Tuesday, December 25, 2012

Bait Sya'ir yang Membuat Imam Ahmad Menangis

Dikisahkan, ada seseorang yang mendatangi Al-Imam Ahmad dan bertanya kepada beliau, “Wahai Imam, bagaimana menurut anda mengenai sya’ir ini?
Beliau menjawab, “Sya’ir apakah ini?” di mana orang tersebut membaca sya’ir berikut
إذا ما قال لي ربي اما استحييت تعصيني
Jika Rabb-ku berkata kepadaku, “Apakah engkau tidak malu bermaksiat kepada-Ku?”
وتخفي الذنب عن خلقي وبالعصيان تأتيني
Engkau menutupi dosamu dari makhluk-Ku tapi dengan kemaksiatan engkau mendatangi-Ku
فكيف أجيبُ يا ويحي ومن ذا سوف يحميني؟
Maka bagaimana aku akan menjawabnya? Aduhai, celakalah aku dan siapa yang mampu melindungiku?
أسُلي النفس بالآمالِ من حينٍ الى حيني
Aku terus menghibur jiwaku dengan angan-angan dari waktu ke waktu
وأنسى ما وراءُ الموت ماذا بعد تكفيني

Dan aku lalai terhadap apa yang akan datang setelah kematian dan apa yang akan datang setelah aku dikafani
كأني قد ضّمنتُ العيش ليس الموت يأتيني
Seolah-olah aku akan hidup selamanya dan kematian tidak akan menghampiriku
وجائت سكرة الموتُ الشديدة من سيحميني
Dan ketika sakaratul maut yang sangat berat datang menghampiriku, siapakah yang mampu melindungiku?
نظرتُ الى الوُجوهِ أليـس منُهم من سيفدينـــي
Aku melihat wajah-wajah manusia, tidakkah ada di antara mereka yang akan menebusku?
سأسأل ما الذي قدمت في دنياي ينجيني
Aku akan ditanya tentang apa yang telah aku persiapkan untuk dapat menyelamatkanku (di hari pembalasan)
فكيف إجابتي من بعد ما فرطت في ديني
Maka bagaimanakah aku dapat menjawabnya setelah aku melupakan agamaku
ويا ويحي ألــــم أسمع كلام الله يدعوني
Aduhai sungguh celakalah aku, tidakkah aku mendengar firman Allah yang menyeruku?
ألــــم أسمع لما قد جاء في قاف ويسِ
Tidakkah aku mendengar apa yang datang kepadaku (dalam surat) Qaaf dan Yasin itu?
ألـــم أسمع بيوم الحشر يوم الجمع و الديني
Tidakkah aku mendengar tentang hari kebangkitan, hari dikumpulkannya (manusia), dan hari pembalasan?
ألـــم أسمع مُنادي الموت يدعوني يناديني
Tidakkah aku mendengar panggilan kematian yang selalu menyeruku, memanggilku?
فيا ربــــاه عبدُ تــائبُ من ذا سيؤويني
Maka wahai Rabb-ku, akulah hambamu yang ingin bertaubat, siapakah yang dapat melindungiku?
سوى رب غفور واسعُ للحقِ يهديني
Melainkan Rabb yang Maha Pengampun lagi Maha Luas Karunianya, Dialah yang memberikan hidayah kepadaku
أتيتُ إليكَ فارحمني وثقــّـل في موازيني
Aku datang kepada-Mu, maka rahmatilah diriku dan beratkanlah timbangan (kebaikanku)
وخفَفَ في جزائي أنتَ أرجـى من يجازيني
Ringankanlah hukumanku, sesungguhnya hanya Engkaulah yang kuharapkan pahalanya untukku
Al-Imam Ahmad terus melihat bait-bait sya’ir tersebut dan mengulang-ulangnya kemudian beliau menangis tersedu-sedu. Salah seorang muridnya mengatakan bahwa beliau hampir pingsan karena begitu banyaknya menangis.
Sumber: Kitab Manaqib Al-Imam Ahmad hal. 205 oleh Al-Imam Ibnul Jauzy.
Dinukil oleh Abul-Harits dari rizkytulus.wordpress.com

Ternyata Ia Seorang Pendeta (Diskusi Ustadz Abu Ibrahim dengan Pendeta)

Tak seperti biasanya, pada malam hari itu saya naik kendaraan umum untuk pulang ke rumah, sekitar jam sembilan malam. Saya menunggu di pinggir jalan daerah Jakarta Utara. 


Ternyata tak berlangsung lama tiba-tiba terlihat dari kejauhan ada angkutan umum yang datang, saya pun naik ke mobil tersebut dan memilih duduk di samping pak supir. Tiba-tiba pak supir bertanya kepadaku, “Mau ke masjid Al Fudhala..?”

Jawabku ringan, “Tidak pak.”

Pak supir pun kembali bertanya, “Mau ke maqam Mbah Priuk..?”

Jawabku, “Tidak pak.”

Terbesit di hati ini, wajar kalau dia bertanya seperti itu dengan penampilanku memakai busana muslim dan memang jalur angkutan yang saya naiki melewati maqam Mbah Priuk. Mobil pun terus melaju hingga sampai di RSUD Koja yang tepat bersebrangan dengan jalan arah masuk ke maqam Mbah Priuk, pak supir itu tiba-tiba kembali bertanya, “Maaf mas, saya mau tanya menurut mas bagaimana orang-orang yang datang ke Mbah Priuk?”

Mendengar pertanyaan seperti itu saya pun semangat untuk menjawabnya, “Saya tidak suka dengan apa yang mereka lakukan pak, karena hal itu dilarang agama.”

Belum selesai saya berbicara tiba-tiba ia berkata, “Iya mas, itukan sama saja nyembah syetan [1], bukan pergi ke masjid beribadah dan berdoa di sana malah pergi ke kuburan.”

Jawabku, “Ya tidak secara mutlak pak, kalau mereka yang datang ke kuburan mbah priuk lalu berdoa meminta kepadanya atau melakukan ibadah kepada kuburan tersebut berarti mereka telah menyembah selain Allah. Kalau seseorang datang lalu di sana dia beribadah kepada Allah, sengaja dia datang ke kuburan untuk beribadah kepada Allah di sisi kuburan maka yang seperti ini perbuatan haram pak. Dilarang dalam agama islam sarana menuju kesyirikkan.”

Lalu ia (pendeta) berkata lagi, “Saya muak dengan orang seperti itu. -bapak supir ini pemahamannya bagus terbetik di hati

Apakah Seluruh Anggota Tubuh Anjing Najis?

Apakah bulu dan seluruh anggota tubuh anjing najis sebagaimana air liurnya? Para ulama memiliki tiga pendapat dalam permasalahan ini.

[Pendapat Pertama] Air liur anjing najis, sedangkan bulunya suci.

Ini merupakan madzhab Abu Hanifah, Ahmad dalam satu riwayat dan dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahumullah. Mereka berdalil dengan hadits-hadits berikut:
                                                                                
1. Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’[1],

طهور إناء أحدكم إذا ولغ فيه الكلب أن يغسله سبع مرات ، أولاهن بالتراب

“Cara mensucikan bejana salah seorang kalian ketika dijilat oleh anjing adalah dengan dicuci tujuh kali, salah satunya dengan tanah.”[Diriwayatkan oleh Muslim no. 91 dan 279]

Ungkapan [طهور] dalam syariat bermakna mengangkat hadats atau najis.

2. Lafadz hadits [أن يغسله سبع مرات]

Ketika syariat memerintahkan untuk mencuci bekas jilatannya, menunjukkan bahwa jilatannya adalah najis. Dikuatkan lagi dengan perintah mengulang-ulang cuciannya sebanyak tujuh kali, Allahua’lam mungkin hikmah dari perintah tersebut agar najisnya benar-benar telah hilang.

Sunday, December 23, 2012

Nasehat Para Ulama Terhadap Syaikh Ali Hasan Al-Halabi

Perkataan ulama yang akan saya bawakan –insya Allah- merupakan nasehat beberapa ulama kibar dalam muqaddimah kitab Raf’ul La’imah ‘an Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Salim Ad-Dausari pada tahun 1424 H. 


Kitab ini berisi bantahan terhadap kekeliruan Syaikh Ali Hasan Al-Halabi tentang permasalahan iman dan irja’ dalam beberapa kitab beliau.


