Thursday, December 26, 2013

Pengumuman Mahasiswa Baru Universitas Islam Madinah Tahun 1435 / 2013



Details
English Name
Arabic Name

UMBU AHA
أومبو أها

ALIF JUMAI RAJAB
اليف جمائي راجب

MUHAMMAD FARUQIE TRIHONO
محمد فاروقي أغوس تريهونو

ZEIN FATHUBI
زين فتح بي

LUTFI IHSANUDIN
لطفي إحسان الدين

RONY SETYAWAN BIN BAMBANG PURNOMO
راني ستياوان بن بامبانج بورنومو

SURIONO TATO RUNI
سوريونو تاتو روني

AHMAD NAUFAL SHIDQI
احمد نوفال صدقي

Apakah Kotoran dan Kencing Hewan Najis?

Para ulama memiliki tiga pendapat dalam permasalahan ini,

[Pendapat Pertama] kotoran dan kencing hewan adalah suci. Ini merupakan pendapat Asy-Sya’bi, Dawud Az-Zhahiri, Ibrahim An-Nakha’i, Ibnu Wahb dan dirajihkan oleh Asy-Syaukani[1] rahimahumullah.

Mereka berpegang pada kaidah asal bahwa segala sesuatu dihukumi suci hingga terdapat dalil yang menyatakan najis.

[Pendapat Kedua] kotoran dan kencing hewan adalah najis, baik yang halal dimakan maupun yang haram. Ini merupakan pendapat Imam Asy-Syafi’i, Abu Hanifah, Abu Tsaur, Ahmad dalam salah satu riwayat dan dirajihkan oleh Ibnu Hazm[2] rahimahumullah

Dalilnya adalah perkataan nabi shallallahu ‘alaihi wasallam

استنزهوا من البول فإن عامة عذاب القبر منه

“Bersucilah kalian dari kencing, karena kebanyakan azab kubur disebabkan oleh hal tersebut (tidak bersuci dari kencing –pen)” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Lafadz “kencing” dalam hadits tersebut umum. Kencing seluruh hewan dan manusia termasuk dalam keumuman lafadz tersebut.

[Pendapat Ketiga] Kencing dan kotoran hewan yang halal dimakan suci, sedangkan hewan yang tidak halal dimakan najis. Ini merupakan pendapat ‘Atha, Sufyan Ats-Tsauri, Ahmad dan Malik rahimahumullah

Diantara dalil pendapat ini,

1. Hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu,

ان النبي صلى الله عليه وسلم أمر العرنيين أن يشربوا من أبوالها وألبانها

“bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan sekelompok orang Al-‘Uraaniyyin untuk meminum air kencing onta dan susu onta” [HR. Al-Bukhari no. 233 dan Muslim no. 1671]

2. Hadits Jabin bin Samurah radhiyallahu ‘anhu,

ان النبي صلى الله عليه وسلم سئل: أيصلي في مرابض الغنم؟ فقال: نعم

“bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya: “apakah diperbolehkan shalat di kandang kambing?”. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab: “iya (boleh –pen)”.” [HR. Muslim no. 360]

3. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah thawaf mengelilingi ka’bah dengan menaiki onta, hadits ini disebutkan dalam kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Seandainya kotoran dan kencing onta najis, tentu tidak boleh memasukkan onta ke dalam masjid, sebab kemungkinan besar kotoran dan kencingnya akan berceceran di masjid.

4. Hukum asal segala sesuatu adalah suci hingga ada dalil shahih dan shariih (tegas) yang menyatakan najis

Pendapat terakhir inilah yang lebih tepat karena menjamak dalil pendapat pertama dan kedua. Pendapat ini juga dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah[3] dan kebanyakan ulama mu’aashiriin seperti Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin, Asy-Syaikh Ibnu Baz, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan dan lainnya rahimahumullah.

Sumber: Al-Mughnii, 2/492 dan Al-Majmuu’, 2/549


Disarikan oleh Abul-Harits dari Fathul ‘Allam, 1/68-70 karya Asy-Syaikh Muhammad bin Hizam hafizhahullah di Madinah, 23 Shafar 1434 H



[1] Nailul Authaar, 1/92
[2] Al-Muhallaa no. 137
[3] Majmuu’ Al-Fatawaa, 21/541

Sunday, December 22, 2013

Fatwa Ulama Syafi'iyah Tentang Hukum Membangun Kuburan di Masjid

Sebuah realita yang amat menyedihkan kita semua, banyaknya masjid yang dibangun oleh kaum muslimin, lalu dijadikan tempat untuk menguburkan mayat. Bila anda berjalan-jalan di sulawesi dan lainnya, maka mata anda akan banyak menyaksikan kubur di dalam lokasi masjid atau masjid di dalam kuburan. Dengan kata lain, entah masjid lebih dahulu, lalu kubur berikutnya, atau kubur lebih dulu, lalu dibuat masjid setelahnya. Padahal perkara seperti ini adalah perkara yang terlarang, karena di dalam Islam, tak boleh menyatukan kubur dan masjid dalam sebuah lokasi.
Terjadinya penyatuan masjid dan kubur nanti terjadi setelah zaman Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dan para sahabat. Perkara seperti ini bukanlah kebiasaan kaum muslimin, bahkan kebiasaan ahlul Kitab dan kaum penyembah makhluk. Karenanya, Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,
“Laknat Allah atas orang-orang Yahudi dan Nashara yang menjadikan kubur-kubur nabi mereka sebagai masjid (tempat ibadah)“.[HR. Al-Bukhari (435) dan Muslim (531)]
Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- berkata, “Tujuan Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- adalah mencela kaum Yahudi dan Nashoro, karena mereka menjadikan kubur nabi-nabi mereka sebagai tempat-tempat ibadah”. [Lihat Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhoriy (6/607) karya Ibnu Hajar Al-Asqolaniy, dengan tahqiq Asy-Syibl, cet. Dar As-Salam, 1421 H]

Saturday, December 21, 2013

Diantara Adab Seorang Muslim Dalam Menghadapi Fitnah

Tanya:

Ustadz, bagaimana sikap salafy yang baik dalam menghadapi fitnah?

