Friday, September 28, 2012

Apakah Al-Qur'an Mengajarkan Tawassul kepada Nabi dan Wali?


Allah ta’ala berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan carilah al-wasilah kepada-Nya. Berjihadlah di jalan-Nya agar kalian beruntung”.[QS. Al-Maidah : 35]

Sebagian orang menyangka bahwa ayat ini berisi anjuran untuk bertawassul kepada nabi dan para wali dalam berdoa, sebagaimana perkataan mereka,

...kami, kalau ziarah kemaqam waly tak pernah meyakini bahwa waly itu sebagai ma’bud kami (yang kami sembah) yang kami yakini mereka adalah orang yang nafsul mutmainnah yang ridha dan diridhai seperti dalam firmannya. Dan kami dalam surat almaidah disuruh mencari WASHILAH.

Nah waly yang kami yakini dekat dengan Allah,maka sesuai dengan firmannya dalam surat almaidah yang memerintahkan kami mencari washilah, maka kami mengikuti firman Allah dengan menjadikan waly sebagai wasilah kami kepada Allah dengan perkataan:

Yaa Sayyidii Yaa Rasulullah… Yaa Sayyidii Aba Bakrin wa Umar wa Utsman wa Ali wa Yaa Sayyidi Syeikh Abdul Qaadir AL-Jilani… Inni atawassalu bikum ilaa Allahi ta’aalaa li fii qodloo-i haajatii… Yaa Waliyullah al-’aarif billah… soohiba hadzihil maqbaroh… Inni atawassalu bika ilaa Allahi ta’aalaa li fii qodloo-i haajatii haadzihi..

Wahai penghulu kami wahai rasul Allah wahai penghulu kami abu bakar, umar,ustman, aly, wahai syekh abdul qadir jailani sesungguhnya kami berwasilah dengan kamu kepada Allah, ta’ala pada menunaikan hajat kami, wahai waliyullah yang berada pada kubur ini sesungguhnya kami berwasilah kepada kamu kapada Allah untuk menunaikan hajat kami ini.

…lihat kami tidak berdoa kepada mereka, kami bertawasul kepada mereka karena mengabungkan pemahaman 2 buah ayat dan aqwal ulama ikutan kami

Bagaimana para ulama memahami ayat tersebut?

Ibnu Katsiir Asy-Syafi’i rahimahullah berkata :

{ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ } قال سفيان الثوري، حدثنا أبي، عن طلحة، عن عطاء، عن ابن عباس: أي القربة. وكذا قال مجاهد [وعطاء] وأبو وائل، والحسن، وقتادة، وعبد الله بن كثير، والسدي، وابن زيد.
وقال قتادة: أي تقربوا إليه بطاعته والعمل بما يرضيه

“Sufyan Ats-Tsauri berkata : menceritakan pada kami ayahku, dari Thalhah, dari ‘Atha, dari Ibnu Abbas : “makna al-wasilah adalah mendekatkan diri dengan amal ketaatan. Mujahid[1], ‘Atha[2], Abu Wail[3], Al-Hasan[4], Qatadah[5], Abdullah bin Katsiir[6], As-Suddi[7] dan Ibnu Zaid[8] pun sependapat dengan Ibnu Abbas.”

Qatadah berkata : “al-wasilah adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan melakukan ketaatan dan amal yang dapat mendatangkan keridhoan-Nya”[9]

As-Suyuthi rahimahullah berkata :

"وَابْتَغُوا" اُطْلُبُوا "إلَيْهِ الْوَسِيلَة" مَا يُقَرِّبكُمْ إلَيْهِ مِنْ طَاعَته

Mencari al-wasilah bermakna mencari segala sesuatu yang dapat mendekatkanmu kepada Allah berupa amal ketaatan”[10]

Al-Baidhawi rahimahullah berkata :

أي ما تتوسلون به إلى ثوابه والزلفى منه من فعل الطاعات وترك المعاصي

al-wasilah adalah segala sesuatu yang dapat menyampaikanmu kepada pahala Allah dan mendekatkan dirimu kepada-Nya dengan melakukan ketaatan dan meninggalkan maksiat”[11]

Al-Aluusiy rahimahullah berkata :

{ الوسيلة } هي فعيلة بمعنى ما يتوسل به ويتقرب إلى الله عز وجل من فعل الطاعات وترك المعاصي

al-wasilah adalah suatu amalan yang dapat menyampaikan dan mendekatkanmu kepada Allah ‘azza wajalla dengan melakukan ketaatan dan meninggalkan maksiat”[12]