Hal terkuat yang mendorong saya menerjemahkan fatwa ini adalah nasehat Syaikh Shalih Al-Luhaidan hafidzahullah ketika beliau menyampaikan muhadharah di Masjid Al-Haram, Makkah seusai shalat Maghrib pada tanggal 8 Shafar 1434 H bertepatan dengan 21 Desember 2012. Syaikh Shalih hafidzahullah mengingkari dengan keras sebagian orang yang menyebarkan fitnah Murji’ah sepuluh tahun terakhir ini lalu menisbahkan pemikiran sesat tersebut kepada salaf.

Demikian pula murid-muridnya menulis kitab-kitab yang membela aqidah sesat ini. Mereka menyebarkan kitab-kitab bid’ah tersebut dalam website-website internet hingga banyak kaum muslimin yang tertipu dan rancu pemahamannya dalam permasalah iman. Allahul musta’an..

Monday, December 17, 2012

Bolehkah Menolak Pemberian Hadiah atau Mengambil Kembali Hadiah yang telah Kita Berikan?


Segala puji hanya bagi Allah. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Rasulullah. Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah kecuali hanya Allah semata, dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Amma ba’du.
Termasuk perkara yang tidak diragukan lagi, bahwa hadiah dalam kehidupan antar individu dan komunitas manusia memiliki pengaruh yang signifikan untuk terwujudnya ikatan dan hubungan sosial, momen-momennya senantiasa terulang setiap hari di acara-acara keagamaan, kemasyarakatan, dan selainnya. Dengan hadiah, terwujudlah kesempurnaan untuk meraih kecintaan, kasih sayang, sirnanya kedengkian, dan terwujudnya kesatuan hati.
Hadiah merupakan bukti rasa cinta dan bersihnya hati, padanya ada kesan penghormatan dan pemuliaan. Dan oleh karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menerima hadiah dan menganjurkan untuk saling memberi hadiah serta menganjurkan untuk menerimanya.

Sunday, December 16, 2012

Suamiku Selingkuh, Apa yang Harus Aku Lakukan?


Tanya :
"Dear Ustad, Mohon masukannya tentang syarat sahnya poligami, saya tau klu saya tidak boleh menentang hukum Allah yg sudah ditetapkan, seperti Poligami.
Ceritanya begini ust/ustdzah,
suami saya telah berzina dengan seorang gadis, dl sebelum saya tau, tiba2 suami saya minta pisah dengan saya karena kelakuan saya yg tidak bisa menghormati dia sebagai seorang suami, secara tidk sengaja, saya mengetahui bahwa dia sudah berselingkuh, setelah ketahuan dia telah berselingku, dia meminta maaf pd saya dan berjanji untuk tdk mengulanginya dan melanjutkan pernikahan kembali, saya iklhas memaafkannya karena saya tahu salah 1 penyebab dia berselingkuh adalah kelakuan saya dimasa lalu, akan tetapi dia mengulanginya selama 4 kali (membina hub dng wanita itu dan kmudian meminta maaf pd saya kmbali), setelah meminta maaf yg ke3, dia mengulangi perbuatan yg sama dng wanita itu, akhirnya suami saya meminta ijin untuk poligami, karena dia sudah meniduri wanita itu, saya bilang kl saya tidak bisa, saya meminta pisah dr dia, akan tetapi dia tdk mau, dan ingin beristri 2, saya jg bilang kl dia tetep mau nikahin pacarnya, saya tdk akan pernah mengizinkannya, walaupun saya tau ijin dr istri pertama itu tidak diperlukan bagi suami yg ingin berpoligami.
 Suami saya jg bilang, bahwa dia tetap akan nikahin wanita itu tanpa restu dr saya, dia jg janji ngk akan nidurin cwek itu lg sebelum mereka resmi menikah, tp mereka ber2 istilahnya ya msh tetep pacaran, bbm-an, ketemuan, gandengan, ciuman, tp ngk tidur bareng lg, smpe mereka ber2 resmi menikah, wktu terakhir suami minta maaf kesaya, saya hanya bilang ke dia, kl untuk kali ini, saya tdk bisa maafin kelakuan mereka ber2, mungkin smpe mati jg ngk akan bisa, anak saya jg kl nanti sudah besar dan tau masalah ortunya, mungkin jg ngk akan maafin kesalahan bapaknya dan selingkuhan yg akan dinikahinnya, suami saya sudah berjanji kl dia tdk akan meniduri wanita itu sebelum mereka resmi menikah,tp mereka msh pacaran, dan jalan kemana2 ber2,walaupun mereka tdk tidur bersama lg, sblum resmi menikah.
ustad, saya baca diinternet, kl orang sudh minta maaf, kemudain kita ngk ngasih maaf, kita bakalan diharamkan masuk surga benarkah begitu?
tp untuk skrng ini saya bener2 ngk bisa maafin mereka, yg bikin saya tmbah jengkel, suami bertanya, hal apa yg bikin saya ngk bisa maafin mereka, huaaaa, emg dia ngk mikir apa, perasaan saya gimana?
kenapa dia selalu menempatkan cwek itu sebagai korbannya? suami selalu bilang “coba kl km jd dia, udh ditidurin sm orang lain tp blm dinikahin” lah kenapa dia tdk pernah memposisikan saya, istri syahnya sebagai korbannya?
kenapa dia ngk tau perasaan saya yg sudh diginiin selama setahun belakangan ini? apa emg dia minta maafnya itu bener2, apa cman takut adzab dr Allah akibat perbuatannya udh ngedzolimin saya dan anak saya?
kenapa jg dia msh selalu bilang kl saya adl penyebab dia selingkuh? kenapa dia bilang kl perasaannya skrng udh ngk sama lg ke saya, gara2 dl saya tdk bisa menghormati dia sebagai suami?
apa kesalahan saya sebesar itu smpe dia msh aja tdk puas buat berlaku seperti ini terus ke saya? kenapa dia menjadikan poligami sebagai tanggung jawab ke wanita itu atas apa yg sdh dia lakuin kmren? tau apa dia tentang agama/ poligami sm tanggung jawab, apakah dia lupa, sudh berapa lama dia nelantarin istri sm anakku, dimana rasa tanggung jawabnya dia wktu itu?
kenapa dia egois dan ngk mau ngakuin semua itu murni kesalahannya dia? dosakah saya ustad melarang poligami yg akan dilakukan suami saya? benarkah kelakuan suami saya yg akan menikahi wanita itu sebgai bentuk tanggung jawabnya selama ini. Salahkah saya jika saya mendoakan Allah buat ngazab mereka ber2 sesuai sm apa yg udh mreka lakuin ke saya dan anak saya?
dosa kah saya jika saya berdoa sm Allah kl saya ngk ridho dan iklas atas perlakuan mereka ber2. Apakah tobat suami saya syah, mengingat dia menyatakan akan bertobat kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala?"
Jawaban:

Saturday, December 15, 2012

Hukum Mengkarantina Penderita Aids

Tanya :

انتشر في هذا الزمان مرض الإيدز الخطير وصار له انعكاسات اجتماعية كثيرة تنشأ عنها أسئلة متعددة ، فمثلا هل يجب عزل المريض بالإيدز عن الناس غير المصابين ، وما حكم من تعمّد نقل المرض إلى الآخرين ، وهل يعتبر المريض بالإيدز في مرض الموت لأنّ هذا يؤثّر في طلاقه وتصرفاته المالية ؟

"Sekarang ini penyakit virus AIDS menyebar dimana-mana yang menimbulkan banyak reaksi sosial dan berbagai pertanyaan seputar masalah ini. Misalnya, haruskah mengkarantinakan penderita virus AIDS dan apa hukumnya orang yang sengaja menyebarkan (menularkan) virus berbahaya ini kepada orang lain? Apakah penderita virus AIDS dianggap sebagai penderita penyakit mematikan? Sebab hal ini sangat berkaitan erat dengan hukum talak dan penggunaan hartanya.?"

