Ketika saya membaca artikel Ustadz yang berjudul “Pokok Iman (Ashlul-Iman) Menurut
Ahlus-Sunah Wal-Jama’ah”. Saya mendapati beberapa ungkapan dan nukilan
beliau yang perlu diteliti kembali.
Diantaranya adalah ungkapan Ustadz: “-Dari perkataan para imam di atas – yang merupakan interpretasi ‘aqidah
Ahlus-Sunnah – dapat dipahami bahwa hukum kekafiran tidaklah tetap – dari
sisi meninggalkan (at-tarku) – dengan kesepakatan (ijmaa’), hingga
ia meninggalkan ashlul-iimaan.”
-Dr. Nu’aim
Yaasiin hafidhahullah berkata :
فالجمهور من أهل
السنه وإن جعلوا العمل جزءا من الإيمان إلا أنهم لم يقولوا بتكفير المصدق بقلبه
المقر بلسانه إن لم يعمل، والحنفية وإن أخرجوا العمل من الإىمان إلا أنهم اعتبروه
من لوازمه ومقتضياته، ولكل متفقون على عدم التكفير بترك العمل
“Jumhur ulama
Ahlus-Sunnah, meskipun mereka menjadikan amal merupakan bagian dari iman, namun
mereka tidaklah mengatakan kekafiran orang yang membenarkan dengan hatinya
lagi mengikrarkan dengan lisannya. Adapun ulama Hanafiyyah, meskipun mereka
mengeluarkan amal dari iman, namun mereka menganggapnya sebagai konsekuensi dan
persyaratannya. Dan mereka semuanya bersepakat tentang peniadaan pengkafiran
dengan meninggalkan amal” [Al-Iimaan, hal. 151-153].
-Dikuatkan pula oleh beberapa perkataan ulama yang tidak
mengkafirkan orang yang meninggalkan amal jawaarih –selesai nukilan
Ustadz Abul-Jauza-