Monday, January 23, 2012

Siapa Bilang Syaikh Rabi' Bukan Imam Jarh wa Ta'dil Abad Ini?


Barangkali ada sebagian orang yang menyangka bahwa ungkapan sebagian ulama ketika menyatakan bahwa Syaikh Rabi’ adalah Imam Jarh wa Ta’dil di masa ini merupakan ungkapan yang berlebihan karena masih banyak para Ulama yang lebih senior dan lebih berilmu dari Syaikh Rabi’ di masa ini. Pernyataan-pernyataan semacam ini pada hakikatnya menggiring umat agar taklid pada Syaikh Rabi’ tanpa mau membahas permasalahan yang diperselisihkan para ulama dan menutup pintu ijtihad.

Benarkah demikian yang dimaukan para ulama !?

Sebelum membahas permasalahan tersebut, ada baiknya kita mengetahui penjelasan para ulama salaf tentang kapankah seorang alim dikatakan imam Jarh wa Ta’dil, apakah syarat-syaratnya, apakah setiap ulama dikatakan sebagai imam Jarh wa Ta’dil ?

Wednesday, January 18, 2012

Keadilan “Sebagian Ulama” dalam Menilai Sebagian Tokoh

Pada kesempatan ini, saya ingin membawakan beberapa fatwa sebagian ulama. Semoga saya pribadi dan pembaca sekalian dapat mengambil faidah dan pelajaran berharga dari warisan ilmu para nabi. Langsung saja kita simak penuturan berikut:

1. Fatwa Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah,


السؤال73: ما هو القول الفصل في يوسف القرضاوي، وهل هو مبتدع أم لا، وما رأيكم فيمن يقول: بأنه عدو لله، ومن أبناء اليهود ويلقّبه: بالقرظي، نسبةً إلى بنى قريظة؟

الجواب: يوسف القرضاوي منذ عرفناه وسمعنا به، وهو حزبيّ مبتدع، أما أنه عدو للسنة فلا نستطيع أن نقول إنه عدو للسنة92، ولا نستطيع أن نقول إنه من أبناء اليهود، فلا بد من العدالة، يقول الله سبحانه وتعالى في كتابه الكريم: {ولا يجرمنّكم شنآن قوم على ألاّ تعدلوا اعدلوا هو أقرب للتّقوى93}. ويقول: {وإذا قلتم فاعدلوا94}. ويقول: {ياأيّها الّذين آمنوا كونوا قوّامين بالقسط شهداء لله ولو على أنفسكم أو الوالدين والأقربين إن يكن غنيًّا أو فقيرًا فالله أولى بهما فلا تتّبعوا الهوى أن تعدلوا وإن تلووا أو تعرضوا فإنّ الله كان بما تعملون خبيرًا95}.
والنبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم أمر أبا ذر أن يقول الحقّ ولو كان مرًّا.
فأنا لا أنصح باستماع أشرطته، ولا بحضور محاضراته، ولا بقراءة كتبه فهو مهوس، وله كتاب في جواز تعدد الجماعات، والنبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم يقول: ((يد الله مع الجماعة))، فلم يقل: مع الجماعات.

Tuesday, January 17, 2012

Menyikapi Masalah Khilaf

Diantara perkara yang wajib diketahui dalam hal ini adalah menyikapi setiap permasalahan sesuai dengan porsinya, tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kurang dari kadar semestinya. Demikian pula dalam hal menyikapi adanya perselisihan yang terjadi di kalangan para ulama. Ada perkara-perkara yang bisa ditolerir yang memerlukan sikap lapang dada dalam menghadapi adanya khilaf, adapula yang membutuhkan sikap tegas bahkan sampai pada tingkat memperingatkan umat dari bahaya pendapat yang keliru tersebut.

Barangsiapa berpendapat bahwa masalah khilafiyah ijtihadiyyah tidak boleh ada pengingkaran atau tahdzir padanya, maka sungguh dia telah melakukan suatu kesalahan yang fatal.

Friday, January 6, 2012

Perempuan Lajang di Surga Menikah dengan Siapa?

