Tuesday, December 27, 2011

Mush’ab bin ‘Umair, Cahaya Hidayah di Negeri Hijrah



Saat semburat cahaya Islam mulai terpancar di ufuk Mekah, banyak pihak memberikan reaksi. Ada yang langsung menyambutnya dan ada yang langsung menolaknya. Allah memilih siapa yang pantas menerima kemuliaan hidayah untuk memeluk Islam hingga akhir hayatnya, siapa yang ditunda keislamannya, dan siapa yang tetap di dalam kekafiran sehingga kekal di neraka kelak.

Salah seorang yang Allah beri cahaya hidayah itu adalah Mush’ab bin ‘Umair atau yang sering dijuluki Mush’ab Al-Khair (Mush’ab yang baik).

Sebelum Islam, Mush’ab adalah pemuda yang hidup mewah. Dia adalah pemuda tampan yang menyebarkan semerbak wewangian kepada orang yang di dekatnya. Kedua orang tuanya adalah orang Quraisy yang memiliki harta berlimpah. Ibunya sangat memperhatikan pakaian yang dikenakan Mush’ab. Sehingga, apa yang beliau kenakan adalah pakaian yang terbaik waktu itu.

Hingga, pada waktu Nabi diutus membawa cahaya penerang, Mush’ab tertarik untuk mendengar gaung Islam. Pergilah beliau menemui Rasulullah di rumah Al-Arqam bin Abil Arqam, rumah yang biasa dijadikan oleh Nabi sebagai tempat mengajarkan Islam.

Setelah beliau masuk rumah Arqam bin Abil Arqam, beliau pun menyatakan keislamannya kepada Rasulullah. Maka, pemeluk Islam pun bertambah satu lagi.

Mush’ab bin ‘Umair masih menyembunyikan keislamannya kepada orang-orang. Beliau mendatangi majelis Nabi ` dengan sembunyi-sembunyi karena takut kepada ibu dan kaumnya. Namun, Allah berkehendak lain. Allah berkehendak untuk memperlihatkan bahwa pemuda tampan dan gagah ini lebih memilih cinta Rabbnya meskipun bayarannya adalah hilangnya kedudukan yang dahulu dia miliki.

Allah telah menakdirkan Utsman bin Thalhah melihat Mush’ab sedang melakukan shalat. Dia pun melaporkannya kepada ibu dan kaumnya. Lalu, sepulangnya dia ke rumah, ibunya membujuk dirinya agar tetap beragama seperti agama kaumnya. Namun, Mush’ab yang kalbunya telah disinari cahaya hidayah enggan untuk mengikuti perintah ibunya. Dia lebih memilih cinta Rabbnya daripada cinta orang tuanya.

Tidak hanya itu, keluarganya pun memberi beliau ‘pelajaran’ agar Mush’ab kembali dari agama yang dianutnya ini. Namun, Mush’ab tetap tidak bergeming memeluk agamanya ini.

Mengetahui bahwa hati Mush’ab tak tergoyahkan lagi, ibunya pun mengurungnya di dalam rumah. Demikianlah, Mush’ab bin ‘Umair terus di dalam rumahnya menjalani hukuman keluarganya.

Hari-hari berlalu, hingga akhirnya Allah ta’ala memberi izin para sahabat berhijrah ke Negeri Habasyah, bernaung di bawah pimpinan yang bijak, Raja Najasyi. Mendengar yang demikian, Mush’ab berusaha untuk membebaskan dirinya dan mengikuti rombongan kaum muslimin ke Negeri Habasyah, memerdekakan dirinya dari kekangan kekolotan kaumnya, lari menuju kebebasan menyembah Rabbnya. Mush’ab pun termasuk rombongan pertama ke negeri Habasyah.

Dikisahkan, saat para sahabat berkumpul untuk bersiap-siap berhijrah ke Habasyah, Rasulullah bersabda, “Mush’ab bin Umair telah ditahan oleh ibunya, tetapi dia ingin keluar malam ini.”

“Kami akan menunggunya dan tidak menutup pintu kami.” kata ‘Amir bin Rabi’ah.

Benarlah, saat malam telah sepi, datanglah Mush’ab bin Umair. Dia bermalam di rumah Amir bin Rabi’ah. Dia tetap berada di rumah itu dan tidak keluar hingga malam berikutnya.

Malam selanjutnya, mereka berangkat menuju pantai, mencari tumpangan yang bisa menyampaikannya ke Habasyah. Di tengah perjalanan, kedua kaki Mush’ab mengeluarkan darah lantaran lembutnya kaki yang dia miliki. Maka, sahabat yang setia, Amir bin Rabi’ah, pun menanggalkan sepatunya dan memakaikannya kepada Mush’ab. Demikianlah, Mush’ab tidak membawa bekal apapun. Berserah diri kepada Rabbnya Yang Maha Memberi rizki.

Hingga, mereka pun sampai ke pelabuhan dan mendapati sebuah kapal dari Maur. Maka, mereka pun berlayar ke Maur lalu dari Maur mereka bertolak ke Habasyah.

Syahdan, beberapa waktu berlalu. Mush’ab bin Umair pulang ke tanah air, negeri Mekah bersama sebagian sahabat lainnya.

Sang Pengajar Kaum Anshar

Saat gema dakwah Rasul mulai bergaung di telinga sebagian penduduk Madinah, enam orang jemaah haji datang menemui Rasulullah. Mereka berkumpul di bukit ‘Aqabah dan menyatakan keislamannya kepada Nabi. Sekembalinya ke Madinah, mereka mendakwahkan Islam yang mereka terima dari Rasulullah.

Musim haji tahun berikutnya, jumlah yang mulanya enam orang ini bertambah menjadi dua belas, lima orang dari jemaah tahun lalu, sisanya adalah orang baru yang menyatakan ke-Islam-annya. Mereka pun meminta Rasulullah mengutus salah seorang dari sahabat beliau di Mekah untuk mengajar Islam di Madinah. Sebab, suku Aus dan Khazraj keberatan salah seorang mereka menjadi imam bagi lainnya. Nabi memilih Mush’ab bin Umair sebagai utusan di negeri hijrah tersebut. Beliau tinggal di rumah As’ad bin Zurarah. Beliau adalah muhajirin pertama yang mendatangi Madinah.

Mush’ab bin Umair mulai melakukan tugasnya membacakan Al-Quran dan mengajari muslimin Madinah syariat Islam. Banyak dari penduduk Madinah yang masuk Islam melalui perantaraan beliau. Beliau adalah sahabat pertama yang mengumpulkan orang untuk melakukan shalat Jumat. Waktu itu, Nabi yang berada di Mekah kondisinya tidak memungkinkan untuk menegakkan shalat Jumat. Maka, beliau pun menulis surat kepada Mush’ab bin Umair untuk menegakkan shalat Jumat di Madinah. Surat tersebut berbunyi, “Amma ba’d: Carilah hari di mana Yahudi mengeraskan membaca Zabur. Kumpulkanlah wanita dan anak-anak kalian. Jika siang hari telah condong dari setengahnya, ketika zawal, pada hari Jumat, ber-taqarrub (mendekatkan diri)-lah kepada Allah dengan dua rakaat.” Inilah shalat Jumat pertama di dalam Islam. Hal ini terus berlangsung hingga Rasul berhijrah ke Madinah.

Islamnya Usaid bin Hudhair dan Sa’ad bin Mu’adz

Suatu hari, Mush’ab bin Umair hendak mengajar ilmu yang beliau peroleh dari Rasulullah kepada penduduk Madinah. Beliau bersama dengan As’ad bin Zurarah berangkat menuju sebuah kebun milik Kabilah Bani Zhufr. Kaum muslimin di sana pun berkumpul mendengarkan pengajaran dari Mush’ab bin Umair.

Usaid bin Hudhair dan Sa’ad bin Mu’adz, dua tokoh yang masih musyrik pada waktu itu, merasa gerah karena hal ini. Sa’ad bin Mu’adz masih memiliki tali persaudaraan dengan As’ad bin Zurarah. Tali kekerabatannya ini menghalanginya untuk terang-terangan memusuhi As’ad. Maka, dia pun mengutus Usaid bin Hudhair untuk membereskan keduanya. Sa’ad mengatakan kepada Usaid, “Temuilah dua orang ini. Mereka berdua telah mendatangi rumah kita untuk membuat bodoh orang-orang lemah kita. Peringatkan dan laranglah keduanya untuk mendatangi rumah kita. Andai bukan karena aku memiliki tali kekeluargaan dengan As’ad -seperti engkau ketahui- niscaya aku telah menyelesaikan masalah ini.”

