Thursday, August 30, 2012

Siapakah yang Boleh Berbicara tentang Fitnah di Tengah Ahlus-Sunnah?

Allah ta’ala berfirman,

وَإِذَا جَاءَهُمْ أَمْرٌ مِنَ الْأَمْنِ أَوِ الْخَوْفِ أَذَاعُوا بِهِ وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ وَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطَانَ إِلَّا قَلِيلًا

“Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau pun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Andaikan mereka menyerahkan urusannya kepada Rasul dan Ulil Amri (pemegang urusan dari kalangan umaro dan orang-orang berilmu) di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kamu, tentulah kamu mengikut setan, kecuali sebahagian kecil saja (di antaramu).” [An-Nisa’: 83]

Al-‘Allamah Al-Mufassir Abdur Rahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata,

هذا تأديب من الله لعباده عن فعلهم هذا غير اللائق. وأنه ينبغي لهم إذا جاءهم أمر من الأمور المهمة والمصالح العامة ما يتعلق بالأمن وسرور المؤمنين، أو بالخوف الذي فيه مصيبة عليهم أن يتثبتوا ولا يستعجلوا بإشاعة ذلك الخبر، بل يردونه إلى الرسول وإلى أولي الأمر منهم، أهلِ الرأي والعلم والنصح والعقل والرزانة، الذين يعرفون الأمور ويعرفون المصالح وضدها. فإن رأوا في إذاعته مصلحة ونشاطا للمؤمنين وسرورا لهم وتحرزا من أعدائهم فعلوا ذلك. وإن رأوا أنه ليس فيه مصلحة أو فيه مصلحة ولكن مضرته تزيد على مصلحته، لم يذيعوه، ولهذا قال: { لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ مِنْهُمْ } أي: يستخرجونه بفكرهم وآرائهم السديدة وعلومهم الرشيدة.

Monday, August 27, 2012

Bolehkah Menjadikan Umrah Sebagai Mahar?


Tanya :

Saya berangan-angan dan berharap kepada Allah agar diberikan rizki berupa umrah atau haji karena keadaan ekonomi keluargaku yang kurang mampu. Jika aku menikah nanti dan mendapatkan suami yang shalih, bolehkah saya mensyaratkan umrah sebagai mahar dalam pernikahanku, jika memang hal itu memungkinkan. Apakah syarat ini menyelisihi syariat atau menjadikan syubhat dalam akad nikah?

Jawab :

Lembaga Fatwa Saudi Arabia yang diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan beranggotakan Syaikh Shalih Al-Fauzan, Syaikh Abdullah bin Ghudayyan dan Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahumullah menjawab,

لا حرج عليك أن تشترطي كون مهرك عمرة، فقد ثبت في الصحيحين أن النبي -صلى الله عليه وسلم- زوج رجلا من أصحابه بامرأة على ما معه من القرآن نسأل الله أن يرزقك الزوج الصالح، وأن يمن علينا وعليك بالثبات على الحق إنه سميع قريب مجيب. وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.

“Tidak mengapa engkau mensyaratkan maharmu adalah umrah. Sungguh telah tsabit dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menikahkan seorang wanita dengan salah seorang sahabatnya dengan mahar (mengajarkan) bacaan Al-Qur’an yang dihafal. Kita memohon kepada Allah agar memberikan rizki kepadamu berupa suami yang shalih dan memberikan kepada kita kekokohan di atas kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa. [Fataawaa Lajnah Daaimah no 21039 juz 19/37]

Diterjemahkan oleh Abul-Harits dari http://www.alifta.net/Fatawa/FatawaChapters.aspx?View=Page&BookID=3&PageID=7153&back=true

Bolehkah Seorang Sunni Menikahi Wanita Syi'ah?

Tanya : 

Bolehkah seorang Sunni (Ahlus-Sunnah)  menikah dengan wanita Rafidhah (Syi'ah), bagaimana pula jika akad nikah telah dilaksanakan?

Jawab :

Lembaga Fatwa Saudi Arabia yang diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan beranggotakan Syaikh Abdurrazaq 'Afifi, Syaikh Abdullah bin Ghudayyan dan Syaikh Abdullah bin Qu'ud rahimahumullah menjawab,

لا يجوز للسني أن يتزوج من نساء الرافضة، وإذا وقع النكاح وجب فسخه؛ لأن المعروف عنهم دعوة أهل البيت والاستغاثة بهم، وذلك من الشرك الأكبر.

وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.


"Tidak boleh seorang Sunni menikahi wanita-wanita Rafidhah (Syi'ah). Jika mereka telah menikah maka wajib dibatalkan akadnya (faskh), karena mereka (kaum Syi'ah) dikenal suka berdoa dan beristighatsah kepada ahlul-bait (keturunan nabi shallallahu 'alaihi wasallam), perbuatan tersebut termasuk dalam syirik akbar (mengeluarkan dari Islam -pen-)."

Diterjemahkan oleh Abul-Harits dari http://www.alifta.net/Fatawa/FatawaChapters.aspx?View=Page&BookID=3&PageID=6998&back=true

Thursday, August 16, 2012

Peninggalan Kaum Tsamuud dan 'Aad (Kaum Nabi Terdahulu)

Kaum Tsamuud, Kaum Nabi Shaleh

Tsamuud adalah nama suatu suku yang oleh sementara ahli sejarah dimasukkan bahagian dari bangsa Arab dan ada pula yang menggolongkan mereka ke dalam bangsa Yahudi. Mereka bertempat tinggal di suatu dataran bernama ” Alhijir ” terletak antara Hijaz dan Syam yang dahulunya termasuk jajahan dan dikuasai suku Aad yang telah habis binasa disapu angin taufan yang di kirim oleh Allah sebagai pembalasan atas pembangkangan dan pengingkaran mereka terhadap dakwah dan risalah Nabi Hud 'alaihis salam


Mereka adalah kaum yang kufur kepada Allah. Bergelimang dengan kesyirikan dan kemaksiatan. Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang tidak akan membiarkan hamba-hamba_Nya berada dalam kegelapan terus-menerus tanpa diutusnya Rasul dari sisi-Nya untuk memberi penerangan dan memimpin mereka keluar dari jalan yang sesat ke jalan yang benar.

 

 

Galeri Benteng Khaibar

Benteng Khaibar adalah benteng pertahanan terkuat milik Yahudi di masa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.


Benteng tersebut terletak di oasis Khaibar, sejauh 150 kilometer dari kota Madinah di bagian timur laut semenanjung Arab.


Di sanalah terjadi peperangan antara hizbullah dan hizbusysyaiton, yahudi. Peperangan Khaibar terjadi pada tahun 629 M  Pertempuran ini berakhir dengan kemenangan kaum muslimin.

 

 

Hukum Memberikan Zakat Kepada Pembantu Rumah Tangga

Tanya :

Apakah saya berdosa jika memberikan shadaqah kepada orang yang tidak shalat dan tidak pula berpuasa. Perlu diketahui bahwa mereka adalah wanita yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah?

 Jawab :

“Jika shadaqah tersebut merupakan zakat, maka tidak boleh diberikan kepada pembantu rumah tangga, baik ia adalah seorang muslim maupun kafir. Ketidak-bolehan memberikan zakat kepada orang yang kafir, (ini sangat jelas -pen-). Adapun jika pembantu rumah tangga kita adalah seorang muslim, maka tetap tidak diperbolehkan memberikan zakat padanya, karena dikhawatirkan zakat tersebut merupakan bentuk upah atau dorongan agar dia tetap bekerja sebagai pembantu (di rumah kita -pen-). Namun jika shodaqoh tersebut sifatnya sunnah (bukan zakat -pen-) maka boleh memberikannya kepada mereka.” [Fataawaa Islamiyyah hal. 363]

Diterjemahkan oleh Thalib Ma’had Ibnu Taimiyyah Sumpiuh

Wednesday, August 15, 2012

Boleh Mengadakan Acara Syukuran Rumah Baru

Tanya (1) : 

"Apakah hukumnya melakukan syukuran ketika akan pindah rumah dan hal-hal apa yang perlu dilakukan ketika akan pindah rumah menurut tuntunan Rasulullah?"


Jawab : 


Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafidzahullah menjawab,



Benarkah Nabi Khidir Masih Hidup?

Banyak kisah-kisah tentang Nabi Khidir yang ramai dibicarakan orang, banyak kontroversi tentang kemunculannya, sehingga hal itu mendorong rasa ingin tahu tentang hakikat sebenarnya. Ada yang menyatakan Nabi Khidir masih hidup, adapula yang menyatakan Khidir sekarang berdiam di sebuah pulau, ada pula yang menyatakan bahwa setiap musim haji Nabi Khidir rutin mengunjungi padang Arafah.


Entah khidir siapa dan yang mana? Tapi yang jelas begitulah khurafat dan takhayyul berkembang di tengah masyarakat kita. Lucunya, banyak pula orang-orang yang sangat mempercayai perkara-perkara tersebut.

Semua ini berpangkal dari kesalahpahaman mereka tentang hakekat Nabi Khidir. Terlebih lagi orang-orang ekstrim dari kalangan pengikut tarekat dan tasawwuf yang membumbui berbagai macam dongeng dan cerita bohong tentang Khidir.


Sebagian di antara mereka, ada yang mengaku telah bertemu dengan Khidir, berbicara dengannya dan mendapat wasiat dan ilham darinya. Misalnya di tanah air kita ini, ada sebagian orang yang mengaku telah bertemu dengan Khidir dan mengambil bacaan-bacaan shalawat, wirid-wirid dan dzikir dari Khidir secara langsung, tanpa perantara, atau melalui mimpi. Bahkan ada pula yang mengaku dialah Nabi Khidir -Shallallahu ‘alaihi wasallam-. Semua ini adalah keyakinan batil!!


Tuesday, August 14, 2012

Hukum Membiasakan Bersalaman Setelah Shalat

Tanya :


Apakah hukum seorang yang kebiasaannya selalu bersalaman setelah shalat fardhu?



Jawab :



Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah menjawab,



وأما المصافحة عقب الصلوات فبدعة لا شك فيها إلا أن تكون بين اثنين لم يكونا قد تلاقيا قبل ذلك فهي سنة


"Adapun bersalaman setelah shalat-shalat fardhu, maka tidak diragukan lagi kebid'ahannya. Kecuali bagi dua orang yang bertemu dan belum bersalaman sebelumnya, maka hukumnya sunnah."




Diterjemahkan oleh Abul-Harits dari http://www.obailan.net/news.php?action=show&id=171 

Siapakah Nama Malaikat Pencabut Nyawa?

Tanya :

Apakah malaikat pencabut nyawa bernama Izrail?

