Tuesday, July 31, 2012

Kapankah Waktu Umrah Yang Paling Utama (Afdhal)?

Tanya :

Kapankah waktu pelaksanaan ibadah umrah yang paling utama (afdhal)?

Jawab :

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjawab,

Hukum Mengkonsumsi Pil Pencegah Haid di Bulan Ramadhan

Tanya :

Apakah hukum mengkonsumsi pil pencegah haid di bulan Ramadhan?

Jawab :

Lembaga Fatwa Saudi Arabia yang diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjawab,

  يجوز للمرأة أن تتناول ما يؤخر العادة عنها من أجل مناسبة حج أو عمرة أو صيام رمضان، إذا لم يترتب عليها ضرر بسبب ذلك، وليس عليك قضاء تلك الأيام التي ارتفع دمها بسبب الحبوب وصمتيها مع الناس

"Seorang wanita diperbolehkan mengkonsumsi pil yang dapat mengakhirkan kebiasaan haidnya, baik dengan alasan haji, umrah, maupun puasa Ramadhan, jika hal itu tidak menyebabkan mudharat. Jika darah haid tersebut tidak keluar pada hari kebiasaan haidnya karena mengkonsumsi obat, lalu ia tetap berpuasa, maka ia tidak perlu mengqadha' puasa (puasanya sah)." [Fatawa Lajnah Daimah 10/341] 


Diterjemahkan oleh Abul Harits dari http://www.alifta.net/Fatawa/FatawaChapters.aspx?View=Page&PageID=49&PageNo=1&BookID=12

Monday, July 30, 2012

Apakah Keluar Darah Istihadhah Membatalkan Puasa?

Tanya :

Jika seorang wanita mengalami istihadhah ketika berpuasa, Apakah puasanya batal? Haruskah ia mengganti (qadha') puasanya?

Jawab :

Lembaga Fatwa Saudi Arabia yang diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan beranggotakan Syaikh Shalih Al-Fauzan, Syaikh Abdullah Al-Ghudayyan, Syaikh Abdurrazaq 'Afifi rahimahumullah menjawab, 

إذا خرج منها ذلك الدم في نهار رمضان وليس دم حيض ولا نفاس وجب عليها الصوم والصلاة، وتتوضأ لكل صلاة ولا تقضي الصيام ولا الصلاة

"Jika darah yang keluar di siang hari bulan Ramadhan tersebut adalah darah istihadhah, bukan darah haid dan bukan pula darah nifas, maka ia tetap wajib menjalankan puasa dan shalat. Hendaknya ia berwudhu setiap hendak shalat dan tidak perlu mengganti puasa maupun shalatnya"  [Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah no 5 hal. 404]


Diterjemahkan oleh Abul Harits dari http://www.alifta.net/Fatawa/FatawaChapters.aspx?View=Page&PageID=34&PageNo=1&BookID=12

Fatwa Syaikh Al-Albani tentang Pemilu dan Masuk Parlemen


Pernahkah Anda membaca artikel “Mungkinkah Salafy ikut Pemilu dan Berparlemen”..

Dalam artikel ini, saya hendak menukil beberapa fatwa  Syaikh Al-Albani rahimahullah yang menurut saya pribadi penting untuk menjadi bahan pertimbangan demi mendapatkan kesimpulan opini yang benar dalam permasalahan ini, dimana sang ustadz tidak mencantumkannya dalam artikel tersebut, sekaligus sebagai koreksi terhadap sebuah kekeliruan sang ustadz ketika beliau ditanya “mungkinkah salafy membentuk partai?” lalu sang ustadz hafidzahullah menjawab :

Kalau kita memakai kaedah fiqhiyyah, maka partai adalah far' (cabang) dari kebolehan mengikuti Pemilu dan berparlemen yang merupakan ashl (pokok). Maksudnya begini,.... seandainya ulama membolehkan nyoblos dan membolehkan seseorang bergabung di parlemen; bukankah itu artinya ulama membolehkan memilih dan bergabung  pada partai tertentu ?. Jika demikian, apa bedanya antara partai lama dan partai baru, sementara yang ditimbang adalah partai yang paling dekat dengan kebenaran. Dan 'illat fatwa tadi adalah pertimbangan maslahat dan mafsadat bagi Islam dan kaum muslimin?

Kembali  pada pertanyaan antum : "Mungkinkah Salafiy membentuk partai?". Jawab saya : "Mungkin".”

Mudah-mudahan beliau berkenan menarik ucapannya kembali dan meralatnya, kemudian lebih berhati-hati dalam menjawab pertanyaan yang sifatnya kontemporer di kesempatan yang lain. Ini nasehat saya...

Dalam sebuah kaset Silsilatul Huda wan Nuur (1/352) seseorang bertanya kepada Syaikh Al-Albani rahimahullah:

Penanya: Wahai Syaikh, kami dengar Anda membolehkan masuk parlemen dengan beberapa syarat.


Friday, July 27, 2012

7 Golongan Manusia yang Mendapatkan Keringanan Berbuka di Bulan Ramadhan

Ada beberapa orang yang mendapat keringan untuk tidak berpuasa. Rinciannya sebagai berikut.

Pertama, Musafir
Secara umum, Allah Ta’âla memberikan keringanan kepada musafir, yang sedang berada dalam perjalanan, untuk tidak berpuasa.

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’âla,

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Maka, barang siapa di antara kalian yang sakit atau berada dalam perjalanan (lalu berbuka), (dia wajib berpuasa) sebanyak hari (puasa) yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” [Al-Baqarah: 184]

Suatu hal yang telah diketahui bersama adalah bahwa perjalanan safar kadang meletihkan dan kadang tidak meletihkan.

Adapun pada perjalanan yang meletihkan, hal yang paling utama bagi seorang musafir adalah berbuka. Hal ini berdasarkan hadits Jabir bin Abdullah radhiyallâhu anhumâ riwayat Al-Bukhâry dan Muslim bahwa Jabir berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهَ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى سَفَرٍ فَرَأَى رَجُلاً قَدِ اجْتَمَعَ النَّاسُ عَلَيْهِ وَقَدْ ظُلِّلَ عَلَيْهِ فَقَالَ مَا لَهُ؟ قَالُوا رَجُلٌ صَائِمٌ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهَ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ أَنْ تَصُومُوا فِى السَّفَرِ.

“Adalah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam berada dalam suatu perjalanan, lalu melihat seorang lelaki yang telah dikelilingi oleh manusia, dan sungguh ia telah diteduhi, maka beliau bertanya, ‘Ada apa dengannya?’ Para sahabat pun men­jawab, ‘Ia adalah orang yang berpuasa.’ Maka, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Bukanlah bagian kebaikan jika seseorang berpuasa saat safar.’.”