Usaid mengambil tombaknya, lalu berjalan menuju Mush’ab dan As’ad. Saat As’ad melihat Usaid, dia mengatakan kepada Mush’ab, “Ini adalah pemuka kaumnya, dia mendatangimu.”

Mush’ab pun mengatakan, “Jika dia mau duduk, aku akan berbicara kepadanya.”

Usaid pun datang dengan mencaci maki keduanya dan mengatakan, “Kenapa kalian datang kepada kami membodohi orang lemah kami?! Pergi kalian dari kami, jika kalian masih sayang kepada nyawa kalian!”

Dengan sabar, Mush’ab menjawab, “Tidakkah Anda duduk sejenak, mendengar dari kami. Jika Anda menyukainya, Anda terima, jika tidak, kami akan menuruti kemauan Anda.”
Usaid menjawab, “Baik, ini adil.”

Dia pun menancapkan tombaknya ke tanah dan duduk menghadap keduanya. Mush’ab memberi tahu dia tentang Islam dan membacakan Al-Quran kepadanya. Hingga, cahaya Islam mulai nampak berpendar di wajahnya sebelum dia mengungkapkannya.

Terlontarlah dari lisannya, “Alangkah baik dan bagusnya ucapan ini. Apa yang kalian lakukan jika kalian ingin masuk ke dalam agama ini?”

Mush’ab dan As’ad menjawab, “Engkau mandi, bersuci, menyucikan bajumu, lalu mengucapkan syahadat yang benar, kemudian engkau shalat.”

Usaid melakukan yang diperintahkan padanya: mandi, menyucikan bajunya, mengucapkan syahadat, dan shalat dua rakaat. Setelah itu, dia mengatakan, “Sesungguhnya di belakangku ada seseorang yang jika mengikutimu, tidak akan tertinggal seorang pun dari kaumnya. Aku akan mempertemukannya dengan kalian.” Usaid mengambil tombaknya dan pergi menemui Sa’ad bin Mu’adz.

Waktu itu, Sa’ad sedang berada di tempat berkumpul kaumnya. Demi melihatnya datang, Sa’ad mengatakan, “Apa yang engkau lakukan?”

“Aku telah berbicara dengan dua orang itu. Demi Allah, aku tidak melihat ada kesalahan pada keduanya. Dan aku telah melarang keduanya, lalu mereka mengatakan, ‘Kami perbuat apa yang engkau kehendaki.’” jawab Usaid.

Usaid menambahkan, “Aku diberi tahu bahwa kabilah Bani Haritsah keluar menuju As’ad bin Zurarah untuk membunuhnya. Mereka tahu bahwa dia adalah sepupumu. Mereka ingin mengkhianatimu.”

Sa’ad bangkit dari duduknya dengan marah dan merebut tombak yang ada di tangan Usaid. Takut terjadi sesuatu dengan kerabatnya, Sa’ad langsung menuju tempat As’ad dan Mush’ab. Tatkala Sa’ad melihat bahwa tidak terjadi apa-apa pada keduanya, dia paham bahwa Usaid ingin agar dirinya mendengarkan apa yang dikatakan oleh Mush’ab.

Lalu, Sa’ad berdiri di hadapan keduanya, mencaci-maki, dan mengatakan kepada As’ad, “Abu Umamah (panggilan kehormatan As’ad bin Zurarah)! Demi Allah! Andai bukan karena kekerabatan antara engkau dan aku, engkau tidak akan merasakan kelembutanku. Kenapa engkau melakukan apa yang kami benci?!”

Mush’ab yang menjawab, “Tidakkah Anda duduk dan mendengarkan kami dahulu? Jika Anda suka, silakan terima, jika tidak, kami akan menghilangkan kebencian Anda.”

“Baik, ini adil.” kata Sa’ad. Dia tancapkan tombaknya dan duduk mendengarkan.

Mush’ab menawarkan kepada Sa’ad agama Islam dan membacakan ayat-ayat Al-Quran kepadanya. Hingga, nampaklah pancaran cahaya hidayah di dalam wajah Sa’ad bin Mu’adz sebelum dia ucapkan.

Meluncurlah dari lisannya, “Apa yang kalian perbuat jika masuk Islam?”
”Engkau mandi, bersuci, menyucikan baju, lalu bersyahadat yang benar, dan shalat dua rakaat.” jawab Mush’ab.

Saat kaumnya melihat Sa’ad datang, mereka mengatakan, “Demi Allah, Sa’ad telah datang dengan wajah yang berbeda dengan wajahnya ketika pergi.”

Sa’ad kemudian mengatakan, “Wahai kabilah Bani Abdul Asyhal, bagaimana reputasiku di tengah-tengah kalian?”

Mereka pun menyanjung dan menyebutkan kedudukan Sa’ad bagi kabilah Bani Abdul Asyhal. Kemudian, Sa’ad menegaskan, “Sungguh, ucapan lelaki dan wanita kalian haram atasku, hingga kalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Maka, pada sore harinya, seluruh kabilah Bani Abdul Asyhal sudah masuk Islam.

Kembalilah Mush’ab dan As’ad pulang ke rumah. Mush’ab terus berdakwah hingga tidak tersisa satu kampun pun kecuali di dalamnya pasti ada kaum muslimin, kecuali kempung Bani Umayyah, Khithmah, Wa`il, dan  Waqif. Hal ini dikarenakan mereka mendengar dan menaati ucapan Abu Qais bin Al-Aslat. Mereka semua menunda masuk Islam hingga Rasulullah berhijrah ke Madinah dan terlewat perang Badar serta Uhud.

Mush’ab bin Umair Menuju ke Hadirat Rabbul ‘Alamin

Beberapa tahun setelah hijrah Nabi, pecahlah perang Uhud. Mush’ab bin Umair tak mau ketinggalan dalam kancah peperangan membela agama Allah ini. Beliau diamanahi Rasulullah untuk membawa panji kaum muslimin pada perang itu.

Mush’ab bin Umair terbunuh pada perang tersebut di tangan seorang musyrik yang bernama Ibnu Qami`ah dan dia menyangka bahwa yang dia bunuh adalah Rasulullah.

Mush’ab bin Umair wafat dengan hanya meninggalkan namirah (sejenis pakaian dari wol yang biasa dipakai kaum rendahan). Jika namirah tersebut dipakaikan untuk menutupi kepalanya, kakinya kelihatan, dan jika dipakaikan untuk menutupi kakinya, kepalanya yang terlihat. Maka, Rasulullah pun mengatakan, “Tutupkanlah pada kepalanya dan tutuplah kakinya dengan rumput idzkhir.”

Demikianlah kehidupan Mush’ab bin Umair, sahabat yang rela meninggalkan nikmatnya dunia di tangan orang tuanya menuju cinta Rabbnya. Beliau berjalan di atas jalan dakwah dan meninggal syahid di medan pertempuran. Semoga Allah meridhainya dan merahmatinya. Allahu a’lam bish shawab. (Abdurrahman)


Referensi:

Ath-Thabaqat Al-Kubra (Thabaqat Ibni Sa’d), Imam Muhammad bin Sa’d Al-Bashri
Al-Isti’ab fi Ma’rifatil Ashhab, Imam Abu Umar Ibnu Abdil Barr
Al-Ahad wal Matsani, Imam Ibnu Abi ‘Ashim
As-Sirah An-Nabawiyah, Imam Ibnu Hisyam
Tarikh Al-Umam wal Muluk, Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thabari 

Sumber: www.tashfiyah.net

Monday, December 19, 2011

Khadijah, Istri Nabi yang Membuat Aisyah Cemburu

Namanya terukir indah dengan tinta emas dalam sejarah perjuangan Islam. Pelipur duka dan lara penghulu umat manusia dunia dan akhirat, Muhammad, sang kekasih Allah.