Jawab :

Syaikh Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah menjawab,

Hukum Ucapan "Shadaqallahul 'azhiim" Setelah Selesai Membaca Al-Qur'an

Tanya :

Apakah disyariatkan membaca doa "shadaqallahul 'adziim" setelah membaca Al-Qur'an?

Jawab :

Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah (anggota Lembaga Fatwa Saudi Arabia) menjawab,


Monday, August 13, 2012

Menuntut Ilmu atau Menikah?

Tanya :

Aku tidak sabar untuk segera menikah, mana yang lebih aku dahulukan, menuntut ilmu atau menikah?

Jawab :

Syaikh Rabi' Al-Madkhali hafidzahullah menjawab,


إذا استطعت أن تصبر وتتعلم فاصبر؛ يعني تعلموا قبل أن تسودوا كما قال عمر رضي الله عنه، بعضهم قد يعوقه الزواج عن العلم؛ فإذا تزوج ترك العلم وراح يكد على نفسه .إذا كان عنده سعة يجمع بين المصلحتين فطيب، ما عنده ويرى أنه يذهب يفجر ويزني وكذا -فوالله- أن يتزوج ويصون نفسه ويعفّها أولى

"Jika kau mampu, hendaknya bersabar dan terus menuntut ilmu. Bersabarlah...yakni pelajarilah ilmu sebelum kalian dijadikan panutan oleh umat sebagaimana perkataan Umar radhiyallahu 'anhu. Pada sebagian orang terkadang menikah dapat menghalangi seseorang dari menuntut ilmu. Setelah menikah, ia meninggalkan majelis ilmu dan bersantai-santai. Adapun jika ia memiliki keluasan, sehingga dapat menggabungkan dua maslahat (menuntut ilmu dan menikah -pen-), maka hal itu baik. Namun jika dikhawatirkan ia tidak dapat bersabar lalu berbuat keji dan berzina, maka demi Allah engkau menikah, menjaga diri dan memelihara kehormatanmu ('iffah) lebih utama."


Diterjemahkan oleh Abul-Harits dari http://www.rabee.net/show_fatwa.aspx?id=213

Kitab Fiqih Bagi Pemula

Tanya:

Kitab apa yang paling baik dibaca oleh penuntut ilmu pemula dalam bidang fiqih?

Jawab :

Syaikh Rabi' Al-Madkhali hafidzahullah menjawab,

Apakah Dosa di Bulan Ramadhan Dilipatgandakan?


Tanya :

Apakah dosa yang dilakukan di bulan Ramadhan dilipatgandakan sebagaimana pahala juga dilipatgandakan?

Jawab :

Mufti Saudi Arabia Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjawab,

السيئات في كل مكان إنما تضاعف من جهة الكيفية لا من جهة العدد لقول الله سبحانه (من جاء بالحسنة فله عشر أمثالها ومن جاء بالسيئة فلا يجزى إلا مثلها وهم لا يظلمون) ولما ثبت في الأحاديث الصحيحة الدالة على هذا المعنى لكن السيئات يتفاوت إثمها بحسب كبرها في نفسها وصغرها وبحسب الزمان كرمضان وعشر ذي الحجة وبحسب المكان كالحرمين الشريفين ولأسباب أخرى. والله ولي التوفيق

“Keburukan (dosa) di setiap tempat hanyalah dilipatgandakan dari sisi kaifiyyah bukan dari sisi jumlah bilangan. Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wata’ala : ((Barangsiapa yang beramal kebaikan maka baginya sepuluh kali lipat, dan barangsiapa yang beramal keburukan maka ia tidak akan dibalas kecuali dengan yang semisalnya sedangkan mereka tidak akan didzalimi)). Dan telah sah dalam hadits-hadits shahih yang menunjukkan makna ini. Besarnya dosa juga bertingkat-tingkat. Perbedaan tingkatan  dosa ini bergantung pada jenis dosanya, besar atau kecilnya dan tergantung pada waktunya seperti dosa yang dilakukan di bulan Ramadhan, di 10 hari pertama bulan Dzulhijjah, dan juga bergantung pada tempatnya seperti Al-Haramain (Makkah dan Madinah –pen-) dan  sebab-sebab yang lain.  

Wallahu waliyut taufiiq


Diterjemahkan oleh Abul-Harits dari  http://islamancient.com/play.php?catsmktba=5045

Saturday, August 11, 2012

Mengenal Kelompok Sesat Mu'tazilah dan Pokok Ajarannya

Sejarah Munculnya Mu’tazilah

Kelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan mati pada tahun 131 H. Di dalam menyebarkan bid’ahnya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran bid’ah, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah. (Lihat Firaq Mu’ashirah, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali Awaji, 2/821, Siyar A’lam An-Nubala, karya Adz-Dzahabi, 5/464-465, dan Al-Milal Wan-Nihal, karya Asy-Syihristani hal. 46-48)

Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. Hingga kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar terwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah -pen). (Al-Milal Wan-Nihal, hal.29)

Oleh karena itu, tidaklah aneh bila kaidah nomor satu mereka berbunyi: “Akal lebih didahulukan daripada syariat (Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’, pen) dan akal-lah sebagai kata pemutus dalam segala hal. Bila syariat bertentangan dengan akal –menurut persangkaan mereka– maka sungguh syariat tersebut harus dibuang atau ditakwil. (Lihat kata pengantar kitab Al-Intishar Firraddi ‘alal Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 1/65)

Ini merupakan kaidah yang batil, karena kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah akan perintahkan kita untuk merujuk kepadanya ketika terjadi perselisihan. Namun kenyataannya Allah perintahkan kita untuk merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana yang terdapat dalam Surat An-Nisa: 59. Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka Allah tidak akan mengutus para Rasul pada tiap-tiap umat dalam rangka membimbing mereka menuju jalan yang benar sebagaimana yang terdapat dalam An-Nahl: 36. Kalaulah akal itu lebih utama dari syariat maka akal siapakah yang dijadikan sebagai tolok ukur?! Dan banyak hujjah-hujjah lain yang menunjukkan batilnya kaidah ini. Untuk lebih rincinya lihat kitab Dar’u Ta’arrudhil ‘Aqli wan Naqli, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan kitab Ash-Shawa’iq Al-Mursalah ‘Alal-Jahmiyyatil-Mu’aththilah, karya Al-Imam Ibnul-Qayyim.

Mengapa Disebut Mu’tazilah?

Mu’tazilah, secara etimologis bermakna: orang-orang yang memisahkan diri. Sebutan ini mempunyai suatu kronologi yang tidak bisa dipisahkan dengan sosok Al-Hasan Al-Bashri, salah seorang imam di kalangan tabi’in.

Asy-Syihristani rahimahullah berkata: (Suatu hari) datanglah seorang laki-laki kepada Al-Hasan Al-Bashri seraya berkata: “Wahai imam dalam agama, telah muncul di zaman kita ini kelompok yang mengkafirkan pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik). Dan dosa tersebut diyakini sebagai suatu kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama, mereka adalah kaum Khawarij. Sedangkan kelompok yang lainnya sangat toleran terhadap pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik), dan dosa tersebut tidak berpengaruh terhadap keimanan. Karena dalam madzhab mereka, suatu amalan bukanlah rukun dari keimanan dan kemaksiatan tidak berpengaruh terhadap keimanan sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh terhadap kekafiran, mereka adalah Murji’ah umat ini. Bagaimanakah pendapatmu dalam permasalahan ini agar kami bisa menjadikannya sebagai prinsip (dalam beragama)?” 

Al-Hasan Al-Bashri pun berpikir sejenak dalam permasalahan tersebut. Sebelum beliau menjawab, tiba-tiba dengan lancangnya Washil bin Atha’ berseloroh: “Menurutku pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, namun ia juga tidak kafir, bahkan ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan, tidak mukmin dan juga tidak kafir.” Lalu ia berdiri dan duduk menyendiri di salah satu tiang masjid sambil tetap menyatakan pendapatnya tersebut kepada murid-murid Hasan Al-Bashri lainnya. Maka Al-Hasan Al-Bashri berkata: “ اِعْتَزَلَ عَنَّا وَاصِلً” “Washil telah memisahkan diri dari kita”, maka disebutlah dia dan para pengikutnya dengan sebutan Mu’tazilah.(Al-Milal Wan-Nihal,hal.47-48 )

Pertanyaan itu pun akhirnya dijawab oleh Al-Hasan Al-Bashri dengan jawaban Ahlussunnah Wal Jamaah: “Sesungguhnya pelaku dosa besar (di bawah dosa syirik) adalah seorang mukmin yang tidak sempurna imannya. Karena keimanannya, ia masih disebut mukmin dan karena dosa besarnya ia disebut fasiq (dan keimanannya pun menjadi tidak sempurna).” (Lihat kitab Lamhah ‘Anil-Firaq Adh-Dhallah, karya Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, hal.42)

Asas dan Landasan Mu’tazilah

Mu’tazilah mempunyai asas dan landasan yang selalu dipegang erat oleh mereka, bahkan di atasnya-lah prinsip-prinsip mereka dibangun.
Asas dan landasan itu mereka sebut dengan Al-Ushulul-Khomsah (lima landasan pokok). Adapun rinciannya sebagai berikut:

Landasan Pertama: At-Tauhid
 
Yang mereka maksud dengan At-Tauhid adalah mengingkari dan meniadakan sifat-sifat Allah, dengan dalil bahwa menetapkan sifat-sifat tersebut berarti telah menetapkan untuk masing-masingnya tuhan, dan ini suatu kesyirikan kepada Allah, menurut mereka (Firaq Mu’ashirah, 2/832). Oleh karena itu mereka menamakan diri dengan Ahlut-Tauhid atau Al-Munazihuuna lillah (orang-orang yang mensucikan Allah).
 