Jawab :

Lembaga Majma' Al-Fiqh Al-Islami  menjawab,

 الحمد لله
أولاً : عزل المريض :
حيث أن المعلومات الطبية المتوافرة حالياً تؤكد أن العدوى بفيروس العوز المناعي البشري مرض نقص المناعة المكتسب ( الإيدز ) لا تحدث عن طريق المعايشة أو الملامسة أو التنفس أو الحشرات أو الاشتراك في الأكل أو الشرب أو حمامات السباحة أو المقاعد أو أدوات الطعام ونحو ذلك من أوجه المعايشة في الحياة اليومية العادية ، وإنما تكون العدوى بصورة رئيسية بإحدى الطرق التالية :
1- الاتصال الجنسي بأي شكل كان .
2- نقل الدم الملوث أو مشتقاته .
3- استعمال الإبر الملوثة ، ولا سيما بين متعاطي المخدرات ، وكذلك أمواس الحلاقة .
4- الانتقال من الأم المصابة إلى طفلها في أثناء الحمل والولادة .
وبناء على ما تقدم فإن عزل المصابين إذا لم تُخْشَ منه العدوى ، عن زملائهم الأصحاء ، غير واجب شرعاً ، ويتم التصرف مع المرضى وفق الإجراءات الطبية المعتمدة .
ثانياً : تعمد نقل العدوى :
تعمد نقل العدوى بمرض نقص المناعة المكتسب ( الإيدز ) إلى السليم منه بأي صورة من صور التعمد عمل محرم ، ويعد من كبائر الذنوب والآثام ، كما أنه يستوجب العقوبة الدنيوية وتتفاوت هذه العقوبة بقدر جسامة الفعل وأثره على الأفراد وتأثيره على المجتمع .
فإن كان قصد التعمد إشاعة هذا المرض الخبيث في المجتمع ، فعمله هذا يعد نوعاً من الحرابة والإفساد في الأرض ، ويستوجب إحدى العقوبات المنصوص عليها في آية الحرابة : ( إنما جزاء الذين يحاربون الله ورسوله ويسعون في الأرض فساداً أن يقتلوا أو يصلبوا أو تقطع أيديهم وأرجلهم من خلاف أو ينفوا من الأرض ذلك لهم خزي في الدنيا ولهم في الآخرة عذاب عظيم ) المائدة /33
وإن كان قصده من تعمد نقل العدوى إعداء شخص بعينه ، وتمت العدوى ، ولم يمت المنقول إليه بعد ، عوقب المتعمد بالعقوبة التعزيرية المناسبة وعند حدوث الوفاة ينظر في تطبيق عقوبة القتل عليه .
وأما إذا كان قصده من تعمد نقل العدوى إعداء شخص بعينه ولكن لم تنتقل إليه العدوى فإنه يعاقب عقوبة تعزيرية .
ثالثاً : اعتبار مرض نقص المناعة المكتسب (الإيدز) مرض موت : يعد مرض نقص المناعة المكتسب ( الإيدز ) مرض موت شرعاً ، إذا اكتملت أعراضه ، وأقعد المريض عن ممارسة الحياة العادية ، واتصل به الموت .
مجمع الفقه الإسلامي ص 204-206

Alhamdulillah,
[Pertama] Hukum mengkarantinakan penderita AIDS,
Beberapa keterangan medis menegaskan bahwa penularan penyakit AIDS atau penyakit menurunnya kekebalan tubuh tidak terjadi melalui percampuran, persentuhan, udara, serangga, makan atau minum bersama penderita, mandi bersama di kolam atau duduk bersama di bangku, satu tempat makan atau bentuk-bentuk percampuran lainnya dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi penularan penyakit ini secara khusus adalah melalui salah satu cara berikut:
1. Berhubungan seks dengan penderita bagaimanapun bentuknya.
2. Transfusi darah yang tercemar virus AIDS atau cara-cara tranfusi lainnya. 
3. Penggunaan jarum yang tidak steril, terutama di kalangan pengguna obat terlarang, demikian pula dapat menular melalui pisau cukur. 
4. Penularan melalui ibu yang terkena virus AIDS kepada bayinya ketika hamil ataupun saat melahirkan.
Berdasarkan keterangan di atas maka tidaklah menjadi keharusan mengkarantinakan penderita AIDS dari teman-temannya jika tidak dikhawatirkan akan menular. Perlakuan terhadap penderita harus disesuaikan dengan hasil pemeriksaan medis yang dapat dipercaya.

[Kedua] Hukum orang yang menularkan virus AIDS secara sengaja,

Menularkan virus AIDS secara sengaja kepada orang yang sehat bagaimanapun bentuknya adalah perbuatan haram. Perbuatan itu termasuk dosa besar. Pelakunya berhak mendapat sanksi hukum di dunia. Berat ringannya sanksi hukum ini sesuai dengan besar kecilnya bahaya yang timbul akibat perbuatannya terhadap masyarakat.

Jika maksud menularkannya untuk menebarkan virus berbahaya ini di tengah masyarakat, maka perbuatan tersebut termasuk tindak perusakan di atas muka bumi. Berhak ditindak dengan salah satu sanksi yang disebutkan dalam ayat yang berbunyi:

"Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar"[QS. Al-Maidah : 33]

Namun jika tujuannya untuk memindahkan penyakit ini kepada orang tertentu, kemudian benar-benar menular hanya saja tidak sampai merenggut nyawa orang tersebut maka pelakunya diberi hukum ta'zir (sanksi keras) yang sesuai dengan kejahatannya. Dan jika ternyata si korban mati, maka perlu dipertimbangkan hukuman mati bagi pelakunya. Adapun jika maksudnya hanyalah menularkannya kepada seseorang tertentu namun ternyata tidak menular maka pelakunya berhak mendapat hukum ta'zir.

[Ketiga] Kapankah penyakit AIDS digolongkan sebagai penyakit yang mematikan?

Yaitu apabila virusnya telah menjalar ke seluruh tubuh dan si penderita tidak dapat lagi melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari dan tinggal menunggu terompet kematian."

[Majma' Al-Fiqh Al-Islami 204-206]


Dinukil oleh Abul-Hartis dari islamqa.info

Thursday, December 13, 2012

Kisah 4 Bayi yang Bisa Berbicara


Tanya :

"Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ustadz yang ingin tanya tentang kisah bayi yang dapat berbicara selain Nabi Isa Alaihissalam, saya ingin tahu seperti apa kisahnya dan bagaimana dengan tingkat keshahihan hadits tersebut.
Jazakallahu khairan."

Dedy
[dysar06@yahoo.co.id]

Jawab :
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.

Sepanjang pengetahuan kami, ada 4 bayi yang tersebut dalam hadits bisa berbicara, yaitu:

1. Isa bin Maryam 'alaihissalam.
2. Bayi dalam kisah Juraij si ahli ibadah.
3. Bayi yang sedang menyusu kepada ibunya.
4. Bayi yang akan dilempar ke dalam api.

Adapun 3 bayi yang pertama, tersebut dalam hadits Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau telah bersabda:

لَمْ يَتَكَلَّمْ فِي الْمَهْدِ إِلَّا ثَلَاثَةٌ: عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ 
وَصَاحِبُ جُرَيْجٍ وَكَانَ جُرَيْجٌ رَجُلًا عَابِدًا فَاتَّخَذَ صَوْمَعَةً فَكَانَ فِيهَا فَأَتَتْهُ أُمُّهُ وَهُوَ يُصَلِّي فَقَالَتْ يَا جُرَيْجُ فَقَالَ يَا رَبِّ أُمِّي وَصَلَاتِي فَأَقْبَلَ عَلَى صَلَاتِهِ فَانْصَرَفَتْ فَلَمَّا كَانَ مِنْ الْغَدِ أَتَتْهُ وَهُوَ يُصَلِّي فَقَالَتْ يَا جُرَيْجُ فَقَالَ يَا رَبِّ أُمِّي وَصَلَاتِي فَأَقْبَلَ عَلَى صَلَاتِهِ فَانْصَرَفَتْ فَلَمَّا كَانَ مِنْ الْغَدِ أَتَتْهُ وَهُوَ يُصَلِّي فَقَالَتْ يَا جُرَيْجُ فَقَالَ أَيْ رَبِّ أُمِّي وَصَلَاتِي فَأَقْبَلَ عَلَى صَلَاتِهِ فَقَالَتْ اللَّهُمَّ لَا تُمِتْهُ حَتَّى يَنْظُرَ إِلَى وُجُوهِ الْمُومِسَاتِ فَتَذَاكَرَ بَنُو إِسْرَائِيلَ جُرَيْجًا وَعِبَادَتَهُ وَكَانَتْ امْرَأَةٌ بَغِيٌّ يُتَمَثَّلُ بِحُسْنِهَا فَقَالَتْ إِنْ شِئْتُمْ لَأَفْتِنَنَّهُ لَكُمْ قَالَ فَتَعَرَّضَتْ لَهُ فَلَمْ يَلْتَفِتْ إِلَيْهَا فَأَتَتْ رَاعِيًا كَانَ يَأْوِي إِلَى صَوْمَعَتِهِ فَأَمْكَنَتْهُ مِنْ نَفْسِهَا فَوَقَعَ عَلَيْهَا فَحَمَلَتْ فَلَمَّا وَلَدَتْ قَالَتْ هُوَ مِنْ جُرَيْجٍ فَأَتَوْهُ فَاسْتَنْزَلُوهُ وَهَدَمُوا صَوْمَعَتَهُ وَجَعَلُوا يَضْرِبُونَهُ فَقَالَ مَا شَأْنُكُمْ قَالُوا زَنَيْتَ بِهَذِهِ الْبَغِيِّ فَوَلَدَتْ مِنْكَ فَقَالَ أَيْنَ الصَّبِيُّ فَجَاءُوا بِهِ فَقَالَ دَعُونِي حَتَّى أُصَلِّيَ فَصَلَّى فَلَمَّا انْصَرَفَ أَتَى الصَّبِيَّ فَطَعَنَ فِي بَطْنِهِ وَقَالَ يَا غُلَامُ مَنْ أَبُوكَ قَالَ فُلَانٌ الرَّاعِي قَالَ فَأَقْبَلُوا عَلَى جُرَيْجٍ يُقَبِّلُونَهُ وَيَتَمَسَّحُونَ بِهِ وَقَالُوا نَبْنِي لَكَ صَوْمَعَتَكَ مِنْ ذَهَبٍ قَالَ لَا أَعِيدُوهَا مِنْ طِينٍ كَمَا كَانَتْ فَفَعَلُوا 
وَبَيْنَا صَبِيٌّ يَرْضَعُ مِنْ أُمِّهِ فَمَرَّ رَجُلٌ رَاكِبٌ عَلَى دَابَّةٍ فَارِهَةٍ وَشَارَةٍ حَسَنَةٍ فَقَالَتْ أُمُّهُ اللَّهُمَّ اجْعَلْ ابْنِي مِثْلَ هَذَا فَتَرَكَ الثَّدْيَ وَأَقْبَلَ إِلَيْهِ فَنَظَرَ إِلَيْهِ فَقَالَ اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْنِي مِثْلَهُ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَى ثَدْيِهِ فَجَعَلَ يَرْتَضِعُ قَالَ فَكَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَحْكِي ارْتِضَاعَهُ بِإِصْبَعِهِ السَّبَّابَةِ فِي فَمِهِ فَجَعَلَ يَمُصُّهَا قَالَ وَمَرُّوا بِجَارِيَةٍ وَهُمْ يَضْرِبُونَهَا وَيَقُولُونَ زَنَيْتِ سَرَقْتِ وَهِيَ تَقُولُ حَسْبِيَ اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ فَقَالَتْ أُمُّهُ اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ ابْنِي مِثْلَهَا فَتَرَكَ الرَّضَاعَ وَنَظَرَ إِلَيْهَا فَقَالَ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِثْلَهَا فَهُنَاكَ تَرَاجَعَا الْحَدِيثَ فَقَالَتْ حَلْقَى مَرَّ رَجُلٌ حَسَنُ الْهَيْئَةِ فَقُلْتُ اللَّهُمَّ اجْعَلْ ابْنِي مِثْلَهُ فَقُلْتَ اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْنِي مِثْلَهُ وَمَرُّوا بِهَذِهِ الْأَمَةِ وَهُمْ يَضْرِبُونَهَا وَيَقُولُونَ زَنَيْتِ سَرَقْتِ فَقُلْتُ اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْ ابْنِي مِثْلَهَا فَقُلْتَ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِثْلَهَا قَالَ إِنَّ ذَاكَ الرَّجُلَ كَانَ جَبَّارًا فَقُلْتُ اللَّهُمَّ لَا تَجْعَلْنِي مِثْلَهُ وَإِنَّ هَذِهِ يَقُولُونَ لَهَا زَنَيْتِ وَلَمْ تَزْنِ وَسَرَقْتِ وَلَمْ تَسْرِقْ فَقُلْتُ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِي مِثْلَهَا

“Tidak ada bayi yang dapat berbicara ketika masih berada dalam buaian kecuali tiga bayi: 

(1)    Isa bin Maryam, 

(2)    dan bayi dalam perkara Juraij.” Juraij adalah seorang laki-laki yang rajin beribadah. Ia membangun tempat peribadatan dan senantiasa beribadah di tempat itu. Ketika sedang melaksanakan shalat sunnah, tiba-tiba ibunya datang dan memanggilnya; ‘Hai Juraij! ‘ Juraij bertanya dalam hati; ‘Ya Allah, manakah yang lebih aku utamakan, melanjutkan shalatku ataukah memenuhi panggilan ibuku? ‘ Akhirnya ia pun meneruskan shalatnya itu hingga ibunya merasa kecewa dan beranjak darinya. 

Keesokan harinya, ibunya datang lagi kepadanya sedangkan Juraij sedang melakukan shalat sunnah. Kemudian ibunya memanggilnya; ‘Hai Juraij! ‘ Kata Juraij dalam hati; ‘Ya Allah, manakah yang lebih aku utamakan, memenuhi seruan ibuku ataukah shalatku? ‘ Lalu Juraij tetap meneruskan shalatnya hingga ibunya merasa kecewa dan beranjak darinya. 

Hari berikutnya, ibunya datang lagi ketika Juraij sedang melaksanakan shalat sunnah. Seperti biasa ibunya memanggil; ‘Hai Juraij! ‘ Kata Juraij dalam hati; ‘Ya Allah, manakah yang harus aku utamakan, meneruskan shalatku ataukah memenuhi seruan ibuku? ‘ Namun Juraij tetap meneruskan shalatnya dan mengabaikan seruan ibunya. Tentunya hal ini membuat kecewa hati ibunya. Hingga tak lama kemudian ibunya pun berdoa kepada Allah; ‘Ya Allah, janganlah Engkau matikan ia sebelum ia mendapat fitnah dari perempuan pelacur! ‘ Kaum Bani Israil selalu memperbincangkan tentang Juraij dan ibadahnya, hingga ada seorang wanita pelacur yang cantik berkata; ‘Jika kalian menginginkan popularitas Juraij hancur di mata masyarakat, maka aku dapat memfitnahnya demi kalian.’ 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun meneruskan sabdanya: ‘Maka mulailah pelacur itu menggoda dan membujuk Juraij, tetapi Juraij tidak mudah terpedaya dengan godaan pelacur tersebut. Kemudian pelacur itu pergi mendatangi seorang penggembala ternak yang kebetulan sering berteduh di tempat peribadatan Juraij. Ternyata wanita tersebut berhasil memperdayainya hingga laki-laki penggembala itu melakukan perzinaan dengannya sampai akhirnya hamil. 

Setelah melahirkan, wanita pelacur itu berkata kepada masyarakat sekitarnya bahwa; ‘Bayi ini adalah hasil perbuatan aku dengan Juraij.’ Mendengar pengakuan wanita itu, masyarakat pun menjadi marah dan benci kepada Juraij. Kemudian mendatangi rumah peribadatan Juraij dan bahkan menghancurkannya. Selain itu, mereka pun bersama-sama menghakimi Juraij tanpa bertanya terlebih dahulu kepadanya. Lalu Juraij bertanya kepada mereka; ‘Mengapa kalian lakukan hal ini kepadaku? ‘ 

Mereka menjawab; ‘Kami lakukan hal ini kepadamu karena kamu telah berbuat zina dengan pelacur ini hingga ia melahirkan bayi dari hasil perbuatanmu.’ Juraij berseru; ‘Dimanakah bayi itu? ‘ Kemudian mereka menghadirkan bayi hasil perbuatan zina itu dan menyentuh perutnya dengan jari tangannya seraya bertanya; ‘Hai bayi kecil, siapakah sebenarnya ayahmu itu? ‘ Ajaibnya, sang bayi langsung menjawab; ‘Ayah saya adalah si fulan, seorang penggembala.’ 

Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: ‘Akhirnya mereka menaruh hormat kepada Juraij. Mereka menciuminya dan mengharap berkah darinya. Setelah itu mereka pun berkata; ‘Kami akan membangun kembali tempat ibadahmu ini dengan bahan yang terbuat dari emas.’ Namun Juraij menolak dan berkata; ‘Tidak usah, tetapi kembalikan saja rumah ibadah seperti semula yang terbuat dari tanah liat.’ Akhirnya mereka pun mulai melaksanakan pembangunan rumah ibadah itu seperti semula. 

(3)    Dan bayi ketiga, Ada seorang bayi sedang menyusu kepada ibunya, tiba-tiba ada seorang laki-laki yang gagah dan berpakaian yang bagus pula. Lalu ibu bayi tersebut berkata; ‘Ya Allah ya Tuhanku, jadikanlah anakku ini seperti laki-laki yang sedang mengendarai hewan tunggangan itu! ‘ Ajaibnya, bayi itu berhenti dari susuannya, lalu menghadap dan memandang kepada laki-laki tersebut sambil berkata; ‘Ya Allah ya Tuhanku, janganlah Engkau jadikan aku seperti laki-laki itu! ‘ 

Setelah itu, bayi tersebut langsung menyusu kembali kepada ibunya. Abu Hurairah berkata; ‘Sepertinya saya melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menceritakan susuan bayi itu dengan memperagakan jari telunjuk beliau yang dihisap dengan mulut beliau.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam meneruskan sabdanya: ‘Pada suatu ketika, ada beberapa orang yang menyeret dan memukuli seorang wanita seraya berkata; ‘Kamu wanita tidak tahu diuntung. Kamu telah berzina dan mencuri.’ Tetapi wanita itu tetap tegar dan berkata; ‘Hanya Allah lah penolongku. Sesungguhnya Dialah sebaik-baik penolongku.’ Kemudian ibu bayi itu berkata; ‘Ya Allah, janganlah Engkau jadikan anakku seperti wanita itu! ‘ Tiba-tiba bayi tersebut berhenti dari susuan ibunya, lalu memandang wanita tersebut seraya berkata; ‘Ya Allah ya Tuhanku, jadikanlah aku sepertinya! ‘ 

Demikian pernyataan ibu dan bayinya itu terus berlawanan, hingga ibu tersebut berkata kepada bayinya; ‘Celaka kamu hai anakku! Tadi, ada seorang laki-laki yang gagah dan menawan lewat di depan kita, lalu kamu berdoa kepada Allah; ‘Ya Allah, jadikanlah anakku seperti laki-laki itu! Namun kamu malah mengatakan; ‘Ya Allah, janganlah Engkau jadikan aku seperti laki-laki itu! Kemudian tadi, ketika ada beberapa orang menyeret dan memukuli seorang wanita sambil berkata; ‘Ya Allah, janganlah Engkau jadikan anakku seperti wanita itu! ‘ Tetapi kamu malah berkata; ‘Ya Allah, jadikanlah aku seperti wanita itu! ‘ 

Mendengar pernyataan ibunya itu, sang bayi pun menjawab; ‘Sesungguhnya laki-laki yang gagah itu seorang yang sombong hingga aku mengucapkan; ‘Ya Allah, janganlah Engkau jadikan aku seperti laki-laki itu! ‘ Sementara wanita yang dituduh mencuri dan berzina itu tadi sebenarnya adalah seorang wanita yang shalihah, tidak pernah berzina, ataupun mencuri. Oleh karena itu, aku pun berdoa; ‘Ya Allah, jadikanlah aku seperti wanita itu!” (HR. AL-Bukhari no. 3181 dan Muslim no. 4626)

Sementara bayi keempat tersebut dalam hadits Shuhaib bin Sinan radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