Ar-Raazi rahimahullah berkata :

وكونوا متقين عن معاصي الله ، متوسلين إلى الله بطاعات الله

“mencari al-wasilah bermakna menjaga diri dari kemaksiatan dan bertawassul kepada Allah dengan amal ketaatan”

As-Sa’di rahimahullah berkata :

أي: القرب منه، والحظوة لديه، والحب له، وذلك بأداء فرائضه القلبية، كالحب له وفيه، والخوف والرجاء، والإنابة والتوكل. والبدنية: كالزكاة والحج. والمركبة من ذلك كالصلاة ونحوها

“mencari al-wasilah bermakna mendekatkan diri kepada Allah, melangkah di hadapan-Nya dan mencintai-Nya. Hal itu dapat dicapai dengan menunaikan amalan hati yang wajib seperti mencintai-Nya, cinta di jalan-Nya, khauf, raja’, inabah, tawakal dan melaksanakan amalan badan seperti zakat, haji, shalat dan semisalnya.”[13]

As-Samarqandi rahimahullah berkata :

{ وابتغوا إِلَيهِ الوسيلة } يعني اطلبوا القرابة والفضيلة بالأعمال الصالحة

“mencari al-wasilah yakni mendekatkan diri dan mencari keutamaan dengan amal-amal yang shalih”[14]

Dari uraian para imam ahli tafsir di atas, tidak diragukan lagi bahwa berdalil dengan ayat Al-Maidah ayat 35 untuk membolehkan tawassul kepada nabi dan para wali adalah sebuah kekeliruan, berawal dari kesalahpahaman mereka dalam menafsirkan ayat tersebut.

Allahua’lam


Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah 12 Dzulqa’dah 1433 H



[1] Imam Ath-Thabari berkata :
حدثني المثنى قال، حدثنا أبو حذيفة قال، حدثنا شبل، عن ابن أبي نجيح، عن مجاهد:"وابتغوا إليه الوسيلة"، القربة إلى الله جل وعزّ
[2] حدثنا هناد قال، حدثنا وكيع= ح، وحدثنا سفيان قال، حدثنا أبي عن طلحة، عن عطاء:"وابتغوا إليه الوسيلة"، قال: القربة

[3] وحدثنا ابن وكيع قال، حدثنا زيد بن الحباب، عن سفيان عن منصور، عن أبي وائل:"وابتغوا إليه الوسيلة"، قال: القربة في الأعمال

[4] حدثني المثني قال، حدثنا إسحاق قال، حدثنا عبد الرزاق قال، خبرنا معمر، عن الحسن في قوله:"وابتغوا إليه الوسيلة"، قال: القربة

[5] حدثنا بشر قال، حدثنا يزيد قال، حدثنا سعيد، عن قتادة قوله:"وابتغوا إليه الوسيلة"، أي: تقربوا إليه بطاعته والعملِ بما يرضيه

[6] حدثنا القاسم قال، حدثنا الحسين قال، حدثني حجاج، عن ابن جريج، عن عبد الله بن كثير قوله:"وابتغوا إليه الوسيلة"، قال: القربة

[7] حدثني محمد بن عمرو قال، حدثنا أحمد قال، حدثنا أسباط، عن السدي:"يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله وابتغوا إليه الوسيلة"، قال: فهي المسألة والقربة

[8] حدثني يونس قال، أخبرنا ابن وهب قال، قال ابن زيد في قوله:"وابتغوا إليه الوسيلة"، قال: المحبّة، تحبّبوا إلى الله. وقرأ:( أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ )

[9] Tafsir Ibnu Katsiir 103/3
[10] Tafsiir Al-Jalaalain 211/2
[11] Tafsiir Al-Baidhawi 72/2
[12] Tafsiir Al-Aluusiy 470/4
[13] Tafsiir As-Sa’di 230/1
[14] Tafsiir As-Samarqandi 472/1

Wednesday, September 26, 2012

Mengenal Ungkapan Jarh dan Ta’dil Perawi Hadits


Untuk mengetahui kedudukan suatu hadits apakah shahih atau dha’if, pertama yang harus kita lakukan adalah meneliti keadaan para perawi hadits tersebut. Jika seluruh perawinya tsiqah maka dzahir sanad haditsnya shahih. Namun sebaliknya jika terdapat perawi yang mendapatkan jarh (kritikan) oleh para ulama tentang ketsiqahannya maupun kekuatan hafalannya, maka hadits tersebut diragukan keshahihannya.