Bantahan: 

1. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Dalil ini sangat lemah, bahkan menjadi runtuh dengan adanya dalil sam’i (naqli) dan ‘aqli yang menerangkan tentang kebatilannya. Adapun dalil sam’i: bahwa Allah ta'ala mensifati dirinya sendiri dengan sifat-sifat yang begitu banyak, padahal Dia Dzat Yang MahaTunggal. Allah  berfirman:

إِنَّ بَطْشَ رَبِّكَ لَشَدِيدٍ 0 إِنَّه هُوَ يُبْدِئُ وَيُعِيدُ 0 وَهُوَ الْغَفُورُ الْوَدُودُ 0 ذُو الْعَرْشِ الْمَجِيدُ 0 فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ0

Sesungguhnya adzab Rabbmu sangat dahsyat. Sesungguhnya Dialah yang menciptakan (makhluk) dari permulaan dan menghidupkannya (kembali), Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Pengasih, Yang mempunyai ‘Arsy lagi Maha Mulia, Maha Kuasa berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (Al-Buruuj: 12-16)

سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ اْلأَعْلَى0 الَّذِي خَلَقَ فَسَوَّى0 وَالَّذِيْ قَدَّرَ فَهَدَى0 وَالَّذِي أَخْرَجَ الْمَرْعَى0 فَجَعَلَه غُثَآءً أَحْوَى
 
Sucikanlah Nama Rabbmu Yang Maha Tinggi, Yang Menciptakan dan Menyempurnakan (penciptaan-Nya), Yang Menentukan taqdir (untuk masing-masing) dan Memberi Petunjuk, Yang Menumbuhkan rerumputan, lalu Ia jadikan rerumputan itu kering kehitam-hitaman.” (Al-A’la: 1-5) 

Adapun dalil ‘aqli: bahwa sifat-sifat itu bukanlah sesuatu yang terpisah dari yang disifati, sehingga ketika sifat-sifat tersebut ditetapkan maka tidak menunjukkan bahwa yang disifati itu lebih dari satu, bahkan ia termasuk dari sekian sifat yang dimiliki oleh dzat yang disifati tersebut. Dan segala sesuatu yang ada ini pasti mempunyai berbagai macam sifat … “ (Al-Qawa’idul-Mutsla, hal. 10-11)
 
2. Menetapkan sifat-sifat Allah tanpa menyerupakannya dengan sifat makhluq bukanlah bentuk kesyirikan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Ar-Risalah Al-Hamawiyah: “Menetapkan sifat-sifat Allah tidak termasuk meniadakan kesucian Allah, tidak pula menyelisihi tauhid, atau menyamakan Allah dengan makhluk-Nya.” Bahkan ini termasuk konsekuensi dari tauhid al-asma wash-shifat. Sedangkan yang meniadakannya, justru merekalah orang-orang yang terjerumus ke dalam kesyirikan. Karena sebelum meniadakan sifat-sifat Allah tersebut, mereka terlebih dahulu menyamakan sifat-sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya. Lebih dari itu, ketika mereka meniadakan sifat-sifat Allah yang sempurna itu, sungguh mereka menyamakan Allah dengan sesuatu yang penuh kekurangan dan tidak ada wujudnya. Karena tidak mungkin sesuatu itu ada namun tidak mempunyai sifat sama sekali. Oleh karena itu Ibnul-Qayyim rahimahullah di dalam Nuniyyah-nya menjuluki mereka dengan ‘Abidul-Ma’duum (penyembah sesuatu yang tidak ada wujudnya). (Untuk lebih rincinya lihat kitab At- Tadmuriyyah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, hal.79-81)
 
Atas dasar ini mereka lebih tepat disebut dengan Jahmiyyah, Mu’aththilah, dan penyembah sesuatu yang tidak ada wujudnya.
 
Landasan kedua: Al-‘Adl (keadilan)
 
Yang mereka maksud dengan keadilan adalah keyakinan bahwasanya kebaikan itu datang dari Allah, sedangkan kejelekan datang dari makhluk dan di luar kehendak (masyi’ah) Allah ta'ala . Dalilnya adalah firman Allah ta'ala:

وَاللهُ لاَ يُحِبُّ الْفَسَادَ

Dan Allah tidak suka terhadap kerusakan.” (Al-Baqarah: 205)

وَلاَ يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ

Dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya.” (Az-Zumar: 7)
 
Menurut mereka kesukaan dan keinginan merupakan kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga mustahil bila Allah tidak suka terhadap kejelekan, kemudian menghendaki atau menginginkan untuk terjadi (mentaqdirkannya). Oleh karena itu mereka menamakan diri dengan Ahlul-‘Adl atau Al-‘Adliyyah.
 
Bantahan:

Asy-Syaikh Yahya bin Abil-Khair Al-‘Imrani rahimahullah  berkata: “Kita tidak sepakat bahwa kesukaan dan keinginan itu satu. Dasarnya adalah firman Allah ta'ala:

فَإِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْكَافِرِينَ


Maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Ali ‘Imran: 32)
Padahal kita semua tahu bahwa Allah-lah yang menginginkan adanya orang-orang kafir tersebut dan Dialah yang menciptakan mereka. (Al-Intishar Firraddi ‘Alal- Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 1/315)

Terlebih lagi Allah telah menyatakan bahwasanya apa yang dikehendaki dan dikerjakan hamba tidak lepas dari kehendak dan ciptaan-Nya. Allah ta'ala berfirman:

وَمَا تَشَآءُونَ إِلاَّ أَنْ يَشَآءَ اللهُ

Dan kalian tidak akan mampu menghendaki (jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.” (Al-Insan: 30)

وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ

Padahal Allah-lah yang menciptakan kalian dan yang kalian perbuat.” (Ash-Shaaffaat: 96)
 
Dari sini kita tahu, ternyata istilah keadilan itu mereka jadikan sebagai kedok untuk mengingkari kehendak Allah ta'ala yang merupakan bagian dari taqdir Allah ta'ala. Atas dasar inilah mereka lebih pantas disebut dengan Qadariyyah, Majusiyyah, dan orang-orang yang zalim.
 
Landasan Ketiga: Al-Wa’du Wal-Wa’id
 
Yang mereka maksud dengan landasan ini adalah bahwa wajib bagi Allah untuk memenuhi janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam Al-Jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar, kekal abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya. Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah.
 
Bantahan:
 
1. Seseorang yang beramal shalih (sekecil apapun) akan mendapatkan pahalanya (seperti yang dijanjikan Allah) sebagai karunia dan nikmat dari-Nya. Dan tidaklah pantas bagi makhluk untuk mewajibkan yang demikian itu kepada Allah, karena termasuk pelecehan terhadap Rububiyyah-Nya dan sebagai bentuk keraguan terhadap firman-Nya:

إِنَّ اللهَ لاَ يُخْلِفُ الِمْيَعادَ

Sesungguhnya Allah tidak akan menyelisihi janji (-Nya).” (Ali ‘Imran: 9)
 
Bahkan Allah mewajibkan bagi diri-Nya sendiri sebagai keutamaan untuk para hamba-Nya.
Adapun orang-orang yang mendapatkan ancaman dari Allah karena dosa besarnya (di bawah syirik) dan meninggal dunia dalam keadaan seperti itu, maka sesuai dengan kehendak Allah. Dia Maha berhak untuk melaksanakan ancaman-Nya dan Maha berhak pula untuk tidak melaksanakannya, karena Dia telah mensifati diri-Nya dengan Maha Pemaaf, Maha Pemurah, Maha Pengampun, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Terlebih lagi Dia telah menyatakan:

إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذاَلِكَ لِمَنْ يَشَآء

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik (bila pelakunya meninggal dunia belum bertaubat darinya) dan mengampuni dosa yang di bawah (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa: 48) (Diringkas dari kitab Al-Intishar Firraddi ‘Alal-Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 3/676, dengan beberapa tambahan).
 
2. Adapun pernyataan mereka bahwa pelaku dosa besar (di bawah syirik) kekal abadi di An-Naar, maka sangat bertentangan dengan firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat 48 di atas, dan juga bertentangan dengan sabda Rasulullah r yang artinya: “Telah datang Jibril kepadaku dengan suatu kabar gembira, bahwasanya siapa saja dari umatku yang meninggal dunia dalam keadaan tidak syirik kepada Allah niscaya akan masuk ke dalam al-jannah.” Aku (Abu Dzar) berkata: “Walaupun berzina dan mencuri?” Beliau menjawab: “Walaupun berzina dan mencuri.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Dzar Al-Ghifari)
(Meskipun mungkin mereka masuk neraka lebih dahulu (ed).)

Landasan Keempat: Suatu keadaan di antara dua keadaan
 
Yang mereka maksud adalah, bahwasanya keimanan itu satu dan tidak bertingkat-tingkat, sehingga ketika seseorang melakukan dosa besar (walaupun di bawah syirik) maka telah keluar dari keimanan, namun tidak kafir (di dunia). Sehingga ia berada pada suatu keadaan di antara dua keadaan (antara keimanan dan kekafiran).
 
Bantahan: 

1.Bahwasanya keimanan itu bertingkat-tingkat, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan, sebagaimana firman Allah ta'ala:

وَ إِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ ءَايَاتُه زَادَتْهُمْ إِيْمَانًا
 
“Dan jika dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, maka bertambahlah keimanan mereka.” (Al-Anfal: 2) 

Dan juga firman-Nya:

وَإِذَا مَا أُنْزِلَتْ سُوْرَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُوْلُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَذِهِ إِيْمَانًا فَأَمَّا الَّذِيْنَ آمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُوْنَ۰وَأَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَى رِجْسِهِمْ وَمَاتُوْا وَهُمْ كَافِرُوْنَ


Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?’ Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.” (At-Taubah: 124-125)
Dan firman-Nya:

لِيُدْخِلَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا اْلأَنْهَارُ خَالِدِيْنَ فِيْهَا وَيُكَفِّرَ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَكَانَ ذَلِكَ عِنْدَ اللَّهِ فَوْزًا عَظِيْمًا

Supaya Dia memasukkan orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan ke dalam Al-Jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya dan supaya Dia menutupi kesalahan-kesalahan mereka. Dan yang demikian itu adalah keberuntungan yang besar di sisi Allah.” (Al-Fath: 4)

وَمَا جَعَلْنَا أَصْحَابَ النَّارِ إِلاَّ مَلاَئِكَةً وَمَا جَعَلْنَا عِدَّتَهُمْ إِلاَّ فِتْنَةً لِلَّذِيْنَ كَفَرُوْا لِيَسْتَيْقِنَ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ وَيَزْدَادَ الَّذِينَ آمَنُوْا إِيْمَانًا وَلاَ يَرْتَابَ الَّذِيْنَ أُوْتُوا الْكِتَابَ وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَلِيَقُوْلَ الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَرَضٌ وَالْكَافِرُوْنَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَذَا مَثَلاً كَذَلِكَ يُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِيْ مَنْ يَشَاءُ وَمَا يَعْلَمُ جُنُوْدَ رَبِّكَ إِلاَّ هُوَ وَمَا هِيَ إِلاَّ ذِكْرَى لِلْبَشَرِ

"Dan tiada Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat. Dan tidaklah Kami menjadikan bilangan mereka itu melainkan sebagai cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya dan supaya orang-orang yang diberi Al-Kitab dan orang-orang mu’min itu tidak ragu-ragu dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan): ‘Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?’ Demikianlah Allah menyesatkan orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri. Dan Saqar itu tiada lain hanyalah peringatan bagi manusia.” (Al-Muddatstsir: 31)

الَّذِيْنَ قَالَ لَهُمُ النَّاسُ إِنَّ النَّاسَ قَدْ جَمَعُوْا لَكُمْ فَاخْشَوْهُمْ فَزَادَهُمْ إِيْمَانًا وَقَالُوْا حَسْبُنَا اللَّهُ وَنِعْمَ الْوَكِيْلُ