Kendati demikian, hadits ini tidaklah menun­jukkan tentang keharaman berpuasa dalam perjalanan yang meletihkan karena ada pembolehan dalam syariat bagi orang yang mampu berpuasa, walaupun dalam perjalanan yang meletihkan, sebagaimana keterangan dalam hadits riwayat Malik, Asy-Syafi’iy, Ahmad, Abu Dâud, dan selainnya, dengan sanad yang shahih dari sebagian sahabat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, bahwa shahabat tersebut berkata,

رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ النَّاسَ فِيْ سَفَرِهِ عَامَ الْفَتْحِ بِاْلفِطْرِ وَقَالَ تَقَوَّوْا لِعَدُوِّكُمْ وَصَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ قَالَ الَّذِيْ حَدَّثَنِيْ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِاْلعَرْجِ يُصِبُ عَلَى رَأسِهِ الْمَاءَ وَهُوَ صَائِمٌ مِنَ اْلعَطْشِ أَوْ مِنْ الْحَرِّ
“Saya melihat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam memerintahkan manusia untuk berbuka puasa dalam safar beliau pada tahun penaklukan Makkah, dan berkata, ‘Persiapkanlah kekuatan kalian untuk menghadapi musuh kalian,’ padahal Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam sendiri sedang berpuasa. Abu Bakar (bin Abdurrahman rawi yang meriwayatkan dari sang sahabat) berkata, ‘Sahabat yang bercerita kepadaku bertutur, ‘Sesungguhnya, di ‘Araj, saya melihat Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam menuangkan air ke atas kepalanya karena kehausan atau kepanasan, sementara beliau dalam keadaan berpuasa.’.’.”

Juga dalam hadits Abu Dardâ` radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhâry dan Muslim bahwa beliau berkata,

خَرَجْنَا مَعَ رَسَوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ شَهْرِ رَمَضَانَ فِيْ حَرٍّ شَدِيْدٍ حَتَّى إِنْ كَانَ أَحَدُنَا لَيَضَعُ يَدَهُ عَلَى رَأسِهِ مِنْ شِدَّةِ الْحِرِّ وَمَا فِيْنَا صَائِمٌ إِلاَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَبْدُاللهِ بْنُ رَوَاحَةَ

“Kami keluar bersama Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam pada Ramadhan dalam cuaca yang sangat panas, sampai-sampai salah seorang di antara kami meletakkan tangannya di atas kepalanya karena panas yang sangat, dan tak ada seorang pun yang berpuasa di antara kami, kecuali Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan Abdullah bin Rawâhah.”

Adapun dalam perjalanan yang tidak mele­tihkan, berpuasa lebih utama bagi seseorang dari pada berbuka puasa menurut pendapat  yang lebih kuat dari ­kalangan ulama. Kesimpulan ini bisa dipahami dari puasa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, dalam perjalanan yang meletihkan, pada hadits-hadits di atas. Juga di­maklumi bahwa pelaksanaan kewajiban secepat mungkin adalah lebih bagus guna melepaskan kewajiban seseorang. Oleh karena itulah, dalam posisi di per­jalanan yang tidak meletihkan, seseorang lebih afdhal berpuasa.

Kedua, Orang Yang Sakit

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’âla,

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“Maka, barang siapa di antara kalian yang sakit atau berada dalam perjalanan (lalu berbuka), (dia wajib berpuasa) sebanyak hari (puasa) yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” [Al-Baqarah: 184]

Ketiga dan Keempat, Perempuan Haidh dan Nifas

Hal ini berdasarkan hadits Abu Said Al-Khudry radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhâry dan Muslim bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ

“Bukankah, apabila mengalami haid, seorang perempuan tidak mengerjakan shalat dan tidak berpuasa?”

Perempuan nifas dalam pandangan syariat Islam hukumnya sama dengan perempuan haid. Hal ini berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiyallâhu anhâ riwayat Al-Bukhâry, beliau berkata,

بَيْنَمَا أَنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُضْطَجِعَةٌ فِيْ قَمِيْصَةِ إِذْ حَضَتْ فَانْسَلَلْتُ فَأَخَذْتُ ثِيَابَ حَيْضِيْ فَقَالَ أَنَفِسْتِ فَقُلْتُ نَعَمْ فَدَعَانِيْ فَاضْطَجَعْتُ مَعَهُ فِيْ الْخَمِيْلَةِ

“Tatkala berbaring bersama Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam di atas baju, tiba­-tiba saya haid, maka saya pun segera pergi lalu mengambil pakaian haidh-ku. Maka, beliau ber­sabda, ‘Apakah kamu sedang nifas?’ Saya menjawab, ‘Ya,’ lalu beliau memanggilku, kemudian saya pun ber­baring bersamanya di atas permadani.”

Pertanyaan beliau, “Apakah kamu nifas?” me­nunjukkan bahwa haidh dianggap sebagai nifas dari sisi hukum, demikian pula sebaliknya.

Kelima, Laki-Laki dan Perempuan Tua yang Tidak Mampu Berpuasa

Keenam dan Ketujuh, Perempuan Hamil Atau yang Sedang Menyusui

Yaitu perempuan hamil atau yang sedang menyusui, yang mengkhawatirkan dampak negatif terhadap kandungannya atau anak yang berada dalam penyusuannya, apabila berpuasa.

Dua golongan yang disebut terakhir berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallâhu anhumâ, riwayat Abu Dâud, Ibnu Jârûd dalam Al-Muntaqa, dan selainnya dengan sanad yang shahih, bahwa tentang firman Allah Ta’âla,

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

“Dan orang-orang yang berat menjalan­kan (puasa) tersebut (jika tidak berpuasa) wajib membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin.” [Al-Baqarah: 184]

Ibnu Abbas berkata,

رَخَّصَ لِلشَّيْخِ الْكَبِيْرِ وَاْلعَجُوْزِ اْلكَبِيْرَةِ فِيْ ذَلِكَ وَهُمَا يُطِيْقَانِ الصَّوْمَ أَنْ يُفْطِرَا إِنْ شَاءا أَوْيُطْعِمَا كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِيْناً وَلاَ قَضَاءَ عَلَيْهِمَا ثُمَّ نُسِخَ ذَلِكَ فِيْ هَذِهِ اْلآيَةِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَثَبَتَ لِلشَّيْخِ الْكَبِيْرِ وَاْلعَجُوْزِ الْكَبِيْرَةِ إِذَا كَانَا لاَ يُطِيْقَانِ الصَّوْمَ وَالْحُبْلَى وَالْمُرْضِعِ إِذَا خَافَتَا أَفْطَرَتَا وَأَطْعَمَتَا كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِيْنًا

“Laki-laki dan perempuan tua diberikan keringanan dalam hal itu (yaitu untuk tidak berpuasa,-pent.), meskipun mampu berpuasa. (Keduanya diberikan keringanan) untuk berbuka apabila ingin, atau memberi makan satu orang miskin setiap hari dan tidak ada qadha atas mereka berdua, kemudian hal tersebut dinasakh (dihapus hukumnya) dalam ayat ini {Barangsiapa di antara kalian yang menyaksikan bulan (Ramadhan), hendaknya ia berpuasa}. Maka, tetaplah hukum tersebut bagi laki-­laki dan perempuan tua yang tidak mampu berpuasa, juga bagi perempuan hamil dan menyusui apabila khawatir (bahwa puasanya membahayakan kandungannya atau anak yang ia susui,- pent.) (yakni mereka) berbuka dan membayar fidyah setiap hari.” (Lafazh hadits adalah milik Ibnul Jârûd)


Sumber : Dzulqarnain.net

Zuhudnya Putra Khalifah Harun Ar-Rasyid

Menceritakan kepadaku Muhammad bin Al Husain, aku mendengar Abu Bakar bin Abi Thayyib berkata, telah sampai kepadaku dari Abdullah bin Faraj (beliau seorang ahli ibadah) yang berkata: Aku membutuhkan seorang kuli yang akan bekerja untukku, maka aku pergi ke pasar melihat-lihat kuli.