Jawab:

Diantara adab seorang muslim dalam menghadapi fitnah:

[Pertama] Berdo’a kepada Allah agar dijauhkan dari fitnah, serta memohon perlindungan pada Allah dari kejelekannya

Dari Al-Miqdad bin Al-Aswad radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: Demi Allah Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ السَّعِيدَ لَمَنْ جُنِّبَ الْفِتَنَ إِنَّ السَّعِيدَ لَمَنْ جُنِّبَ الْفِتَنِ إِنَّ السَّعِيدَ لَمَنْ جُنِّبَ الْفِتَنُ وَلَمَنْ ابْتُلِيَ فَصَبَرَ فَوَاهًا 

"Sesungguhnya orang yang berbahagia adalah orang yang dijauhkan dari fitnah, sungguh orang yang berbahagia adalah orang yang dijauhkan dari fitnah, sungguh orang yang berbahagia adalah orang yang dijauhkan dari fitnah. Barangsiapa yang mendapatkan ujian lalu bersabar, maka alangkah indahnya". [HR. Abu Daud no. 4263 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 975]

Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata:

“Sesungguhnya Al-Hajjaj adalah azab Allah, maka janganlah menolak azab Allah dengan tangan-tangan kalian. Namun hendaklah kalian beribadah dan memanjatkan doa dengan kerendahan diri, karena Allah berfirman: 

Saturday, December 14, 2013

Pembelaan Syaikh Ali Hasan Al-Halabi Terhadap Kehormatan Syaikh Rabi'

Dalam artikel kali ini, saya ingin menampilkan beberapa perkataan ulama yang mudah-mudahan bisa menjawab pertanyaan yang terbetik dalam benak kita, terkait dengan opini yang beredar tentang Syaikh Rabi’ Al-Madkhali hafizhahullah,

1. Sebagian orang menyatakan bahwa pujian dan tazkiyah para ulama kepada Syaikh Rabi’ itu dulu, setelah Syaikh Rabi’ memiliki “penyimpangan manhaj” (menurut istilah mereka), pujian para ulama tersebut tidak berlaku lagi sekarang..

Benarkah demikian penilaian para ulama? Simak fatwa terkini dari Syaikh Shalih Al-Luhaidan hafizhahullah berikut..

Penanya:

“Kenapa (manusia –pen) sering membicarakan Syaikh Rabii’? Kenapa pula mereka banyak mencela beliau hafidzakumullah ta’ala?

Syaikh Shalih Al-Luhaidan hafidzahullah menjawab:

Friday, December 13, 2013

Fatwa Ulama Seputar Ijazah Formal Dalam Menuntut Ilmu

Tanya:

“Bagaimana pendapat Anda tentang seorang yang berhasil meraih ijazah dalam ‘uluum syari’ah dari salah satu universitas, namun ia meniatkannya untuk mencari pekerjaan. Apakah ia termasuk dalam ancaman hadits? 

Apakah taubat dapat menghapuskan kesalahannya? Ketika ia telah mendapatkan pekerjaan dengan ijazah ini, apakah kemudian gaji penghasilannya haram?"

Jawab:

Lembaga Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah yang diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan beranggotakan Syaikh Abdullah Al-Ghudayyan, Syaikh Bakr Abu Zaid, Syaikh Abdullah bin Qu’ud, Syaikh Shalih Al-Fauzan dan Syaikh Abdul Aziz Alus Asy-Syaikh rahimahumullah menjawab:

Thursday, December 5, 2013

Fatwa Ulama Kibar Tentang Demonstrasi Beserta Bantahan Ringkas Bagi Oknum Yang Membolehkan

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- telah menetapkan bahwa seseorang tidak boleh memberontak kepada pemerintah, membangkang, durhaka, menyebarkan aibnya, baik lewat majalah, mimbar, pertemuan (majelis), dan lainnya, karena hal itu akan menimbulkan kerusakan; menyebabkan masyarakat tidak lagi segan, hormat, dan cinta kepada pimpinannya.
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ إِلَّا مَاتَ مَيْتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barang siapa yang melihat sesuatu ia benci dari pemimpinnya, maka hendaknya ia bersabar atasnya, karena barang siapa yang meninggalkan jama’ah dengan sejengkal, lalu ia mati, kecuali ia akan mati seperti matinya orang jahiliyyah”. [HR. Al-Bukhariy dalam Shohih-nya (13/5), Muslim dalam Shohih-nya (3/1477), Ahmad dalam Al-Musnad (1/275), dan lainnya]
Hadits ini menjelaskan bahwa seorang tidak boleh durhaka kepada pemerintah, walaupun dalam perkara yang dianggap "sepele", karena yang sepele kadang jadi besar, parah, dan rawan. Berangkat dari hadits ini, para ulama kita mengharamkan demonstrasi, karena demo merupakan salah satu bentuk kedurhakaan, dan pembangkangan kepada pemerintah yang dilarang keras oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- . Karena banyaknya yang menyangka demo adalah perkara boleh, maka kami turunkan berikut ini fatwa-fatwa para ulama’ kaum muslimin dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang menjelaskan haramnya demonstrasi:
Fatwa Samahatusy Syaikh Al-Imam Abdul Aziz Ibn Baz-rahimahullah Ta’ala-