Ia adalah Khadijah bintu khuwailid, ibunda kaum mukminin. Allah karuniakan kepadanya anugerah agung menjadi pendamping dan pendukung sebaik-baik manusia. Wanita pertama yang membenarkan kenabian muhammad di saat manusia mendustakannya. 

Ia adalah pelindung bagi beliau saat manusia memeranginya. Kepadanya secara khusus Allah menyampaikan salam. Rasulullah bersabda, ”wahai Khadijah, sesungguhnya Jibril menyampaikan salam dari Rabbmu.” Khadijah menjawab, “Allah Dialah As Salam, dari-Nya pula salam keselamatan, semoga Allah melimpahkan salam atas Jibril.”. MasyaAllah…

Ia adalah Khadijah bintu Khuwailid bin Asad bin Abdul ’uzza bin Qushay Al Qurasyyiah Al Asadiyah. Pada masa jahiliah Ia dikenal dengan kemuliaan, kecantikan, dan kekayaannya. Ia adalah wanita yang suci, wanita yang menjaga kehormatannya sehingga Ath Thahirah, julukan ini melekat kepadanya.

Di saat ia menjanda dari suami pertama yaitu Abu Halah bin An Nabasyi bin Zurarah At Tamimi, kemudian dari suami yang kedua ‘Atiq bin ‘Aidz bin Abdullah bin Amr Al Makhzumy, seluruh pemuka Quraisy berharap bisa bersanding dengannya. Semuanya ia tolak karena Allah berkehendak untuk menikahkannya dengan seorang terbaik di muka bumi.

Sebagaimana mayoritas orang Quraisy yang lain, Khadijah yang berkuniyah ummu Hindun adalah pedagang yang mengirimkan dagangannya ke Syam. Ia mempekerjakan orang untuk menjalankan usaha ini. Ketika Rasulullah yang terkenal dengan julukan Al Amin (yang amanah), menginjak umur 25 tahun, Khadijah meminta beliau untuk membawa dagangan ke Syam bersama budaknya yang bernama Maisarah. 

Rasulullah membawa dagangannya ke pasar Bushra, dan kembali dengan membawa keuntungan yang berlipat-lipat dari biasanya. Khadijah yang hatinya sudah tertambat kepada beliau semakin menaruh perhatian. Ia banyak bertanya kepada budaknya mengenai pribadi Rasulullah. Maisarah pun menceriterakan keluhuran budi pekerti yang ia ketahui semenjak bersama  Rasulullah dalam safar dagang tersebut, terutama sifat amanah dan kejujuran beliau dalam menjalankan usahanya. 

Hati Khadijah semakin terpaut dengan Rasulullah dan ingin menikah dengan beliau. Diutuslah Nafisah binti Umayyah, saudara perempuan Ya’la bin Umayyah At Tamimi untuk menyampaikan hajatnya kepada Rasulullah. Nafisah mengatakan kepada Rasulullah,”kenapa engkau tidak menikah?” beliau menjawab,”aku tidak memiliki apa-apa.” Nafisah mengatakan,”apabila engkau dicukupi, menikah dengan orang yang memiliki harta, kecantikan, dan kemuliaan, apakah engkau bersedia?” beliau bertanya,”siapa?” dijawab, “Khadijah.”. Beliau pun menyanggupinya. Beliau dinikahkan oleh paman Khadijah yaitu Amr bin Asad bin Abdul’uzza Al Qurasyi Al Asadi.

Demikianlah Allah karuniakan anugerah indah ini kepada Khadijah wanita suci. Inilah awal kemuliannya. Kemudian keutamaan demi keutamaan pun diraih. Rasulullah ` bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas,”sebaik-baik wanita surga Khadijah binti Khuwailid, Fathimah binti Muhammad, Maryam binti Imran, dan Asiyah binti Muzahim.”. Subhanallah…

Rasulullah ketika itu berumur 25 tahun, sedangkan Khadijah 40 tahun, keluarga harmonis yang dibangun oleh dua insan berakhlak mulia. Allah limpahkan berkah-Nya, sehingga terlahir dari pernikahan suci ini Al Qasim dan Abdullah yang keduanya meninggal pada usia kanak-kanak. Juga Fatimah, zainab, Ruqayyah, dan Ummu Kultsum, yang kemudian semua masuk islam dan berhijrah ke Madinah. Khadijah sangat mencintai Rasulullah, segala upaya ditempuh untuk membahagiakan beliau, sampai ketika melihat Rasulullah senang terhadap Zaid bin Haritsah yang waktu itu sebagai budaknya, khadijah pun menghadiahkan untuk beliau.

Menjelang pengangkatan sebagai Nabi, Rasululah senang menyendiri di gua Hira, lari dari kebencian beliau terhadap kesesatan kaumnya menyembah berhala. Khadijah sang istri setia, terus memberikan dorongan kepada beliau. Ia menyiapkan bekal bagi beliau selama beberapa hari, dan dengan sabar menanti di rumah. Keadaan ini berlangsung sampai beberapa waktu, ketika bekal habis beliau pulang untuk mengambilnya yang telah disiapkan oleh istri tercinta, dan kembali beribadah menyendiri di gua hira.

Saat turun wahyu pertama, datanglah malaikat Jibril kepada beliau, Jibril mengatakan,”bacalah!”, beliau menjawab,” aku tidak bisa membaca.”, Rasulullah mengisahkan,” lalu Jibril memelukku dengan kuat, sampai sesak kemudian melepaskanku dan mengatakan kembali, ‘bacalah!’, aku menjawab,’ aku tidak bisa membaca.’, untuk yang kedua kalinya Jibril memelukku sampai sesak kemudian melepaskanku dan mengatakan,’ bacalah!’, aku menjawab dengan jawaban yang sama. Kembali Jibril memelukku sampai sesak untuk yang ketiga kalinya, kemudian melepaskanku dan mengatakan,

“Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantaran pena. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” [QS. Al Alaq:1-5].”.

Rasulullah pun segera bergegas pulang dengan hati bergoncang hebat. Sesampainya beliau di rumah, beliau langsung mengatakan kepada istri beliau, ”selimuti aku, selimuti aku!”, Khadijah pun menyelimuti beliau hingga hilang rasa takut beliau. Kemudian beliau menceriterakan semua kejadian yang dialami kepada

Khadijah, beliau mengatakan, “sungguh aku sangat takut atas diriku.” Segera Khadijah membesarkan hati suaminya, “sekali-kali tidak, bergembiralah, demi Allah, Allah tidak akan merendahkanmu selama-lamanya, sungguh engkau adalah orang yang menyambung silaturahmi, jujur dalam berbicara, senang memuliakan tamu, menanggung kesusahan orang lain, bersedekah kepada orang yang tidak punya dan menolong orang yang terdzalimi.”.

Kemudian Khadijah mengajak Rasulullah menemui Waraqah bin Naufal bin Asad bin Abdul ‘uzza, paman Khadijah yang beragama nasrani, seorang yang menulis Injil dengan bahasa Ibrani, seorang yang sudah tua dan buta. Rasulullah pun menceritakan apa yang beliau alami, Waraqah mengatakan,” ini adalah Namus yang datang menemui Musa,”, Waraqah memaksudkan Jibril, kemudian berkata lagi,” seandainya saya masih muda, seandainya saya masih hidup ketika kaummu mengusirmu.”, Rasulullah bertanya,” apakah mereka akan mengusirku?”. Waraqah menjawab,” ya, tidaklah seorang pun datang dengan membawa apa yang engkau bawa, kecuali akan dimusuhi. Seandainya aku masih hidup saat itu, aku akan benar-benar menolongmu.”.

Tidak berapa lama setelah itu, Waraqah meninggal, wahyu juga tidak kunjung turun, beliau pun bertambah sedih. Di masa-masa sulit seperti inilah Khadijah banyak menggambil peran sebagai istri. Selalu menemani suami tercinta.

Demikianlah istri shalihah. Menjadi penghilang duka suami, penghibur hati yang sedih, selalu mendorong suami dalam kebaikan. Khadijah binti Khuwailid, orang pertama yang beriman kepada Rasulullah, mendukung dan menguatkan beliau, sehingga tidaklah Rasulullah mendengar dari orang-orang musyrik sesuatu yang membuaat beliau sedih, berupa pendustaan, penolakan dan yang lainnya kecuali Allah berikan jalan keluar melalui Khadijah. 