“(Yaitu) orang-orang (yang menaati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-orang yang mengatakan: ‘Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka’, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka menjawab: ‘Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung’.” (Ali ‘Imran: 173)

وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيْمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِي الْمَوْتَى قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي

Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati”. Allah berfirman: “Belum yakinkah kamu?” Ibrahim menjawab: “Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku)...” (Al-Baqarah: 260)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Keimanan itu (mempunyai) enam puluh sekian atau tujuh puluh sekian cabang/tingkat, yang paling utama ucapan “Laa ilaaha illallah”, dan yang paling rendah menyingkirkan gangguan dari jalan, dan sifat malu itu cabang dari iman.” (HR Al-Bukhari dan Muslim, dari shahabat Abu Hurairah z)

2. Atas dasar ini, pelaku dosa besar (di bawah syirik) tidaklah bisa dikeluarkan dari keimanan secara mutlak. Bahkan ia masih sebagai mukmin namun kurang iman, karena Allah masih menyebut dua golongan yang saling bertempur (padahal ini termasuk dosa besar) dengan sebutan orang-orang yang beriman, sebagaimana dalam firman-Nya:

وَ إِنْ طَآءِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا
 
Dan jika ada dua golongan dari orang-orang yang beriman saling bertempur, maka damaikanlah antara keduanya...” (Al-Hujurat: 9)
 
Landasan Kelima: Amar Ma’ruf Nahi Mungkar

Di antara kandungan landasan ini adalah wajibnya memberontak terhadap pemerintah (muslim) yang zalim.
 
Bantahan:
 
Memberontak terhadap pemerintah muslim yang zalim merupakan prinsip sesat yang bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Allah ta'ala berfirman:

يَآءَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَطِيعُوا اللهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِى الأَمْرِ مِنْكُمْ
 
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri (pimpinan) di antara kalian.” (An-Nisa: 59)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: “Akan datang setelahku para pemimpin yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak menjalankan sunnahku, dan sungguh akan ada di antara mereka yang berhati setan namun bertubuh manusia.” (Hudzaifah berkata): “Wahai Rasulullah, apa yang kuperbuat jika aku mendapati mereka?” Beliau menjawab: “Hendaknya engkau mendengar (perintahnya) dan menaatinya, walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu diambil.” (HR. Muslim, dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman) [Untuk lebih rincinya, lihat majalah Asy–Syari’ah edisi Menyikapi Kejahatan Penguasa]

Sesatkah Mu’tazilah?

Dari lima landasan pokok mereka yang batil dan bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah itu, sudah cukup sebagai bukti tentang kesesatan mereka. Lalu bagaimana bila ditambah dengan prinsip-prinsip sesat lainnya yang mereka punyai, seperti:

- Mendahulukan akal daripada Al Qur’an, As Sunnah, dan Ijma’ Ulama.

- Mengingkari adzab kubur, syafa’at Rasulullah untuk para pelaku dosa, ru’yatullah (dilihatnya Allah) pada hari kiamat, timbangan amal di hari kiamat, Ash-Shirath (jembatan yang diletakkan di antara dua tepi Jahannam), telaga Rasulullah di padang Mahsyar, keluarnya Dajjal di akhir zaman, telah diciptakannya Al-Jannah dan An-Naar (saat ini), turunnya Allah ke langit dunia setiap malam, hadits ahad (selain mutawatir), dan lain sebagainya.

- Vonis mereka terhadap salah satu dari dua kelompok yang terlibat dalam pertempuran Jamal dan Shiffin (dari kalangan shahabat dan tabi’in), bahwa mereka adalah orang-orang fasiq (pelaku dosa besar) dan tidak diterima persaksiannya. Dan engkau sudah tahu prinsip mereka tentang pelaku dosa besar, di dunia tidak mukmin dan juga tidak kafir, sedangkan di akhirat kekal abadi di dalam an-naar.

- Meniadakan sifat-sifat Allah, dengan alasan bahwa menetapkannya merupakan kesyirikan. Namun ternyata mereka mentakwil sifat Kalam (berbicara) bagi Allah dengan sifat Menciptakan, sehingga mereka terjerumus ke dalam keyakinan kufur bahwa Al-Qur’an itu makhluq, bukan Kalamullah. Demikian pula mereka mentakwil sifat Istiwaa’ Allah dengan sifat Istilaa’ (menguasai).

Kalau memang menetapkan sifat-sifat bagi Allah merupakan kesyirikan, mengapa mereka tetapkan sifat menciptakan dan Istilaa’ bagi Allah?! (Lihat kitab Al-Intishar Firraddi Alal-Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, Al-Milal Wan-Nihal, Al-Ibanah ‘an Ushulid-Diyanah, Syarh Al-Qashidah An-Nuniyyah dan Ash-Shawa’iq Al-Mursalah ‘alal Jahmiyyatil-Mu’aththilah)

Para pembaca, betapa nyata dan jelasnya kesesatan kelompok pemuja akal ini. Oleh karena itu Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ari (yang sebelumnya sebagai tokoh Mu’tazilah) setelah mengetahui kesesatan mereka yang nyata, berdiri di masjid pada hari Jum’at untuk mengumumkan baraa’ (berlepas diri) dari madzhab Mu’tazilah. Beliau melepas pakaian yang dikenakannya seraya mengatakan: “Aku lepas madzhab Mu’tazilah sebagaimana aku melepas pakaianku ini.” Dan ketika Allah beri karunia beliau hidayah untuk menapak manhaj Ahlussunnah Wal Jamaah, maka beliau tulis sebuah kitab bantahan untuk Mu’tazilah dan kelompok sesat lainnya dengan judul Al-Ibanah ‘an Ushulid-Diyanah. (Diringkas dari kitab Lamhah ‘Anil-Firaq Adh-Dhallah, hal. 44-45).
Wallahu a’lam bish-shawab.

oleh Ustadz Ruwaifi' hafidzahullah

(http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=171)

Jika Istri Minta Cerai Tapi Suami Tidak Mau Menceraikan

Tanya :

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Saya sudah menikah selama 7 tahun dan dikarunia 2 orang putra. Namun dulu kami menikah karena kecelakaan. Saya menentang ibu saya yang tidak setuju dan sekarang ketidaksetujuan nya terjawab. Rumah tangga saya tidak pernah rukun. Kami sama-sama egois. Selalu saja ada pertengkaran antara kami.

Kami sudah pernah 2x berpisah namun rujuk lagi karena banyak janji dia yang saya pegang. Tapi tidak satu pun yang ditepati. Malah perubahan dia hanya bertahan sebentar. Sekarang, kami sudah berpisah selama 1 tahun. Pisah rumah namun dia suka datang sebentar untuk melihat anak-anak. Saya bersikukuh minta cerai tapi dia tetap menolak. Belum lagi ibu saya sangat tidak suka dengan sikap-sikap dia karena diapun kurang respect dan  menghormati ibu saya. Saya anak satu-satunya dan kedua orang tua saya pun telah lama berpisah. Saya merasa punya tanggung jawab yang besar kepada ibu saya. Apalagi mengingat saya dulu telah durhaka dengan menikahi dia dalam keadaan hamil dan lari dari rumah. Saya merasa sangat berdosa dan dihantui perasaan bahwa yang saya alami saat ini adalah karma.

Saya benar-benar bingung. Dia tetap tidak mau cerai padahal sudah saya kemukakan semua. Mohon pak ustadz membantu saya memberikan masukan sebagai pencerahan karena saya tidak tahu lagi harus bersikap bagaimana.Mohon dikirim balasan ke alamat email saya.
Wasalam

Jawab :

Al-Ustadz Qomar ZA, Lc hafidzahullah menjawab :

Bismillahirrohmanirrohim, alhamdulillah wassholatu wassalamu ala Rasulillah wa ba’du,

Bila seorang suami tidak melakukan kewajibannya, atau istri sangat benci terhadap suami sehingga tidak mungkin lagi membangun rumah tangga bersamanya maka saat itu diperbolehkan untuk melakukan khulu’, yaitu membatalkan pernikahan, caranya, istri meminta kepada suami untuk membatalkan pernikahan mereka, dan istri mengembalikan maharnya kepada suami. Tentunya proses ini lebih baik ditempuh secara resmi, misalnya di KUA.

Pernah terjadi di zaman Nabi  hal yang semacam ini, sebagaimana dalam hadits berikut ini

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ .أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ أَتَتِ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ مَا أَعْتُبُ عَلَيْهِ فِى خُلُقٍ وَلاَ دِينٍ ، وَلَكِنِّى أَكْرَهُ الْكُفْرَ فِى الإِسْلاَمِ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ » . قَالَتْ نَعَمْ . قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « اقْبَلِ الْحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً »

Dari Ibnu Abbas bahwa Istri Tsabit bin Qois datang kepada Nabi shallahu ‘alai wa sallam maka dia mengatakan: ‘Wahai Rasulullah Tsabit bin Qois, saya tidak mencelanya dalam hal akhlak dan agama akan tetapi saya tidak suka kekafiran setelah keislaman’. Maka Rasulullah shallahu ‘alai wa sallam mengatakan; ‘Apakah kamu mau mengembalikan ladangnya (yaitu maharnya)’. Maka ia menjawab: ‘Iya’. Maka Nabi shallahu ‘alai wa sallam katakan (kepada Tsabit) ‘Terimalah ladang itu dan ceraikanlah’. [Shahih HR Al Bukhori:5273]

Kekafiran yang di maksud adalah akhlak kekafiran setelah masuk Islam. Dikarenakan ia sangat benci terhadap Tsabit dan khawatir berat akan melanggar aturan agama dalam hidup berumah tangga dengannya.

Akan tetapi bila tidak ada alasan yang dibenarkan oleh syariat, lalu seorang istri minta diceraikan maka tidak boleh bahkan haram, seperti misalnya masalah-masalah yang insyaallah dapat diselesaikan. Dalam hadits,

عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلاَقًا فِى غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّة ».

Dari Tsauban ia berkata bahwa Rasulullah shallahu ‘alai wa sallam bersabda: Wanita, siapapun dia, yang meminta cerai dari suaminya tanpa sebab yang berat maka haram baginya mencium bau surga. [Shahih. HR Abu Dawud: 2228  dan Ibnu Majah. Dishahihkan oleh asy Syaikh al Albani]

Selanjutnya, perlu kami ingatkan bahwa apa yang lalu dari berbagai problematika adalah buah dari kemaksiatan tersebut –wallahu a’lam- , durhaka kepada orang tua adalah dosa yang sangat besar, zina juga dosa yang sangat besar. Allah tidak mengharamkan keduanya kecuali karena keduanya akan membawa kepada kecelakaan dunia dan akhirat, percayalah dengan hukum Allah, dan tunduklah kepadanya, Allah sangat belas kasih kepada kita, karena itu, kita dilarang dari semua itu.