Tiba-tiba di bagian akhir aku melihat seorang remaja berkulit putih, di  tangannya terdapat bungkusan besar. Dia lewat dengan mengenakan jubah serta kain dari bulu domba kasar.

Aku berkata padanya, “Apakah kau ingin bekerja?”

Dia menjawab, “Iya.”

Aku katakan, “Berapa upah yang kau minta?”

Dia menjawab, “Satu dirham dan satu daniq (total tujuh daniq).”

Aku katakan, “Baiklah, bekerjalah padaku.”

Dia berkata, “Dengan satu syarat.”

Aku katakan, “Apa itu?”

Dia menjawab, “Jika telah datang waktu dzuhur aku akan keluar wudhu shalat kemudian kembali bekerja, dan jika datang waktu asar demikian pula.”

Thursday, July 26, 2012

Apakah Menceritakan Kejelekan Orang Lain (Ghibah) Membatalkan Puasa?

Asy-Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah ditanya:

Apakah ghibah (menyebut aib saudara) dan mengadu domba termasuk pembatal puasa?

Beliau menjawab:

Ghibah dan juga adu domba tidak membatalkan puasa, akan tetapi mengurangi pahala puasa. Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (Al-Baqarah: 183)

Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan haram dan beramal dengan yang haram dan bermusuhan dengan manusia, maka Allah tidak butuh tatkala dia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR. Bukhari no. 1903, 6057)


Sumber: 48 Soal Jawab tentang Puasa Bersama Syaikh Utsaimin karya Syaikh Salim bin Muhammad Al-Juhani, alih bahasa: Khairur Rijal, penerbit: Maktabah Al-Ghuroba, cet. Pertama Sya’ban 1427 H – Agustus 2006, hal. 85-86.
fadhlihsan.wordpress

Wednesday, July 25, 2012

Manakah yang Lebih Utama, Shalat Tarawih di Rumah atau di Masjid?

Tanya :

Bolehkah saya melaksanakan shalat tarawih di rumah seusai shalat Isya berjama'ah di masjid, manakah yang lebih utama (afdhal), apakah shalat tarawih di rumah atau di masjid ?

Jawab :

Lembaga Fatwa Saudi Arabia yang diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz Alus Syaikh dan beranggotakan Syaikh Shalih Al-Fauzan, Syaikh Abdullah Al-Ghudayyan, Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahumullah menjawab,

  لا حرج عليك في صلاتها في البيت لكونها نافلة، لكن صلاتها مع الإمام في المسجد أفضل تأسيًا بالنبي صلى الله عليه وسلم وأصحابه رضي الله عنهم، ولقول النبي صلى الله عليه وسلم لأصحابه لما صلى بهم التراويح في بعض الليالي إلى ثلث الليل وقال له بعضهم: لو نفلتنا بقية ليلتنا: من قام مع الإمام حتى ينصرف كتب الله له قيام ليلته رواه أحمد وأصحاب السنن بإسناد حسن من حديث أبي ذر رضي الله عنه. 

"Diperbolehkan bagimu melaksanakan shalat tarawih di rumah, karena shalat tarawih hukumnya sunnah. Namun lebih utama (afdhal) jika dilaksanakan bersama imam di masjid, karena mengikuti amalan nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya. Dalilnya adalah ucapan rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ketika shalat tarawih bersama para sahabat sampai 1/3 malam:

 من قام مع الإمام حتى ينصرف كتب الله له قيام ليلته

"Barangsiapa yang shalat bersama imam hingga selesai, Allah akan menuliskan baginya, (pahala) shalat semalam penuh" [Diriwayatkan oleh Ahmad dan lainnya dengan sanad yang hasan dari hadits Abu Dzar radhiyallahu 'anhu]

sumber : Fatawa Lajnah Daimah juz 7 hal.202


Diterjemahkan oleh Abul Harits dari  http://www.alifta.net/Fatawa/FatawaChapters.aspx?View=Page&PageID=36&PageNo=1&BookID=12

 

Monday, July 23, 2012

3 Hal yang Makruh Ketika Berpuasa

1. Berbekam (Al-Hijâmah)
 
Berbekam (mengeluarkan darah kotor dari kepala dan selainnya) adalah makruh karena bisa melemahkan tubuh dan memaksa orang yang berbekam untuk berbuka puasa. Demikian pula, donor darah semakna dengan hal ini.

Hukum ini merupakan bentuk kompromi terhadap dua hadits Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, yaitu antara hadits mutawatir, yang di dalamnya, beliau menyatakan,

أَفْطَرَ الْحَاجِمُ وَالْمَحْجُوْمُ

“Orang yang membekam dan orang yang dibekam (dianggap) telah berbuka puasa.”

Dan hadits Ibnu Abbas radhiyallâhu anhumâ riwayat Al-Bukhâry bahwa Ibnu Abbas berkata,

احْتَجَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ صَائِمٌ

“Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam berbekam, padahal beliau dalam keadaan berpuasa.”

2. Memeluk dan Mencium Hingga Membangkitkan Syahwat

Memeluk dan mencium istri hingga membang­kitkan syahwat hukumnya makruh jika dilakukan oleh orang yang berpuasa. Hal tersebut berdasarkan hadits riwayat Abu Dâud, dengan sanad yang shahih dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu, bahwa Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu berkata,

أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْمَبَاشَرَةِ لِلصَّائِمِ فَرَخَّصَ لَهُ وَأَتَاهُ آخَرُ فَسَأَلَهُ فَنَهَاهُ فَإِذَا الَّذِيْ رَخَّصَ لَهُ شَيْخٌ وَالَّذِيْ نَهَاهُ شَابٌّ

“Sesungguhnya, seseorang lelaki bertanya kepada Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam tentang hal memeluk (istri) bagi orang yang berpuasa, maka beliau memberikan keringanan kepadanya (untuk melakukan hal tersebut), dan laki-laki lain datang untuk bertanya kepada beliau, lalu beliau pun bertanya kepadanya, maka beliau melarangnya (untuk melakukan hal tersebut), ternyata orang yang diberikan keringanan adalah orang tua dan orang yang dilarang terhadap hal tersebut adalah seorang pemuda.”

3. Puasa Wishal Hingga Sahur

Puasa Wishal, yakni menyambung puasa dari Maghrib (yang merupakan waktu untuk berbuka puasa) sampai waktu sahur, lalu berbuka puasa sambil makan sahur untuk puasa hari selanjutnya, adalah makruh menurut pendapat yang lebih kuat di kalangan ulama berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudry radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhâry bahwa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُوَاصِلُوا، فَأَيُّكُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُوَاصِلَ فَلْيُوَاصِلْ حَتَّى السَّحَرِ

“Janganlah kalian berpuasa Wishal. Barangsiapa yang menyambung, sambunglah sampai waktu sahur.”