Ia selalu mengokohkan beliau, membenarkan, dan meringankan beban beliau. Karena inilah, kesan indah Khadijah sangat melekat pada beliau. Aisyah menuturkan, bahwa tidaklah Rasulullah keluar dari rumah beliau, kecuali hampir selalu menyebutkan nama Khadijah dan memujinya. 

Aisyah berkata, “Beliau pun suatu hari menyebut namanya, dan hinggaplah kecemburuan pada diriku, aku pun mengatakan, ‘bukankah Khadijah itu hanyalah seorang yang sudah tua, yang Allah telah menggantikannya dengan yang lebih baik untukmu.’. maka Rasulullah pun sangat marah, beliau bersabda, ‘tidak demi Allah, Allah tidak menggantikannya dengan yang lebih baik sama sekali. Ia beriman kepadaku di saat manusia mengkafiriku, ia membenarkanku saat manusia mendustakanku, ia mendukungku dengan hartanya saat manusia menahan hartanya dariku, Allah mengaruniakan kepadaku anak darinya saat wanita lainnya tidak.’”. Aisyah pun mengatakan, “aku berkata dalam diriku, ‘aku tidak akan menjelekkannya selama-lamanya.’”.

Pada suatu hari, pernah Khadijah keluar rumah untuk mencari Rasulullah di pegunungan mekah dengan membawa bekal beliau. Dalam perjalanan Jibril menemui Khadijah dalam bentuk seorang lelaki, Jibril pura-pura menanyakan keberadaan Rasulullah, Khadijah tidak menyebutkannya karena khawatir orang tersebut menginginkan kejelekan pada beliau. Ketika Khadijah bertemu dengan Rasulullah, ia critakan hal tersebut. Rasulullah besabda, ”Ia adalah Jibril, ia memintaku untuk menyampaikan salam kepadamu, dan memberikan kabar gembira dengan sebuah rumah untukmu dari mutiara yang berlubang di surga, tidak ada keletihan di sana tidak ada pula kegaduhan.”. masya Allah…

Pada tahun kesepuluh kenabian, tiga tahun sebelum hijrah, sebelum Rasulullah di isra’ kan ke Sidratul Muntaha, Khadijah bintu Khuwailid wafat  menghadap Allah Yang Maha Tinggi, wafat sebelum disyariatkan shalat jenazah. ketika berumur 65 tahun, pada bulan Ramadhan, tiga hari setelah meninggalnya Abu Thalib. Rasulullah sendiri yang memakamkannya di daerah Hajun. Semoga Allah meridhainya… Allahu a’lam. [Farhan].


Sumber bacaan: 

Al Isti’ab karya Ibnu Abdil Barr
Al Ishabah karya Ibnu Hajar
Thabaqat Ibnu Sa’ad karya Muhammad bin Sa’ad
Shaihi As Sirah An Nabawiyyah karya Al Albani

Sumber: www.tashfiyah.net

Tuesday, December 13, 2011

Ibnu Katsir Bercerita Tentang Wafatnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah

[1]Berkata Alimuddin al Barzâlî dalam kitab Tarikhnya: Pada malam senin Tanggal 20 Dzulqa’dah Wafatlah al Syaikh Al Imâm al âlim al Allâmah al Faqîh al Hâfiz al Zâhid al âbid al Mujâhid al Qudwah Syaikhul Islâm al Taqî al dîn Abu al Abbâs Ahmad anak dari guru kami al alîm al Allâmah al Muftî Syihab al dîn abi al Mahâsin Abdul Halîm bin syaikh al Islâm abu al  Barâkat Abdul al Salâm[2] bin Abdullah bin Abu al Qâsim bin Taimiyah al Harrânî al Dimasyqî disebuah ruangan dimana ia dipenjara.

Kemudian berbondong-bondong orang datang mengunjungi jenazah beliau kebenteng dimana ruangan penjara tersebut berada dan mereka diizinkan masuk. Mereka duduk disisi jenazah sebelum dimandikan. Mereka membaca qur’an dan bertabarruk dengan melihat dan menciumnya. Mereka kemudian pergi dan digantikan rombongan lain dari kalangan perempuan lalu kemudian mereka melakukan seperti sebelumnya kemudian digantikan rombongan lain hingga jenazah beliau dimandikan.

Setelah selesai dimandikan, jenazah beliau dikeluarkan sedangkan  massa telah berkumpul dibenteng dan  jalan menuju masjid jami. Masjid Jami’ pun telah penuh sesak begitu juga pelatarannya. 4 pintu masuk benteng –bab al barîd, bâb al al Sâat, bab al fawrah juga penuh sesak. Jenazah Ibnu Taimiyah dihadirkan pada sekitar jam 4 sore hari kemudian diletakkan di Masjid Jami. Para tentara mengantisipasi ledakan pelawat karena saking sesaknya dengan menjaga ketat jasad Ibnu Taimiyah.

Jasad Ibnu Taimiyah pertama kali disholatkan didalam benteng oleh Oleh Syaikh Muhammad Tamâm kemudian disholatkan dimasjid Jami al Umawi setelah sholat zuhur. Jasad beliau dibawa masuk lewat bâb al barîd dan pelayat makin berlipat ganda sebagaimana yang telah disebutkan diatas. Kemudian bertambah lagi hingga membuat sempit celah antar rumah,jalan-jalan, dan juga pasar.

Setelah disholatkan, keranda Jenazah beliau keluar dari bab al bârid dan diusung diatas ujung-ujung jari para pelayat. Kesesakan makin menjadi-jadi, ratap tangis meninggi, derai air mata tumpah tak terkendali diselingi  doa, pujian, dan tarahum kepada jenazah beliau. Orang-orang melempar sapu tangan, sorban, dan baju-baju mereka keatas keranda. 


Saking sesaknya, sandal-sandal merekapun hilang entah kemana namun itu tidak membuat mereka berpaling karena sibuknya memandang jenazah beliau. Karena diperebutkan, maka jadilah keranda tersebut kadang kedepan dan kadang kembali kebelakang dan kadang berhenti sampai orang-orang lewat. 


Massa keluar dari Masjid Jami dari semua Pintu dan mereka amat berdesak-desakan Hingga Setiap pintu tampak lebih sempit dan sesak dari pintu yang lain. Kemudian seluruh massa keluar dari pintu negeri tersebut karena saking sesaknya. Kesesakkan terbesar terjadi pada 4 pintu –bab al farj tempat keluarnya jenazah, bab al Farâdîs, bab al Nashr, dan bab al Jabiyah. 


Kesesakan terparah terjadi di pasar al kholîl, massa bertambah berlipat-lipat karena jenazah diletakkan disana dan disholatkan terlebih dahulu oleh saudaranya Zainuddin Abdurrahman setelah itu dibawa ke pekuburan shuffiyah. Jenazah beliau dikubur disamping  saudaranya Syarafuddin Abdullah. Semoga Allah memuliakan keduanya.

Jenazah Beliau dikuburkan diwaktu Ashar atau sesaat sebelum Ashar. Hal itu disebabkan oleh banyaknya orang yang datang untuk menyolatinya dari penduduk Basatin, ghutah, dan penduduk negeri lainnya. Mereka menutup kandang-kandang hewan mereka dan tak ketinggalan untuk melayat beliau kecuali segelintir orang atau karena tidak kuat berdesak-desakan namun tetap mendoakan beliau. Sekiranya mereka kuat niscaya mereka tak akan ketinggalan. Hadir melayat beliau dari kalangan perempuan sekitar 50 ribu orang. Jumlah itu selain yang berada di atap-atap rumah. seluruhnya menangis dan mengucapkan tarahum kepada Ibnu Taimiyah. 

Adapun jumlah pelayat laki-laki sekitar 90 puluh ribu hingga 200 ribu orang. Sekelompok orang meminum air sisa mandi jenazah dan membagi-bagikan daun bidara  yang digunakan untuk memandikan beliau. Konon tutup kepala yang dipakai ibnu taimiyah dijual seharga 50 dirham dan konon benang luntur yang terdapat dilehernya terjual seharga 150 dirham. Pemakaman jenazah tersebut sangat riuh dengan suara tangis dan memelas. Beliau mengakhiri hidupnya dengan kebaikan.

