Al-Hafidz


Orang yang kedudukannya lebih tinggi dari muhaddits, di mana ia lebih banyak mengetahui rawi di setiap tingkatan sanad.


20. Majhul


(Rawi yang) tidak dikenal, artinya tidak ada yang menganggapnya cacat sebagaimana tidak ada yang men-ta’dil-nya, dan yang meriwayatkan darinya cenderung sedikit. Bila yang meriwayatkan darinya hanya satu orang maka disebut majhul al-’ain, dan bila lebih dari satu maka disebut majhul al-hal. Hukum haditsnya termasuk hadits yang lemah.


21. Tsiqah


(Rawi yang) terpercaya, artinya terpercaya kejujurannya dan keadilannya serta kuat hafalan dan penjagaannya terhadap hadits.


22. Jarh


Cacat, dan majruh artinya dinilai cacat


23. Ta’dil


Dinilai adil.


24. Muttafaqun ‘alaih


Maksudnya hadits yang disepakati oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih mereka.


25. Mu’allaq/Ta’liq


Hadits yang terputus sanadnya dari bawah, satu rawi atau lebih.



Sumber: Majalah Asy Syariah no. 06/I/Muharram 1425 H/Maret 2004, hal. 35 via fadhlihsan.wordpress.com

Apakah Sah Wudhu Seorang Wanita yang Memakai Kuteks di Kuku?

Tanya:

Sahkah wudhu wanita yang di kukunya terdapat kuteks?

Jawab:

Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin rahimahullah menjawab: 

“Kuteks yang dipakai oleh wanita di kukunya memiliki lapisan/sisa cet yang menempel, sehingga tidak boleh dipakai bila ia hendak shalat karena menghalangi sampainya air ke bagian jarinya dalam wudhu. Segala sesuatu yang mencegah sampainya air ke anggota wudhu tidak boleh dipakai oleh orang yang berwudhu atau oramg yang mandi wajib. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“… Maka cucilah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian.” [Al-Ma’idah: 6]

Kuteks yang dipakai oleh seorang wanita pada kukunya akan menghalangi air mengenai kuku/jarinya sehingga tidak bisa dikatakan ia telah mencuci tangannya. Dengan begitu ia telah meninggalkan satu kewajiban dari kewajiban-kewajiban wudhu atau mandi.

Adapun wanita yang sedang tidak shalat karena haid, tidak mengapa memakai kuteks ini. Hanya saja memakai kuteks termasuk kekhususan wanita-wanita kafir. Karena alasan ini maka tidak boleh memakainya agar tidak jatuh dalam perbuatan tasyabbuh (menyerupai) dengan orang-orang kafir.

Aku pernah mendengar sebagian orang berfatwa bahwa memakai kuteks bisa dikiaskan dengan memakai khuf (sementara ada pensyariatan mengusap di atas khuf dan ada ketentuan waktunya), dengan begitu seorang wanita boleh memakainya sehari semalam ia sedang tidak safar/bepergian dan tiga hari tiga malam bila ia musafir. Namun ini fatwa yang salah. Karena tidak setiap yang menutupi tubuh seseorang disamakan dengan memakai khuf. Kalau khuf dibolehkan oleh syariat untuk mengusapnya karena umumnya ada kebutuhan. Kedua telapak kaki ini butuh dihangatkan dan butuh ditutup karena keduanya langsung bersentuhan dengan tanah, kerikil, rasa dingin, dan selainnya, maka syariat pun mengkhususkan pengusapan di atas keduanya.

Terkadang mereka juga mengkiaskannya dengan sorban dan ini pun tidak benar. Karena sorban itu tempatnya di kepala, sementara kepala dari asalnya memang diringankan. Kepala hanya wajib diusap dalam amalan wudhu, beda halnya dengan tangan, kedua tangan harus dicuci. Karena itulah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memperkenankan wanita mengusap kaos tangannya ketika wudhu, padahal kaos tangan tersebut menutupi tangannya. Ini menunjukkan tidak bolehnya seseorang mengkiaskan segala penghalang/penutup yang menghalangi sampainya air ke anggota wudhu dengan sorban dan khuf.