Maka ambillah pelajaran, jangan sampai itu terjadi pada diri kita dan anak turun kita, jagalah diri kita dan anak turun kita dengan extra perhatian dan penjagaan. Semoga Allah melindungi kita semua amin.

Nasehat Syaikh Al-Utsaimin Kepada Wanita Tua Yang Belum Menikah

 Tanya:

Saya ingin meminta nasehat dari anda, Fadhilatusy Syaikh, pada satu masalah yang khusus bagi saya dan seluruh teman-teman saya dari kalangan wanita. Ketahuilah bahwa telah ditentukan oleh Allah bagi kami bahwa kami belum memiliki kesempatan untuk menikah, sementara kami telah melalui usia menikah dan mendekati usia lanjut.

Ini bisa diketahui dan bagi Allah segala pujian serta Allah-lah yang menjadi saksi atas perkataan saya ini. Padahal kami memiliki derajat akhlak dan seluruh dari kami telah meraih gelar kesarjanaan. Akan tetapi inilah nasib kami-Alhamdulilah-dan juga sisi materi, inilah yang menyebabkan tidak seorangpun berani untuk melakukan pernikahan dengan kami.


Sungguh keadaan pernikahan di negeri kami dilakukan atas kerja sama antara suami istri dengan pertimbangan apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Saya mengharap nasehat dan petunjuk bagi diri saya dan teman-teman.

Jawab:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menjawab,

Nasehat yang saya sampaikan kepada para wanita yang seperti ini keadaannya yang tertunda untuk menikah-sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh penanya-untuk berserah diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan berdo’a dan menundukkan diri kepada-Nya agar Ia berkenan menyiapkan untuk mereka para suami yang diridhai agama dan akhlak mereka. Bila seseorang jujur niatnya di dalam berdo’a dan berusaha menyingkirkan penghalang-penghalang terkabulnya do’a, maka sungguh Allah Ta’ala berfirman:

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku." (Al Baqarah:186)

Dan Tuhanmu berfirman, Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.” (Ghafir:60)

Allah Subhanahu wa Ta’ala mengurutkan terkabulnya do’a setelah seseorang menyambut panggilan (ajakkan) Allah dan mengimaninya. Maka saya tidak melihat sesuatu yang lebih kuat dibanding sikap berserah diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, berdo’a dan tunduk kepada-Nya serta menunggu jalan keluar dengan sabar.

Telah tetap riwayat dari Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam:

“Ketahuilah bahwa sesungguhnya pertolongan (kemenangan) disertai dengan kesabaran, kelonggaran itu disertai dengan kesusahan, dan bersama kesulitan ada kemudahan.”

Bagi para wanita tersebut dan yang seperti mereka keadaannya, mohonlah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar Dia memudahkan urusan mereka dan mendapatkan pria-pria yang shaleh yang menginginkan kebaikan agama dan dunia mereka. Allahu a’lam. (Fatawa Al Mar’ah hal.58)

(Dinukil dari Fatawa Al-Jami’ah Lil Mar’ah Al-Muslimah Bab Nikah wa Thalaq, Edisi
Bahasa Indonesia “Fatwa-Fatwa Ulama Ahlus Sunnah Seputar Pernikahan, Hubungan Suami Istri dan Perceraian, Penerbit Qaulan Karima Purwokerto/ Cet.I)

sumber : www.darussalaf.org

Manakah Yang Lebih Utama, Witir 2-1 atau Langsung 3 Raka'at?

Tanya :

Saya biasa shalat Witir 3 raka'at dengan dua salam dan terkadang langsung 3 raka'at dengan satu salam, Apakah hal ini diperbolehkan?

Jawab :

Fadhilatus Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafidzahullah menjawab,

أما أداء الثلاث ركعات بسلامين فهذا أفضل وأكمل وأما أدائها بسلام واحد بأن تسردها ثم تجلس في آخرها وتسلم فهذا لا بأس به أيضًا ولكن الأول أكمل منه وأفضل‏.‏

"Melaksanakan shalat Witir dengan dua salam lebih utama (afdhal) dan lebih sempurna. Shalat Witir dengan satu salam tanpa duduk tasyahhud kecuali di akhir raka'at, lalu salam, hal ini juga diperbolehkan. Namun cara yang pertama lebih sempurna dan lebih utama."

Diterjemahkan oleh Abul Harits dari http://islamancient.com/play.php?catsmktba=15291

Friday, August 10, 2012

Apakah Setelah Mandi Junub Harus Berwudhu?

Tanya :

Apakah seorang diharuskan berwudhu setelah ia mandi junub untuk menghilangkan hadats kecil?

Jawab :

Fadhilatus Syaikh Al-Faqih Dr. Shalih Al-Fauzan hafidzahullah menjawab,

Biografi Syaikh Abdullah Al-Bukhari (Ulama Ahlus Sunnah Madinah)

Ada sebuah komentar dari seorang ikhwah Indonesia, yang sangat disayangkan "sedikit" merendahkan Syaikh Abdullah Al-Bukhari hafidzahullah, ia berkata : "saya pernah bertanya kepada seorang teman saya (al-akh baidhawi) yang sekarang belajar di jamiah islamiyah madinah tentang syeikh abdullah albukhori, maka teman saya menjawab, dia seorang da'i biasa. jadi, kenapa beliau dan "sebagian kita" menganggapnya sebagai salah satu ulama kibar di madinah??".

Dalam benak saya, mungkin Al-Akh Baidhawi (teman ikhwah tersebut yang belajar di Universitas Islam Madinah) belum pernah ikut pelajaran Syaikh Abdullah Al-Bukhari, baik halaqah di Masjid Qiblatain maupun di Masjid Dzun Nurain atau mungkin juga belum kenal dekat dengan syaikh. Sehingga pada kesempatan ini saya ingin memperkenalkan kepada ikhwah tersebut biografi Syaikh Abdullah Al-Bukhari, siapakah guru-guru beliau, dimana syaikh menuntut ilmu dan tazkiyyah para ulama "kibar" kepada beliau.

Mudah-mudahan kita tidak tenggelam dalam hizbiyyah hanya karena Syaikh saya atau Ustadz saya berseberangan dengan Syaikh Abdullah Al-Bukhari, sehingga "Barangsiapa yang tidak bersama kami, maka ia adalah musuh kami". Padahal kaidah tadi seharusnya diterapkan kepada Ahlul Bid'ah dan para penyeru kesesatan. Kenapa diterapkan kepada seorang ulama ahlus-sunnah di Madinah? Meskipun Syaikh Abdullah Al-Bukhari bukan termasuk ulama "kibar" di Madinah, seharusnya seorang penuntut ilmu memiliki adab yang baik kepada seorang ulama. Dan meskipun Al-Akh belum menganggap syaikh sebagai ulama, paling tidak menghormati syaikh sebagai seorang Doktor yang mengajar di Fakultas Hadits Universitas Islam Madinah. Beliau merupakan guru kita dan guru ustadz-ustadz kita. Hafidzahumullah jamii'an

Berikut biografi Asy-Syaikh Abdullah Al Bukhari,

Nama :

‘Abdullâh bin ‘Abdirrahîm bin Husain bin Mahmûd As-Sa’di kemudian Al-Bukhâri Al-Madîni. As-Sa’di adalah nisbah kepada Bani Sa’d yang berasal dari Ath-Thâ`if. Beliau dilahirkan di Madinah di desa Bâbut Tamâr.

Ayahnya :

Adapun tentang ayah beliau, yaitu Asy-Syaikh ‘Abdurrahîm bin Husain Al-Bukhâri rahimahullah, tumbuh dalam kondisi yatim. Telah hafal Al-Qur`an semenjak kecil. Belajar di Madrasah Al-’Ulûm Asy-Syar’iyyah. Beliau sangat berprestasi. Di tengah aktivitasnya, beliau juga sangat aktif dan bersemangat menghadiri halaqah-halaqah ilmu di Masjid Nabawi dan mengambil ilmu dari para ‘ulama pada waktu itu.

Kemudian beliau pindah ke kota Riyâdh, bekerja sebagai staff Al-Malik (Raja) ‘Abdul ‘Aziz rahimahullah. Setelah itu beliau bekerja pada bidang lain, dan pada awal tahun 1374 H bergabung pada Hai`ât Al-Amri bil Ma’rûf. Pimpinan umumnya waktu itu adalah Asy-Syaikh Al-’Allâmah ‘Umar bin Hasan âlu Asy-Syaikh.

Asy-Syaikh ‘Abdurrahîm Al-Bukhâri mendapat ijazah dan rekomendasi yang ditandatangani oleh Asy-Syaikh ‘Umar bin Hasan âlu Asy-Syaikh atas kebaikan prilaku dan tugas beliau. Ijazah tersebut bernomor 2396/Kh/M tertanggal 25/9/1377 H.

Kemudian Asy-Syaikh ‘Abdurrahîm pindah ke Madinah, bertugas di Al-Mahkamah Asy-Syar’iyyah Al-Kubrâ pada tanggal 13 – 2 – 1380 H. Pimpinan mahkamah pada waktu itu adalah Asy-Syaikh Al-’Allâmah ‘Abdul ‘Azîz bin Shâlih rahimahullah, beliau sekaligus imam dan khathib Masjid Nabawi. Asy-Syaikh ‘Abdurrahîm juga mendapat ijazah dari pimpinan mahkamah tertanggal 21/9/1392 H. ditegaskan dalam ijazah tersebut : “Selama bertugas menjadi teladan dalam kesungguhan dan semangat kerja. Senantiasa menjalankan tugas dengan sangat baik.”

Kemudian pada tanggal 1 – 4- 1388 H, beliau pindah ke Universitas Islam Madinah, dengan Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz rahimahullah sebagai rektornya. Beliau juga mendapat ijazah dari Asy-Syaikh Al-Imâm ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz, bahwa “Bersifat dengan prilaku dan akhlaq yang baik, dan sangat bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugas.” Ijazah tersebut bernomor 338 tertanggal 27/31392 H. Beliau terus bertugas di Universitas Islam Madinah sampai pensiun pada 1 – 7 – 1407 H.