Manusia berbolak-balik menziarahi kuburannya berhari-hari baik siang maupun malam bahkan menginap. Beliau dimimpikan dengan berbagai mimpi yang baik dan banyak orang yang membuat qasidah pujian yang melimpah untuk beliau.
Beliau lahir pada hari senin tanggal 10 Rabiul Awal di Harrân tahun 661 Hijriah kemudian pindah ke Damaskus bersama ayah dan keluarganya ketika beliau masih kecil. 

Beliau belajar Hadits dari ibnu Abd al Dâim , Ibnu abi al Yusr, ibnu Abdin, Syamsuddin al Hambali, Qadhi Syamsuddin bin Atha al Hanafi, syaikh Jamaluddin bin Shoyrafî, Majd al dîn bin Asâkir, syaikh Jamaluddin al Baghdaadi, Najib bin Miqdad, Ibnu abi al Khair, Ibnu Allân, ibnu Abi Bakr al Harawi, Kamal Abdur rahim, Fakhr Ali, Ibnu Syaibân, Syaraf bin Qawwâs, Zainab binti Makki, dan banyak lagi. Beliau juga banyak belajar secara otodidak, mencari hadits, menulis, dan memperdengarkan sendiri. Sesedikit apapun yang ia dengar, niscaya ia akan menghapalnya.

Beliau Sibuk dengan ilmu-ilmu pengetahuan, cerdas dan banyak menghapal, hal itu membuatnya menjadi seorang Imam dalam ilmu Tafsir dan yang berkaitan dengannya. Beliau amat familiar dengan ilmu fiqh; beliau lah yang paling mengenal fiqh Mazhab dizamannya. Sangat mengetahui perbedaan pendapat dikalangan ulama, alim dalam ilmu ushul dan furu’, nahwu, bahasa, dan ilmu-ilmu naqliyah dan aqliyah yang lain. Ketika beliau memutuskan sesuatu dan berbicara tentang sebuah cabang ilmu bersama orang-orang terkemuka dibidangnya maka mereka akan mengira bahwa cabang ilmu tersebut adalah spesialisasinya. Mereka melihat beliau amat mengetahui dan memiliki penguasaan yang sempurna tentang ilmu tersebut.

Adapun hadits, maka beliaulah pemegang benderanya. Beliau hapal matan maupun sanadnya, mampu membedakan antara yang lemah dan yang sohih, amat mengenal rijal-rijal secara mendalam. Dia memiliki banyak karangan-karang dan ta’liq berfaidah terkait ushul dan furu’. Sebagiannya beliau sempurnakan sendiri, ada yang disalin ulang dan ditulis kembali kemudian dibacakan didepan beliau, dan juga ada sejumlah besar karya yang belum selesai, dan sebagian lagi sudah selesai namun sampai sekarang belum ditulis kembali[3].

Beliau dipuji oleh banyak ulama dizamannya karena ilmu dan keutamaannya, antara lain Qadhi al khuwaini, Ibnu Daqiq al ied, Ibnu al Nuhas Qadhi Hanafi Qadhi Mesir Ibnu al Hariri, Ibnu Zamlakani dll.

Aku membaca tulisan ibnu Zamlakani yang mengatakan: telah terkumpul didalam dirinya syarat-syarat ijtihad yang sempurna. Dia memiliki tangan yang panjang dalam hal kebagusan mengarang kitab, keelokan ungkapan, kesistematisan, pemahaman, dan penjelasan. Ia menulis tiga bait syair berikut disalah satu karangannya:


مَاذَا يَقُولُ الْوَاصِفُوْنَ لَهُ                    *****              وَصِفَاتُهُ جَلَّتْ عَنِ الْحَصْرِ
هُوَ حُجَّةٌ للهِ قَاهِرَةٌ                         *****                  هُوَ بَيْنَنَا أُعْجُوْبَةُ الدَّهْرِ
هُوَ آيَةٌ ِللْخَلْقِ ظَاهِرَةٌ                        *****               أَنْوَارُهَا أَرْبَتْ عَلَى الْفَجْر
ِ
Apa yang kan diuraikan mereka yang mensifatkannya
Sedangkan sifat-sifatnya melampaui batasan
Dia adalah hujjah Allah yang menaklukkan
Dia adalah keajaiban masa di tengah-tengah kita
Dia adalah satu ayat Allah yang nyata bagi makhluk-Nya
Cahayanya mengalahkan kemilau fajar

 
itulah puji-pujian untuk Ibnu taimiyah. Ketika itu umurnya 30 tahun, antara aku dan telah terdapat rasa sayang dan persahabatan sejak kecil. Begitu juga kebersamaan dalam belajar dan mendengar hadits selama kurang lebih 50 tahun. Dia memiliki banyak keutamaan, karangan. Begitu juga sejarah dan peristiwa antara dia dengan para fuqaha dan Negara. Dia juga dipenjara beberapa kali. Peristiwa-peristiwa mengenai dirinya tdak mungkin disebutkan semuanya didalam kitab ini.

Ketika dia wafat, aku (Al Zamlakani) sedang tidak berada di Damaskus. Aku sedang dalam perjalanan menuju tanah hijaz yang mulia kemudian sampai kepadaku kabar tentang kematiannya setelah 50 hari bertepatan dengan sampainya aku di Tabuk. Ada rasa sesal karena kehilangannya. Semoga Allah memulikannya. Inilah yang ia katakan tentang Ibnu Taimiyah dalam kitab tarikhnya[4]
 
Kemudian Syaikh Alimuddin menyebutkan dalam tarikhnya setelah menceritakan pemakaman Abu bakr bin Abi Dawud dan keagungannya dan juga pemakaman Imam Ahmad di Baghdad dan kemasyuharannya.: berkata al Imam Abu Utsman al Shâbunî : aku mendengar Abu Abdirrahman Al Suyûfî berkata: Aku menghadiri pemakaman Abu al Fath al Qawwâs bersama Syaikh Abu al Hasan al Daruqutni, ketika massa yang menghadiri pemakaman tersebut sangat banyak, ia menoleh kepadaku dan berkata: Aku mendengar Abu sahl bin Ziyad al Qatthân berkata: aku mendengar Abdullah bin Ahmad bin Hambal berkata : aku mendengar bapakku berkata: katakan kepada Ahli bid’ah! “Perbedaan antara kita dan kalian adalah pemakaman”[5]

Ia berkata: tak diragukan lagi bahwa pemakaman Imam Ahmad bin Hambal dihadiri massa yang amat banyak karena banyaknya jumlah penduduk negerinya dan berkumpulnya mereka untuk pemakaman tersebut ditambah lagi pemerintahpun mencintainya.

Ibnu Taimiyah Rahimahullah wafat dinegerinya-Damaskus- sedangkan jumlah penduduknya tidak mencapai sepersepuluh dari jumlah penduduk Baghdad kala itu. Tetapi mereka berkumpul di pemakamannya dan mengantar ketempat terakhirnya dengan jumlah yang tidak mungkin mampu dikumpulkan oleh sulthan dan dewan yang berkuasa padahal ia Wafat didalam penjara dalam keadaan dikurung oleh Sulthan. Banyak Fuqaha dan orang-orang Faqir menjelek-jelekkannya hingga membuat lari pemeluk berbagai agama, terlebih lagi yang beragama Islam. Namun itulah realitas pemakamannya[6].

Ia berkata: telah disepakati bahwa ia wafat pada dini hari malam senin. Muazzin benteng kemudian mengabarkan kematian beliau dari atas menara dan para penjaga benteng tersebut membicarakan kematian beliau. Ketika pagi hari, kabar besar ini telah menyebar dikalangan khalayak umum dan Amir Jasim. Massa pun bersegera berkumpul disekitar benteng dari berbagai tempat hingga yang berasal dari Ghutah dan Marj. Para pedagang tidak memasak dan toko-toko pun banyak yang tidak dibuka seperti kebiasaan mereka yang membuka toko pada pagi hari. Saat itu wakil Shultan sedang berburu disuatu tempat. Memanaslah keadaan Negara dengan apa yang terjadi. 