Para ulama jarh dan ta’dil menggunakan berbagai ungkapan untuk menjelaskan keadaan para perawi hadits, misalkan memberikan istilah tsiqah, shaduuq, la ba’sa bih, dan ungkapan yang semisal. Sehingga kita sebagai pemula dalam bidang hadits perlu tahu apa yang mereka maksudkan dengan istilah-istilah tersebut.


Secara ringkas tingkatan ta’dil perawi hadits dalam kutub rijal terbagi menjadi:

Pertama, Sahabat Nabi

Sahabat Nabi menduduki tingkatan tertinggi dalam ta’dil karena mereka adalah suatu kaum yang telah diridhai Allah dan mendapatkan banyak pujian dalam Al-Qur’an. Para ulama telah ijma’ (sepakat) bahwa seluruh sahabat nabi adalah adil. Telah disebutkan nukilan ijma’ permasalahan ini dalam artikel Ijma' (Kesepakatan) Ulama Ahlus-Sunnah tentang Keadilan Sahabat


Kedua, Ta’dil dengan ungkapan yang mengandung mubalaghah seperti أثبت الناس -أضبط الناس - لا أحد أثبت منه -من مثل فلان - فلان لا يُسأل عنه dan semisalnya.


Ketiga, Ta’dil dengan pengulangan istilah tautsiq seperti ثقة ثقة - حجة حجة -   ثبت ثبت - ثقة ثبت - ثبت حجة - ثقة حجة - ثبت حافظ - ثقة متقنdan semisalnya.

Keempat, Ungkapan ta’dil dengan menyebutkan satu istilah tautsiq seperti ثقة  حجة  حافظ  ثبت  متقن  إمام dan semisalnya.


Kelima, Ungkapan ta’dil yang lebih rendah kedudukannya dari tingkatan keempat, seperti

 ليس به بأس - لا بأس به - ما أعلم به بأساً  صدوق - محله الصدق - إلى الصدق ما هو - صدوق يهم  مأمون - خيار الخلق  متماسك - فلان وسط - مقارب الحديث.


Keenam, Ungkapan ta’dil yang paling rendah kedudukannya, seperti

 صالح الحديث - صدوق إن شاء الله - أرجو أن لا بأس به  صويلح  مقبول - ليس ببعيد من الصدق - يكتب حديثه 

atau ta’dil dengan menyebutkan keyakinan bid’ah yang ada pada perawi misal rafidhi, qadari, murji’ah dan firqah bid’ah lainnya.


Perincian hukum hadits tiap tingkatan ta’dil :


- Perawi yang disifati dengan ta’dil point 1-4 haditsnya shahih menurut kesepakatan ulama ahlul-hadits. Sebagian besarnya adalah para perawi dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim.


- Perawi yang disifat dengan ta’dil point 5 haditsnya hanya berderajat hasan lidzaatihi.


- Perawi yang disifati dengan ta’dil point 6 haditsnya tidak diterima dan tidak dapat dijadikan hujjah jika ia bersendirian dalam meriwayatkan. Namun jika terdapat riwayat lain yang menjadi syawahid dan mutaba’ah maka derajatnya bisa naik menjadi hasan lighairihi.

Tingkatan jarh perawi hadits dalam kutub rijal :


Pertama, Ungkapan jarh yang paling ringan, seperti فيه ضعف - في حديثه ضعف  ضُعِّف - فيه مقال - فيه لين - ليس بذاك - ليس بالقوي - ليس بالمأمون - ليس بحجة - تكلموا فيه - طعنوا فيه dan semisalnya


Kedua, Ungkapan jarh yang lebih parah dari tingkatan pertama, seperti لا يُحتج به - مضطرب الحديث - له مناكير - حديثه منكر - ضعيف dan semisalnya


Ketiga, Ungkapan jarh yang lebih parah dari tingkatan sebelumnya, seperti رُدَّ حديثه - ضعيف جداً - واهٍ بمرة  طرحوه - مطروح الحديث - ارم به - لا يكتب حديثه - لا تحل الرواية عنه - ليس بشيء - لا يساوي شيئاً - لا يستشهد بحديثه dan semisalnya


Keempat, Ungkapan jarh yang lebih parah dari tingkatan sebelumnya, seperti متهم بالكذب - يسرق الحديث - متروك الحديث  تركوه - ذاهب الحديث  ساقط  هالك - لا يعتبر به - مُجمعٌ على تركه dan semisalnya.