Saudariku muslimah, tahukah kamu siapa suamimu di surga kelak? (1)  Artikel di bawah ini akan menjawab pertanyaan anti. Ini bukan ramalan dan bukan pula tebakan, tapi kepastian (atau minimal suatu prediksi yang insya Allah sangat akurat), yang bersumber dari wahyu dan komentar para ulama terhadapnya. Berikut uraiannya:

Perlu diketahui bahwa keadaan wanita di dunia, tidak lepas dari enam keadaan:


1. Dia meninggal sebelum menikah.


2. Dia meninggal setelah ditalak suaminya dan dia belum sempat menikah lagi sampai meninggal.


3. Dia sudah menikah, hanya saja suaminya tidak masuk bersamanya ke dalam surga, wal’iyadzu billah.


4. Dia meninggal setelah menikah baik suaminya menikah lagi sepeninggalnya maupun tidak (yakni jika dia meninggal terlebih dahulu sebelum suaminya).


5. Suaminya meninggal terlebih dahulu, kemudian dia tidak menikah lagi sampai meninggal.


6. Suaminya meninggal terlebih dahulu, lalu dia menikah lagi setelahnya.


Berikut penjelasan keadaan mereka masing-masing di dalam surga:
Perlu diketahui bahwa keadaan laki-laki di dunia, juga sama dengan keadaan wanita di dunia:

Diantara mereka ada yang meninggal sebelum menikah, di antara mereka ada yang mentalak istrinya kemudian meninggal dan belum sempat menikah lagi, dan di antara mereka ada yang istrinya tidak mengikutinya masuk ke dalam surga. Maka, wanita pada keadaan pertama, kedua, dan ketiga, Allah -’Azza wa Jalla- akan menikahkannya dengan laki-laki dari anak Adam yang juga masuk ke dalam surga tanpa mempunyai istri karena tiga keadaan tadi. Yakni laki-laki yang meninggal sebelum menikah, laki-laki yang berpisah dengan istrinya lalu meninggal sebelum menikah lagi, dan laki-laki yang masuk surga tapi istrinya tidak masuk surga

Ini berdasarkan keumuman sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam hadits riwayat Muslim no. 2834 dari sahabat Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu-:


مَا فِي الْجَنَّةِ أَعْزَبٌ



“Tidak ada seorangpun bujangan dalam surga”.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin -rahimahullah- berkata dalam Al-Fatawa jilid 2 no. 177, “Jawabannya terambil dari keumuman firman Allah Ta’ala-:


وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ. نُزُلاً مِنْ غَفُوْرٍ رَحِيْمٍ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ



“Di dalamnya kalian memperoleh apa yang kalian inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kalian minta. Turun dari Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Fushshilat: 31)

Dan juga dari firman Allah -Ta’ala-:


الْأَعْيُنُ وَأَنْتُمْ فِيهَا خَالِدُونَ  وَفِيهَا مَا تَشْتَهِيهِ الْأَنْفُسُ وَتَلَذُّ



“Dan di dalam surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) mata dan kalian kekal di dalamnya.” (Az-Zukhruf: 71)


Seorang wanita, jika dia termasuk ke dalam penghuni surga akan tetapi dia belum menikah (di dunia) atau suaminya tidak termasuk ke dalam penghuhi surga, ketika dia masuk ke dalam surga maka di sana ada laki-laki penghuni surga yang belum menikah (di dunia). Mereka -maksud saya adalah laki-laki yang belum menikah (di dunia)-, mereka mempunyai istri-istri dari kalangan bidadari dan mereka juga mempunyai istri-istri dari kalangan wanita dunia jika mereka mau. Demikian pula yang kita katakan perihal wanita jika mereka (masuk ke surga) dalam keadaan tidak bersuami atau dia sudah bersuami di dunia akan tetapi suaminya tidak masuk ke dalam surga. Dia (wanita tersebut), jika dia ingin menikah, maka pasti dia akan mendapatkan apa yang dia inginkan, berdasarkan keumuman ayat-ayat di atas”.

Dan beliau juga berkata pada no. 178, “Jika dia (wanita tersebut) belum menikah ketika di dunia, maka Allah -Ta’ala- akan menikahkannya dengan (laki-laki) yang dia senangi di surga. Maka, kenikmatan di surga, tidaklah terbatas kepada kaum lelaki, tapi bersifat umum untuk kaum lelaki dan wanita. Dan di antara kenikmatan-kenikmatan tersebut adalah pernikahan”.


Adapun wanita pada keadaan keempat dan kelima, maka dia akan menjadi  istri dari suaminya di dunia. Adapun wanita yang menikah lagi setelah suaminya pertamanya meninggal, maka ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama -seperti Syaikh Ibnu ‘Ustaimin- berpendapat bahwa wanita tersebut akan dibiarkan memilih suami mana yang dia inginkan.