كَانَ مَلِكٌ فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ وَكَانَ لَهُ سَاحِرٌ فَلَمَّا كَبِرَ قَالَ لِلْمَلِكِ إِنِّي قَدْ كَبِرْتُ فَابْعَثْ إِلَيَّ غُلَامًا أُعَلِّمْهُ السِّحْرَ فَبَعَثَ إِلَيْهِ غُلَامًا يُعَلِّمُهُ فَكَانَ فِي طَرِيقِهِ إِذَا سَلَكَ رَاهِبٌ فَقَعَدَ إِلَيْهِ وَسَمِعَ كَلَامَهُ فَأَعْجَبَهُ فَكَانَ إِذَا أَتَى السَّاحِرَ مَرَّ بِالرَّاهِبِ وَقَعَدَ إِلَيْهِ فَإِذَا أَتَى السَّاحِرَ ضَرَبَهُ فَشَكَا ذَلِكَ إِلَى الرَّاهِبِ فَقَالَ إِذَا خَشِيتَ السَّاحِرَ فَقُلْ حَبَسَنِي أَهْلِي وَإِذَا خَشِيتَ أَهْلَكَ فَقُلْ حَبَسَنِي السَّاحِرُ فَبَيْنَمَا هُوَ كَذَلِكَ إِذْ أَتَى عَلَى دَابَّةٍ عَظِيمَةٍ قَدْ حَبَسَتْ النَّاسَ فَقَالَ الْيَوْمَ أَعْلَمُ آلسَّاحِرُ أَفْضَلُ أَمْ الرَّاهِبُ أَفْضَلُ فَأَخَذَ حَجَرًا فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنْ كَانَ أَمْرُ الرَّاهِبِ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِنْ أَمْرِ السَّاحِرِ فَاقْتُلْ هَذِهِ الدَّابَّةَ حَتَّى يَمْضِيَ النَّاسُ فَرَمَاهَا فَقَتَلَهَا وَمَضَى النَّاسُ فَأَتَى الرَّاهِبَ فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ لَهُ الرَّاهِبُ أَيْ بُنَيَّ أَنْتَ الْيَوْمَ أَفْضَلُ مِنِّي قَدْ بَلَغَ مِنْ أَمْرِكَ مَا أَرَى وَإِنَّكَ سَتُبْتَلَى فَإِنْ ابْتُلِيتَ فَلَا تَدُلَّ عَلَيَّ وَكَانَ الْغُلَامُ يُبْرِئُ الْأَكْمَهَ وَالْأَبْرَصَ وَيُدَاوِي النَّاسَ مِنْ سَائِرِ الْأَدْوَاءِ فَسَمِعَ جَلِيسٌ لِلْمَلِكِ كَانَ قَدْ عَمِيَ فَأَتَاهُ بِهَدَايَا كَثِيرَةٍ فَقَالَ مَا هَاهُنَا لَكَ أَجْمَعُ إِنْ أَنْتَ شَفَيْتَنِي فَقَالَ إِنِّي لَا أَشْفِي أَحَدًا إِنَّمَا يَشْفِي اللَّهُ فَإِنْ أَنْتَ آمَنْتَ بِاللَّهِ دَعَوْتُ اللَّهَ فَشَفَاكَ فَآمَنَ بِاللَّهِ فَشَفَاهُ اللَّهُ فَأَتَى الْمَلِكَ فَجَلَسَ إِلَيْهِ كَمَا كَانَ يَجْلِسُ فَقَالَ لَهُ الْمَلِكُ مَنْ رَدَّ عَلَيْكَ بَصَرَكَ قَالَ رَبِّي قَالَ وَلَكَ رَبٌّ غَيْرِي قَالَ رَبِّي وَرَبُّكَ اللَّهُ فَأَخَذَهُ فَلَمْ يَزَلْ يُعَذِّبُهُ حَتَّى دَلَّ عَلَى الْغُلَامِ فَجِيءَ بِالْغُلَامِ فَقَالَ لَهُ الْمَلِكُ أَيْ بُنَيَّ قَدْ بَلَغَ مِنْ سِحْرِكَ مَا تُبْرِئُ الْأَكْمَهَ وَالْأَبْرَصَ وَتَفْعَلُ وَتَفْعَلُ فَقَالَ إِنِّي لَا أَشْفِي أَحَدًا إِنَّمَا يَشْفِي اللَّهُ فَأَخَذَهُ فَلَمْ يَزَلْ يُعَذِّبُهُ حَتَّى دَلَّ عَلَى الرَّاهِبِ فَجِيءَ بِالرَّاهِبِ فَقِيلَ لَهُ ارْجِعْ عَنْ دِينِكَ فَأَبَى فَدَعَا بِالْمِئْشَارِ فَوَضَعَ الْمِئْشَارَ فِي مَفْرِقِ رَأْسِهِ فَشَقَّهُ حَتَّى وَقَعَ شِقَّاهُ ثُمَّ جِيءَ بِجَلِيسِ الْمَلِكِ فَقِيلَ لَهُ ارْجِعْ عَنْ دِينِكَ فَأَبَى فَوَضَعَ الْمِئْشَارَ فِي مَفْرِقِ رَأْسِهِ فَشَقَّهُ بِهِ حَتَّى وَقَعَ شِقَّاهُ ثُمَّ جِيءَ بِالْغُلَامِ فَقِيلَ لَهُ ارْجِعْ عَنْ دِينِكَ فَأَبَى فَدَفَعَهُ إِلَى نَفَرٍ مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالَ اذْهَبُوا بِهِ إِلَى جَبَلِ كَذَا وَكَذَا فَاصْعَدُوا بِهِ الْجَبَلَ فَإِذَا بَلَغْتُمْ ذُرْوَتَهُ فَإِنْ رَجَعَ عَنْ دِينِهِ وَإِلَّا فَاطْرَحُوهُ فَذَهَبُوا بِهِ فَصَعِدُوا بِهِ الْجَبَلَ فَقَالَ اللَّهُمَّ اكْفِنِيهِمْ بِمَا شِئْتَ فَرَجَفَ بِهِمْ الْجَبَلُ فَسَقَطُوا وَجَاءَ يَمْشِي إِلَى الْمَلِكِ فَقَالَ لَهُ الْمَلِكُ مَا فَعَلَ أَصْحَابُكَ قَالَ كَفَانِيهِمُ اللَّهُ فَدَفَعَهُ إِلَى نَفَرٍ مِنْ أَصْحَابِهِ فَقَالَ اذْهَبُوا بِهِ فَاحْمِلُوهُ فِي قُرْقُورٍ فَتَوَسَّطُوا بِهِ الْبَحْرَ فَإِنْ رَجَعَ عَنْ دِينِهِ وَإِلَّا فَاقْذِفُوهُ فَذَهَبُوا بِهِ فَقَالَ اللَّهُمَّ اكْفِنِيهِمْ بِمَا شِئْتَ فَانْكَفَأَتْ بِهِمْ السَّفِينَةُ فَغَرِقُوا وَجَاءَ يَمْشِي إِلَى الْمَلِكِ فَقَالَ لَهُ الْمَلِكُ مَا فَعَلَ أَصْحَابُكَ قَالَ كَفَانِيهِمُ اللَّهُ فَقَالَ لِلْمَلِكِ إِنَّكَ لَسْتَ بِقَاتِلِي حَتَّى تَفْعَلَ مَا آمُرُكَ بِهِ قَالَ وَمَا هُوَ قَالَ تَجْمَعُ النَّاسَ فِي صَعِيدٍ وَاحِدٍ وَتَصْلُبُنِي عَلَى جِذْعٍ ثُمَّ خُذْ سَهْمًا مِنْ كِنَانَتِي ثُمَّ ضَعْ السَّهْمَ فِي كَبِدِ الْقَوْسِ ثُمَّ قُلْ بِاسْمِ اللَّهِ رَبِّ الْغُلَامِ ثُمَّ ارْمِنِي فَإِنَّكَ إِذَا فَعَلْتَ ذَلِكَ قَتَلْتَنِي فَجَمَعَ النَّاسَ فِي صَعِيدٍ وَاحِدٍ وَصَلَبَهُ عَلَى جِذْعٍ ثُمَّ أَخَذَ سَهْمًا مِنْ كِنَانَتِهِ ثُمَّ وَضَعَ السَّهْمَ فِي كَبْدِ الْقَوْسِ ثُمَّ قَالَ بِاسْمِ اللَّهِ رَبِّ الْغُلَامِ ثُمَّ رَمَاهُ فَوَقَعَ السَّهْمُ فِي صُدْغِهِ فَوَضَعَ يَدَهُ فِي صُدْغِهِ فِي مَوْضِعِ السَّهْمِ فَمَاتَ فَقَالَ النَّاسُ آمَنَّا بِرَبِّ الْغُلَامِ آمَنَّا بِرَبِّ الْغُلَامِ آمَنَّا بِرَبِّ الْغُلَامِ فَأُتِيَ الْمَلِكُ فَقِيلَ لَهُ أَرَأَيْتَ مَا كُنْتَ تَحْذَرُ قَدْ وَاللَّهِ نَزَلَ بِكَ حَذَرُكَ قَدْ آمَنَ النَّاسُ فَأَمَرَ بِالْأُخْدُودِ فِي أَفْوَاهِ السِّكَكِ فَخُدَّتْ وَأَضْرَمَ النِّيرَانَ وَقَالَ مَنْ لَمْ يَرْجِعْ عَنْ دِينِهِ فَأَحْمُوهُ فِيهَا أَوْ قِيلَ لَهُ اقْتَحِمْ فَفَعَلُوا حَتَّى جَاءَتْ امْرَأَةٌ وَمَعَهَا صَبِيٌّ لَهَا فَتَقَاعَسَتْ أَنْ تَقَعَ فِيهَا فَقَالَ لَهَا الْغُلَامُ يَا أُمَّهْ اصْبِرِي فَإِنَّكِ عَلَى الْحَقِّ

“Dulu, sebelum kalian ada seorang raja, ia memiliki tukang sihir, saat tukang sihir sudah tua, ia berkata kepada rajanya: ‘Aku sudah tua, kirimlah seorang pemuda kepadaku untuk aku ajari sihir.’ Lalu seorang pemuda datang padanya, ia mengajarkan sihir kepada pemuda itu. (Jarak) antara tukang sihir dan si raja terdapat seorang rahib. 

Si pemuda itu mendatangi rahib dan mendengar kata-katanya, ia kagum akan kata-kata si rahib itu sehingga bila datang ke si penyihir pasti dipukul, Pemuda itu mengeluhkan hal itu kepada si rahib, ia berkata: ‘Bila tukang sihir hendak memukulmu, katakan: ‘Keluargaku menahanku, ‘ dan bila kau takut pada keluargamu, katakan: ‘Si tukang sihir menahanku.’ Saat seperti itu, pada suatu hari ia mendekati sebuah hewan yang besar yang menghalangi jalanan orang, ia berkata, ‘Hari ini aku akan tahu, apakah tukang sihir lebih baik ataukah pendeta lebih baik.’ 

Ia mengambil batu lalu berkata: ‘Ya Allah, bila urusan si rahib lebih Engkau sukai dari pada tukang sihir itu maka bunuhlah binatang ini hingga orang bisa lewat.’ Ia melemparkan batu itu dan membunuhnya, orang-orang pun bisa lewat. Ia memberitahukan hal itu kepada si rahib. Si rahib berkata: ‘Anakku, saat ini engkau lebih baik dariku dan urusanmu telah sampai seperti yang aku lihat, engkau akan mendapat ujian, bila kau mendapat ujian jangan menunjukkan padaku.’ Si pemuda itu bisa menyembuhkan orang buta dan berbagai penyakit. 

Salah seorang teman raja yang buta lalu ia mendengarnya, ia mendatangi pemuda itu dengan membawa hadiah yang banyak, ia berkata: ‘Sembuhkan aku dan kau akan mendapatkan yang aku kumpulkan disini.’ Pemuda itu berkata: ‘Aku tidak menyembuhkan seorang pun, yang menyembuhkan hanyalah Allah, bila kau beriman padaNya, aku akan berdoa kepadaNya agar menyembuhkanmu.’ Teman si raja itu pun beriman lalu si pemuda itu berdoa kepada Allah lalu ia pun sembuh. 