Sumber : dzulqarnain.net

12 Kesalahan yang Sering Terjadi di Bulan Ramadhan

Pada bulan Ramadhan, tidak jarang kita menjumpai beberapa kesalahan di tengah masyarakat berkaitan dengan puasa Ramadhan.

Berikut beberapa kesalahan dalam pelaksanaan puasa Ramadhan yang kami ingatkan guna menjaga kesempurnaan puasa setiap muslim dan muslimah. Wallâhul musta’ân.

Pertama: Menentukan Masuknya Ramadhan dengan Ilmu Falak

Menentukan masuknya bulan Ramadhan dengan menggunakan ilmu falak atau ilmu hisab adalah kesalahan yang sangat besar dan bertolak belakang dengan tuntunan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam.

Allah Subhânahu wa Ta’âlâ menegaskan,

فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

“Maka, barangsiapa di antara kalian yang menyaksikan bulan, hendaknya ia berpuasa.” [Al-Baqarah: 185]

Juga dalam hadits Abdullah bin Umar radhiyallâhu ‘anhumâ riwayat Al-Bukhâry dan Muslim dan hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhâry dan Muslim, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمِّىَ عَلَيْكُمُ الشَّهْرُ فَعُدُّوا ثَلاَثِينَ

 “Berpuasalah kalian karena melihat (hilal) tersebut dan ber­bukalah kalian karena melihat (hilal) tersebut. Apabila tertutupi dari (pandangan) kalian, sempurnakanlah bulan (Sya’ban) menjadi tiga puluh (hari).”

Ayat dan hadits di atas sangatlah jelas menunjukkan bahwa masuknya Ramadhan berkaitan dengan hal melihat/menyaksikan hilal dan tidak dikaitkan dengan hal menghitung, menghisab, dan selainnya.

Kedua: Mempercepat Waktu Sahur

Hal ini tentunya bertentangan dengan sunnah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau mengakhirkan waktu sahurnya hingga mendekati adzan shalat Shubuh sebagaimana dalam hadits Zaid bin Tsabit radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhâry dan Muslim bahwa Zaid berkata,

تَسَحَّرْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلَاةِ. قُلْتُ : كَمْ كَانَ قُدْرُ مَا بَيْنَهُمَا؟ قَالَ خَمْسِيْنَ آيَةً

“Kami makan sahur bersama Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam kemudian bangkit untuk mengerjakan shalat. Saya (Anas bin Malik yang meriwayatkan dari Zaid,-pent.) berkata, ‘Berapa lama jarak antara keduanya (sahur dan adzan)?’ (Zaid) menjawab, ‘(Sepanjang pembacaan) lima puluh ayat.’.”

Ketiga: Menjadikan Tanda Imsak Sebagai Batasan Waktu Sahur

Sering terdengar saat Ramadhan, bunyi­-bunyian yang dijadikan sebagai tanda imsak (imsak sendiri berarti menahan, yaitu menahan diri dari makan, minum, jima’, dan berbagai pembatal puasa lain), seperti suara sirine, ayam berkokok, dan beduk, yang terdengar sekitar seperempat jam sebelum adzan. Tentunya hal ini merupakan kesalahan yang sangat besar dan bid’ah sesat lagi bertolak belakang dengan tuntunan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang mulia.

Allah Subhânahu wa Ta’âlâ menyatakan,

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

“Dan makan dan minumlah kalian hingga tampak, bagi kalian, benang putih terhadap benang hitam, yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.” [Al-Baqarah: 187]

Dalam hadits Abdullah bin Umar radhiyallâhu ‘anhumâ riwayat Al-Bukhâry dan Muslim, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam juga menyatakan,

إِنَّ بِلاَلاً يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى تَسْمَعُوا تَأْذِينَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُومٍ

“Sesungguhnya Bilal adzan pada malam hari, maka makan dan minumlah kalian sampai mendengar seruan adzan Ibnu Ummi Maktum.”

Ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa akhir waktu sahur adalah adzan kedua, yaitu adzan shalat Shubuh. Se­harusnya, inilah pegangan kaum muslimin, yaitu menjadikan adzan Shubuh sebagai ba­tas waktu terakhir makan sahur dan meninggalkan penggunaan tanda imsak, yang tidak pernah dikenal oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.


Keempat: Melafazhkan Niat Puasa saat Makan Sahur

Hal ini juga merupakan perkara yang salah karena letak niat adalah di dalam hati, tidak dilafazhkan, menurut kesepakatan ulama. Juga bahwa waktu niat tidak dikhususkan pada makan sahur saja, tetapi bermula dari terbenamnya ma­tahari sampai terbitnya fajar sebagaimana yang telah dimaklumi. Selain itu, pelafazhan niat juga merupakan perkara baru dalam agama ini yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.

Kelima: Meninggalkan Hal Berkumur-kumur dan Meng­hirup Air ketika Berwudhu

Hal ini juga merupakan kesalahan yang banyak terjadi pada kaum muslimin. Mereka menganggap bahwa hal berkumur-kumur dan menghirup air merupakan pembatal puasa, padahal hal tersebut merupakan perkara yang disunnahkan dalam hal berwudhu menurut pandangan syariat Islam sebagaimana yang telah diterangkan dalam banyak hadits.

Keenam: Anggapan bahwa Tidak boleh Menelan Ludah

Pada kaum muslimin, kita kadang mendapati angga­pan bahwa seseorang tidak boleh menelan ludah saat ber­puasa, sehingga kita kadang mendapati sebagian kaum muslimin sering meludah saat berpuasa. Maka, tidaklah diragukan bahwa hal ini merupakan sikap berlebihan dan pembebanan diri tanpa dilandasi dengan tuntu­nan yang benar dalam syariat Islam.

Ketujuh: Mengakhirkan Buka Puasa

Hal ini juga adalah kesalahan yang banyak terjadi pada kaum muslimin, padahal tuntunan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam sangatlah jelas akan kesunnahan mempercepat buka puasa bila masuknya waktu berbuka telah pasti sebagai­mana dalam hadits Sahl bin Sa’d As-Sa’idy radhiyallâhu ‘anhumâ riwayat Al-Bukhâry dan Muslim,

لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا اْلفِطْرَ

“Manusia akan selalu berada dalam kebaikan selama mereka mempercepat buka puasa.”

Kedelapan: Menghabiskan Waktu dengan Perkara Yang Sia-Sia saat Ramadhan

Karena, dalam hadits riwayat Al-Bukhâry dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَسْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّيْ امْرُؤٌ صَائِمٌ

“… dan puasa adalah tameng. Bila salah seorang dari kalian berada pada hari puasa, janganlah ia berbuat rafats ‘sia-sia, perkataan keji, serta hubungan suami-istri dan pendahuluan-pendahuluannya,’ dan janganlah ia banyak mendebat. Kalau orang lain mencercanya atau memusuhinya, hendaknya ia berkata, ‘Saya sedang berpuasa.’.”