Ini merupakan pendapat yang cukup kuat, seandainya tidak ada nash tegas dari Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang menyatakan bahwa seorang wanita itu milik suaminya yang paling terakhir. Beliau -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:


أَزْوَاجِهَا اَلْمَرْأَةُ لِآخِرِ



“Wanita itu milik suaminya yang paling terakhir”. (HR. Abu Asy-Syaikh dalam At-Tarikh hal. 270 dari sahabat Abu Darda` dan dishohihkan oleh Syaikh Al-Albany dalam Ash-Shohihah: 3/275/1281)


Dan juga berdasarkan ucapan Hudzaifah -radhiyallahu ‘anhu- kepada istri beliau:
“Jika kamu mau menjadi istriku di surga, maka janganlah kamu menikah lagi sepeninggalku, karena wanita di surga milik suaminya yang paling terakhir di dunia. Karenanya, Allah mengharamkan para istri Nabi untuk menikah lagi sepeninggal beliau karena mereka adalah istri-istri beliau di surga”. (HR. Al-Baihaqi: 7/69/13199 )


Faidah:

Dalam sholat jenazah, kita mendo’akan kepada mayit wanita:



وَأَبْدِلْهَا زَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهَا



“Dan gantilah untuknya suami yang lebih baik dari suaminya (di dunia)”.
Masalahnya, bagaimana jika wanita tersebut meninggal dalam keadaan belum menikah. Atau kalau dia telah menikah, maka bagaimana mungkin kita mendo’akannya untuk digantikan suami sementara suaminya di dunia, itu juga yang akan menjadi suaminya di surga?

Jawabannya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin -rahimahullah-. Beliau menyatakan, “Kalau wanita itu belum menikah, maka yang diinginkan adalah (suami) yang lebih baik daripada suami yang ditakdirkan untuknya seandainya dia hidup (dan menikah). Adapun kalau wanita tersebut sudah menikah, maka yang diinginkan dengan “suami yang lebih baik dari suaminya” adalah lebih baik dalam hal sifat-sifatnya di dunia (2).

Hal ini karena penggantian sesuatu kadang berupa pergantian dzat, sebagaimana misalnya saya menukar kambing dengan keledai. Dan terkadang berupa pergantian sifat-sifat, sebagaimana kalau misalnya saya mengatakan, “Semoga Allah mengganti kekafiran orang ini dengan keimanan”, dan sebagaimana dalam firman Allah -Ta’ala-:


 الْأَرْضُ غَيْرَ الْأَرْضِ وَالسَّمَوَاتُ يَوْمَ تُبَدَّلُ



“(Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit.” (Ibrahim: 48)


Bumi (yang kedua) itu juga bumi (yang pertama) akan tetapi yang sudah diratakan, demikian pula langit (yang kedua) itu juga langit (yang pertama) akan tetapi langit yang sudah pecah”.

Jawaban beliau dinukil dari risalah Ahwalun Nisa` fil Jannah karya Sulaiman bin Sholih Al-Khurosy.

Oleh : Ustadz Abu Mu’awiyah


Footnote:

(1) Karenanya sebelum berpikir masalah ini, pikirkan dulu bagaimana caranya masuk surga.

(2) Maksudnya, suaminya sama tapi sifatnya menjadi lebih baik dibandingkan ketika di dunia

Hukum Seputar Aqiqah


A. Pengertian Aqiqah

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Tuhfatul Maudud hal.25-26, mengatakan bahwa: Imam Jauhari berkata : Aqiqah ialah "Menyembelih hewan pada hari ketujuhnya dan mencukur rambutnya". Selanjutnya Ibnu Qayyim berkata: "Dari penjelasan ini jelaslah bahwa aqiqah itu disebut demikian karena mengandung dua unsur diatas dan ini lebih utama."

Imam Ahmad dan jumhur ulama berpendapat bahwa apabila ditinjau dari segi syar'i maka yang dimaksud dengan aqiqah adalah makna berkurban atau menyembelih (an-nasikah).

B. Dalil-dalil Syar'i Tentang Aqiqah

Hadist no.1 :
Dari Salman bin Amir Ad-Dhabiy, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Aqiqah dilaksanakan karena kelahiran bayi, maka sembelihlah hewan dam hilangkanlah semua gangguan darinya." [Shahih HR Bukhari (5472), untuk lebih lengkapnya lihat Fathul Bari (9/590-592), dan Irwaul Ghalil (1171), Syaikh Albani]

Makna menghilangkan gangguan adalah mencukur rambut bayi atau menghilangkan semua gangguan yang ada [Fathul Bari (9/593) dan Nailul Authar (5/35), Cetakan Darul Kutub Al-'Ilmiyah, pent]