5 Adab Saat Bepergian (Safar) Agar Perjalanan Anda Bernilai Ibadah

Hidup terus berputar bagaikan roda pedati. Ada yang datang dan ada pula yang pergi, ada suka dan duka yang kesemua itu merupakan ketetapan sang Maha Pencipta. Dunia adalah tempat persinggahan sementara dalam perjalanan menuju akhirat. Oleh karenanya, sepantasnyalah bagi kita mempersiapkan bekal untuk perjalanan panjang tersebut.
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal”.(QS. Al-Baqarah: 197).
Begitu pula jika ketika kita hendak melakukan perjalanan  di suatu tempat, maka kita harus mempersiapkan bekal. Bekal yang paling utama yang harus di miliki oleh seseorang ketika hendak melakukan suatu perjalanan adalah ilmu. Supaya perjalanannya bisa mendapatkan ridho Allah dan tetap di atas tuntunan Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- .
Pembaca yang budiman, safar (perjalanan jauh) tidak bisa lepas dari kehidupan seseorang. safar merupakan suatu kebutuhan manusia, seperti haji, umrah, menuntut ilmu, berbisnis, silatirahmi dengan kelurga, tugas dakwah dan kewajiban lainnya yang mengharuskan adanya safar. Allah -Subhana Wa Ta’ala- tidak membiarkan hambanya hanya asyik berdiam diri di mesjid untuk beribadah kepada-Nya, namun sebaliknya memerintahkan untuk segera menyebar di muka bumi. Allah -Azza Wa Jalla- berfirman,
“Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”.( QS. Al-Jumu’ah :10)

Diantara Sebab Yang Menghalangi Seseorang Untuk Rujuk Pada Kebenaran

Kebenaran ibaratnya pelita yang terang benderang. Sebab, semua sisi kebenaran telah dijelaskan oleh Allah di dalam Al-Qur’an dan Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- di dalam sunnahnya. Ini adalah sebuah nikmat terbesar bagi kaum muslimin; agama mereka datang dalam keterangan yang nyata. Oleh karena itu tidak ada hujjah bagi bani Adam untuk menolak kebenaran.
Allah -Azza wa Jalla- berfirman,
رُسُلاً مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلاَّ يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا  [النساء : 165]
“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana“. (QS. An-Nisaa’: 165)
Di dalam ayat lain, Allah Robbul Izzah juga berfirman,
وَلَقَدْ أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ آيَاتٍ بَيِّنَاتٍ وَمَا يَكْفُرُ بِهَا إِلَّا الْفَاسِقُونَ  [البقرة : 99]
“Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu ayat-ayat yang jelas; dan tidak ada yang ingkar kepadanya, melainkan orang-orang yang fasik”. (QS. Al-Baqoroh : 99)

Wednesday, December 4, 2013

Benarkah Syaikh Rabi Tidak Menimbang Maslahat dan Mafsadah dalam Permasalahan "Hajr"?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, berikut saya nukilkan beberapa fatwa Syaikh Rabi’ berkenaan dengan hal ini,

Pertama, dari pertanyaan yang diajukan oleh penuntut ilmu dari Aljaza’ir via telpon pada hari Ahad, 3 Agustus 2003

Penanya:

“Berkenaan dengan permasalahan maslahat dan mafsadah wahai syaikh, siapakah yang berhak menimbang maslahat dan mafsadah?

Syaikh Rabi’:

“Para ulama yang memiliki kesempurnaan akal, pemberi nasihat lagi memiliki kekokohan ilmu lah yang menimbang maslahat dan mafsadah. Aku katakan para ulama lah yang menimbang permasalahan ini, kapan diterapkan hajr, kapan tidak di hajr. Adapun orang-orang awam, penuntut ilmu pemula, penuntut ilmu yang masih lemah keilmuanya dan orang-orang yang dikhawatirkan akan terbawa oleh arus fitnah, mereka tidak boleh berinteraksi dengan da’i-da’i penyeru fitnah. Ulama dan penuntut ilmu yang kokoh lagi memiliki pengaruh terhadap da’i-da’i fitnah, hanya mereka yang boleh berinteraksi. Mereka lah (ulama dan penuntut ilmu –pen) yang akan mendakwahi da’i-da’i fitnah tersebut kepada kebenaran dan as-sunnah”

Berikut transkrip fatwanya,

السائل : قتلك يعني في مسألة المصالح والمفاسد يا شيخ من الذي يحدد المصلحة من المفسدة ؟

الشيخ : يقدرها العلماء العقلاء الواعين الناصحين هذا أقول لك يقدرها العلماء ، وأما بالنسبة بارك الله فيك للعالم متى يهجر ومتى لا يهجر أما عوام الناس ، وصغار الطلبة والضعفاء منهم ، من يخاف عليهم من الفتن فهؤلاء لا يخالطون أهل الفتن وإنما يخالطهم العالم وطالب العلم القوي الذي يؤثر فيهم ويدعوهم إلى الحق والسنة .