Teman raja itu kemudian mendatangi raja lalu duduk didekatnya. Si raja berkata: ‘Hai fulan, siapa yang menyembuhkan matamu? ‘ Orang itu menjawab: ‘Rabbku.’ Si raja berkata: ‘Kau punya Rabb selainku? ‘ Orang itu berkata: ‘Rabbku dan Rabbmu adalah Allah.’ Si raja menangkapnya lalu menyiksanya hingga ia menunjukkan pada pemuda itu lalu pemuda itu didatangkan, Raja berkata: ‘Hai anakku, sihirmu yang bisa menyembuhkan orang buta, sopak dan kau melakukan ini dan itu.’ 

Pemuda itu berkata: ‘Bukan aku yang menyembuhkan, yang menyembuhkan hanya Allah.’ Si raja menangkapnya dan terus menyiksanya ia menunjukkan kepada si rahib. Si raja mendatangi si rahib, rahib pun didatangkan lalu dikatakan padanya: ‘Tinggalkan agamamu.’ Si rahib tidak mau lalu si raja meminta gergaji kemudian diletakkan tepat ditengah kepalanya hingga sebelahnya terkapar di tanah. Setelah itu teman si raja didatangkan dan dikatakan padanya: ‘Tinggalkan agamamu.’ Si rahib tidak mau lalu si raja meminta gergaji kemudian diletakkan tepat ditengah kepalanya hingga sebelahnya terkapar di tanah. 

Setelah itu pemuda didatangkan lalu dikatakan padanya: ‘Tinggalkan agamamu.’ Pemuda itu tidak mau. Lalu si raja menyerahkannya ke sekelompok tentaranya, raja berkata: ‘Bawalah dia ke gunung ini dan ini, bawalah ia naik, bila ia mau meninggalkan agamanya (biarkanlah dia) dan bila tidak mau, lemparkan dari atas gunung.’ 

Mereka membawanya ke puncak gunung lalu pemuda itu berdoa: ‘Ya Allah, cukupilah aku dari mereka sekehendakMu.’ Ternyata gunung mengguncang mereka dan mereka semua jatuh. Pemuda itu kembali pulang hingga tiba dihadapan raja. Raja bertanya: ‘Bagaimana kondisi kawan-kawanmu? ‘ 

Pemuda itu menjawab: ‘Allah mencukupiku dari mereka.’ Lalu si raja menyerahkannya ke sekelompok tentaranya, raja berkata: ‘Bawalah dia ke sebuah perahu lalu kirim ke tengah laut, bila ia mau meninggalkan agamanya (bawalah dia pulang) dan bila ia tidak mau meninggalkannya, lemparkan dia.’ Mereka membawanya ke tengah laut lalu pemuda itu berdoa: ‘Ya Allah, cukupilah aku dari mereka sekehendakMu.’ Ternyata perahunya terbalik dan mereka semua tenggelam. Pemuda itu pulang hingga tiba dihadapan raja, raja bertanya: Bagaimana keadaan teman-temanmu? ‘ 

Pemuda itu menjawab: ‘Allah mencukupiku dari mereka.’ Setelah itu ia berkata kepada raja: ‘Kau tidak akan bisa membunuhku hingga kau mau melakukan yang aku perintahkan, ‘ Raja bertanya: ‘Apa yang kau perintahkan? ‘ Pemuda itu berkata: ‘Kumpulkan semua orang ditanah luas lalu saliblah aku diatas pelepah, ambillah anak panah dari sarung panahku lalu ucapkan: ‘Dengan nama Allah, Rabb pemuda ini.’ Bila kau melakukannya kau akan membunuhku.’ 

Akhirnya raja itu melakukannya. Ia meletakkan anak panah ditengah-tengah panah lalu melesakkannya seraya berkata: ‘Dengan nama Allah, Rabb pemuda ini.’ Anak panah di lesakkan ke pelipis pemuda itu lalu pemuda meletakkan tangannya ditempat panah menancap kemudian mati. Orang-orang berkata: ‘Kami beriman dengan Rabb pemuda itu.’ Kemudian didatangkank kepada raja dan dikatakan padanya: ‘Tahukah kamu akan sesuatu yang kau khawatirkan, demi Allah kini telah menimpamu. Orang-orang beriman seluruhnya.’ Si raja kemudian memerintahkan membuat parit di jalanan kemudian disulut api. Raja berkata: ‘Siapa pun yang tidak meninggalkan agamanya, pangganglah didalamnya.’ 

Mereka melakukannya hingga datanglah seorang wanita bersama anaknya, sepertinya ia hendak mundur agar tidak terjatuh dalam kubangan api lalu si bayi itu berkata: ‘Ibu, bersabarlah...sesungguhnya engkau berada diatas kebenaran. (HR. Muslim no. 5327)


Dinukil oleh Abul-Harits dari al-atsariyyah.com

Tuesday, December 11, 2012

Membaca Bismillah Sebelum Berwudhu, Wajib atau Sunah?

Sebagaimana telah disinggung dalam judul artikel, para ulama memiliki dua pendapat dalam permasalahan ini :

[Pertama] Diwajibkan tasmiyyah (membaca bismillah) ketika berwudhu, barangsiapa yang sengaja meninggalkannya maka ia berdosa.

Diantara ulama yang mengikuti pendapat ini adalah Al-Hasan Al-Bashri, Ishaq bin Rahawaih, Imam Ahmad dalam satu riwayat dan sebagian Dzahiriyyah rahimahumullah. [Al-Mughni 1/119, Al-Majmu’ 1/387, Nailul Authar 1/173, Al-Hawi Al-Kabir 1/116, Al-Inshaf 1/128 dan Subulus Salam 1/80]

Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

لا صلا ة لمن لا وضوء له ولا وضوء لمن لم يذ كر اسم الله عليه

“Tidak sah shalat tanpa berwudhu, dan tidak sah wudhu tanpa menyebut nama Allah padanya”

[Dikeluarkan oleh Abu Daud no. 101, Ibnu Majah no. 399, At-Tirmidzi dalam Al-‘Ilal Al-Kabir no. 18, Ahmad dalam Al-Musnad 2/418, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra 1/14, Ad-Daraquthni  1/79, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 1/147, Ath-Thayalisi no. 2422, Ath-Thahawi dalam Syarh Ma’ani Al-Atsar 1/26, Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Ausath no. 8080, Ibnul-Jauzi dalam At-Tahqiq 1/141, Al-Baghawi dalam Syarh As-Sunnah no. 209 dan Al-Mizzi dalam Tahdzibul Kamal 11/332] 

Seluruhnya melaui jalan Muhammad bin Musa, dari Ya’qub bin Salamah Al-Laitsi, dari ayahnya, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata tentang biografi Ya’qub bin Salamah Al-Laitsi:

“Ia adalah seorang yang sedikit haditsnya, tidak meriwayatkan dari perawi tsiqat selain Muhammad bin Musa. Sedangkan ayahnya adalah perawi yang majhul, tidak ada yang meriwayatkan hadits darinya selain anaknya.” [Nata’ijul Afkar, 1/226]

Hadits ini memiliki syawahid, diantaranya :

1.   Hadits Sa’id bin Zaid radhiyallahu ‘anhu

Dikeluarkan oleh At-Tirmidzi dalam As-Sunan no. 25 dan Al-‘Ilal no. 16, Ibnu Majah no. 398, Ahmad 5/381 dan 6/382, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 1/12-14, Ath-Thayalisi dalam Al-Musnad no. 243, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 4/60, Ad-Daraquthni no. 1/72, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra 1/43, Ath-Thahawi dalam Syarh Ma’ani Al-Atsar 1/26, Ibnul Mundzir dalam Al-Ausath 1/367, Al-‘Uqaili dalam Adh-Dhu’afa Al-Kabir 1/177, Abu Ya’la dalam Al-Mu’jam no. 255, Ibnul Jauzi dalam At-Tahqiq 1/138, Ath-Thabrani dalam Ad-Du’a no. 373,378 dan Abu ‘Ubaid dalam Ath-Thuhur no. 52

Seluruhnya melalui jalan Abdurrahman bin Harmalah, dari Abu Tsafal Tsumamah bin Wa’il, dari Rabah bin Abdurrahman, dari kakeknya, dari Sa’id bin Zaid dengan lafadz

 لا وضوء لمن لم يذ كر اسم عليه
Al-Hafidz Az-Zaila’i rahimahullah berkata :

“Terdapat tiga perawi majhul hal yakni kakek dari Rabah tidak diketahui nama dan keadaannya, tidak diketahui selain dalam sanad ini, demikian pula Rabah dan Abu Tsafal adalah perawi majhul.” [Nashbur Rayah 1/4]

Ibnu Abi Hatim rahimahullah berkata :

“Hadits ini tidak shahih menurut kami, Abu Tsafal dan Rabah adalah perawi majhul” [Al-‘Ilal 1/52]

2.  Hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu

Dikeluarkan oleh At-Tirmidzi dalam Al-‘Ilal no. 17, Ibnu Majah no. 397, Ahmad 3/41, Ad-Darimi dalam As-Sunan no. 691, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 1/12, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 1/147, Ad-Daraquthni no. 1/71, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra 1/43, Abu Ya’la dalam Al-Mu’snad no. 1060, Ath-Thabrani dalam Ad-Du’a no. 380 dan Abu ‘Ubaid dalam Ath-Thuhur no. 53, Ibnu As-Sunni dalam ‘Amal Al-Yaum wal Lailah no. 26 dan ‘Abdun bin Humaid dalam Al-Muntakhab no.910.