Hadist no.2 :
Dari Samurah bin Jundab dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda : "Semua anak bayi tergadaikan dengan aqiqahnya yang pada hari ketujuhnya disembelih hewan (kambing), diberi nama dan dicukur rambutnya." [Shahih, HR Abu Dawud 2838, Tirmidzi 1552, Nasa'i 7/166, Ibnu Majah 3165, Ahmad 5/7-8, 17-18, 22, Ad Darimi 2/81, dan lain-lainnya]

Hadist no.3 :
Dari Aisyah dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Bayi laki-laki diaqiqahi dengan dua kambing yang sama dan bayi perempuan satu kambing." [Shahih, HR Ahmad (2/31, 158, 251), Tirmidzi (1513), Ibnu Majah (3163), dengan sanad hasan]

Hadist no.4 :
Dari Ibnu Abbas bahwasannya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Mengaqiqahi Hasan dan Husain dengan satu kambing dan satu kambing." [HR Abu Dawud (2841) Ibnu Jarud dalam kitab al-Muntaqa (912) Thabrani (11/316) dengan sanadnya shahih sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Daqiqiel 'Ied]

Hadist no.5 :
Dari 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa diantara kalian yang ingin menyembelih (kambing) karena kelahiran bayi maka hendaklah ia lakukan untuk laki-laki dua kambing yang sama dan untuk perempuan satu kambing." [Sanadnya Hasan, HR Abu Dawud (2843), Nasa'i (7/162-163), Ahmad (2286, 3176) dan Abdur Razaq (4/330), dan shahihkan oleh al-Hakim (4/238)].

Hadist no.6 :
Dari Fatimah binti Muhammad ketika melahirkan Hasan, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Cukurlah rambutnya dan bersedekahlah dengan perak kepada orang miskin seberat timbangan rambutnya." [Sanadnya Hasan, HR Ahmad (6/390), Thabrani dalam Mu'jamul Kabir 1/121/2, dan al-Baihaqi (9/304) dari Syuraiq dari Abdillah bin Muhammad bin Uqoil]

Dari dalil-dalil yang diterangkan di atas maka dapat diambil hukum-hukum mengenai seputar aqiqah dan hal ini dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam para sahabat serta para ulama salafusholih.

C. Hukum-Hukum Seputar Aqiqah

Hukum Aqiqah adalah Sunnah

Al 'Allamah Imam Asy-Syaukhani rahimahullah berkata dalam Nailul Authar (6/213):

- Aqiqah adalah Sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam
"Jumhur ulama berdalil atas sunnahnya aqiqah dengan hadist Nabi ..." berdasarkan hadist no.5 dari 'Amir bin Syu'aib.

Bantahan Terhadap Orang yang Mengingkari dan Membid'ahkan Aqiqah

Ibnul Mundzir rahimahullah membantah mereka dengan mengatakan bahwa:
"Orang-orang Aqlaniyyun (orang-orang yang mengukur kebenaran dengan akalnya, saat ini seperti sekelompok orang yang menamakan sebagai kaum Islam Liberal, pen) mengingkari sunnahnya aqiqah, pendapat mereka ini jelas menyimpang jauh dari hadist-hadist yang tsabit (shahih) dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam karena berdalih dengan hujjah yang lebih lemah dari sarang laba-laba." [Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya Tuhfatul Maudud hal.20, dan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari (9/588)].

- Waktu Aqiqah Pada Hari Ketujuh Berdasarkan hadist no.2 dari Samurah bin Jundab

Para ulama berpendapat dan sepakat bahwa waktu aqiqah yang paling utama adalah hari ketujuh dari hari kelahirannya. Namun mereka berselisih pendapat tentang bolehnya melaksanakan aqiqah sebelum hari ketujuh atau sesudahnya.

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam kitabnya Fathul Bari (9/594) :
"Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam pada perkataan 'pada hari ketujuh kelahirannya' (hadist no.2), ini sebagai dalil bagi orang yang berpendapat bahwa waktu aqiqah itu adanya pada hari ketujuh dan orang yang melaksanakannya sebelum hari ketujuh berarti tidak melaksanakan aqiqah tepat pada waktunya. Bahwasannya syariat aqiqah akan gugur setelah lewat hari ketujuh. Dan ini merupakan pendapat Imam Malik. Beliau berkata: "Kalau bayi itu meninggal sebelum hari ketujuh maka gugurlah sunnah aqiqah bagi kedua orang tuanya"."

Sebagian membolehkan melaksanakannya sebelum hari ketujuh. Pendapat ini dinukil dari Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya Tuhfatul Maudud hal.35.