[Dengarkan rekaman suara beliau di sini]

Kedua, beberapa nukilan perkataan Syaikh Rabi’ hafizhahullah dari situs resmi beliau di www.rabee.net

Friday, November 29, 2013

10 Hal Yang Tidak Bermanfaat

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

عشرَة أَشْيَاء ضائعة لَا ينْتَفع بهَا علم لَا يعْمل بِهِ وَعمل لَا إخلاص فِيهِ وَلَا اقْتِدَاء وَمَال لَا ينْفق مِنْهُ فَلَا يسْتَمْتع بِهِ جَامعه فِي الدُّنْيَا وَلَا يقدمهُ أمَامه إِلَى الْآخِرَة وقلب فارغ من محبَّة الله والشوق إِلَيْهِ والأنس بِهِ وبدن معطل من طَاعَته وخدمته ومحبة لَا تتقيد برضاء المحبوب وامتثال أوامره وَوقت معطل عَن اسْتِدْرَاك فارطه أَو اغتنام بر وقربة وفكر يجول فِيمَا لَا ينفع وخدمة من لَا تقربك خدمته إِلَى الله وَلَا تعود عَلَيْك بصلاح دنياك وخوفك ورجاؤك لمن ناصيته بيد الله وَهُوَ أسبر فِي قَبضته وَلَا يملك لنَفسِهِ حذرا وَلَا نفعا وَلَا موتا وَلَا حَيَاة وَلَا نشورا


وَأعظم هَذِه الإضاعات إضاعتان هما أصل كل إِضَاعَة إِضَاعَة الْقلب وإضاعة الْوَقْت فإضاعة الْقلب من إِيثَار الدُّنْيَا على الْآخِرَة وإضاعة الْوَقْت من طول الأمل فَاجْتمع الْفساد كُله فِي إتباع الْهوى وَطول الأمل وَالصَّلَاح كُله فى اتِّبَاع الهدى والاستعداد للقاء 

"Sepuluh hal yang sia-sia lagi tidak memberikan manfaat :


1. Ilmu yang tidak diamalkan.

2. Amalan yang tidak disertai keikhlasan dan ittiba’ (contoh dari Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam -pent)


3. Harta yang tidak diinfaqkan, sehingga ia tidak menikmatinya di dunia, tidak pula menjadi simpanan untuknya di akhirat kelak


4. Hati yang kosong dari kecintaan kepada Allah, tidak merindukan-Nya, tidak pula merasa tentram bersama-Nya.


5. Badan yang menganggur, tidak melakukan ketaatan dan pengabdian kepada-Nya.

6. Kecintaan yang tidak disertai keridhaan pada Kekasihnya, tidak pula melaksanakan segala perintah-Nya.


7. Waktu yang tidak digunakan untuk mengenali Penciptanya, tidak untuk mencari karunia-Nya, tidak pula digunakan untuk mendekatkan diri kepada-Nya.


8. Pikiran yang berkisar pada sesuatu yang tidak bermanfaat.


9. Memberikan pelayanan kepada seseorang, namun hal itu tidak menjadikan dirimu dekat kepada Allah, tidak pula menghasilkan kebaikan untuk duniamu.


10. Khauf (takut) dan raja’ (harapan) yang engkau berikan pada makhluk yang ubun-ubun (jiwanya -pent) berada di tangan Allah. Tentu Allah lebih mengetahui segala sesuatu yang berada dalam genggaman-Nya. Tatkala engkau memberikan khauf dan raja’ pada makhluk yang tidak memiliki kekuasaan sedikitpun terhadap dirinya sendiri, tidak dapat mendatangkan manfaat, tidak pula memiliki kekuasaan tentang kematian, kehidupan maupun kebangkitan.

Pokok kesia-siaan yang paling buruk diantara seluruh point di atas terdapat dalam dua perkara. Sungguh hal itu menjadi pokok segala bentuk kesia-siaan yaitu menyia-nyiakan hati dan menyia-nyiakan waktu


Bentuk menyia-nyiakan hati adalah lebih mendahulukan dunia dari akhirat dan menyia-nyiakan waktu dengan memperpanjang angan-angannya. Maka terkumpullah segala bentuk kerusakan pada orang yang mengikuti hawa nafsunya lagi memiliki angan-angan yang panjang


Segala kebaikan terkumpul tatkala seorang mengikuti hidayah (petunjuk –pent) dan mempersiapkan diri menuju perjumpaan dengan-Nya." [Al-Fawa'id]


Sumber:

http://barengcahangon.blogspot.com/2013/11/penyesalan-yang-tiada-ganti.html


Saturday, November 16, 2013

Ghuluw dalam Mentahdzir dan Mencela

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:

إن للشيطان مع بني الإنسان واديان لا يبالي في أيهما هلك: واد من الغلو و واد من التقصير

“Sungguh syaithan terus menerus bersama anak manusia dengan dua lembah, ia tidak peduli dengan lembah yang mana dapat mengantarkan manusia pada kebinasaan, yaitu lembah ghuluw (berlebih-lebihan) atau lembah at-taqshiir (peremehan).”