Kelima, Ungkapan jarh yang lebih parah dari tingkatan sebelumnya, seperti فلان كذاب  يكذب  وضاع - وضع حديثاً - دجال dan semisalnya.


Keenam, Ungkapan jarh yang paling parah, seperti فلان أكذب الناس - له المنتهى في الكذب - هو ركن الكذب  منبعه - معدنه dan semisalnya.


Perincian hukum hadits tiap tingkatan jarh:


- Perawi yang disifati dengan jarh point 1 dan 2, haditsnya dapat dijadikan sebagai syawahid dan mutaba’ah artinya jika terdapat riwayat lain yang semisal maka derajatnya bisa naik menjadi hasan lighairihi.

- Perawi yang disifati dengan jarh point 3 dan 4, haditsnya tidak dapat dijadikan hujjah dan tidak dapat dijadikan sebagai syawahid dan mutaba’ah untuk menguatkan riwayat yang lain.


- Perawi yang disifati dengan jarh point 5 dan 6, tidak boleh meriwayatkan hadits darinya secara mutlak kecuali untuk menjelaskan kelemahan hadits dan membantahnya.


Allahua’lam.



Disarikan oleh Abul-Harits dari Al-Jarh wat-Ta’dil bainan-Nadzariyyah wat-Tathbiiq di Madinah, 10 Dzulqa’dah 1433 H

Sunday, September 23, 2012

Dajjal Berada di Sebuah Pulau

Asy-Sya’bi rahimahullahu mengatakan kepada Fathimah bintu Qais radhiyallahu ‘anha: “Beri aku sebuah hadits yang kamu dengar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang tidak kamu sandarkan kepada seorang pun selain beliau.” Fathimah mengatakan: “Jika engkau memang menghendakinya akan aku lakukan.” “Ya, berikan aku hadits itu,” jawab Asy-Sya’bi.

Fathimah pun berkisah: “…Aku mendengar seruan orang yang berseru, penyeru Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menyeru ‘Ash-shalatu Jami’ah’. Aku pun keluar menuju masjid lantas shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan aku berada pada shaf wanita yang langsung berada di belakang shaf laki-laki. Tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai dari shalatnya maka beliau duduk di mimbar dan tertawa seraya mengatakan: ‘Hendaknya setiap orang tetap di tempat shalatnya.’ Kemudian kembali berkata: ‘Apakah kalian tahu mengapa aku kumpulkan kalian?’ Para sahabat menjawab: ‘Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan: ‘Sesungguhnya –demi Allah-, aku tidak kumpulkan kalian untuk sesuatu yang menggembirakan atau menakutkan kalian. Namun aku kumpulkan kalian karena Tamim Ad-Dari. Dahulu ia seorang Nasrani lalu datang kemudian berbai’at dan masuk Islam serta mengabariku sebuah kisah, sesuai dengan apa yang aku ceritakan kepada kalian tentang Al-Masih Ad-Dajjal.