Kesembilan: Ragu Mencicipi Makanan

Hal tersebut adalah kesalahan, padahal boleh sepanjang seseorang dapat menjaga agar tidak menelan makanan tersebut sebagaimana perkataan Abdullah bin Abbas radhiyallâhu ‘anhumâ yang mempunyai hukum marfu’ dengan sanad yang hasan dari seluruh jalannya,

لَا بَأْسَ أَنْ يَذُوْقَ الصَّائِمُ الْخَلَّ وَالشَّيْءَ الَّذِيْ يُرِيْدُ شِرَاءَهُ مَالَمْ يَدْخُلْ حَلْقَهُ وَهُوَ صَائِمٌ

“Tidaklah mengapa, bagi orang yang berpuasa, merasa­kan cuka atau sesuatu yang ia ingin beli sepanjang hal itu tidak masuk ke dalam tenggorokannya.”

Kesepuluh: Lalai pada Akhir Ramadhan

Adalah kesalahan, menyibukkan diri dengan berbagai pekerjaan rumah tangga yang mungkin dikerjakan pada waktu lain sehingga melalaikan seseorang terhadap berbagai ibadah Ramadhan, khususnya pada sepuluh hari terakhir.

Kesebelas: Anggapan Bahwa Tunggakan Ramadhan Menjadi Dua Kali Lipat Bila Diundur Hingga Ramadhan Berikutnya

Keyakinan bahwa seseorang yang mengundur dalam hal mengqadha tunggakan puasa sampai setelah Ramadhan, tunggakan puasanya menjadi dua kali lipat merupakan kesalahan karena tidak ada dalil shahih yang menunjukkan hal tersebut.

Kedua Belas: Pembayaran Fidyah terhadap Puasa yang Belum Ditinggalkan

Membayar fidyah sebelum meninggalkan puasa Ramadhan adalah kesalahan, seperti perempuan hamil yang merencanakan untuk tidak berpuasa Ramadhan, lalu sebelum Ramadhan atau pada awal Ramadhan, dia membayar fidyah untuk tiga puluh hari. Tentunya, hal ini adalah perkara yang salah karena kewajiban pembayaran fidyah dibebankan atasnya apabila ia telah meninggalkan puasa.


Sumber : dzulqarnain.net

Kisah Teladan dari Kehidupan Syaikh Al-Utsaimin

Sabar dalam Berdakwah

Asy-Syaikh Hamad bin ‘Abdillah Al-Jutaili berkata:

"Saya mempunyai beberapa kenangan tentang Asy-Syaikh Al-Utsaimin, yaitu selama saya belajar kepada beliau selama 30 tahun di Al-Jami’ Al-Kabir, Unaizah. Yaitu tentang kesabaran beliau, dimana pada awal perjalanan mengajar beliau hanya ada saya dan beberapa pelajar lain, namun beliau senantiasa bersabar sampai akhirnya kajian beliau berkembang dan diikuti oleh ribuan pelajar." (Safahat Mushriqah min Hayat Al-Imam Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, hal. 80)

Diingatkan oleh Muridnya

Dikisahkan, pada sebuah khutbah Jum’at, Asy-Syaikh Al-’Utsaimin menjelaskan tentang keutamaan surat Al-Fatihah sebelum tidur dan menganjurkan setiap orang untuk membacanya. Setelah selesai khutbah, salah seorang pelajar mengingatkan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin, “Wahai Syaikh, yang anda maksud mungkin tadi keutamaan ayat Kursi.”

Asy-Syaikh Al-’Utsaimin kemudian menyadari bahwa dirinya secara tidak sengaja telah melakukan kesalahan. Maka beliau pun segera meralat kesalahannya sebelum para jamaah pergi, mengingatkan mereka bahwa beliau telah berbuat salah dan yang benar adalah keutamaan membaca ayat Kursi sebelum tidur. (Safahat Mushriqah min Hayat Al-Imam Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, hal. 43)

Menuntut Ilmu Sejak Anak-anak

Asy-Syaikh ‘Ashim bin ‘Abdil Mun’im Al-Mari menceritakan:
"Sifat yang paling menonjol dari Asy-Syaikh Al-’Utsaimin adalah ketekunan beliau dalam menuntut ilmu. Beberapa saudara Asy-Syaikh Abdullah bin Muhammad Al-Mani’ rahimahullah, Qadhi Unaizah pada tahun 1360 H (1936) menyebutkan bahwa Asy-Syaikh Al-’Utsaimin selalu datang pagi-pagi ke rumah Asy-Syaikh Abdullah bin Muhammad sambil membawa kertas dan buku. Asy-Syaikh Al-’Utsaimin kemudian mengetuk pintu, mengucapkan salam dan meminta ijin untuk masuk ke perpustakaan. Beliau biasa ada di perpustakaan itu sampai menjelang Dzuhur. Ini dilakukan ketika beliau masih anak-anak (belum mencapai usia baligh)." (Ad-Durr Ats-Tsamin fi Tarjamti Faqihil Ummah Al-’Allammah bin ‘Utsaimin, hal. 24)

“Istirahat adalah dengan tetap memberikan pelayanan kepada umat”

Asy-Syaikh Badr bin Nadhir Al-Masyari menceritakan:
Meskipun dalam keadaan kesehatannya kurang baik, Asy-Syaikh Al-’Utsaimin tetap bersemangat untuk memberikan khutbah Jum’at di Al-Jami’ Al-Kabir, memimpin doa, dan menemui tamu-tamu untuk menjawab pertanyaan ataupun memberikan penjelasan. Semua ini memang kemauan dari beliau sendiri, dimana pada suatu hari dikatakan kepada beliau, “Wahai Syaikh, beristirahatlah.” Maka beliau menjawab, “Istirahat adalah dengan tetap memberikan pelayanan kepada umat.” (Ad-Durr Ats-Tsamin fi Tarjamti Faqihil Ummah Al-’Allammah bin ‘Utsaimin, hal. 296)

Prihatin dengan Krisis yang Terjadi pada Umat

Asy-Syaikh Badr bin Nadhir Al-Masyaari menceritakan:
Salah seorang murid Asy-Syaikh Al-’Utsaimin bercerita kepada saya bahwa beliau pernah mengalami tidur dalam waktu sedikit ketika krisis yang besar melanda umat, khususnya pada saat Perang Teluk dan tragedi pembantaian muslimi di Bosnia dan Chechnya. Waktu itu beliau sering berdoa di waktu malam kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar memberi kemenangan bagi kaum muslimin dalam melawan musuh-musuhnya, menguatkan Islam, dan menghancurkan musuh-musuh Islam. Beliau pun berdoa untuk keselamatan kaum muslimin secara keseluruhan dan memberi mereka dorongan agar tetap teguh dalam menghadapi berbagai kesulitan menghadapi musuh-musuh Isam. (Ad-Durr Ats-Tsamin fi Tarjamti Faqihil Ummah Al-’Allammah bin ‘Utsaimin, hal. 300)

Menghapal Al-Qur’an dalam Waktu Enam Bulan

Asy-Syaikh Ibrahim bin Hamad Al-Jutaili, seseorang yang telah mengenal Asy-Syaikh Al-’Utsaimin selama 45 tahun dan telah belajar kepada beliau selama 20 tahun bercerita: Beliau mampu menghapal Al-Qur’an dalam waktu 6 bulan di bawah bimbingan gurunya Asy-Syaikh Ali bin Abdullah Asy-Syuhaitan. (Ad-Durr Ats-Tsamin fi Tarjamti Faqihil Ummah Al-’Allammah bin ‘Utsaimin, hal. 23)

Catatan: Berdasar cerita ini maka menjadi jelas bahwa Asy-Syaikh Al-’Utsaimin tidak menghapal Al-Qur’an di bawah bimbingan kakeknya, Abdurrahman bin Sulaiman Al-Damigh, sebagaimana yang banyak diketahui. Kepada kakeknya itu beliau semata hanya belajar membaca Al-Qur’an, sementara untuk menghapalnya beliau dibimbing oleh Asy-Syaikh Asy-Syuhaitan.