Syaikh Mahir Al-Qahthani hafizhahullah berkata:

 فإذا رأى إنسان مقبل على منهاج السلف، كيف يضيع عنه العلم و الإقبال على المنهج الحق؟    يجعله يغلوا في الرجال

 من جهتين يكون الغلو:
الجهة الأولى :أنه كل وقته  يشغله بالكلام فى الرجال، فلا يكاد يجلس مع أصحابه ليتفقه معهم، غلو لاشك، لأن الصحابة ما فعلوا و لا ابن عمر في دور البدع  وقت القدرية ما كان بن عمر كذا: كان يجلس و يعلم أصحابه أحكام الطهارة و أحكام الصلاة إلى آخره كإبن عباس و غيرهم مع ظهور أهل البدع كالخوارج، كل شيء له وقت، وقت للتحذير من أهل البدع و وقت للتعلم للتفقه

و الغلو يجري من جهة أخرى و هو أن يطعن من ليس بأهل للطعن، لأن الله ما أمره بذلك، فهو تزيد في باب التقرب إلى الله.التقرب إلى الله يكون في حق العالم الذي يتكلم في الرجال بعلم، فإذا كان دونه و تقرب إلى الله بالطعن في الرجال و هو ليس عنده أهلية فيحصل عليه بدعة عند الله، لأنه أراد أن ينصر الله لكن ليست على طريقة السلف و رسول الله.


“Tatkala syaithan melihat seorang manusia yang berjalan di atas manhaj salaf, syaithan berusaha untuk memalingkannya dari ilmu dan manhaj yang benar. Syaithan membuatnya bersikap ghuluw terhadap rijaal.

Ghuluw dapat terjadi dari dua sisi:

Sisi pertama, seorang yang seluruh waktunya disibukkan dengan pembicaraan terhadap rijaal. Hampir-hampir ia tidak pernah duduk dengan para sahabatnya untuk menuntut ilmu. Ini adalah perbuatan ghuluw tanpa diragukan lagi, karena para sahabat tidak lah demikian dalam bersikap, tidak pula Ibnu Umar bersikap demikian tatkala muncul bid’ah Qadariyyah. Dahulu Ibnu Umar duduk dan mengajarkan murid-muridnya hukum-hukum thaharah dan shalat hingga akhir bab. Begitu pula sikap Ibnu Abbas dan para sahabat yang lain tatkala muncul ahlul-bid’ah dari kalangan Khawarij. Segala sesuatu ada waktunya, ada waktu untuk mentahdzir ahlul bid’ah, ada waktu pula untuk mempelajari dan mendalami ilmu.

Sisi yang lain dari perbuatan ghuluw adalah seorang yang mencela orang-orang yang tidak pantas dicela, karena Allah tidaklah memerintahkannya untuk berbuat demikian. Ia menganggap celaan yang dilakukannya termasuk dalam bab “at-taqarrub ila Allah” (mendekatkan dirinya pada Allah –pen). Taqarrub ila Allah dalam permasalahan ini hanyalah hak ulama yang membicarakan rijaal dengan ilmu. Adapun orang-orang yang kedudukannya di bawah ulama dan tidak memiliki keahlian dalam hal ini, lalu ia mencela rijaal sebagai bentuk “at-taqarrub ila Allah”, maka ia terjatuh dalam bid’ah di sisi Allah. Karena ia ingin menolong (agama –pen) Allah, namun tidak menempuh metode salaf dan Rasulullah”

Friday, November 1, 2013

Waspada Terhadap Para Pencari Fitnah dan Website Berbahaya (Syaikh Shalih As-Suhaimi)

Fadhilatus Syaikh Shalih As-Suhaimi hafizhahullah berkata:

“Katakanlah pada mereka, orang-orang yang menyatakan aku memaksudkan fulan dan fulan. Katakanlah pada mereka “hendaklah mereka bertakwa pada Allah”. Wajib bagi mereka untuk bertakwa pada Allah. 

Janganlah membuat kedustaan terhadap saudara-saudaranya tentang apa yang tidak dikatakannya. Jauhilah penafsiran-penafsiran semacam ini atau apa yang mereka katakan bahwa aku memaksudkan salah satu dari saudara-saudaraku. Barangsiapa yang menyangka demikian, maka aku bersaksi atas nama Allah bahwa ia pendusta. Aku meyakini bahwa ia adalah seorang pendusta yang jahat, siapapun dia.

Namun di sana ada orang-orang yang sengaja memancing di air yang keruh sebagaimana yang dinyatakan oleh syaikh kami Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah ketika mereka menafsirkan perkataan beliau dengan penafsiran yang tidak diinginkan oleh beliau. Syaikh Ibnu Baz berkata: “orang-orang yang memancing di air yang keruh, merekalah orang-orang yang menyatakan bahwa aku memaksudkan fulan dan fulan atau aku memaksudkan para ulama 
Madinah atau yang semisalnya.”[1]

Sunday, October 27, 2013

Adab Penuntut Ilmu Terhadap Ulama (Wasiat Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaili)

Fadhilatus Syaikh Sulaiman Ar-Ruhaili hafizhahullah berkata:

“Diantara sebab-sebab penyimpangan adalah sikap merendahkan para ulama. Hal ini sungguh sangat menyedihkan. Ikhwah sekalian, ini pada hakikatnya merupakan bentuk penyimpangan, sekaligus menjadi sebab penyimpangan. 

Diantara bentuk penyimpangan dan sebab yang menjerumuskan dalam penyimpangan adalah sikap sebagian pemuda yang merendahkan ulama sunnah dan ulama rabbaniyyin yang berpegang pada al-kitab dan as-sunnah

Para pemuda itu merendahkan ulama rabbaniyyin yang telah menghabiskan usia mereka untuk menuntut ilmu syar’i dari ushul (pokok) syari’ah. Perendahan mereka terhadap ulama yang menghabiskan usia mereka dalam ketaatan pada Allah subhanahu wata’ala. Ulama yang telah dipersaksikan oleh orang-orang yang diridhai (ulama kibar –pen) dengan ketaatan dan istiqamah. Ulama yang telah diberikan anugrah berupa ilmu dan keahlian dalam berfatwa.