Yang wajib dilakukan oleh seorang muslim adalah mencurahkan segala kesungguhan dan upayanya untuk mengetahui al-haq serta janganlah berfatwa melainkan dalam keadaan ia menyadari bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala kelak akan menanyakan kepadanya tentang fatwa tersebut (meminta pertanggungjawabannya), karena ia memberikan penggambaran tentang syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Azza wa Jalla-lah yang memberikan taufik, yang membimbing kepada ash-shirath al-mustaqim." [Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Fadhilatus Syaikh, 11/148-149]


Sumber: Majalah Asy Syariah no. 49/V/1430 H/2009, hal. 89-90 via fadhlishan.wordpress.com

Wednesday, June 26, 2013

Bolehkah Menamakan Dirinya dengan Salafy atau Atsary? (Menjawab Syubhat Mereka ketika Menukilkan Fatwa Syaikh Al-Utsaimin)

Di zaman kita ini muncul sekelompok manusia yang menyatakan bahwa menggunakan istilah As-Salafiy atau Al-Atsariy di akhir nama mereka atau mengaku dengan lisannya, “Aku adalah salafi, kami adalah salafiyyun” adalah perkara yang terlarang.

Si pelarang itu mengajukan “hujjah” bahwa tidak boleh menggunakan istilah seperti itu, sebab itu adalah salah satu bentuk tazkiyah (penyucian diri), atau dikhawatirkan ia tak sesuai pengakuannya, yakni hanya sekedar pengakuan lisan, namun prakteknya menyalahi lisannya. [1] Mereka juga menyatakan bahwa menggunakan istilah “salafiy” akan mengantarkan kepada tafriq (pemecahbelahan) di antara kaum muslimin, atau ia adalah bentuk tashnif (pengelompokan)[2], dan hizbiyyah!! [3]

Semua ini adalah alasan-alasan yang bisa kita sanggah dengan mudah –Insya Allah-. Semua ini hanyalah hujjah yang lemah, selemah sarang laba-laba.
Terkadang mereka (si pelarang) membawakan fatwa sebagian ulama, seperti fatwa Syaikh Sholih bin Fauzan Al-Fauzan yang menyatakan bahwa tidak perlu memakai nama As-Salafiy atau Al-Atsariy, karena beliau khawatir pengakuan itu tidak sesuai dengan perbuatan dan aqidah seorang muslim. Tapi apakah Syaikh melarang secara mutlak? Tentunya tidak !!

Tuesday, June 25, 2013

Bunuh Diri, Benarkah Mati Sebelum Waktunya?

Tanya:

"Katanya mati bunuh diri itu mati sebelum waktunya dan bukan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalu apakah berarti yang mencabut nyawa bukan malaikat Izrail?"
Jawab:

Ustadz As-Sarbini Al-Makassari hafidzahullah menjawab,

Nasehat Syaikh Muqbil kepada Salafy yang Kaku dan Keras

Tanya:
 
"Kami menyaksikan beberapa ikhwah salafy demikian kasar dalam ucapan, dakwah. Serta bersikap keras kepada keluarga mereka. Apabila ia melewati orang lain yang bukan berasal dari kelompoknya, ekspresi wajah mereka sinis. Berbeda dari apa yang kami saksikan dari orang-orang IM (ikhwanul muslimin). Kami kurang dalam berakhlak mulia. Kami sangat membutuhkan nasehat darimu, jazakallahu khairan."