- Sebagian lagi berpendapat boleh dilaksanakan setelah hari ketujuh.
Pendapat ini dinukil dari Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Muhalla 7/527.

Sebagian ulama lainnya membatasi waktu pada hari ketujuh dari hari kelahirannya. Jika tidak bisa melaksanakannya pada hari ketujuh maka boleh pada hari ke-14, jika tidak bisa boleh dikerjakan pada hari ke-21. Berdalil dari riwayat Thabrani dalam kitab As-Shagir (1/256) dari Ismail bin Muslim dari Qatadah dari Abdullah bin Buraidah:
"Kurban untuk pelaksanaan aqiqah, dilaksanakan pada hari ketujuh atau hari ke-14 atau hari ke-21." [Penulis berkata: "Dia (Ismail) seorang rawi yang lemah karena jelek hafalannya, seperti dikatakan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (9/594)." Dan dijelaskan pula tentang kedhaifannya bahkan hadist ini mungkar dan mudraj]

- Bersedekah dengan Perak Seberat Timbangan Rambut
Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Salim bin Dhoyyan berkata :
"Dan disunnahkan mencukur rambut bayi, bersedekah dengan perak seberat timbangan rambutnya dan diberi nama pada hari ketujuhnya. Masih ada ulama yang menerangkan tentang sunnahnya amalan tersebut (bersedekah dengan perak), seperti: al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam Ahmad, dan lain-lain."

Adapun hadist tentang perintah untuk bersedekah dengan emas, ini adalah hadit dhoif.

Tidak Ada Tuntunan Bagi Orang Dewasa Mengaqiqahi Dirinya Sendiri

Sebagian ulama mengatakan : "Seseorang yang tidak diaqiqahi pada masa kecilnya maka boleh melakukannya sendiri ketika sudah dewasa."

Mungkin mereka berpegang dengan hadist Anas yang berbunyi :
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mengaqiqahi dirinya sendiri setelah beliau diangkat sebagai nabi. [Dhaif mungkar, HR Abdur Razaq (4/326) dan Abu Syaikh dari jalan Qatadah dari Anas]

Sebenarnya mereka tidak punya hujjah sama sekali karena hadistnya dhaif dan mungkar. Telah dijelaskan pula bahwa nasikah atau aqiqah hanya pada satu waktu (tidak ada waktu lain) yaitu pada hari ketujuh dari hari kelahirannya. Tidak diragukan lagi bahwa ketentuan waktu aqiqah ini mencakup orang dewasa maupun anak kecil.

- Aqiqah untuk Anak Laki-laki Dua Kambing dan Perempuan Satu Kambing

Berdasarkan hadist no.3 dan no.5 dari Aisyah dan 'Amr bin Syu'aib.
Setelah menyebutkan dua hadist diatas, al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari (9/592): "Semua hadist yang semakna dengan ini menjadi hujjah bagi jumhur ulama dalam membedakan antara bayi laki-laki dan bayi perempuan dalam masalah aqiqah."

Imam Ash-Shan'ani rahimahullah dalam kitabnya Subulus Salam (4/1427) mengomentari hadist Aisyah tersebut diatas dengan perkataannya: "Hadist ini menunjukkan bahwa jumlah kambing yang disembelih untuk bayi perempuan ialah setengah dari bayi laki-laki."

Al-'Allamah Shiddiq Hasan Khan rahimahullah dalam kitabnya Raudhatun Nadiyyah (2/26) berkata: "Telah menjadi ijma' ulama bahwa aqiqah untuk bayi perempuan adalah satu kambing."
Penulis berkata: "Ketetapan ini (bayi laki-laki dua kambing dan perempuan satu kambing) tidak diragukan lagi kebenarannya."

- Boleh Menaqiqahi Bayi Laki-laki dengan Satu Kambing Berdasarkan hadist no.4 dari Ibnu Abbas.

Sebagian ulama berpendapat boleh mengaqiqahi bayi laki-laki dengan satu kambing yang dinukil dari perkataan Abdullah bin 'Umar, 'Urwah bin Zubair, Imam Malik dan lain-lain mereka semua berdalil dengan hadist Ibnu Abbas diatas.

Tetapi al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam kitabnya Fathul Bari (9/592): ..meskipun hadist riwayat Ibnu Abbas itu tsabit (shahih), tidaklah menafikan hadist mutawatir yang menentukan dua kambing untuk bayi laki-laki. Maksud hadist itu hanyalah untuk menunjukkan bolehnya mengaqiqahi bayi laki-laki dengan satu kambing.