Monday, October 21, 2013

Penghina Islam itu Kini Menjadi Muallaf dan Menunaikan Ibadah Haji

TRIBUNNEWS.COM -- SIAPA sangka seorang penghina Islam menunaikan ibadah haji? Begitulah faktanya yang dialami Arnoud Van Doorn.

Awal 2008 lalu, Van Doorn pernah membuat gempar dunia. Kala itu ia bersama Geert Wilders, membuat film berjudul “Fitna” yang menghina umat Islam dan Al-Qur’an.

Namun, sekitar lima tahun kemudian situasi berbalik 180 derajat. Tepatnya 27 Februari 2013, Van Doorn sekali lagi mengejutkan dunia. Melalui Twitter, mantan politisi Partai Kebebasan Belanda itu mengumumkan dirinya masuk Islam dan kemudian naik haji.

Dan, musim haji tahun ini, ia berangkat ke Tanah Suci untuk menunaikan rukun Islam kelima. "Saya menemukan diri saya di antara hati-hati yang yakin. Saya berharap air mata penyesalan saya mengeluarkan semua dosa-dosa setelah pertaubatan saya," kata Van Doorn, seperti dilansir Tribunnews dari Saudi Gazette, Sabtu (19/10/2013).

Saturday, October 19, 2013

Khazanah Islam Seputar Al-Qur'an, Sejarah dan Sirah Para Sahabat ( Tahukah Anda? )

TAHUKAH ANDA?

• Untuk mempelajari semua hukum yang disebutkan di dalam surat Al Baqarah, shahabat Umar bin Al-Khaththab memerlukan waktu selama 12 tahun. Sementara Abdullah bin Umar bin Khaththab membutuhkan waktu selama 8 tahun. (Muqaddimah Tafsir Al Qurthubi)

• Sebagian ulama menyatakan bahwa di dalam surat Al Baqarah terdapat 1000 perintah, 1000 larangan, 1000 hukum, dan 1000 berita. (Tafsir Al Qurthubi)

• Di dalam Al Qur’an, surat Al Fatihah disebut sebagai Ummul Qur’an (induk Al Qur’an). Di dalam Sunnah Rasulullah, hadits Umar (innamal a’mal bin niyyat) disebut sebagai Ummus Sunnah (induk As Sunnah). (Al Mufhim karya Al Qurthubi)

• Ada 12 (dua belas) nama untuk surat Al Fatihah. (Tafsir Al Qurthubi)

• Satu-satunya surat di dalam Al Qur’an yang tidak disebutkan huruf Ra’ di dalamnya adalah surat Al Ikhlas. (Al Qawarir karya Ibnul Jauzi)

Friday, October 18, 2013

Nasihat Syaikh Shalih Al-Luhaidan Kepada Penuntut Ilmu yang Mengkritik Syaikh Rabi'

Penanya :

أقرأ و أسمع في بعض المجالس حملة تطعن في فضيلة الشيخ/ الدكتور ربيع بن هادي المدخلي والتحذير منه والأخذ عنه ، وأنه ليس من أهل السنة والجماعة .
مما جعلني في حيرة من أمري في ذلك ، فما حكم ذلك ؟ نرجو التوضيح وجزاكم الله خيرا.

“Aku membaca dan mendengar di sebagian majelis bahwa ada sebagian orang yang mencela Fadhilatus Syaikh Dr. Rabii’ bin Hadi Al-Madkhali, lalu mentahzir dan melarang mengambil ilmu dari beliau. Ia menyatakan bahwa beliau bukan termasuk Ahlus-Sunnah wal Jama’ah. Inilah yang menjadikanku ragu untuk mengambil ilmu dari beliau. Bagaimanakah hukum (mengambil ilmu dari Syaikh Rabii’-pen)? Kami membutuhkan penjelasan, semoga Allah memberikan balasan kebaikan pada Anda.”

Syaikh Shalih Al-Luhaidan hafizhahullah menjawab,

Thursday, October 10, 2013

Manhaj Syaikh Rabii' Menurut Tiga Ulama Kibar

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

“Agama Islam dapat sempurna dengan dua perkara:

Pertama: mengenal keutamaan para imam, hak-hak mereka, kedudukan mereka dan meninggalkan sesuatu yang mengantarkan celaan terhadap mereka.

Kedua:  nasehat  bagi  Allah  ‘azza wajalla,  kitab-Nya,  rasul-Nya,  para  Imam kaum  muslimin  dan  keumuman  kaum  muslimin.  Dan  menjelaskan  apa  yang diturunkan Allah ‘azza wajalla berupa penjelasan dan hidayah. Dan tidak ada pertentangan  –insya  Allah-  antara  dua  poin  tersebut  bagi  orang  yang dilapangkan dadanya oleh Allah ‘azza wajalla. Hanya saja yang merasa sempit dadanya salah satu dari dua orang: seorang yang  jahil  tentang kedudukan dan udzur yang diberikan kepada mereka dan seorang yang jahil tentang syari’at dan prinsip-prinsip dalam hukum (Islam)” [Al-Fatawa Al-Kubraa, 3/177-178]

Penilaian Syaikh Al-Albani, Syaikh Ibnu Baz dan Syaikh Ibnu Utsaimin terhadap Syaikh Rabii’ secara umum