Ia memberitakan bahwa ia naik kapal bersama 30 orang dari Kabilah Lakhm dan Judzam. Lalu mereka dipermainkan oleh ombak hingga berada di tengah lautan selama satu bulan. Sampai mereka terdampar di sebuah pulau di tengah lautan tersebut saat tenggelamnya matahari. Mereka pun duduk (menaiki) perahu-perahu kecil. Setelah itu mereka memasuki pulau tersebut hingga menjumpai binatang yang berambut sangat lebat dan kaku. Mereka tidak tahu mana qubul dan mana dubur-nya, karena demikian lebat bulunya. Mereka pun berkata: ‘Apakah kamu ini?’ Ia (binatang yang bisa berbicara itu) menjawab: ‘Aku adalah Al-Jassasah.’ Mereka mengatakan: ‘Apa Al-Jassasah itu?’ Ia (justru mengatakan): ‘Wahai kaum, pergilah kalian kepada laki-laki yang ada rumah ibadah itu. Sesungguhnya ia sangat merindukan berita kalian.’ Tamim mengatakan: ‘Ketika dia menyebutkan untuk kami orang laki-laki, kami khawatir kalau binatang itu ternyata setan.’ Tamim mengatakan: ‘Maka kami pun bergerak menuju kepadanya dengan cepat sehingga kami masuk ke tempat ibadah itu. Ternyata di dalamnya ada orang yang paling besar yang pernah kami lihat dan paling kuat ikatannya. Kedua tangannya terikat dengan lehernya, antara dua lututnya dan dua mata kakinya terikat dengan besi. Kami katakan: ‘Celaka kamu, apa kamu ini?’ Ia menjawab: ‘Kalian telah mampu mengetahui tentang aku. Maka beritakan kepadaku siapa kalian ini?’ Mereka menjawab: ‘Kami ini orang-orang dari Arab. Kami menaiki kapal ternyata kami bertepatan mendapati laut sedang bergelombang luar biasa, sehingga kami dipermainkan ombak selama satu bulan lamanya, sampai kami terdampar di pulaumu ini. Kami pun naik perahu kecil, lalu memasuki pulau ini dan bertemu dengan binatang yang sangat lebat dan kaku rambutnya. Tidak diketahui mana qubul-nya dan mana duburnya karena lebatnya rambut. Kamipun mengatakan: ‘Celaka kamu, apa kamu ini?’ Ia menjawab: ‘Aku adalah Al-Jassasah.’ Kamipun bertanya lagi: ‘Apa Al-Jassasah itu?’ Ia malah menjawab, pergilah ke rumah ibadah itu sesungguhnya ia sangat merindukan berita kalian. Maka kami pun segera menujumu dan kami takut dari binatang itu. Kami tidak merasa aman kalau ternyata ia adalah setan.’

Lalu orang itu mengatakan: ‘Kabarkan kepadaku tentang pohon-pohon korma di Baisan.’

Kami mengatakan: ‘Tentang apanya engkau meminta beritanya?’

‘Aku bertanya kepada kalian tentang pohon kormanya, apakah masih berbuah?’ katanya.

Kami menjawab: ‘Ya.’

Ia mengatakan: ‘Sesungguhnya hampir-hampir ia tidak akan mengeluarkan buahnya. Kabarkan kepadaku tentang danau Thabariyyah.’

Kami jawab: ‘Tentang apa engkau meminta beritanya?’

‘Apakah masih ada airnya?’ jawabnya.

Mereka menjawab: ‘Danau itu banyak airnya.’

Ia mengatakan: ‘Sesungguhnya hampir-hampir airnya akan hilang. Kabarkan kepadaku tentang mata air Zughar1.’

Mereka mengatakan: ‘Tentang apanya kamu minta berita?’

‘Apakah di mata air itu masih ada airnya? Dan apakah penduduknya masih bertani dengan airnya?’ jawabnya.

Kami katakan: ‘Ya, mata air itu deras airnya dan penduduknya bertani dengannya.’ Ia mengatakan: ‘Kabarkan kepadaku tentang Nabi Ummiyyin, apa yang dia lakukan?’

Mereka menjawab: ‘Ia telah muncul dari Makkah dan tinggal di Yatsrib (Madinah).’

Ia mengatakan: ‘Apakah orang-orang Arab memeranginya?’

Kami menjawab: ‘Ya.’

Ia mengatakan lagi: ‘Apa yang dia lakukan terhadap orang-orang Arab?’ Maka kami beritakan bahwa ia telah menang atas orang-orang Arab di sekitarnya dan mereka taat kepadanya.

Ia mengatakan: ‘Itu sudah terjadi?’

Kami katakan: ‘Ya.’

Ia mengatakan: ‘Sesungguhnya baik bagi mereka untuk taat kepadanya. Dan aku akan beritakan kepada kalian tentang aku, sesungguhnya aku adalah Al-Masih. Dan hampir-hampir aku diberi ijin untuk keluar sehingga aku keluar lalu berjalan di bumi dan tidak ku tinggalkan satu negeri pun kecuali aku akan turun padanya dalam waktu 40 malam kecuali Makkah dan Thaibah, keduanya haram bagiku. Setiap kali aku akan masuk pada salah satunya, malaikat menghadangku dengan pedang terhunus di tangannya, menghalangiku darinya. Dan sesungguhnya pada setiap celahnya (dua kota itu) ada para malaikat yang menjaganya.’

Fathimah mengatakan: ‘Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dengan menusukkan tongkatnya di mimbar sambil mengatakan: ‘Inilah Thaibah, inilah Thaibah, inilah Thaibah2, yakni Al-Madinah. Apakah aku telah beritahukan kepada kalian tentang hal itu?’