Asy-Syaikh ‘Abdurrahîm Al-Bukhâri adalah seorang yang sangat rajin beribadah, bersemangat dalam ilmu, sangat mencintai dan menghormati para ‘ulama, konsisten berpegang kepada sunnah, dan sangat menentang bid’ah dan para pengusungnya. Beliau juga menjaling hubungan sangat baik dan erat dengan sejumlah ‘ulama besar Ahlus Sunnah, di antaranya Samâhatul Imâm Al-’Allâmah Al-Mufassir Muhammad Al-Amîn Asy-Syinqhîthi (penulis tafsir Adhwâ`ul Bayân ) rahimahullah, Samâhatul Imâm Syaikhul Islâm ‘Abdul ‘Azîz bin ‘Abdillâh bin Bâz rahimahullah, beliau juga sering berhubungan dengan Asy-Syaikh Al-’Allâmah Al-Faqîh ‘Abdurrahmân As-Sa’di –bahkan Asy-Syaikh Sa’di menghadiahkan kepada beliau sejumlah kitab yang padanya ada tulisan tangan beliau. Kitab-kitab tersebut masih tersimpan- , di antaranya juga : Al-’Allâmah Al-Muhaddits Hammâd Al-Anshâri, Al-’Allâmah Al-Muhaddits ‘Abdul Muhsin Al-’Abbâd, Al-’Allâmah Al-Mujâhid Muhammad Amân Al-Jâmi, Al-’Allâmah Rabî’ bin Hâdi Al-Madkhali, Al-’Allâmah ‘Umar bin Muhammad Fallâtah, dan masih banyak lagi.

Asy-Syaikh ‘Abdurrahîm Al-Bukhâri wafat pada 23 Dzulhijjah 1422 H, di dekat salah satu pintu masuk Masjid Nabawi, menjelang maghrib, dan ketika itu beliau sedang bershaum. Meninggalkan 13 anak.

Menuntut Ilmu

Asy-Syaikh ‘Abdullâh bin ‘Abdirrahîm hafizhahullâh tumbuh di bawah asuhan dan bimbingan kedua orang tuanya yang sangat antusias dan memiliki perhatian yang sangat besar terhadap ilmu, serta upaya mendidik anak-anak dengan pendidikan yang selamat dan lurus.

Beliau mulai menghafal Al-Qur`an semejak tahun-tahun pertama ketika beliau duduk di madrasah ibtida`iyyah di Masjid Al-Imâm Al-Bukhâri ( ayah beliau sebagai penanggung jawab di masjid tersebut ).

Beliau dikarunai kecintaan terhadap ilmu hadits sejak kecil. Karena itu beliau sangat bersemangat untuk mengumpulkan dan membaca kitab-kitab tentang ilmu hadits, bertanya tentang perkara yang sulit, dan menghafalnya.
Beliau juga sangat bersemangat untuk mempelajari kitab-kitab aqidah, karena beliau melihat kebutuhan umat yang sangat besar terhadapnya. Itu semua beliau lakukan dengan cara senantiasa rutin dan bermulâzamah di Masjid Nabawi.

Guru-gurunya antara lain :


Dalam bidang Al-Qur`an dan Tajwid

1. Asy-Syaikh Muhammad Ramadhân Ad-Dahlawi

2. Asy-Syaikh Al-Mudaqqiq Sayyid Lâsyîn Abul Faraj hafizhahullâh, banyak menimba ilmu dari beliau, terutama dalam penarapan tilawah dan praktek langsung dalam bidang tajwid.

3. Asy-Syaikh Ahmad ‘Abdul Karîm rahimahullah.

4. Asy-Syaikh Muhammad Al-Marisi rahimahullah (juru tulis di Universitas Islam Madinah dan imam di Masjid Al-Imâm Al-Bukhâri) Banyak mengambil ilmu tajwid dari beliau. Juga belajar secara khusus risalah yang berjudul Al-Burhân fî Tajwîdil Qur`an, karya Ash-Shâdiq Qamhari. Juga belajar ilmu khath, baik teori maupun praktek. Demikian juga belajar ilmu nahwu dengan mempelajari kitab Al-Âjurrûmiyyah.

5. Asy-Syaikh Mu’ammar Bakri bin ‘Abdil Majîd Ath-Tharâbîsyi. Mendapat ijazah dari beliau dalam bidang Al-Qur`an. Juga mendapat ijazah umum atas semua riwayat beliau yang didapat dari gurunya Asy-Syaikh Muhammad bin Salîm Al-Hulwâni.

6. Asy-Syaikh Ahmad Al-Qâdhi hafizhahullâh. Secara khusus mengambil ilmu dalam bidang tajwid, dan mempelajari kitab Haqqut Tilâwah karya Husni Syaikh ‘Utsmân.

Dalam berbagai disiplin ilmu lainnya :

1. Al-’Allâmah An-Nâshih Ash-Shâdiq Ar-Rabbâni Asy-Syaikh Muhammad Amân bin ‘Ali Al-Jâmi rahimahullah. Bermulâzamah kepada beliau selama 10 tahun. Mendapatkan ijazah dari beliau atas berbagai kitab yang dipelajari dari beliau dalam berbagai disiplin ilmu, sebagaimana tertulis dalam ijazah yang sangat menjadi kebanggaan Asy-Syaikh Al-Bukhâri. Kitab-kitab yang dipelajari dari beliau, antara lain :

-Al-Ushûluts Tsalâtsah karya Syaikhul Islâm Muhammad bin ‘Abdil Wahhâb

-Al-Qawâ’idul Arba’ karya Syaikhul Islâm Muhammad bin ‘Abdil Wahhâb

-Kitâbut Tauhid karya Syaikhul Islâm Muhammad bin ‘Abdil Wahhâb

-Fathul Majîd karya Asy-Syaikh ‘Abdurrahmân bin Hasan, cucu Syaikhul Islam Muhammad bin ‘Abdil Wahhâb.

-Qurratu ‘Uyûnil Muhawwidîn karya Asy-Syaikh ‘Abdurrahmân bin Hasan, cucu Syaikhul Islâm Muhammad bin ‘Abdil Wahhâb

-Tajrîdut Tauhid karya Al-Maqrîzi

-Al-’Aqidah Al-Wâsithiyyah, karya Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah.

-Al-Hamawiyyah, karya Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah.

-At-Tadmûriyyah, karya Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah.

-Syarh Al-’Aqîdah Ath-Thahâwiyyah, karya Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafi.

-Al-Qawâ’idul Mutslâ, karya Asy-Syaikh Al-’Utsaimîn.

-Qathrun Nadâ,

-Al-âjurrûmiyyah,

-Nailul Authâr (beberapa bab), karya Asy-Syaukâni.

-Zâdul Ma’âd, karya Ibnul Qayyim.

-Kitâbush Shiyâm dari kitab Shahîhul Bukhâri.

-’Umdatul Ahkâm, karya Abdul Ghanî Al-Maqdisi.

-dan masih banyak lagi mayoritasnya di Masjid Nabawi, sebagian lagi di masjid dekat rumah Asy-Syaikh Al-Jâmi, sebagiannya lagi di Masjid Ash-Shâni’ di desa Al-Mashâni’

2. Asy-Syaikh Al-’Allâmah Al-Fâdhil ‘Abdul Muhsin bin Hamd Al-’Abbâd hafizhahullâh. Bermulazamâh kepada beliau selama 16 tahun. Kitab-kitab yang dipelajari dari beliau antara lain:

-Jilid terakhir kitab Shahîh Muslim

-Shahîh Al-Bukhâri

-Sunan An-Nasâ`i

-Sunan Abî Dâwûd

-Sebagian besar Jâmi’ At-Tirmidzi

-Al-Lu`lu` wal Marjân (belum sampai tamat)

-’Aqidah Ibni Abî Zaid Al-Qairâwani

Asy-Syaikh Al-Bukhâri bercerita, “Pada musim haji tahun 1420 H saya membaca di hadapan beliau satu juz Kitâbul Hajj dari kitab Syarhus Sunnah karya Al-Imâm Al-Baghawi rahimahullah. Kemudian pada musim haji tahun 1421 H saya membaca di hadapan beliau kitab Fatwâ Arkânil Islâm karya Asy-Syaikh Al-Utsaimîn. … .”

3. Asy-Syaikh Al-’Allâmah Al-Muhaddits Al-Mu`arrikh ‘Umar bin Muhammad Fallâtah rahimahullah . Menghadiri pelajaran syarh terhadap kitab Shahîh Muslim, Al-Muwattha`, dan syarh tentang sirah nabawiyyah.

4. Al-’Allâmah Al-Faqîh Asy-Syaikh ‘Athiyyah bin Muhammad Sâlim rahimahullah.

Menghadiri pelajaran syarh terhadap kitab Mudzakkirah Asy-Syinqithi fî Ushûlil Fiqh, dan sebagian pelajaran kitab Ar-Rahbiyyah, yang membahas tentang ilmu fara`idh, dan pelajaran kitab Syarh Al-Waraqât. Semua pelajaran tersebut di Masjid Nabawi.

5. Asy-Syaikh Al-’Allâmah An-Nâshih ‘Ali bin Muhammad bin Sinân rahimahullah. Mempelajari kitab Alfiyyah Ibni Mâlik, Irsyâdhul Fuhûl karya Asy-Syaukâni, dan Ar-Raudh Al-Murabbâ’ fiqh hanbali.

6. Al-’Allâmah Al-Muhaddits Al-Mujâhid An-Nâqid Asy-Syaikh Rabî’ bin Hâdi Al-Madkhali hafizhâhullâh. Belajar kepada beliau di masjid dekat rumah beliau ketika itu, yaitu di kampung Al-Azhari, beberapa pelajaran antara lain pelajaran Muqaddimah Shahîh Muslim, At-Taqyîd wal îdhah karya Al-Hâfizh Al-’Irâqi, I’lâmul Muwaqqi’în karya Ibnul Qayyim, dan Ikhtishâr ‘Ulûmil Hadîts karya Ibnu Katsîr.

7. Al-’Allâmah Al-Mu`arrikh Al-Lughawi An-Nassâbah Shafiyyurrahmân Al-Mubârakfûri rahimahullah. Duduk bersama beliau selama kurang lebih dua tahun. Membaca di hadapan beliau beberapa bagian yang mencukupi dari Al-Kutubus Sittah –sebagaimana tertulis dalam ijazah- dan mendapatkan ijazah Al-Kutubus Sittah dari beliau (yaitu kitab : Shahîh Al-Bukhâri, Shahîh Muslim, Sunan Abî Dâwûd, Sunan At-Tirmidzi, Sunan An-Nasâ`i, Sunan Ibni Mâjah), dan juga ijazah atas semua riwayat beliau yang bersambung dengan kitab Al-Hâfizh Asy-Syaukâni Ithâful Al-Akâbir bi Isnâdid Dafâtir.

Juga membaca di hadapan beliau sebagian besar kitab Jâmi’ At-Tirmidzi, dan beberapa kitab dalam bidang lughah, terkhusu Nahwu dan Sharaf, dan kitab-kitab yang tersebar di negeri India, di antara kitab Syarh Mi`ah ‘âmil. Juga membaca di hadapan beliau beberapa kitab aqidah, seperti Ushûlus Sunnah karya Al-Imâm Ahmad bin Hanbal, dll. Pelajaran-pelajaran tersebut mayoritas di Masjid Nabawi dalam majelis khusus.