Monday, September 23, 2013

Ensiklopedia Madinah Al-Munawwarah

Al-Madinah Al-Munawwarah (kota yang disinari) merupakan kota Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wassalam. Kota ini merupakan kota pertama yang mendukung dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam. Beliau shallallahu ‘alaihi wassalam sangat mencintai kota ini.
Kota yang dulu lebih dikenal ulama dengan sebutan “Al-Madinah An-Nabawiyah” namun sekarang lebih masyhur dengan sebutan “Al-Madinah Al-Munawwarah” ini terletak di barat laut Kerajaan Arab Saudi, berjarak 250 km dari timur Laut Merah dan berada pada ketinggian 620 m dari permukaan laut. Di sisi baratnya ada beberapa gunung berapi. Kota ini merupakan oase yang dikelilingi gunung dan bebatuan dari segala sisi. Luas kotanya 50 km persegi.
Kota Madinah beriklim panas. Allah berkehendak iklimnya dipengaruhi oleh Laut Mediterania di utara, dan cuaca musiman di selatan. Temperatur berkisar antara 36-45 derajat Celcius selama musim panas, dan 15-20 derajat Celcius selama musim dingin. Ada hujan kecil yang biasanya turun pada bulan Januari dan November.

Beberapa Permasalahan Wanita Seputar Haji dan Umrah

• Seorang Wanita Memiliki 1000 Dirham, Apakah Dia Menunaikan Ibadah Haji dengannya atau Digunakan untuk Menikahkan Putrinya?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya: Seorang perempuan memiliki uang 1000 dirham dan dia berniat akan menghadiahkan pakaiannya kepada anak putrinya, maka apakah yang lebih utama tetap memberikan perlengkapan rumah untuk anak putrinya atau dia menunaikan haji dengannya?
Maka beliau menjawab: Segala puji bagi Allah, benar, dia menunaikan haji dengan harta itu yaitu 1000 dirham dan yang semisalnya, dan menikahkan anak putrinya dengan harta yang tersisa darinya jika dia ingin, karena sesungguhnya haji merupakan kewajiban yang ditetapkan atasnya, jika dia sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Sedangkan orang yang memiliki harta sebanyak itu, berarti dia mampu mengadakan perjalanan haji tersebut.
• Jika Wanita Haji dan Tidak Umrah, Apakah Mungkin Dia Melakukan Haji untuk Anak Putrinya?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya: Seorang wanita melakukan haji dan tidak umrah, dan dalam tahun yang kedua dia berniat melakukan haji untuk anak putrinya. Sedangkan pada tahun pertama dia telah berihram untuk haji dan umrah, maka apakah dia harus melakukan umrah yang lain?
Maka beliau menjawab: Tidak ada umrah atasnya terhadap apa yang telah lalu. Adapun jika berumrah pada tahun ini untuk dirinya, itu bukan umrah untuk putrinya maka demikian itu adalah boleh.
• Apakah Wanita Melakukan Haji untuk yang Lainnya?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ditanya: Seorang perempuan menunaikan haji untuk yang lainnya, apakah boleh?
Maka beliau menjawab: Seorang wanita boleh melakukan haji untuk wanita lain berdasarkan kesepakatan ulama, baik untuk anak putrinya atau selain anak putrinya. Demikian pula seorang wanita boleh melakukan haji untuk laki-laki menurut imam empat, dan mayoritas ulama, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan wanita khats’amiyah agar melakukan haji untuk bapaknya, tatkala dia berkata: Wahai Rasulullah sesungguhnya kewajiban haji atas hamba-hamba-Nya telah sampai ke bapak saya dan beliau dalam keadaan sangat tua, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepadanya agar menunaikan haji untuk bapaknya, padahal ihram lakh-laki lebih sempurna daripada ihram…. Wallahu a’lam.
• Wanita Tidak Melakukan Tahallul dari Umrahnya dan Dia Takut terhadap Suaminya karena Kerasnya
Syaikh bin Jibrin ditanya: Saya keluar untuk menunaikan umrah, bersama suami dan saya tidak tahallul dalam umrahku karena setan membuat saya lupa terhadap urusan itu, dan saya takut mengutarakan kepada suamiku karena dia sangat keras, kemudian saya jalani kehidupan suami istri sebagaimana dalam kebiasaan. Kemudian pada waktu lain saya diajak untuk melakukan umrah, maka saya umrah dan bertahallul darinya, padahal saya tidak melakukannya dari umrah yang pertama, maka hukum apa yang diwajibkan dalam keadaan seperti ini? Dan apa yang harus saya lakukan?
Maka beliau menjawab: Ketika engkau tidak tahallul dari umrah yang pertama setelah amalah umrah itu sempurna, maka engkau wajib mengeluarkan (membayar) fidyah, karena engkau tidak memotong atau mencukur rambut, dan fidyah itu adalah nasak (berkorban) yaitu dengan membayar dam. Umrah menjadi sempurna disebabkan ihram, thawaf, sa’i yang sempurna dan sisa amalan umrah yang lain adalah mencukur atau memotong rambut yang menjadi sebab tahallul. Maka ketika orang yang umrah tidak tahallul, maka dia harus membayar dam dengan menyembelih seekor kambing di Makkah unttk orang-orang miskin di tanah haram, dan tidak ada beban yang diwajibkan ketika engkau kembali menjalani kehidupan suami istri setelah berniat melakukan tahallul, yaitu memakai wewangian, bersetubuh, memotong kuku dan sejenis itu. Maka umrah yang kedua yang kamu lakukan dengan ihram yang baru adalah sah dan sempurna disebabkan engkau telah bertahallul dengan sempurna.