Sunnah ini hanya berlaku untuk orang yang tidak mampu melaksanakan aqiqah dengan dua kambing. Jika dia mampu maka sunnah yang shahih adalah laki-laki dengan dua kambing.

D. Aqiqah Dengan Kambing

Tidak Sah Aqiqah Kecuali dengan Kambing

Telah lewat beberapa hadist yang menerangkan keharusan menyembelih dua ekor kambing untuk laki-laki dan satu ekor kambing untuk perempuan. Ini menandakan keharusan untuk aqiqah dengan kambing.
Dalam Fathul Bari (9/593) al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan: "Para ulama mengambil dalil dari penyebutan syaatun dan kabsyun (kibas, anak domba yang telah muncul gigi gerahamnya) untuk menentukan kambing buat aqiqah." Menurut beliau: "Tidak sah aqiqah seorang yang menyembelih selain kambing".

Sebagian ulama berpendapat dibolehkannya aqiqah dengan unta, sapi, dan lain-lain. Tetapi pendapat ini lemah karena:
Hadist-hadist shahih yang menunjukkan keharusan aqiqah dengan kambing semuanya shahih, sebagaimana pembahasan sebelumnya. Hadist-hadist yang mendukung pendapat dibolehkannya aqiqah dengan selain kambing adalah hadist yang talif saqith alias dha'if.

Persyaratan Kambing Aqiqah Tidak Sama dengan Kambing Kurban (Idul Adha)

Penulis mengambil hujjah ini berdasarkan pendapat dari Imam As-Shan'ani, Imam Syaukani, dan Iman Ibnu Hazm bahwa kambing aqiqah tidak disyaratkan harus mencapai umur tertentu atau harus tidak cacat sebagaimana kambing Idul Adha, meskipun yang lebih utama adalah yang tidak cacat.

Imam As-Shan'ani dalam kitabnya Subulus Salam (4/1428) berkata:
"Pada lafadz syaatun (dalam hadist sebelumnya) menunjukkan persyaratan kambing untuk aqiqah tidak sama dengan hewan kurban. Adapun orang yang menyamakan persyaratannya, mereka hanya berdalil dengan qiyas."

Imam Syaukani dalam kitabnya Nailul Authar (6/220) berkata :
"Sudah jelas bahwa konsekuensi qiyas semacam ini akan menimbulkan suatu hukum bahwa semua penyembelihan hukumnya sunnah, sedang sunnah adalah salah satu bentuk ibadah. Dan saya tidak pernah mendengar seorangpun mengatakan samanya persyaratan antara hewan kurban (Idul Adha) dengan pesta-pesta (sembelihan) lainnya. Oleh karena itu, jelaslah bagi kita bahwa tidak ada satupun ulama yang berpendapat dengan qiyas ini sehingga ini merupakan qiyas yang bathil."

Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla (7/523) berkata :
"Orang yang melaksanakan aqiqah dengan kambing yang cacat, tetap sah aqiqahnya sekalipun cacatnya termasuk kategori yang dibolehkan dalam kurban Idul Adha ataupun yang tidak dibolehkan. Namun lebih baik (afdhol) kalau kambing itu bebas dari catat."

Bacaan Ketika Menyembelih Kambing

Firman Allah Ta'ala: "Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu dan sebutlah nama Allah" (QS. Al-Maidah : 4)

Firman Allah Ta'ala: "Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya, sesungguhnya perbuatan semacam itu adalah suatu kefasikan." (QS. Al-An'am : 121)

Adapun petunjuk Nabi tentang tasmiyah (membaca bismillah) sedah masyhur dan telah kita ketahui bersama (lihat Irwaul Ghalil 2529-2536-2545-2551, karya Syaikh Al-Albani). Oleh karena itu, doa tersebut juga diucapkan ketika meyembelih hewan untuk aqiqah karena merupakan salah satu jenis kurban yang disyariatkan oleh Islam. Maka orang yang menyembelih itu biasa mengucapkan: "Bismillahi wa Allahu Akbar".

Mengusap Darah Sembelihan Aqiqah di Atas Kepala Bayi Merupakan Perbuatan Bid'ah dan Jahiliyah

Dari Aisyah berkata: Dahulu ahlul kitab pada masa jahiliyah, apabila mau mengaqiqahi bayinya, mereka mencelupkan kapas pada darah sembelihan hewan aqiqah. Setelah mencukur rambut bayi tersebut, mereka mengusapkan kapas tersebut pada kepalanya! Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jadikanlah (gantikanlah) darah dengan khuluqun (sejenis minyak wangi)." [Shahih, diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (5284), Abu Dawud (2743), dan disahihkan oleh Hakim (2/438)]

Syaikh Al-Albani dalam kitabnya Irwaul Ghalil (4/388) berkata : "Mengusap kepala bayi dengan darah sembelihan aqiqah termasuk kebiasaan orang-orang jahiliyah yang telah dihapus oleh Islam."