Datanglah kepala penjara Al Shahih Syamsuddin ghibriyal. Ia membuka pintu penjara dan pintu ruangan untuk para kerabat, sahabat, dan pecinta Ibnu Taimiyah agar bisa Berkumpul disekitar Jenazah. Sejumlah sahabat dari negerinya dan dari sholihiyyah. Mereka juga duduk disekelilingnya sembari menangis dan memujinya. Aku (Ibnu Katsir)  termasuk yang hadir disana bersama guruku Al Hafidz abi al Hajjaj al Mizzi[7] Rahimahullah. 


Aku membuka wajah Syaikh, memandangnya, dan menciumnya. Dikepalanya ada sebuah sorban dengan rumbai yang menyelip. Ubannya telah tumbuh jauh lebih banyak dari yang aku lihat sejak aku berjumpa dengan beliau. Saudaranya-Zainuddin  Abdurrahman- memberitahu bahwa dia dan syaikh telah mengkhatamkan qur’an sebanyak 80 kali semenjak masuk penjara dan mulai membaca yang ke-81 sampai selesai ayat Iqtarabat. Ketika itu datanag dua orang shalih yang baik yaitu syaikh Abdullah bin Muhib dan Abdullah al zarî’ yang bacaannya disukai oleh syaikh. Keduanya kemudian memulai membaca surat al Rahman hingga mengkhatamkan Al qur’an sementara aku mendengarkan.

Kemudian mereka mulai memandikan Syaikh dan aku keluar menuju masjid disana. Tidak seorangpun yang berada disisinya kecuali yang membantu memandikan syaikh, Guruku Al Hafidz al Mizzi dan sekelompok orang-orang solih dan terpilih termasuk yang membantu untuk memandikan syaikh.  Mereka belum juga selesai memandikan syaikh padahal benteng telah penuh dengan massa dan riuh tangis serta pujian, doa, dan Tarahum. Kemudian Jenazah dibawa kemasjid Jami melewati jalan Imadiyah dan adiliyah. 


Mereka memiringkan keranda jenazah dan melewati bab Al barid, hal itu karena bagian belakang pintu tersebut dihancurkan agar bisa digunakan. Merekapun memasukkan jenazah kemasjid jami Umawi. Massa berada didepan Jenazah, belakang, kanan, dan sebelah kirinya. Tak ada lagi yang dapat menghitung jumlah massa kecuali Allah. Mereka berteriak-teriak keras. Beginilah keadaan Jenazah salah seorang Imam sunnah, merekapun menangis bersahut-sahutan dan membuat kegaduhan ketika mendengar teriakan-teriakan tersebut.

Jenazah beliau diletakkan ditempat khusus. Massa duduk tak beraturan karena banyak dan berdesak-desakkan, bahkan mereka seperti saling menempel. Seorangpun tak dapat melakukan sujud kecuali dengan bersusah payah dan berhimpitan.

Hal itu terjadi sesaat sebelum sholat zuhur, massa datang dari segala tempat, mereka berniat puasa karena mereka tidak sempat untuk makan dan minum. Banyaknya massa pada saat itu tak terhitung dan tak bisa digambarkan. Setelah selesai Adzan zuhur, dilaksanakanlah sholat yang tidak seperti biasanya. Setelah selesai sholat zuhur keluarlah pengganti Khotib masjid karena tidak hadirnya khotib dan ia menyolati jenazah IbnuTaimiyah. Dia adalah Syaikh Alauddin bin Kharrat. 


Setelah itu massa keluar dari setiap pintu masjid dan negeri lalu berkumpul di Pasar al Khalil. Sebagian massa ada yang tergopoh-gopoh menuju pekuburan shuffiyah setelah melaksanakan sholat jenazah. Mereka menangis dan bertahlil serta khawatir pada diri mereka sendiri. Mereka memuji dan menyesal. Para wanita diatas atap rumah sembari menangis, berdoa, dan berucap: “inilah orang yang alim”

Secara garis besar, hari itu adalah hari yang penuh dengan kesaksian dan tak pernah terjadi di damaskus, kecuali pada zaman Bani Umayyah ketika penduduk masih banyak dan masih merupakan negeri yang dinaungi khilafah.

Jenazah Beliau dikuburkan disamping saudaranya tepat menjelang adzan Ashar. Tak mungkin seorangpun menghitung massa yang menghadiri prosesi pemakaman tersebut. Kira-kira yang hadir pada saat itu adalah sama dengan semua warga yang bisa hadir. Tak ketinggalan dalam prosesi tersebut kecuali sedikit dari orang-orang rendahan dan wanita-wanita yang dipingit. 


Aku tidak mengetahui seorangpun dari ahli ilmu yang tidak menghadiri prosesi tersebut kecuali sedikit, mereka ada 3 orang : Ibnu Jumlah, Al Shadr, dan Al Qafajârî. Mereka terkenal memusuhi Ibnu Taimiyah. Oleh karena itu mereka takut menghadiri prosesi tersebut. Karena kalau mereka ketahuan keluar, maka massa akan membunuh dan membinasakan mereka. 


Syaikh Kami al Imam al Allamah Burhanuddin al Fazârî berbolak-bolak kekubur hingga 3 hari, begitu juga sekelompok ulama Syafiiyah. Burhanuddin  al Fazârî datang menunggang keledainya dia memiliki kemuliaan dan wibawa. Semoga Allah merahmati beliau.

Banyak ucapan bela sungkawa yang menyertai, beliau juga diimpikan oleh orang-orang sholeh. Syair-syair dan Qasidah-Qasidah panjang banyak ditujukan untuk beliau. Biografi beliau dikarang oleh banyak kelompok dan Fudhala[8]. Tak teringkas biografi untuk menyebutkan kebaikan, keutamaan, keberanian, kemurahan, nasehat, kezuhudan, ibadah, berbagai macam ilmu, karangan kecil dan besar yang mencakup hampir semua bidang keilmuan serta fatwa-fatwa dan pilihan pendapatnya yang ia bela dengan Alqur’an dan Sunnah.

Secara Garis besar, beliau Rahimahullah adalah termasuk ulama besar. Bisa salah dan benar, Tetapi kesalahannya dibandingkan dengan kebenarannya bagaikan sebuah titik dilautan. Kesalaannya pun terampuni sebagaimana dalam Sohih Bukhari: Jika seorang hakim berijtihad kemudian benar, maka baginya dua pahala. Kalau ia berijtihad kemudian Salah, maka baginya satu pahala. Berkata Imam malik bin Anas: setiap orang bisa diambil pendapatnya dan ditinggalkan kecuali penghuni kubur ini (Rasulullah, Red)

[1] Silahkan membaca langsung dari kitab Al bidâyah wa al Nihâyah pada peristiwa yang terjadi di tahun 728 Hijriah

[2] Beliau adalah pengarang  dan penyusun Muntaqa al akhbâr yang disyarah oleh Imam syaukani dengan Judul Nailul Awthar yang tersohor itu. Laqab beliau adalah Majduddin Ibnu Taimiyah

[3] Maksudnya belum disusun dengan rapi untuk diterbitkan secara masal ketika Ibnu katsir menulis kitab ini

[4] Perlu diketahui bahwa al Zamlakani memiliki pendapat-pendapat yang miring tentang Ibnu Taimiyah,namun secara jelas terbukti disini  bahwa rasa kagum dan hormatnya mampu membuatnya menyesal kehilangan Ibnu Taimiyah ketika dia tidak mendapati kematian beliau.