Tetap Shalat Malam Meski Kelelahan

Muhammad bin ‘Abdil Jawwad As-Sawi mengisahkan:
"Suatu ketika Asy-Syaikh Al-’Utsaimin diundang oleh suatu lembaga amal di Jeddah. Acara yang beliau hadiri itu ternyata sangat panjang, sampai mendekati jam satu malam dimana kebiasaan beliau adalah beristirahat pada waktu demikian. Terlihat sekali beliau mengalami kelelahan dan mengantuk. Kami akhirnya pulang dan mengantar Asy-Syaikh Al-’Utsaimin ke rumah, sementara kami sudah tidak bisa lagi menahan kantuk.

Ketika hari masih malam, yaitu sekitar jam 03.30, setelah kami tertidur selama kurang lebih dua jam, saya mendengar suara Asy-Syaikh Al-’Utsaimin yang sedang sholat dalam keadaan beliau baru saja kelelahan dan kurang tidur, namun beliau tetap menyempatkan untuk melakukan shalat malam". (Safahat Mushriqah min Hayat Al-Imam Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, hal. 73)

Tidak Kenal dengan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin

Abdullah bin ‘Ali Al-Matawwu’ menceritakan bahwa ia pernah menemani perjalanan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin dari Unaizah menuju Al-Bada’i yang jaraknya sekitar 15 km untuk memenuhi undangan acara makan siang. Setelah acara selesai, dalam perjalanan pulang rombongan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin menjumpai seorang laki-laki yang memiliki jenggot berwarna merah dan dengan pandangan bersahabat ia melambaikan tangan ke mobil kami. Asy-Syaikh Al-’Utsaimin berkata, “Pelan-pelan, kita akan ajak dia bersama kita.”

Asy-Syaikh Al-’Utsaimin kemudian berkata, “Hendak pergi kemana anda?” Laki-laki itu menjawab, “Bolehkah saya menumpang sampai ke Unaizah?” Asy-Syaikh Al-’Utsaimin berkata, “Boleh, tapi dengan dua syarat, pertama anda tidak boleh merokok dan kedua anda harus selalu mengingat Allah.” Ia menjawab, “Saya adalah laki-laki yang tidak merokok. Saya tadinya menumpang kepada seorang laki-laki yang merokok, maka saya minta turun di sini. Sedangkan untuk mengingat Allah, maka tidaklah ada seorang muslim pun kecuali ia pasti mengingat Allah.” Maka laki-laki itu pun masuk ke dalam mobil.

Selama perjalanan laki-laki tersebut sama sekali tidak menyadari bahwa dirinya sedang bersama rombongan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin. Ketika sampai di Unaizah, laki-laki itu berkata, “Tolong tunjukkan saya di mana rumah Asy-Syaikh Al-’Utsaimin, saya memiliki beberapa permasalahan yang ingin saya tanyakan pada beliau.”

Asy-Syaikh Al-’Utsaimin berkata, “Mengapa anda tidak bertanya kepada beliau saat di Bada’i?” Ia menjawab, “Saya tidak bertemu dengan beliau.” Asy-Syaikh Al-’Utsaimin berkata, “Saya melihat anda berbicara dan memberi salam kepada beliau.” Laki-laki itu berkata, “Anda pasti bercanda.” Asy-Syaikh Al-’Utsaimin tersenyum dan berkata, “Kerjakanlah shalat Ashar di masjid jami’ Unaizah, maka anda akan bertemu dengannya.” Orang itu berlalu tanpa mengetahui bahwa ia baru saja berbicara dengan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin.

Usai shalat Ashar, laki-laki itu melihat seorang Syaikh di arah depan usai mengimami shalat. Laki-laki itu bertanya tentang Asy-Syaikh tersebut dan diberi tahu bahwa beliau adalah Asy-Syaikh Al-’Utsaimin. Maka laki-laki itupun mendekati Asy-Syaikh Al-’Utsaimin dan meminta maaf karena tidak mengenali beliau sebelumnya. Kemudian ia mengajukan beberapa pertanyaan dan Asy-Syaikh pun menjawabnya. Laki-laki itu sangat senang dan mengucapkan terima kasih kepada Asy-Syaikh Al-’Utsaimin. (Al-Jami’ li-Hayat Al-’Allammah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 38)


“Tahukah kamu siapa Asy-Syaikh itu?”

Ketika Asy-Syaikh Al-’Utsaimin pulang dari Masjidil Haram usai shalat menuju hotel, beliau menjumpai sekumpulan anak muda sedang bermain sepak bola dalam keadaan mereka belum sholat. Maka beliau pun menghentikan permainan sepak bola itu, memberi nasehat kepada mereka, dan mengingatkan mereka kepada Allah dalam keadaan mereka tidak tahu siapa beliau. Asy-Syaikh Al-’Utsaimin melarang mereka untuk meneruskan permainannya sebelum mereka sholat. Salah seorang dari mereka mendekati beliau dan dengan nada tinggi ia memaki-maki. Asy-Syaikh Al-’Utsaimin membalas kata-kata anak muda itu dengan penuh rasa cinta dan keramahan, “Engkau sebaiknya ikut saya ke hotel, kita bisa bicara di sana.”

Waktu itu Asy-Syaikh Al-’Utsaimin bersama beberapa pelajar dan mereka mendorong anak muda itu untuk menuruti Asy-Syaikh Al-’Utsaimin ikut bersama beliau. Maka ia pun ikut bersama Asy-Syaikh Al-’Utsaimin ke hotel. Beberapa saat kemudian beliau meninggalkan ruangan untuk suatu keperluan. Para pelajar yang bersama Asy-Syaikh Al-’Utsaimin bertanya kepada anak muda, “Tahukah kamu siapa Syaikh itu?” Ia menjawab, “Saya tidak tahu.” Mereka berkata, “Beliau adalah Asy-Syaikh Al-’Utsaimin.” Mendengar jawaban itu, seketika wajah anak muda itu berubah. Ketika Asy-Syaikh Al-’Utsaimin datang, anak muda itu menangis dan mencium kening beliau. Setelah peristiwa itu ia mengalami perubahan dan menjadi anak muda yang shaleh. (Al-Jami’ li-Hayat Al-’Allammah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 41)

“…saya akan keluar untuk mendorong.”