Jawab:

Syaikh Muqbil Al-Wadi'i rahimahullah menjawab,


Saturday, June 15, 2013

Download Kamus Al-Munawwir Format PDF (djvu)

Sumber: kaahil.wordpress.com

Download Kamus Al-Munawir.Zip

WinDjView : untuk membaca file e-book berformat .djvu

Biasanya e-book berformat .djvu dibuat/disusun dari hasil scan buku. So bagus tidaknya buku yang di-scan juga sangat berpengaruh pada kualitas tulisan dari e-book berformat .djvu.

a kamus almunawwir pdf

Syaikh Firkuuz: Jinsul 'Amal Merupakan Syarat Keshahihan atau Syarat Kesempurnaan Iman?



السؤال: ما هو القدر المجزئ من الإيمان الذي يستحقُّ صاحبُه دخول الجنَّة؟ أهو قول واعتقاد فقط؟ وإن كان قولاً واعتقادًا وعملاً فما هو القدر المجزئ من العمل؟ وفَّقكم الله لِما يحبُّه ويرضاه وجزاكم الله خيرًا.

Tanya:

“Jelaskan batasan minimal yang harus ada dalam iman sehingga ia dinyatakan berhak untuk masuk ke dalam surga? Apakah cukup berupa perkataan dan keyakinan? Jika harus terdapat perkataan, keyakinan dan amal maka amal apa yang harus ada dalam iman? semoga Allah memberikan taufiq pada Anda dalam beramal demi menggapai kecintaan dan keridhaan-Nya. Jazakumullah khairan

Jawab:

Syaikh Muhammad Ali Firkuuz Al-Jaza’iri hafidzahullah menjawab,

Thursday, June 13, 2013

Cara Menghitung Zakat Padi

Tanya: 

Bagaimana cara penghitungan zakat padi? (08526xxxxxxx)
 
Jawab:

Ustadz Muhammad Sarbini hafidzahullah menjawab,

"Zakat padi diperselisihkan ulama, karena tidak ada dalil khusus. Kami condong pada pendapat yang tidak mewajibkan zakat padi.

Bagi yang meyakini wajibnya, nishabnya sebesar 300 sha’ nabawi = 300 x 3 kg bersih (tanpa kulit) dengan rincian zakat: 

a) 10%, jika tadah hujan dan semisalnya. 

b) 5%, jika diairi dengan biaya besar berupa mesin, kincir air, atau semisalnya.

Jika sawah disewakan, maka yang terkena kewajiban adalah pemilik hasil panen (penyewa), bukan pemilik sawah.

Zakat dikeluarkan saat panen setelah pembersihan dari keseluruhan hasil panen tanpa dikurangi untuk bayar sewanya. Pada asalnya wajib dibayarkan dengan beras, bukan dengan uang. Untuk lebih rinci dan lengkap, lihat Kajian Utama pada Majalah Asy-Syari’ah edisi 54."

Sumber: Majalah Asy Syariah edisi no. 92/VII/1434 H/2013, hal. 48 (rubrik Tanya Jawab Ringkas) via fadhlihsan.wordpress.com

Darah Keluar Beberapa Hari Sebelum Melahirkan, Apakah Nifas?

Tanya: 

"Seorang wanita hamil keluar darah dari kemaluannya lima hari sebelum melahirkan di bulan Ramadhan. Apakah darahnya tersebut darah haid atau darah nifas? Apa yang harus dilakukan ketika itu?"

Jawab:

Lembaga Fatwa Al-Lajnah Ad-Da`imah lil Buhuts Al-‘Ilmiyyah wal Ifta` menjawab,

“Bila permasalahannya sebagaimana yang disebutkan yakni si wanita yang sedang hamil melihat keluarnya darah lima hari sebelum melahirkan. Jika ia tidak melihat adanya tanda-tanda dekatnya saat kelahiran seperti rasa sakit karena ingin melahirkan/kontraksi, maka darah tersebut bukanlah darah haid dan bukan pula darah nifas, melainkan darah fasad (rusak) menurut pendapat yang shahih. Karenanya, ia tidak meninggalkan ibadah, tetap mengerjakan shalat dan puasa.