8. Al-’Allâmah Al-Muhaddits Al-Faqîh Asy-Syaikh Ahmad bin Yahyâ An-Najmi rahimahullah. Menghadiri majelis pembacaan kitab Sunnan Abî Dâwûd di rumah kediaman Asy-Syaikh Muhammad bin Hâdi Al-Madkhali. Kemudian beliau (Asy-Syaikh An-Najmi) memberikan ijazah umum atas semua riwayatnya, dengan nama Inâlatuth Thâlibîn bi Asâdîd Kutubil Muhadditsîn.

9. Al-’Allâmah An-Nabîh Asy-Syaikh ‘Alî bin Nâshir Al-Faqîhi hafizhahullâh. Membaca di hadapan beliau sejumlah besar kitab aqidah, antara lain kitab Sharîhus Sunnah karya Ibnu Jarîr Ath-Thabari, kitab Sulâlatur Risâlah fî Dzammir Rawâfidh min Ahlidh Dhalâl karya Mulâ ‘Ali Al-Qâri, pada musim haji tahun 1421 H.

10. Asy-Syaikh Al-Jalîl ‘Ubaid bin ‘Abdillâh Al-Jâbiri hafizhahullâh. Membaca di hadapan beliau kitab Mudzakkirah Asy-Syinqîthi fî Ushûlil Fiqh, As-Sailil Jarrâh (jilid I) karya Al-’Allâmah Asy-Syaukâni rahimahullah.

11. Asy-Syaikh Al-Lughawi Al-Bâri’ ‘Abdurrahmân bin ‘Auf Al-Kûni. Mempelajari kitab Malhatul I’rab karya Al-’Allâmah Al-Harîri, dan juga mengikuti majelis pelajaran nahwu lainnya.

Para masyâikh ahlus sunnah lainnya yang mengajar beliau di Fakultas Hadits di Universitas Islam Madinah juga termasuk guru-guru beliau.

Hubungan dengan Asy-Syaikh Al-’Allâmah ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz rahimahullah dan Asy-Syaikh Al-’Allâmah Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullah :

Beliau berdua adalah ‘ulama besar Ahlus Sunnah wal Jama’ah masa ini. Tokoh besar salafiyyun masa ini yang sangat terhormat dan disegani. Ketokohan dan kapasitas keilmuan dan keshalihan beliau berdua diakui secara internasional, baik oleh kawan maupun lawan. Beliau berdua merupakan guru besar Asy-Syaikh ‘Abdullâh Al-Bukhâri.

Asy-Syaikh Al-Imâm ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz rahimahullah

Menghadiri majelis beliau di masjid di daerah Ath-Tha`if, pada musim panas tahun 1408 H, membahas kitab Bulûghul Marâm karya Al-Hâfizh Ibnu Hajar. Kemudian hadir pula di majelis pembacaan kitab Tuhfatul Ahwadzi Syarh Jâmi’it Tirmidzi di kediaman beliau di Ath-Tha`if. Sering hadir dalam majelis-majelis beliau dan menyampaikan berbagai pertanyaan kepada beliau.

Asy-Syaikh Al-Bukhâri menuturkan : “Aku ingat, suatu waktu ketika aku bertanya kepada beliau tentang belajar di Universitas Islam Madinah. Maka beliau memberikan motivasi dan dorongan kepadaku. Kemudian aku tanya lagi tentang Fakultas Hadits, maka beliau pun makin memberikan motivasi kepadaku.”

Asy-Syaikh Al-Faqîh Muhammad bin Shâlih Al-’Utsaimîn rahimahullah.

Menghadiri pelajaran-pelajaran beliau di Masjidil Haram pada sepuluh terakhir Ramadhân tahun 1407 H, ketika itu beliau mensyarh Hadits Jibril yang sangat panjang. Menghadiri pelajaran beliau di ‘Unaizah pada musim panas tahun 1408 H dan 1409 H. Demikian juga senantiasa hadir dalam pelajaran beliau di Masjid Nabawi.

Hubungan dengan Asy-Syaikh Al-’Allâmah Al-Muhaddits An-Nâqid Muhammad Nâshiruddîn Al-Albâni rahimahullah.

Ketika beliau rahimahullah berziarah ke Madinah pada tahun 1408 H, maka kesempatan tersebut tidak disia-siakan oleh Asy-Syaikh Al-Bukhâri untuk senantiasa menghadiri seluruh majelis-majelis beliau. Majelis-majelis umum dan sebagian dari majelis khusus.

Asy-Syaikh Al-Bukhâri menuturkan kenangan manisnya bersama Asy-Syaikh Al-Albâni : “Aku merasa mulia ketika aku berkesempatan untuk menyendiri bersama beliau. Ketika itu beliau sedang berada di luar masjid hendak menuju tempat tinggalnya. Maka aku menyampaikan pertanyaan-pertanyaan kepada beliau, sambil beliau memegang tanganku dan menyilangkan jari-jari tangan kanan beliau dengan jari-jari tangan kiriku. Kemudian beliau menanyaiku, bahwa siapa namaku dan belajarku.”

Karir Ilmiah

1. Lulus dari Fakultas Hadits Al-Jâmi’ah Al-Islâmiyyah (Universitas Islam) Madinah pada tahun ajaran 1410 – 1411 H dengan peringkat : sangat baik.

2. Guru/Pengajar Ad-Dirâsât Al-Islâmiyyah (Studi Ilmu Islam) di madrasah Ibtida`iyyah dan Tsanawiyyah selama 6 tahun, di bawah Departemen Pendidikan dan Pengajaran.

3. Tahun 1417 H melanjutkan jenjang Magister (S2) di Universitas Ummul Qurâ Makkah Al-Mukarramah, Fakultas Da’wah dan Ushûlud Dîn Jurusan Al-Kitâb was Sunnah. Lulus dengan predikat cumlaod.

4. Menulis tesis magister dengan judul Marwiyyât Abî ‘Ubaidah bin ‘Abdillâh bin Mas’ûd ‘an Abîhi Jam’an wa Dirâsatan. Diuji pada 21 – 8 – 1420 H, dan berhasil meraih cumload dengan anjuran untuk mencetak tesis tersebut.

5. Tahun 1418 H pindah dari Departemen Pendidikan dan Pengajaran ke Universitas Islam Madinah, kembali ke Fakultas Hadits jurusan Fiqhus Sunnah wa Mashâdiruhâ.

6. Berhasil meraih gelar doktor pada tahun 1426 H dengan tesis tahqîq (penelitian) atas kitab Takmilatu Syarh At-Tirmidzi karya Al-Hâfizh Al-’Irâqi, mulai awal kitab ar-radhâ’ sampai pada penghujung kitab Idzâ Aflasa lirrajuli Gharîm. Dengan prestasi cumlaude pada level utama.

7. Sekarang sebagai Ustâdz Musâ’id  pada Fakultas Hadits jurusan Fiqhus Sunnah wa Mashâdiruhâ.

Karya-karya Tulis :

Tidak diragukan, bahwa ikut berperan aktif dalam mengumpulkan ilmu dan menyebarkannya merupakan perkara yang sangat penting dan mulia. Allah telah memberikan nikmat dan taufiqnya kepada Asy-Syaikh Al-Bukhâri untuk juga memiliki andil yang besar pada sisi ini. Beliau memiliki banyak karya tulis ilmiah yang beliau tekuni sejak lama. Tidak lain adalah dalam rangka ikut berperan aktif menyebarkan ilmu yang bersumber dari Al-Qur`an dan As-Sunnah di atas manhaj salaf.

Di antara karya tulis beliau :

1. Marwiyyât Abî ‘Ubaidah bin ‘Abdillâh bin Mas’ûd ‘an Abîhi Jam’an wa Dirâsatan (karya tulis), dicetak oleh penerbit Dâr Adhwâ’is Salaf Al-Mishiryyah.

2. Takmilatu Syarh At-Tirmidzi karya Al-Hâfizh Al-’Irâqi (tahqîq). Belum dicetak.

3. Manârus Sabîl bi Takhrîji Juz`i Ibni Dîzîl (tahqîq) dicetak oleh penerbit Al-Ghurabâ` Madinah pada tahun 1413 H. dicetak ulang lagi pada tahun ini 1429 H oleh penerbit Dâr Al-Imâm Ahmad Mesir.

4. Ithâful Nubalâ` bi Adillati Tahrîm Ityânil Mahal Al-Makrûh minan Nisâ` (karya tulis) dicetak pada tahun 1414 H, oleh penerbit Dârul Ghurabâ` Madinah, dicetak ulang pada tahun 1428 H oleh penerbit Dârul Minhâj, Mesir.

5. Riyâdhul Jannah bi Takhrîji Ushûlis Sunnah libni Abî Zamanin (tahqîq dan takhrîj) dicetak tahun 1414 H oleh penerbit Dârul Ghurabâ`, dicetak ulang oleh Dâr Adhwâ`is Salaf, Mesir pada tahun ini 1429 H.

6. Tuhfatul Ikhwân bi Takhrîji Majlisi min Amâli Ibni Bisyrân (takhrîj dan tahqîq) masih tulisan tangan belum dicetak.

7. At-Tanbîh wal Irsyâd litajâwuzât Mahmûd Al-Haddâd (karya tulis), fotocopy, publikasi tahun 1414 H.

8. Al-Fathul Rabbâni fir Radd ‘alâ Abil Hasan As-Sulaimâni (karya tulis) dicetak tahun 1424 H oleh penerbit Dârul âtsâr, Yaman, dan dicetak pula pada tahun 1425 H oleh penerbit Dâr Mâjid ‘Asîrî, Jeddah – Saudi.

9. At-Taudhîhul Abhar li Tadzkirati Ibnil Mulaqqin fî ‘Ilmil Atsar karya Al-Hâfizh As-Sakhâwi (tahqîq) dicetak oleh Dâr Adhwâ`is Salaf, Riyadh – Saudi tahun 1418 H, dan tahun ini dicetak lagi oleh penerbit Dâr Al-Imâm Ahmad, Mesir.

10. Al-Maqâlat Asy-Syar’iyyah/kumpulan pertama, (karya tulis), dengan pengantar dari Al-’Allâmah Asy-Syaikh Ahmad An-Najmi rahimahullah dan Al-’Allâmah Asy-Syaikh Zaid Al-Madkhali hafizhahullâh, dicetak oleh Dârul Madînah Al-’Amaliyyah, Imarat pada tahun 1428 H, dan dicetak pula oleh Dâr Adhwâ`is Salaf, Mesir pada tahun yang sama.