[5] Maksudnya perbedaan antara ahli bid’ah dan ahli sunnah dapat diindaksikan lewat banyaknya orang yang melayat dan mendoakan

[6] Keberaniannya dalam mengatakan kebenaran membuat dia kerap berurusan dengan fuqaha lain dan juga pemerintah, akibatnya mereka memfitnah dan menjauhkan beliau dari masyarakat. Namun hari penguburannya menjadi saksi kebenaran ijtihadnya. Wallahu a’lam

[7] Pemilik kitab Tahzibul Kamal yang masyhur. Guru dan juga mertuanya Ibnu Katsir . alhafidz abul fida’ Ibnu katsir dan Ibnu Hajar pernah menceritakan bahwa Al Mizzi pernah ditahan karena membaca kitab Khalqu Af alil Ibab karya Imam Bukhari kemudian dibebaskan atas usaha dari Ibnu Taimiyah. Al-Bidayah Wa an-Nihayah 18/54 dan Durar Al-Kaminah 170/1

[8] Saya belum tahu ada ulama semasa Ibnu Taimiyah yang memiki kitab biografi yang lebih banyak dan lebih lengkap dari beliau

Thursday, December 1, 2011

Memahami Fiqih Umrah Dalam 10 Menit

  Cara Mudah Memahami Fiqh Umroh

Memahami fiqh umroh dalam waktu kurang dari 10 menit dalam 4 poin berikut:
  1. Ihram dari miqot
  2. Thawaf sebanyak 7 putaran mengelilingi kakbah
  3. Sa’yu sebanyak 7 putaran antara Shafa dan Marwa
  4. Memendekkan atau mencukur rambut
Dengan melakukan 4 poin ini saja umroh sudah sah meskipun tanpa ditambahi dengan amalan-amalan lainnya. Akan tetapi untuk kesempurnaannya insya Allah akan kami jelaskan dalam rincian berikut.

Waktu Melakukan Umroh

Waktu melakukan umroh adalah seluruh waktu dalam setahun.

Tempat Memulai Umroh (dan Haji)

Tempat memulai umroh (dan Haji) yang biasa disebut miqot (makani) adalah tempat-tempat yang diwajibkan untuk memulai melakukan ihram di situ, jika seorang yang berniat umroh atau haji melewati tempat tersebut tanpa melakukan ihram (yaitu berniat mulai melakukan amalan-amalan umroh atau haji) dan tanpa melaksanakan kewajiban-kewajibannya maka wajib atasnya hadyu, berupa menyembelih seekor kambing dan membaginya kepada fakir miskin Mekkah, tanpa mengambil bagian darinya sedikitpun.

Adapun miqot-miqot itu ada lima:
  1. Dzul Hulaifah (sekarang dinamakan Bi’r ‘Ali), miqot penduduk kota Madinah dan yang melalui rute mereka).
  2. Al-Juhfah, miqot penduduk Saudi Arabia bagian utara dan negara-negara Afrika Utara dan Barat, negeri Syam (Lebanon, Yordania, Syiria, Palestina) dan yang melewati rute mereka.
  3. Qarnul Manazil (sekarang dinamakan As-Sail) dan Wadi Muhrim (bagian atas Qarnul Manazil), miqot penduduk Najed, selatan Saudi di seputar pegunungan Sarat, negara-negara Teluk, Irak, Iran dan yang melewati rute mereka.
  4. Yalamlam (sekarang dinamakan As-Sa’diyyah), miqot penduduk negara Yaman, Indonesia, Malaysia, negara-negara sekitarnya dan yang melewati rute mereka.
  5. Dzatu ‘Irqin (sekarang dinamakan Adh-Dharibah), miqot penduduk negeri Irak (Kufah dan Bashrah) dan yang melewati rute mereka.
Dan bagi orang-orang yang tinggal di Mekkah atau yang tinggal di tempat-tempat yang terletak setelah miqot-miqot di atas, boleh bagi mereka berihram untuk haji (baik tamattu’, qiron maupun ifrod) dari rumah masing-masing tanpa harus pergi ke miqot lagi. Adapun bagi penduduk Mekkah yang ingin melakukan umroh, mereka harus keluar ke daerah halal terdekat, seperti Tan’im dan yang lainnya, lalu berihram dari sana.

Urutan Amalan-amalan Umroh

Pertama: Ihram dari miqot

Ihram adalah berniat memulai pelaksanaan ibadah umroh atau haji. Tata caranya sebagai berikut:
  • Mendatangi miqot.
  • Disunnahkan untuk memotong kuku, memendekkan kumis, mencabut bulu ketiak dan mencukur bulu kemaluan.
  • Mandi seperti mandi janabat.
  • Menggunakan wewangian pada tubuh (pada bagian tubuh yang tidak terkena pakaian ihram) bila memungkinkan.
  • Mandi ini juga berlaku bagi wanita haid dan nifas.
  • Bagi yang miqotnya dilewati dengan kendaraan yang tidak mungkin berhenti seperti pesawat maka mandinya bisa dilakukan sejak dari rumah atau sebelum naik pesawat maupun setelah berada di pesawat.
  • Mengenakan pakaian ihram yang terdiri dari dua helai (yang afdhal berwana putih), yaitu sehelai disarungkan pada tubuh bagian bawah dan sehelai lagi diselempangkan pada tubuh bagian atas dengan menutup seluruh tubuh bagian atas termasuk kedua bahu.
  • Bagi yang miqotnya dilewati dengan kendaraan yang tidak mungkin berhenti seperti pesawat, maka pakaian ihramnya bisa dikenakan menjelang naik pesawat terbang atau setelah berada di atas pesawat terbang, meskipun jeda waktu yang agak lama dengan miqatnya agar ketika melewati miqat dalam kondisi telah mengenakan pakaian ihram.
  • Adapun pakaian ihram wanita adalah pakaian yang menutup seluruh auratnya yang sesuai dengan batasan-batasan syar’i.
  • Setelah mengenakan pakaian ihrom, lakukan sholat dua raka’at dengan niat sholat sunnah waudhu’.
  • Ketika masih berada di miqot, naik ke kendaraan lalu mulai berniat ihram untuk melakukan umrah dengan mengucapkan:
لَبَّيْكَ عُمْرَةً
Artinya: “Kusambut panggilan-Mu untuk melakukan umroh.”
Lalu membaca talbiyah:
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ

 Artinya: “Kusambut panggilan-Mu Ya Allah, kusambut panggilan-Mu tiada sekutu bagi-Mu, kusambut panggilan-Mu. Sesungguhnya segala pujian, nikmat dan kerajaan hanyalah milik-Mu tiada sekutu bagi-Mu.”