Apabila bersamaan dengan keluarnya darah tersebut didapatkan tanda-tanda dekatnya saat kelahiran berupa rasa sakit dan semisalnya, maka darah itu adalah darah nifas, sehingga ia tidak mengerjakan shalat dan puasa. Bila ia telah selesai/suci dari nifasnya setelah melahirkan, ia hanya mengqadha puasanya saja.” Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab. [Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, hal. 67]


Sumber: Asy Syariah Vo. 44/1429 H/2008. Halaman 88-89. http://asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=737

11 Amalan yang dapat Mengharamkan Pelakunya Masuk Surga atau Terancam Neraka Jahanam



Dari Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu ‘anhu berkata:

كان الناس يسألون رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الخير وكنت أسأله عن الشر مخافة أن يدركني

“Manusia bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tentang kebaikan, namun aku bertanya pada beliau tentang keburukan khawatir keburukan itu akan menimpaku.”

Berikut adalah beberapa amalan dosa, jika seorang hamba terjatuh dalam dosa tersebut dan belum bertaubat sebelum meninggal, maka ia terancam dengan neraka dan diharamkan masuk surga. Perhatikan, pahami dan jauhilah...


1. Menyekutukan Allah dalam beribadah (syirik)


Allah ta’ala berfirman:

إِنّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدْ حَرّمَ اللّهُ عَلَيهِ الْجَنّةَ وَمَأْوَاهُ النّارُ وَمَا لِلظّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ

Sesungguhnya barangsiapa yang menyekutukan Allah, maka Allah mengharamkan surga baginya dan tempat kembalinya adalah neraka. Tidaklah ada bagi orang-orang dzalim seorang penolong pun” [Al-Maidah: 72]

Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata:

{ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ } أي: فقد أوجب له النار، وحرم عليه الجنة، كما قال تعالى: { إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ }

Maka Allah mengharamkan surga baginya dan tempat kembalinya adalah neraka” yaitu Allah telah mewajibkan baginya masuk neraka dan mengharamkan surga, sebagaimana dalam firman-Nya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik[1] dan mengampuni dosa-dosa di bawah syirik bagi siapa yang Ia kehendaki[2]” [Tafsir Ibnu Katsir, 3/157]

2. Seorang yang terdapat kesombongan dalam hatinya

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لا يدخل الجنة من كان في قلبه مثقال ذرة من كبر

Tidak akan masuk surga seorang yang terdapat kesombongan dalam hatinya, meskipun sebesar biji sawi” [HR. Muslim no. 91, dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu]
 
3. Seorang pemimpin yang berkhianat terhadap rakyatnya

Rasulullah shallallahu ‘alaih wasallam bersabda:

ما من عبد يسترعيه اللَّه رعية يموت يوم يموت وهو غاش لرعيته إلا حرم اللَّه عليه الجنة

“Tidaklah seorang hamba yang Allah berikan padanya kepemimpinan, lalu suatu saat ia mati dalam keadaan berkhianat terhadap kepemimpinannya, kecuali Allah akan mengharamkan surga baginya” [HR. Al-Bukhari no. 7151 dan Muslim no. 142]

4. Memberontak kepada penguasa muslim

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

من كره من أميره شيئاً فليصبر، فإنه من خرج من السلطان شبراً مات ميتةً جاهليةً

“Barangsiapa yang membenci suatu dari perangai penguasanya, hendaklah ia bersabar. Karena barangsiapa yang keluar (memberontak –pen) dari seorang penguasa sejengkal, maka ia mati sebagaimana orang-orang jahiliyyah” [HR. Al-Bukhari no. 6530, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma]

Ancaman mati jahiliyyah dalam hadits ini memiliki dua kemungkinan makna:

[Pertama] Allah akan memalingkan hatinya dari agama Islam dengan sebab dosa yang telah ia perbuat, hingga ia mati dalam keadaan murtad.