11. Al-Maqâlat Asy-Syar’iyyah/kumpulan kedua (karya tulis), dicetak oleh Dâr Adhwâ`is Salaf, Mesir pada tahun 1429 H.

12. Al-Ajwibah Al-Madaniyyah ‘an Al-As`ilatil Haditsiyyah (karya tulis) dicetak pada tahun 1429 H oleh penerbit Dârul Istiqamah, Mesir.

13. Mushthalahâtul Muhadditsîn fî Kitâbatil Hadîts wa Dhabthihi wa Ishlâhihi (pembasan ilmiah) telah diuji oleh Universitas Al-Imâm Muhammad bin Su’ûd. Diangkat oleh universitas dan akan ditampilkan dalam beberapa edisi majalah universitas. Semoga Allah memudahkan penerbitannya.

14. Su`âlât Al-Imâm Abî Zur’ah Ad-Dimasyqi li Al-Imâm Ahmad bin Hanbal fi Kitâbihi (at-Târîkh), Jam’an wa Dirâsatan (karya tulis), pembahasan ilmiah telah diuji oleh Lembaga Riset Ilmiah Universitas Islam Madinah. Kemudian akan dicetak oleh Dârul Istiqâmah, Mesir. Semoga Allah memudahkan penerbitannya.

15. Tamâmul Minnah bi Syarh Ushûlis Sunnah li Al-Imâm Al-Humaidi (transkrip atas pelajaran) – (karya tulis), dicetak oleh Dârul Istiqâmah, Mesir tahun 1429 H.

16. At-Ta’liqât Ar-Radhiyyah ‘alâ Al-Manzhûmah Al-Baiqûniyyah (karya tulis), akan dicetak oleh Dârul
Istiqâmah, Mesir. Semoga Allah memudahkan penerbitannya.

17. Kemudian Dârul Istiqâmah juga meminta naskah transkrip atas transkrip 2 kaset syarh kitab Al-Mûqizhah karya Adz-Dzahabi. Semoga Allah memudahkan penerbitannya.

18. At-Ta’liqât Ar-Radhiyyah ‘alâ Al-’Aqîdah Al-Wâsithiyyah karya Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah. Syarh yang telah ditranskrip, tahun 1424 H. Naskahnya diminta oleh Dârul Falâh untuk dicetak. Saat ini masih dalam proses murâja’ah.

Dan masih banyak lagi selain yang tersebut di atas. Semoga Allah membantu dan memudahkan.

Kitab-kitab yang diajarkan :

Kitab-kitab yang diajarkan oleh Asy-Syaikh Al-Bukhâri hafizahullâh dalam berbagai pelajaran beliau, antara lain:

1.Haqqut Tilâwah, dalam bidang ilmu tajwid. Karya Husni Syaikh ‘Utsmân.

2.Al-Burhân fi Tajwîdil Qur`an , karya Ash-Shâdiq Al-Qamhâwi.

3.Al-Ushûlts Tsalâtsah.

4.Al-Qawâ’idul Arba’ah.

5.Kitâbut Tauhîd (ketiga kitab ini karya Al-Imâm Muhammad bin ‘Abdil Wahhâb v).

6.Fathul Majîd Syarh Kitâbit Tauhîd.

7.Sullamul Wushûl, karya Al-’Allâmah Hâfizh Hakami.

8.Ushûlus Sunnah, karya Al-Humaidi.

9.As-Sunnah, karya Al-Muzani.

10.Sharîhus Sunnah, karya Ibnu Jarîr Ath-Thabari.

11.As-Sunnah, karya ‘Abdullah bin Al-Imâm Ahmad.

12.Al-Imân, karya Abû ‘Ubaid Al-Qâsim bin Sallâm.

13.Kitâbut Tauhîd dari kitab Shahîh Al-Bukhâri.

14.Kitâbul Imân dari kitab Shahîh Al-Bukhâri.

15.Al-Wâsithiyyah, karya Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah.

16.Kitâbur Riqâq dari kitab Shahîh Al-Bukhâri.

17.Al-Manzhûmah Al-Baiqûniyyah.

18.Ikhtishâr ‘Ulûmil Hadîts, karya Ibnu Katsîr.

19.At-Taudhîhul Abhar li Tadzkirati Ibnil Mulaqqin fî ‘Ilmil Atsar karya Al-Hâfizh As-Sakhâwi.

20.Al-Mûqizhah karya Adz-Dzahabi.

21.Al-Muqni’ fî ‘Ulûmil Hadîts karya Ibnul Mulaqqin.

22.Irsyâd Thullâbil Haqâ`iq, karya Al-Hâfizh An-Nawawi.

23.Muqaddimah Shahîh Muslim bin Al-Hajjâj.

24.Nukhbatul Fikar fî Mushthalahi Ahlil Atsar, karya Al-Hâfizh Ibni Hajar.

25.Mukhtashar Shahîhil Bukhâri, karya Az-Zubaidi.

26.Al-Adabul Mufrad karya Al-Imâm Al-Bukhâri.

27.’Umdatul Ahkâm Al-Kubrâ karya Al-Hâfizh Al-Maqdisi.

28.’Umdatul Ahkâm Ash-Sughrâ karya Al-Hâfizh Al-Maqdisi.

29.Bulûghul Marâm min Adillatil Ahkâm karya Al-Hâfizh Ibnu Hajr.

30.Al-Anjam Az-Zâhirât ‘ala Hill Alfâzhil Waraqât, karya Al-Mâridîni Asy-Syâfi’i.

31.Al-Arba’în An-Nawawiyyah.

32.Minhâjus Sâlikîn, karya Al-’Allâmah As-Sa’di.

33.Bahjatul Qulûbil Abrâr, karya Al-’Allâmah As-Sa’di.

34.Al-Muharrar fîl Hadîts, karya Al-Hâfizh Ibnu ‘Abdil Hâdi.

35.Ar-Risâlah At-Tabûkiyyah, karya Al-Imâm Ibnul Qayyim.

36.Al-Wâbilush Shayyib min Al-Kallimith Thayyib, karya Al-Imâm Ibnul Qayyim.

37.Ad-Durûsul Muhimmah li ‘âmmatil Ummah, karya Al-’Allâmah ‘Abdul ‘Aziz bin Baz.

38.Dhawâbithul Jarh wat Ta’dîl, karya ‘Abdul ‘Azîz ‘Abdul Lathîf.

39.Ar-Raf’u wat Takmîl fil Jarh wat Ta’dîl, karya Al-Kanawi Al-Hindi.

40.Thuruq Takhruju Hadîts Rasûlillâh .

41.Al-Jâmi’ li Akhlâqir Râwi wa âdâbis Sâmi’, karya Al-Hâfizh Al-Khathîb Al-Baghdâdi.

42.Al-Âjurrûmiyyah.

Dan masih banyak lagi lainnya.

Para ‘Ulama Senior yang memberikan Ijazah

Para ‘ulama kibâr (senior) Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang memberikan ijazah kepada Asy-Syaikh ‘Abdullâh Al-Bukhâri, antara lain :

1. Asy-Syaikh Bakri Ath-Tharâbîsyi.

2. Al-’Allâmah An-Nâshih Ash-Shâdiq Ar-Rabbâni Asy-Syaikh Muhammad Amân bin ‘Ali Al-Jâmi rahimahullah.

3. Al-’Allâmah Al-Mu`arrikh Al-Lughawi An-Nassâbah Shafiyyurrahmân Al-Mubârakfûri rahimahullah.

4. Al-’Allâmah Al-Muhaddits Al-Faqîh Asy-Syaikh Ahmad bin Yahyâ An-Najmi rahimahullah.

5. Asy-Syaikh Al-’Allâmah Al-Muhaddits Abû Muhammad Badî’uddîn Asy-Syahur Rasyîd As-Sindi Asy-Syarîf rahimahullah. Ijazah “Munjidul Mustajîz li Riwâyatis Sunnah wal Kitâbil ‘Azîz” tertanggal 15 Rajab 1416 H.

Dan masih banyak lagi. Ada pula para ‘ulama yang mengirimkan ijazah kepada beliau, tanpa beliau minta.
Pujian dan Tazkiyyah Al-’Allâmah Al-Muhaddits Al-Mujâhid Al-Wâlid Asy-Syaikh Rabî’ bin Hâdi Al-Madkhali hafizhahullâh

Asy-Syaikh Rabî’ ditanya : “Bagaimana pendapat engkau menghadiri pelajaran-pelajaran yang disampaikan oleh Asy-Syaikh ‘Abdullâh Al-Bukhâri?”

Beliau hafizhahullâh menjawab : “Saya menasehatkan kepada kaum muda di Madinah untuk menghadiri pelajaran-pelajaran yang disampaikan oleh Al-Akh ‘Abdullâh Al-Bukhâri, karena sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang terbaik di kalangan Ahlus Sunnah, dan termasuk orang-orang yang senantiasa membelanya dalam setiap kesempatan sepengetahuanku. Dia rajin menulis, beraktivitas, dan bergerak dalam rangka membela sunnah dan ahlus sunnah lebih banyak daripada mayoritas orang-orang yang memeranginya dari kalangan ahlul ahwâ` (pengikut hawa nafsu), baik dulu maupun sekarang. Jadi dia (Asy-Syaikh ‘Abdullâh Al-Bukhâri) adalah di antara orang-orang terbaik di kalangan ahlus sunnah, Insyâ`allâh. 

Kita memohon kepada Allah agar mengokohkan kita dan dia di atas sunnah dan menjadi kita semua bermanfaat. Tidaklah aku tahu tentangnya, kecuali dia adalah salafy yang baik. Kita semua sering berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang sering berbuat salah adalah orang yang senantiasa bertaubat.

Maka saya wasiatkan dengan pria ini (Asy-Syaikh ‘Abdullâh), karena dia di antara lulusan terbaik Al-Jâmi’ah Al-Islâmiyyah (Universitas Islam Madinah), menyandang gelar magister, dan sekarang sedang menempuh doktoral. Dia orang yang sangat cerdas, pemuda yang sangat cerdas. Saya mengenalnya berada di atas manhaj salafi, insyâ`allâh. Maka hadirlah kalian (pada pelajaran-pelajaran)nya, dan ambillah faedah darinya.”

[Tazkiyyah ini beliau sampaikan pada hari Jum'at 14 Jumâdal Ulâ 1425 H, dalam tanya jawab pada pelajaran Kitâbusy Syarî'ah karya Al-Imâm Al-âjurri (Bab : Beriman kepada Telaga yang diberikan kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam), tepatnya pada menit 42 : 35]

(Sumber : Email dari al Akh Abu Amr. File PDF di http://www.salafy.or.id/upload/biografialBukhari.pdf)