Orang-orang menjawab: ‘Ya.’

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sesungguhnya cerita Tamim menakjubkanku, di mana sesuai dengan apa yang kuceritakan kepada kalian tentangnya (Dajjal), serta tentang Makkah dan Madinah. Ketahuilah bahwa ia berada di lautan Syam atau lautan Yaman- tidak, bahkan dari arah timur. Tidak, dia dari arah timur. Tidak, dia dari arah timur. Tidak, dia dari arah timur -dan beliau mengisyaratkan dengan tangannya ke arah timur-.’

Fathimah mengatakan: “Ini saya hafal dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

(HR. Muslim, Kitabul Fitan wa Asyrathis Sa’ah, Bab Qishshatul Jassasah)

1 Nama sebuah daerah di Syam.

2 Dalam riwayat lain beliau mengatakan: "Dan itu adalah Dajjal."


Sumber:
www.salafy.or.id
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=534

Thursday, September 20, 2012

Masuk Islamnya Pendeta Italia Setelah Menyaksikan Penyelenggaraan Jenazah Raja Fahd


Hidayah Allah datangnya tidak bisa diraba-raba. Apabila Allah menghendaki maka ia akan mendatangi hamba yang berbahagia itu. Demikianlah  seorang pendeta asal Italia.
Seorang pendeta terkenal di Italia mengumumkan  setelah menyaksikan jenazah  Arab Saudi, Fahd bin Abdul Aziz, untuk kemudian mengucapkan dua kalimat syahadat. Hal itu terjadi setelah ia melihat betapa sederhananya prosesi pemakaman jenazah yang jauh dari pengeluaran biaya yang mahal dan berlebihan.
Sang mantan pendeta telah mengikuti secara seksama prosesi pemakaman sang Raja yang bersamaan waktunya dengan jenazah yang lain. Ia melihat tidak ada perbedaan sama sekali antara kedua jenazah tersebut. Keduanya sama-sama dishalatkan dalam waktu yang bersamaan.

Pemandangan ini meninggalkan kesan mendalam tersendiri pada dirinya sehingga gambaran persamaan di dalam Islam dan betapa sederhananya prosesi pemakaman yang disaksikan oleh seluruh dunia di pekuburan ‘el-oud’ itu membuatnya masuk Islam dan merubah kehidupannya. Tidak ada perbedaan sama sekali antara kuburan seorang raja dan penguasa besar dengan kuburan rakyat jelata. Karena itulah, ia langsung mengumumkan masuk Islam.
Salah seorang pengamat masalah dakwah Islam mengatakan, kisah masuk Islamnya sang pendeta tersebut setelah sekian lama perjalanan yang ditempuh mengingatkan pada upaya besar yang telah dikerahkan di dalam mengenalkan Islam kepada sebagian orang-orang Barat. Ada seorang Da’i yang terus berusaha sepanjang 15 tahun untuk berdiskusi dengan pendeta ini dan mengajaknya masuk Islam. Tetapi usaha itu tidak membuahkan hasil hingga ia sendiri menyaksikan prosesi pemakaman Raja Fahd yang merupakan pemimpin yang dikagumi dan brilian. Baru setelah itu, sang pendeta masuk Islam.
Sang Muslim baru yang mengumumkan keislamannya itu pada hari prosesi pemakaman jenazah pernah berkata kepada Dr al-Malik, “Buku-buku yang kalian tulis, surat-surat kalian serta diskusi dan debat yang kalian gelar tidak bisa mengguncangkanku seperti pemandangan yang aku lihat pada pemakaman jenazah raja Fahd yang demikian sederhana dan penuh toleransi ini.”
Ia menambahkan, “Pemandangan para hari Selasa itu akan membekas pada jiwa banyak orang yang mengikuti prosesi itu dari awal seperti saya ini.”
Ia meminta agar kaum Muslimin antusias untuk menyebarkan lebih banyak lagi gambaran toleransi Islam dan keadilannya agar dapat membekas pada jiwa orang lain. Ia menegaskan, dirinya telah berjanji akan mengerahkan segenap daya dan upaya dari sisa usianya yang 62 tahun in untuk menyebarkan gambaran Islam yang begitu ideal. Semoga Allah menjadikan keislamannya berkah bagi alam semesta…(istod/AH/alsofwah.or.id)