Saturday, February 11, 2012

Apakah Orang Yang Hanya Bermodal Syahadat Lalu Meninggalkan Seluruh Amal Kewajiban Dalam Syariat Dikatakan Muslim?


Ketika saya membaca artikel Ustadz yang berjudul “Pokok Iman (Ashlul-Iman) Menurut Ahlus-Sunah Wal-Jama’ah”. Saya mendapati beberapa ungkapan dan nukilan beliau  yang perlu diteliti kembali. Diantaranya adalah ungkapan Ustadz: “-Dari perkataan para imam di atas – yang merupakan interpretasi ‘aqidah Ahlus-Sunnah – dapat dipahami bahwa hukum kekafiran tidaklah tetap – dari sisi meninggalkan (at-tarku) – dengan kesepakatan (ijmaa’), hingga ia meninggalkan ashlul-iimaan.”

-Dr. Nu’aim Yaasiin hafidhahullah berkata :
فالجمهور من أهل السنه وإن جعلوا العمل جزءا من الإيمان إلا أنهم لم يقولوا بتكفير المصدق بقلبه المقر بلسانه إن لم يعمل، والحنفية وإن أخرجوا العمل من الإىمان إلا أنهم اعتبروه من لوازمه ومقتضياته، ولكل متفقون على عدم التكفير بترك العمل
“Jumhur ulama Ahlus-Sunnah, meskipun mereka menjadikan amal merupakan bagian dari iman, namun mereka tidaklah mengatakan kekafiran orang yang membenarkan dengan hatinya lagi mengikrarkan dengan lisannya. Adapun ulama Hanafiyyah, meskipun mereka mengeluarkan amal dari iman, namun mereka menganggapnya sebagai konsekuensi dan persyaratannya. Dan mereka semuanya bersepakat tentang peniadaan pengkafiran dengan meninggalkan amal” [Al-Iimaan, hal. 151-153].

-Dikuatkan pula oleh beberapa perkataan ulama yang tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan amal jawaarih –selesai nukilan Ustadz Abul-Jauza-


Friday, February 10, 2012

Perkataan Para Ulama Bahwa Perayaan Maulid Adalah Perkara Baru Dalam Agama

Perkara yang penting untuk diperhatikan dalam masalah ini adalah bahwa para ulama -baik yang membolehkan perayaan maulid terlebih yang tidak memperbolehkannya- semuanya telah bersepakat bahwa perayaan maulid Nabawi tidak pernah dilakukan oleh Nabi r dan para salafus Saleh dari kalangan para sahabat, tabi’in, dan para ulama setelah mereka.

Berikut nukilan perkataan dan fatwa mereka -yang sempat kami kumpulkan-:

1.    Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim Ibnu Taimiah -rahimahullah- :
a.    Beliau berkata dalam Majmu’ Al-Fatawa (25/298), “Adapun menjadikan suatu hari raya, selain dari hari-hari raya yang syar’i, seperti beberapa malam dalam bulan Rabiul Awwal yang dikatakan bahwa itu adalah malam maulid atau beberapa malam dalam bulan Rajab atau pada tanggal 18 Dzul Hijjah atau Jumat pertama dari bulan Rajab atau tanggal 8 Syawal yang disebut oleh orang-orang bodoh dengan idul Abror, maka semua ini adalah termasuk di antara bid’ah-bid’ah yang tidak pernah disunnahkan dan tidak pernah dikerjakan oleh para ulama salaf, Wallahu  a’lam”.

Friday, February 3, 2012

Hukum Memberi Pujian Pada Ahli Bid’ah


Diantara ulama kibar di zaman kita yang seharusnya kita banyak mengambil faidah  dalam permasalahan kontemporer terutama tentang fitnah dan perselisihan yang terjadi adalah Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dan Syaikh Shalih Al-Fauzan rahimahumallah. Mereka berdua telah menghabiskan umur mereka untuk berdakwah kepada Sunnah dan menasehati umat dengan sebaik-baik nasehat. Jenggot mereka telah memutih oleh ilmu dan mereka telah melewati masa muda yang identik dengan sikap isti’jal (tergesa-gesa), berbeda dengan sikap sebagian kita yang menilai seolah-olah sebagian ulama  bodoh terhadap ilmu jarh wa ta’dil, seolah-olah para ulama tersebut baru belajar kemarin sore lalu dengan beraninya men-jarh fulan, meng-hajr fulan tanpa landasan ilmu. Bahkan sikap sebagian ulama dinilai aneh olehnya. Subhanallah tidakkah kita bersikap husnudzan (berbaik sangka) pada mereka, tidak hanya ber-husnudzan pada sebagian tokoh lalu ber-su’udzan pada para ulama.

Inilah fenomena yang terjadi, semoga Allah ta’ala memberikan taufiq pada kita untuk mengikuti kebenaran lalu istiqamah di atasnya dan  meninggalkan sikap ta’ashub yang  tercela.

Bagaimana sikap kedua syaikh dalam menyikapi ahli bid’ah dan orang-orang yang memujinya?