Imam Syaukani dalam kitabnya Nailul Aithar (6/214) menyatakan: "Jumhur ulama memakruhkan (membenci) at-tadmiyah (mengusap kepala bayi dnegan darah sembelihan aqiqah)."

Sedangkan pendapat yang membolehkan dengan hujjah dari Ibnu Abbas bahwasannya dia berkata : "Tujuh perkara yang termasuk amalan sunnah terhadap anak kecil: ...dan diusap dengan darah sembelihan aqiqah." [HR Thabrani], maka ini merupakan hujjah yang dhaif dan mungkar.

Boleh Menghancurkan Tulangnya (Daging Sembelihan Aqiqah) Sebagaimana Sembelihan Lainnya

Inilah kesepekatan para ulama, yakni boleh menghancurkan tulangnya, seperti ditegaskan Imam Malik dalam Al-Muwaththa (2/502), karena tidak adanya dalil yang melarang maupun yang menunjukkan makruhnya. Sedang menghancurkan tulang sembelihan sudah menjadi kebiasan disamping ada kebaikannya juga, yaitu bisa diambil manfaat dari sumsum tersebut untuk dimakan.

Adapun pendapat yang menyelisihinya berdalil dengan hadist yang dhaif, diantaranya adalah :

Bahwasannya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah kalian menghancurkan tulang sembelihannya." [Hadist Dhaif, karena mursal terputus sanadnya, HR. Baihaqi (9/304)]

Dari Aisyah dia berkata: " ...termasuk sunnah aqiqah yaitu tidak menghancurkan tulang sembelihannya... " [Hadist Dhaif, mungkar dan mudraj, HR. Hakim (4/283]

Kedua hadist diatas tidak boleh dijadikan dalil karena keduanya tidak shahih. [lihat kitab Al-Muhalla oleh Ibnu Hazm (7/528-529)].

Disunnahkan Memasak Daging Sembelihan Aqiqah dan Tidak Memberikannya dalam Keadaan Mentah

Imam Ibnu Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Tuhfathul Maudud hal.43-44, berkata :

"Memasak daging aqiqah termasuk sunnah. Yang demikian itu, karena jika dagingnya sudah dimasak maka orang-orang miskin dan tetangga (yang mendapat bagian) tidak merasa repot lagi. Dan ini akan menambah kebaikan dan rasa syukur terhadap nikmat tersebut. Para tetangga, anak-anak dan orang-orang miskin dapat menyantapnya dengan gembira. Sebab orang yang diberi daging yang sudah masak, siap makan, dan enak rasanya, tentu rasa gembiranya lebih dibanding jika daging mentah
yang masih membutuhkan tenaga lagi untuk memasaknya... Dan pada umumnya, makanan syukuran (dibuat dalam rangka untuk menunjukka rasa syukur) dimasak dahulu sebelum diberikan atau dihidangkan kepada orang lain."

Tidak Sah Aqiqah Seseorang Kalau Daging Sembelihannya Dijual

Imam Ibnu Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Tuhfathul Maudud hal.51-52, berkata :

"Aqiqah merupakan salah satu bentuk ibadah (taqarrub) kepada Allah Ta'ala. Barangsiapa menjual daging sembelihannya sedikit saja maka pada hakekatnya sama saja tidak melaksanakannya. Sebab hal itu akan mengurangi inti penyembelihannya. Dan atas dasar itulah, maka aqiqahnya tidak lagi sesuai dengan tuntunan syariat secara penuh sehingga aqiqahnya tidak sah. Demikian pula jika harga dari penjualan itu digunakan untuk upah penyembelihannya atau upah mengulitinya" [lihat pula Al-Muwaththa (2/502) oleh Imam Malik].