[Kedua] Ia mati seperti orang-orang jahiliyyah dahulu yaitu tidak memiliki imam dan penguasa muslim. Mereka hanya memiliki para pemimpin kabilah yang sedikitpun tidak memiliki wilayah kekuasaan Islam, apalagi menerapkan hukum Islam di dalamnya. Kehidupan mereka dipenuhi dengan sikaf fanatik dan ‘ashabiyyah terhadap kabilahnya masing-masing.

5. Makan atau minum menggunakan wadah yang terbuat dari perak

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الذي يشرب في آنية الفضة إنما يجرجر في بطنه نار جهنم

“Seorang yang minum menggunakan wadah dari perak, sebenarnya ia sedang memasukkan api neraka Jahannam dalam perutnya” [HR. Muslim no. 3846]

6. Menjulurkan pakaian sarung, jubah atau celana hingga melebihi batas mata kaki karena sombong

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لا ينظر اللَّه يوم القيامة إلى من جر إزاره بطرا

“Pada hari kiamat nanti, Allah tidak akan melihat seorang yang menjulurkan pakaian sarungnya (di bawah mata kaki –pen) karena sombong” [HR. Al-Bukhari no. 5788 dan Muslim no. 2087, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu]

7. Seorang yang suka mengadu domba

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لا يدخل الجنة نمام

“Seorang yang suka mengadu domba tidak akan masuk surga” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

8. Pelukis dan penggambar makhluk bernyawa

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إن أشد الناس عذاباً يوم القيامة المصورون

“Sesungguhnya manusia yang paling keras siksaannya pada hari kiamat adalah para penggambar (makhluk bernyawa –pen)” [HR. Al-Bukhari no. 5606 dan Muslim no. 2109, dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu]

Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:

قال أصحابنا وغيرهم من العلماء تصوير صورة الحيوان حرام شديد التحريم وهو من الكبائر لأنه متوعد عليه بهذا الوعيد الشديد المذكور

“Para sahabat kami (ulama Syafi’iyyah –pen) menyatakan bahwa menggambar makhluk bernyawa adalah diharamkan dengan pengharaman yang sangat keras. Perbuatan tersebut tergolong dalam dosa besar, karena terancam dengan ancaman yang keras dalam hadits yang telah disebutkan” [Syarh Muslim, 14/81]

9. Seorang yang memutus tali silaturrahim

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لا يدخل الجنة قاطع قال سفيان في روايته: يعني قاطع رحم

Tidak akan masuk surga seorang yang memutus silaturrahim” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

10. Merampas hak seorang muslim dengan sumpah palsu meskipun sedikit

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

من اقتطع حق امرئ مسلم بيمينه فقد أوجب اللَّه له النار، وحرم عليه الجنة فقال رجل: وإن كان شيئاً يسيراً يا رَسُول اللَّهِ؟ فقال وإن قضيباً من أراك

“Barangsiapa yang merampas hak seorang muslim dengan sumpahnya, sungguh Allah telah mewajibkan orang tersebut masuk dalam neraka dan diharamkan baginya surga. Salah seorang berkata: “meskipun sedikit wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Meskipun yang ia rampas hanyalah sebatang kayu arak”. [HR. Muslim]

11. Membunuh jiwa yang diharamkan

Allah ta’ala berfirman:

ومن يقتل مؤمناً متعمداً فجزاؤه جهنم خالداً فيها وغضب الله عليه ولعنه وأعد له عذاباً عظيما

Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka Jahannam. Ia kekal di dalamnya. Allah marah padanya, melaknatnya dan mempersiapkan baginya azab yang besar” [An-Nisaa’: 93]


Disarikan oleh Abul-Harits dari At-Taudhih wal Bayan fi Dzikri Ba’dhil A’maal di Banyumas, 13 Juni 2013
 

[1] Jika ia mati dalam keadaan belum bertaubat dari dosa kesyirikan


[2] An-Nisaa’: 48 dan 116