• Hukum Wanita Memakai Parfum sebelum Ihram
Syaikh Abdullah bin Humaid ditanya: Apakah wanita boleh memakai parfum ketika ihram dan apakah ada denda atas demikian itu? Berilah penjelasan kepada kami semoga Allah membalas kebaikan anda?
Maka beliau menjawab: Tidak, seorang wanita tidak boleh mengenakan parfum. Sesungguhnya parfum wanita adalah jelas warnanya dan kurang baunya, sedangkan parfum laki-laki jelas (kuat) baunya dan samar warnanya. Maka seorang wanita tidak pantas mengenakan parfum yang kuat baunya, karena kalau dia memakai parfum tersebut dan berjalan bersama yang lain atau pergi untuk ihram maka keluarlah bau yang harum dari dirinya. Dan dia dilarang memakai parfum ini di luar waktu ihram terlebih lagi jika dikeluarkan ke jalan-jalan atau bercampur baur dengan laki-laki, maka memakainya pada waktu ihram lebih keras larangannya. Padahal parfum wanita berwarna terang dan kurang baunya. Namun yang lebih utama seorang wanita tidak memakai parfum ketika ihram, terlebih lagi ketika dia berbaur dengan laki-laki melakukan thawaf dan sa’i sementara di kanan dan kirinya ada laki-laki yang mencium bau ini. Maka yang lebih utama dia meninggalkannya. Wallahu a’lam.
• Wanita Boleh Menyembelih Kurban Sendiri ketika Ada Hajat
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya: Jika datang waktu menyembelih dan di rumah tidak didapati seorang laki-laki, apakah seorang wanita itu boleh menyembelih kurban sendiri?
Maka beliau menjawab: Benar, seorang wanita boleh menyembelih kurban atau lainnya ketika ada hajat, ketika syarat-syarat menyembelih yang lain telah sempurna. Bagi yang menyembelih, ketika menyembelih kurban disunnahkan menyebut nama orang yang diniatkannya berkubar atas namanya baik dia masih hidup maupun sudah mati. Jika tidak melakukan demikian maka cukup dengan niat. Sedangkan jika dia tidak menyebut nama selain yang pemilik kurban tidak sengaja, maka itu tidak membahayakan. Maka Allah yang lebih tahu tentang niat, dan Allah yang memberi taufik.
• Seorang Wanita Berdesak-desakan dengan Laki-laki di Tengah-tengah Thawaf adalah Haram
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan ditanya: Apakah wanita boleh berdesak-desakan dengan laki-laki pada waktu melakukan thawaf di sekitar Ka’bah?
Maka beliau menjawab: Wanita dilarang berdesak-desakan dengan laki-laki secara mutlak di manapun, terlebih lagi dalam thawaf karena demikian itu mendatangkan fitnah, sedangkan berdesak-desakan dengan laki-laki dalam thawaf lebih besar larangannya, maka dia harus menjauhi kondisi manusia yang berdesak-desakan dalam thawaf, yaitu menanti saat yang tepat yang jauh dari kondisi manusia yang berdesak-desakan, atau dia berada di samping tempat thawaf walaupun posisinya jauh dari Ka’bah. Karena yang demikian itu lebih menjaga dirinya dan menjauhkan dirinya dari bahasa fitnah.
• Seorang Wanita Pergi ke Jeddah Sebelum Thawaf dan Dia Telah Disetubuhi oleh Suaminya
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Ali Syaikh ditanya: Seorang wanita melakukan ihram bersama suaminya dari Jeddah, dan dia telah menunaikan manasik-manasik, hanya saja ketika dia sampai di Makkah darah haidnya keluar, lalu dia pergi ke Jeddah sebelum thawaf ifadhah dan wada’, dan setelah suci suaminya menyetubuhinya sebelum dia melakukan thawaf ifadhah dan wada’?
Maka beliau menjawab: Segala puji bagi Allah, wanita tersebut tidak diperbolehkan kembali ke Jeddah sebelum menyempurnakan manasik-manasik haji, sebaliknya dia bermukim di Makkah sampai suci, kemudian menyempurnakan manasik-manasik, karena hadits: “Apakah dia (Shofiyah) menahan di sini?” Tetapi tidak ada denda yang dibebankan atasnya ketika dia kembali ke daerah sebelum ini, dan ketika itu suaminya tidak boleh menyetubuhinya karena dia belum melakukan thawaf ifadhah. Kemudian dia memilih antara menyembelih kambing atau puasa 3 hari atau memberi makan kepada enam orang miskin, dan dia wajib kembali ke Makkah dengan umrah. Maka dia melakukan ihram dari Jeddah kemudian masuk Makkah, lalu melakukan thawaf dan sa’i serta memotong rambutnya. Setelah itu dia melakukan thawaf ifadhah dan wada’. Jika dia segera (langsung) keluar dari Makkah setelah menyelesaikan thawaf ifadhah maka hal itu telah mencukupkannya, walaupun tidak melakukan thawaf wada’.
Sumber: Wanita Bertanya Ulama Menjawab (Bagian Pertama), disusun oleh: Abu Malik Muhammad bin Hamid bin Abdul Wahab (penerjemah: Abu Najiyah Muhaimin), Penerbit An Najiyah, hal. 222, 225, 230-231, dan 253-255 via fadhlihsan.wordpress.com