Orang yang Aqiqah Boleh Memakan, Bersedekah, Memberi Makan, dan Menghadiahkan Daging Sembelihannya, Tetapi yang Lebih Utama Jika Semua Diamalkan

Imam Ibnu Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Tuhfathul Maudud hal.48-49, berkata :

"Karena tidak ada dalil dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam tentang cara penggunaan atau pembagian dagingnya maka kita kembali ke hokum asal, yaitu seseorang yang melaksanakan aqiqah boleh memakannya, memberi makan dengannya, bersedekah dengannya kepada orang fakir miskin atau menghadiahkannya kepada teman-teman atau karib kerabat. Akan tetapi lebih utama kalau diamalkan semuanya, karena dengan demikian akan membuat senang teman-temannya yang ikut menikmati daging tersebut, berbuat baik kepada fakir miskin, dan akan memuat saling cinta antar sesama teman. Kita memohon taufiq dan kebenaran kepada Allah Ta'ala". [lihat pula Al-Muwaththa (2/502) oleh Imam Malik].

Jika Aqiqah Bertepatan dengan Idul Qurban, Maka Tidak Sah Kalau Mengerjakan Salah Satunya (Satu Amalan Dua Niat)

Penulis berkata: "Dalam masalah ini pendapat yang benar adalah tidak sah menggabungkan niat aqiqah dengan kurban, kedua-duanya harus dikerjakan. Sebab aqiqah dan adhiyah (kurban) adalah bentuk ibadah yang tidak sama jika ditinjau dari segi bentuknya dan tidak ada dalil yang menjelaskan sahnya mengerjakan salah satunya dengan niat dua amalan sekaligus. Sedangkan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dan Allah Ta'ala tidak pernah lupa."

Tidak Sah Aqiqah Seseorang yang Bersedekah dengan Harga Daging Sembelihannya Sekalipun Lebih Banyak

Al-Khallah pernah berkata dalam kitabnya: Bab Maa yustahabbu minal aqiqah wa fadhliha 'ala ash-shadaqah:

"Kami diberitahu Sulaiman bin Asy'ats, dia berkata Saya mendengar Ahmad bin Hambal pernah ditanya tentang aqiqah: 'Mana yang kamu senangi, daging aqiqahnya atau memberikan harganya kepada orang lain (yakni aqiqah kambing diganti dengan uang yang disedekahkan seharga dagingnya)?' Beliau menjawab: 'Daging aqiqahnya'." [Dinukil dari Ibnul Qayyim dalam Tuhfathul Maudud hal.35 dari Al-Khallal]

Penulis berkata: "Karena tidak ada dalil yang menunjukkan bolehnya bershadaqah dengan harga (daging sembelihan aqiqah) sekalipun lebih banyak, maka aqiqah seseorang tidak sah jika bershadaqah dengan harganya dan ini termasuk perbuatan bid'ah yang mungkar! Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam"

Adab Menghadiri Jamuan Aqiqah

Diantara bid'ah yang sering dikerjakan khususnya oleh ahlu ilmu adalah memberikan ceramah yang berkaitan dengan hokum aqiqah dan adab-adabnya serta yang berkaitan dengan masalah kelahiran ketika berkumpulnya orang banyak (undangan) di acara aqiqahan pada hari ketujuh.

Jadi saat undangan pada berkumpul di acara aqiqahan, mereka membuat suatu acara yang berisi ceramah, rangkaian do'a-do'a, dan bentuk-bentuk seperti ibadah lainnya, yang mereka meyakini bahwa semuanya termasuk dari amalan yang baik, padahal tidak lain hal itu adalah bid'ah, (pen).

Perbuatan semacam itu tidak pernah dicontohkan dalam sunnah yang shahih bahkan dalam dhaif sekalipun!! Dan tidak pernah pula dikerjakan oleh Salafush Sholih rahimahumulloh. Seandainya perbuatan ini baik niscaya mereka sudah terlebih dahulu mengamalkannya daripada kita. Dan ini termasuk dalam hal bid'ah-bid'ah lainnya yang sering dikerjakan oleh sebagian masyarakat kita dan telah masuk sampai ke depan pintu rumah-rumah kita, (pen) !!

Sedangkan yang disyariatkan disini adalah bahwa berkumpulnya kita di dalam acara aqiqahan hanyalah untuk menampakkan kesenangan serta menyambut kelahiran bayi dan bukan untuk rangkaian ibadah lainnya yang dibuat-buat.
Sedang sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam. Semua kabaikan itu adalah dengan mengikuti Salaf dan semua kejelekan ada pada bid'ahnya Khalaf.

Wallahul Musta'an wa alaihi at-tiklaan.

Disalin ringkas kembali dari kitab Ahkamul Aqiqah karya Abu Muhammad 'Ishom bin Mar'i, terbitan Maktabah as-Shahabah, Jeddah, Saudi Arabia, dan diterjemahkan oleh Mustofa Mahmud Adam al-Bustoni.