Suatu ketika Asy-Syaikh Al-Utsaimin naik sebuah mobil tua milik salah seorang temannya yang mudah mogok. Dalam perjalanan mobil itupun mogok dan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin berkata kepada sopir mobil, “Tinggallah kamu di tempatmu, saya akan keluar untuk mendorong.”

Asy-Syaikh Al-’Utsaimin keluar dari mobil dan mendorong seorang diri sampai mobil itu berjalan lagi. Kejadian ini merupakan gambaran betapa beliau rahimahullah sangat rendah hati. (Al-Jami’ li-Hayat Al-’Allammah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 42)

“Subhanallah, beliau yang sudah tua lebih memilih berdiri untuk shalat.”

Seorang murid Asy-Syaikh Al-’Utsaimin asal Kuwait yang telah belajar selama lima tahun dan dikenal sebagai murid yang sangat rajin menceritakan: Saya pernah menemani Asy-Syaikh Al-’Utsaimin dalam perjalanan dari Unaizah menuju Riyadh dan kemudian dilanjutkan ke Mekkah untuk umrah. Usai menunaikan umrah, semua anggota rombongan minta ijin kepada Asy-Syaikh Al-’Utsaimin untuk istirahat karena kelelahan setelah melakukan perjalanan panjang yang dilanjutkan dengan umrah pada hari yang sama.

Salah seorang anggota rombongan bernama Asy-Syaikh Hamad menceritakan bahwa dirinya terbangun di tengah malam dan mendapati Asy-Syaikh Al-’Utsaimin sedang shalat. Ia berkata, “Subhanallah, saya yang masih muda memilih tidur sementara beliau yang sudah tua lebih memilih berdiri untuk sholat.”

Maka ia pun bangkit untuk mengambil wudhu dan ikut shalat bersama Asy-Syaikh Al-’Utsaimin. Dia berusaha keras untuk melawan rasa kantuknya, namun akhirnya ia tidak bisa bertahan dan pergi tidur meninggalkan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin shalat sendirian. (Al-Jami’ li-Hayat Al-’Allammah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 39)

“Kembalikan mobil itu kepada Pangeran…”

Abdullah bin Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin (putra beliau) berkisah:
Suatu ketika Pangeran Abdullah bin Abdul Aziz Alu Su’ud, gubernur Qashim, memberi hadiah kepada Asy-Syaikh Al-’Utsaimin sebuah mobil baru. Ketika pulang ke rumah, beliau melihat sebuah mobil diparkir di depan rumah dan beliau pun diberi tahu tentang mobil itu. Mobil itu tetap di luar rumah sampai lima hari tanpa dipakai oleh Asy-Syaikh Al-’Utsaimin. Beliau akhirnya berkata kepada putranya, Abdullah, “Kembalikan mobil itu kepada Pangeran dan ucapkan terima kasih atas kemurahan hatinya. Beritahu dia bahwa saya tidak membutuhkannya.”

Maka mobil itupun dikembalikan kepada Pangeran Abdullah, sementara Asy-Syaikh Al-’Utsaimin tetap mengendarai mobilnya yang sudah tua dan murah. Sampai meninggal beliau masih tetap memiliki mobil yang sama. (Al-Jami’ li-Hayat Al-’Allammah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 23)

“Sekarang ijinkan mereka pulang kepada keluarganya!”

Ihsan bin Muhammad Al-’Utaibi menceritakan:
Beberapa pemuda dari Yordania melakukan perjalanan dengan mobil untuk melakukan umroh. Sesampai di Khaibar mereka mengalami kecelakaan, yaitu mobil mereka menabrak lampu jalan. Polisi pun datang dan meminta kepada sopir untuk membayar ganti rugi kerusakan sebesar 21.000 Riyal (sekitar 3.500 Pound Sterling). Baik sopir maupun para pemuda itu tidak mampu membayar denda sebesar itu. Maka polisi pun menyita paspor milik sopir sampai dia mampu membayar denda sepulang dari umrah.

Beberapa pelajar yang mengetahui kasus ini berinisiatif membantu mencari dana. Mereka berpikir jalan terbaik adalah dengan menyampaikan permasalahan ini kepada ulama. Maka salah seorang dari mereka mendatangi Asy-Syaikh Al-’Utsaimin di ruang beliau di Masjidil Haram, Mekkah, usai shalat Ashar. Setelah diberi tahu permasalahan yang terjadi, Asy-Syaikh Al-’Utsaimin berkata, “Datanglah besok, insya Allah semua akan beres.”

Namun para pelajar tidak datang pada keesokkan harinya karena mereka berpikir bahwa jumlah uang yang dibutuhkan sangat besar. Disamping itu, menurut pikiran mereka, Asy-Syaikh Al-’Utsaimin juga tidak kenal dengan mereka. Maka pelajar itu kembali ke pemuda dari Yordania yang mengalami kecelakaan dan menyatakan bahwa mereka telah berusaha membantu, setidaknya telah menyampaikan hal ini kepada Asy-Syaikh Al-’Utsaimin. Para pemuda itu berencana pulang ke Yordania namun mereka harus melewati pemeriksaan di Khaibar yang akan memeriksa paspor sopir. Mereka mengharap kemurahan hati petugas imigrasi (pemeriksa paspor) dan mereka mau melupakan kewajiban mereka untuk membayar denda.

Ketika mereka datang ke kantor, kepala kantor meminta mereka membayar penuh denda tersebut dan mereka tidak boleh pergi (sebelum membayar denda). Mereka boleh pergi tetapi tidak boleh bersama sopirnya. Para pemuda dan sopir menjadi khawatir. Apa yang harus mereka lakukan kini?

Mereka kemudian mendatangi pelajar yang telah menemui Asy-Syaikh Al-’Utsaimin dan berkata, “Mengapa anda tidak mendatangi beliau lagi? Apa yang beliau katakan?” Dia menjawab, “Beliau berkata: datanglah lagi besok.” Mereka bertanya, “Apakah engkau datang keesokan harinya?” Dia menjawab, “Tidak.” Mereka berkata, “Hubungi beliau lagi, semoga Allah memberi jalan kepada kami melalui beliau. Saat ini kami berada di tempat yang jauh dari keluarga di hari-hari terakhir bulan Ramadhan.”

Pelajar itu pun kembali mendatangi Asy-Syaikh Al-’Utsaimin. Pemuda itu kembali menerangkan permasalahan yang terjadi. Asy-Syaikh Al-’Utsaimin bertanya, “Apakah engkau berasal dari Yordania?” Ia menjawab, “Ya, wahai Syaikh.” Asy-Syaikh berkata, “Bukankah waktu itu saya sudah meminta engkau untuk datang esok harinya, tapi mengapa engkau tidak datang?” Ia menjawab, “Saya merasa malu, wahai Syaikh.”

Maka Asy-Syaikh Al-’Utsaimin berkata, “Sekarang mengapa engkau datang lagi? …di beberapa kejadian, jumlah uang yang kita butuhkan bisa terkumpul dalam satu hari.” Pelajar itu hampir tidak percaya mendengar hal itu. Ia merasa senang karena memiliki harapan baru. Ia berkata, “Sekarang apa yang harus kami kerjakan, wahai Syaikh?” Asy-Syaikh Al-’Utsaimin berkata, “Saya akan mentransfer uang ke bagian imigrasi dan mencoba meminta mereka agar memudahkah urusan kalian dan agar mereka mengijinkan kalian pulang ke keluarga kalian sebelum hari Raya Idul Fitri.”