Seluruhnya melalui jalan Katsir bin Zaid, dari Rabih bin Abdurrahman, dari ayahnya, dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu.

Katsir bin Zaid dilemahkan oleh Ya’qub bin Salamah dan An-Nasa’i, dinilai tsiqah oleh Ibnu Hibban dan Ibnu ‘Ammar Al-Mushily, dinyatakan shaduq oleh Abu Zur’ah, Abu Hatim, Ibnu ‘Adi dan ini pula yang dinyatakan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahumullah dalam Taqribut Tahdzib.

Rabih bin ‘Abdurrahman dinilai tsiqah oleh Ibnu Hibban, Ahmad berkata: “rajulun laisa bima’ruf”, Abu Zur’ah berkata: “syaikh”, Ibnu ‘Adi berkata: “arju’ la ba’sa bihi”, sedangkan Al-Bukhari berkata: “munkarul hadits”.

3.   Hadits Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu

Dikeluarkan oleh Ibnu Majah no. 400, Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 1/269 dan Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir no. 5699 melaui jalan Ibnu Abi Fudaik, dari Abdul Muhaimin bin Abbas, dari ayahnya, dari Sahl bin Sa’d radhiyallahu ‘anhu.

Abdul Muhaimin dha’if jiddan, An-Nasa’i berkata: “laisa bitsiqah”, Al-Bukhari berkata: “munkarul hadits”, Abu Hatim berkata: “munkarul hadits”, As-Saji berkata: “fiha manakir”.

Dan masih banyak hadits lain yang dapat dijadikan sebagai syawahid, silahkan merujuk kitab Kasyfu Al-Makhbu’ bitsubut hadits At-Tasmiyyah ‘inda Al-Wudhu karya Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini hafidzahullah untuk menelaah takhrij hadits secara lengkap.

Al-Hafidz Al-Mundziriy rahimahullah berkata :
وفي الباب أحاديث كثيرة لا يسلم شيء منها من مقال وقد ذهب الحسن وإسحاق بن راهوية وأهل الظاهر إلى وجوب التسمية في الوضوء حتى أنه إذا تحمد تركها أعاد الوضوء وهو رواية عن الإمام أحمد ولا شك أن الأحاديث التي وردت ليها وإن كان لا يسلم شيء منها عن مقال فإنها تتعاضد بكثرة طرقها وتكتب قوة

“Dalam bab ini terdapat banyak hadits yang kesemuanya tidak luput dari pembicaraan. Al-Hasan, Ishaaq bin Raahawaih, dan ahlu-zhaahir berpendapat wajibnya tasmiyyah (membaca basmalah) ketika wudlu. Sampai-sampai mereka berpendapat jika ditinggalkan dengan sengaja wajib untuk mengulangi wudlunya. Ini adalah salah satu riwayat (yang ternukil) dari Al-Imam Ahmad. Tidak diragukan lagi bahwa hadits-hadits yang diriwayatkan dalam masalah ini – meskipun tidak luput dari pembicaraan (tentang ke-dla’if-annya) – namun saling menguatkan satu dengan lainnya karena banyaknya jalan” [At-Targhib wat-Tarhib 1/225].
 Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
وَالظَّاهِرُ أَنَّ مَجْمُوعَ الْأَحَادِيثِ يَحْدُثُ مِنْهَا قُوَّةٌ تَدُلُّ عَلَى أَنَّ لَهُ أَصْلًا

“Zhahirnya, hadits-hadits ini secara keseluruhan saling menguatkan dan menunjukkan bahwa hadits ini ada asalnya” [At-Talkhishul-Habir, 1/257]
Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata:
حديث صحيح، وقواه المنذري، والحافظ العسقلاني، وحسنه ابن الصلاح، وقال الحافظ ابن كثير: إنه حديث حسن أو صحيح وقال ابن أبي شيبة: إنه ثبت
“Hadits ini shahih, dinyatakan kuat oleh Al-Mundziri, Al-Hafidz Al-‘Asqalani dan dihasankan oleh Ibnus-Shalah. Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata: “hadits ini hasan atau shahih”. Ibnu Abi Syaibah berkata: “hadits ini tsabit”. [Shahih Abu Daud 1/169]

[Kedua] Disunahkan tasmiyyah (membaca bismillah) ketika berwudhu.
Diantara ulama yang mengikuti pendapat ini adalah Sufyan Ats-Tsauri, Rabi’ah bin Abdirrahman, Al-Hanafiyyah, Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad dalam satu riwayat, Abu ‘Ubaid Al-Qasim bin Salam dan Ibnul Mundzir rahimahumullah. [Al-Ausath 1/367, Al-Mughni 1/119, Nailul Authar 1/173, Al-Majmu’ 1/387, Al-Umm 1/49 dan Al-Inshaf 1/128]
Mereka berdalil dengan firman Allah,

“Wahai orang-orang yang beriman, ketika kalian hendak menunaikan shalat basuhlah wajah dan tangan kalian hingga siku, usaplah kepala kalian dan basuhlah kaki kalian hingga mata kaki.” [Al-Maidah : 6]

Dan hadits Rifa’ah bin Rafi’ radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

لا تتم صلاة أحدكم حتى يسبغ الوضوء كما أمره الله يغسل وجهه و يديه إلى المرفقين و يمسح رأسه و رجليه إلى الكعبين

“Tidak sempurna shalat salah seorang kalian hingga ia membaguskan wudhunya sebagaimana yang Allah perintahkan, membasuh wajah dan kedua tangannya sampai siku, mengusap kepalanya dan membasuh kedua kakinya hingga mata kaki.” [Dikeluarkan oleh Abu Daud no. 858, An-Nasa’i dalam Al-Kubra no. 1631 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abu Daud]

Dalam ayat dan hadits di atas, Allah dan rasul-Nya menjelaskan kewajiban-kewajiban wudhu tanpa menyebutkan tasmiyyah. Seandainya tasmiyyah dihukumi wajib niscaya disebutkan dalam ayat dan hadits.

Tarjih

Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat kedua, Allahua’lam. Adapun hadits Abu Hurairah yang dijadikan dalil pendapat pertama masih diperselisihkan keshahihannya. Sebagian ulama mendha’ifkannya seperti Imam Ahmad, Al-Bukhari, Abu Hatim, Abu Zur'ah, Al-'Uqaili, dll rahimahumullah.

Seandainya hadits tersebut shahih, sebagaimana dikuatkan oleh para ulama mutakhirin, maka dalil-dalil pendapat kedua dapat memalingkan hukum dari wajib menjadi sunah. Peniadaan hukum (nafyu) dalam hadits Abu Hurairah dipahami sebagai peniadaan kesempurnaan ibadah (nafyul kamal) bukan peniadaan sahnya hukum ibadah (nafyus shihhah).

Ringkasnya hadits tersebut diterjemahkan “Tidak sempurna wudhu seseorang tanpa menyebut nama Allah padanya”. Pendapat ini dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah.

Wal’ilmu ‘indallah

Disarikan oleh Abul-Harits dari Shifat Wudhu Nabi karya Syaikh Muhammad Rajab hafizhahullah di Madinah, 27 Muharram 1434 H