Asy-Syaikh Al-’Utsaimin kemudian berbicara kepada kepala imigrasi, “Saya telah mengumpulkan uang (untuk membayar denda), beritahu saya nomor rekening anda supaya saya bisa mentransfernya. Kemudian ijinkan para pemuda dan sopirnya pulang ke keluarganya.”

Kepala imigrasi menjawab dengan nada tidak sopan, “Maaf Syaikh, kami minta supaya uang itu dalam bentuk cash, sehingga kami pun belum bisa mengijinkan mereka pergi.” Asy-Syaikh Al-’Utsaimin menjadi marah mendengar jawaban itu. Beliau berkata, “Saya katakan kepada anda, saya telah memiliki uang itu. Sekarang ijinkan mereka pulang kepada keluarganya.” Namun kepala imigrasi itu tetap menolak. Asy-Syaikh Al-’Utsaimin kemudian meletakkan gagang telepon.

Beberapa saat kemudian keadaan kantor imigrasi itu menjadi terbalik. Gubernur Madinah, Pangeran Abdul Majid, menelepon untuk menanyakan kepala imigrasi yang telah menolak permintaan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin. Gubernur kemudian menjatuhi hukuman kepada kepala imigrasi karena telah bertindak tidak disiplin. Dalam keadaan ini, para pegawai di kantor itu mencoba memberi pembelaan kepada kepala imigrasi.

Para pemuda yang masih di kantor imigrasi merasakan adanya perubahan nada bicara yang terjadi pada para pegawai, dari tidak ramah menjadi sangat ramah. Gubernur telah memerintahkan mereka untuk mengijinkan para pemuda itu dan sopirnya pergi dan biaya perbaikan lampu akan ditanggung negara.

Tidak bisa digambarkan betapa gembiranya para pemuda itu. Mereka mengucapkan terima kasih kepada Asy-Syaikh Al-’Utsaimin atas bantuan dan pembelaannya. Mereka juga mengucapkan terima kasih kepada Gubernur Madinah yang memiliki rasa hormat kepada ulama dan menghargai posisi mereka.” (Al-Jami’ li-Hayat Al-’Allammah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal. 75)

Kata-Kata Hikmah dari Asy-Syaikh Al-’Utsaimin

Asy-Syaikh Badar ibn Nadhir Al-Masyari menceritakan:
Ketika baru pulang dari Amerika sehabis berobat, Asy-Syaikh Al-’Utsaimin ditanya tentang kesehatan beliau. Maka beliau menjawab dengan sebuah kalimat mulia, “Ketahuilah, sesungguhnya sehat dan sakit itu tidak akan terjadi lebih lama atau pun mendahului dari waktu yang ditentukan. Hidup saya dan anda telah ditulis sebelum Allah menciptakan surga dan neraka. Maka yakinilah hal ini, sebagaimana saya pun meyakininya.” (Safahat Mushriqah min Hayat Al-Imam Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, hal. 111)

Mengajar Sambil Diperiksa Kesehatannya

Muhammad Rabi’ Sulaiman menceritakan:
"Tahun 1420 H terjadi sebuah peristiwa yang dikenang, yaitu pada bulan Ramadhan ketika Asy-Syaikh Al-’Utsaimin sedang memberikan kajian rutinnya di Masjidil Haram, Mekkah.

Seorang dokter spesialis yang merawat beliau menasehati bahwa tubuh Asy-Syaikh Al-’Utsaimin perlu istirahat secara rutin tiap sore dan tidak boleh mengajar setelah shalat Tarawih. Dokter itu ingin memberikan transfusi darah dan beberapa pemeriksaan medis lain, namun Asy-Syaikh Al-’Utsaimin menjawab, “Kerjakan apa yang harus anda kerjakan sementara saya tetap mengajar.”

Maka sambil memberikan kajian, dokter itu memasukkan jarum ke tubuh Asy-Syaikh Al-’Utsaimin untuk melakukan transfusi darah, beberapa pemeriksaan kesehatan, mengecek suhu badan, dan denyut jantung.

Demikianlah, betapa tingginya keinginan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin untuk menyebarkan ilmu dan mengajari manusia. Hal ini dilakukan sampai malam terakhir bulan Ramadhan sebelum beliau pergi dari Masjadil Haram."  (Safahat Mushriqah min Hayat Al-Imam Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, hal. 24)

Asy-Syaikh Al-’Utsaimin Menjahit Sendiri Pakaiannya


Diceritakan oleh seorang murid beliau bahwa suatu ketika ia mengunjungi Asy-Syaikh Al-’Utsaimin di Mekkah. Saat itu sedang musim haji dan beliau berada di dalam penginapannya. Ia jumpai beliau sedang menjahit jubahnya. (Ibn ‘Utsaimin, Al-Imam Az-Zahid, hal. 163)

Kesederhanaan Asy-Syaikh Al-’Utsaimin

Asy-Syaikh Al-’Utsaimin adalah seseorang yang memiliki sifat sederhana dan rendah hati. Beliau tidak suka tidur di atas kasur ataupun di alas yang empuk, namun beliau biasa tidur di lantai atau di atas tikar dari ijuk (jerami) yang akan memberikan bekas di punggung beliau. (Ibn ‘Utsaimin, Al-Imam Az-Zahid, hal. 163)

Melawan Rasa Kantuk demi Umat

Abu Khalid Abdul Karim Al-Miqrin menceritakan:
Suatu malam saat kami sedang melakukan rekaman untuk acara radio (Nur ‘ala Darb), Asy-Syaikh Al-’Utsaimin nampak diserang rasa kantuk. Dari kejadian ini diketahui bahwa beliau adalah seorang yang sangat sabar, toleran, dan bersemangat untuk segala sesuatu yang di dalamnya terdapat manfaat untuk umat. Beliau berusaha melawan rasa kantuknya sehingga kami bisa melanjutkan proses rekaman.
Beliau meminta berhenti sebentar dan minta kabel mikrofon dipanjangkan sehingga beliau bisa menjawab pertanyaan sambil berdiri. Kami memberi beliau mikrofon kecil yang bisa ditempelkan di baju beliau dengan kabel yang lebih panjang. Beliau melanjutkan menjawab pertanyaan sambil berjalan-jalan di sekitar ruangan untuk menghilangkan rasa kantuk. Ini dilakukan beliau sampai proses rekaman selesai.
Inilah perhiasan seorang ulama sejati dan keutamaan yang mereka terapkan dalam semua urusan umat baik dalam keilmuan maupun amalan mereka. (Arba’ah ‘Ashar ‘am Ma’a Samahatil ‘Allammah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, hal. 56)


Sumber: Untaian Mutiara Kehidupan Ulama Ahlus Sunnah, oleh Abu Abdillah Alercon, dll (www.fatwaonline.com), penerbit Qaulan Karima, hal. 101-118.
 fadhlihsan.blogspot