  • Jika khawatir tidak bisa menyempurnakan seluruh rangkaian ibadah haji atau umroh hendaklah membaca:
فإن حبسني حابس فمحلّي حيث حبستني
  • Berangkat ke Mekkah
  • Memperbanyak ucapan talbiyah ini dengan mengeraskan suara sepanjang perjalanan ke Mekkah.
  • Berhenti mengucapkan talbiyah ketika menjelang thawaf.
  • Mengucapkan talbiyah secara berjama’ah dengan membentuk sebuah koor termasuk perbuatan bid’ah.
  • Boleh memakai sandal, sepatu yang tidak menutupi mata kaki, cincin, kacamata, walkman, jam tangan, sabuk, dan tas yang digunakan untuk menyimpan uang dan barang-barang berharga lainnya.
  • Boleh mencuci pakaian ihram atau mengganti dengan pakaian ihram yang lain.
  • Sebelum masuk Mekkah, jika memungkinkan untuk mandi kembali
  • Hendaklah senantiasa menjalankan printah Allah Ta’ala dan menjauhi larangan-Nya seperti perbuatan syirik, kefasikan, kata-kata keji dan kotor, berdebat untuk membela kebatilan, dan lain-lain.
Larangan-larangan ihram ada 9, yaitu:
  1. Memotong rambut (seluruh badan).
  2. Memotong kuku.
  3. Menggunakan wewangian (adapun menggunakan wewangian sebelumnya dilakukan sebelum ihram).
  4. Mengenakan penutup kepala yang menempel (yang tidak menempel seperti payung atau berteduh di bawah atap tidak mengapa).
  5. Mengenakan pakaian yang membentuk tubuh (yang diistilahkan oleh sebagian fuqaha dengan pakaian berjahit).
  6. Membunuh hewan tanah haram, bahkan diharamkan sekedar menakutinya atau membuat dia lari. Termasuk dalam hal ini mencabut atau merusak tumbuhan yang ditumbuhkan Allah Ta’ala (bukan yang ditanam manusia) di tanah haram.
  7. Akad nikah dan melamar atau menikahkan dan melamar untuk orang lain
  8. Berhubungan suami istri.
  9. Bercumbu antara suami istri, baik dengan perkataan maupun perbuatan.
Hukuman bagi yang melanggar 9 larangan di atas terbagi 5 bentuk:
  1. Melakukan pelanggaran nomor 1-5 maka hukumannya adalah membayar fidyah berupa menyembelih seekor kambing atau memberi makan 6 orang miskin (setiap orang dapat 1/2 sho’) atau berpuasa 3 hari. Boleh memilih.
  2. Melakukan pelanggaran nomor 6 maka hukumannya hendaklah menyembelih yang semisalnya dari hewan yang biasa digunakan untuk zakat lalu bersedekah dengannya dan tidak boleh makan darinya sedikitpun. Atau menakarnya dengan makanan dan membaginya kepada fakir miskin, setiap orang mendapat 1/2 sho’. Atau berpuasa selama sejumlah orang-orang miskin tersebut. Jika yang melanggar tidak menemukan hewan yang semisalnya baru dia diberi pilihan apakah memberi makan ataukah puasa.
  3. Melakukan pelanggaran nomor 7 tidak ada fidyah namun berdosa jika dilakukan bukan karena lupa atau tidak tahu dan nikahnya dihukumi sebagai nikah syubhat, harus diulang setelah ihram. Dan hendaklah bertaubat kepada Allah Ta’ala.
  4. Melakukan pelanggaran nomor 8 (berhubungan suami sitri), apabila sebelum tahallul awwal (pada haji) maka hajinya tidak sah dan wajib membayar fidyah dengan menyembelih seekor unta dan dibagikan bagi fakir miskin di haram dan wajib mengqodho’ haji tersebut di tahun depan. Apabila dilakukan setelah tahalul awwal maka hajinya sah berdasarkan ijma’ dan baginya fidyah berupa menyembelih seekor kambing. Adapun umroh jika pelanggarannya dilakukan sebelum tawaf atau sa’yu maka batal umrohnya, hendaklah melakukan umroh lagi sebagai ganti, yaitu keluar lagi ke miqot dan wajib baginya fidyah menyembelih seekor kambing. Jika dilakukan pada umroh setelah thawaf dan sa’yu (yakni sebelum memendekkan atau mencukur rambut) maka umrohnya sah dan wajib baginya fidyah.
  5. Melakukan pelanggaran nomor 9, jika seorang bercumbu dengan istrinya di selain kemaluannya, walaupun sampai mengeluarkan mani, maka hajinya tidak sampai batal, hendaklah dia menyembelih unta jika hal itu dilakukan sebelum tahalul awal. Jika setelahnya, hendaklah menyembelih kambing. Bagi wanita sama hukumanya dengan laki-laki kecuali jika dia dipaksa.
Hukuman-hukuman di atas berlaku bagi orang yang sengaja melakukannya baik karena butuh atau tidak. Adapun yang tidak tahu hukumnya atau karena lupa maka tidak ada hukuman baginya dan hajinya tetap sah.
Kedua: Thawaf sebanyak 7 putaran mengelilingi kakbah
  • Tiba di Masjidil Haram Makkah, pastikan telah bersuci dari najis dan hadats (sebagai syarat thawaf).
  • Disunnahkan untuk beristirahat sejenak sebelum memulai thawaf
  • Masuk dengan kaki kanan dan membaca:
أعوذ بالله العظيم، وبوجهه الكريم، وسلطانه القديم من الشيطان الرجيم بسم الله والصلاة، والسلام على رسول الله، اللهم افتح لي أبواب رحمتك
  • Keluar masjid membaca:
بسم الله والصلاة والسلام على رسول الله، اللهم إني أسألك من فضلك اللهم اعصمني من الشيطان الرجيم
Kedua lafazh ini adalah doa masuk dan keluar masjid yang umum, berlaku bagi semua masjid.
  • Melakukan idhthiba’. Caranya, selempangkan pakaian atas ke bawah ketiak kanan dan membiarkan pundak kanan terbuka dan pundak kiri tetap tertutup (hal ini khusus bagi laki-laki dan khusus pada thawaf qudum dan thawaf umroh). Adapun selainnya tidak disyari’atkan.
  • Segera menuju Hajar Aswad, menghadapnya, menyentuhnya dengan tangan kanan dan menciumnya tanpa ada suara ciuman. Jika tidak memungkinkan, hendaklah menyentuhnya dengan tangan kanan dan mencium tangan yang menyentuhnya. Jika tidak memungkinkan maka dengan tongkat dan sejenisnya lalu mencium tongkat tersebut. Jika tidak memungkinkan maka cukup berisyarat kepadanya.
  • Jika seorang bisa menciumnya maka hendaklah dia membaca, “Bismillahi Allahu Akbar”. Jika berisyarat kepadanya sambil membaca, “Allahu Akbar”.
  • Lakukan thawaf sebanyak 7 putaran mengelilingi kakbah. Mulai dari Hajar Aswad dengan memosisikan kakbah di sebelah kiri, sambil mengucapkan bacaan di atas.
  • Dari Hajar Aswad sampai ke Hajar Aswad lagi, terhitung 1 putaran.
  • Disunnahkan berlari-lari kecil dengan mendekatkan langkah-langkah (raml) pada tiga putaran pertama (hal ini disunnahkan pada thawaf umroh dan thawaf qudum pada haji).
  • Raml dan idhthiba’ tidak disyari’atkan untuk wanita.
  • Disunnahkan setiap kali berada di antara dua rukun, yaitu Rukun Yamani dan Hajar Aswad, untuk membaca:
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
Artinya: “Ya Allah, limpahkanlah kepada kami kebaikan di dunia dan juga kebaikan di akhirat, serta jagalah kami dari adzab api neraka.”
  • Disunnahkan setiap kali sejajar dengan Hajar Aswad untuk melakukan sebagaimana ketika mulai pertama kali, sampai pun pada putaran terakhir.
  • Tidak disyari’atkan untuk mengusapkan tangan ke badan setelah mengusap Hajar Aswad maupun Rukun Yamani.
  • Disunnahkan setiap kali sejajar dengan Rukun Yamani untuk menyentuhnya tanpa dicium, sambil mengucapkan, “Bismillahi Allahu Akbar”. Jika tidak memungkinkan untuk menyentuhnya maka tidak disyari’atkan untuk berisyarat kepadanya dan tidak pula mencucapkan tasmiyyah dan takbir.
  • Disyari’atkan sepanjang thawaf untuk memperbanyak dzikir dan doa, namun tidak ada dzikir dan doa khusus yang disunnahkan selain bacaan-bacaan yang telah kami sebutkan di atas.
  • Janganlah berdesak-desakan untuk mencapai Hajar Aswad atau Rukun Yamani, sehingga menyakiti kaum muslimin. Padahal mencium Hajar Aswad dan menyentuh Rukun Yamani hukumnya sunnah, sedangkan menyakiti kaum muslimin adalah haram.
  • Juga tidak boleh bagi wanita berdesak-desakan dengan laki-laki, melainkan mereka berjalan di belakang kaum laki-laki.
  • Tidak boleh bagi wanita membuka wajahnya jika terdapat laki-laki asing, hendaklah dia menutupi wajahnya dengan kerudungnya (bukan dengan niqob, kain yang menempel di wajahnya)
  • Tidak mengapa melakukan thawaf di belakang zam-zam dan di seluruh masjid (termasuk di lantai atas dan atap), terutama ketika sangat ramai, namun lebih dekat ke kakbah yang lebih afdhal.
  • Jika tidak mampu thawaf sambil berjalan, tidak mengapa mengendarai kendaraan atau digendong.
  • Selain Hajar Aswad dan Rukun Yamani tidak disyari’atkan untuk disentuh dan tidak pula ada bacaan tertentu ketika melewatinya.
  • Tidak disyari’atkan menyentuh Maqom Ibrahim, dinding kakbah dan kiswahnya.
  • Berdoa kepada kakbah adalah syirik besar.
  • Tidak ada lafazh niat thawaf.
  • Jika terjadi keraguan pada jumlah putaran thawaf, ambil hitungan yang paling sedikit, lalu menambah putaran yang masih kurang.
  • Jika telah dikumandangkan iqomah sholat hendaklah memutuskan thawaf dan melakukan sholat, setelah sholat dilanjutkan kembali, tanpa harus memulai dari awal kembali.
  • Jika batal wudhu’ sebelum selesai thawaf hendaklah berwudhu’ dan memulai thawaf dari hitungan pertama.
  • Setelah thawaf, tutup kembali pundak kanan dengan pakaian ihram bagian atas seperti sebelum thawaf.
  • Pergi ke Maqom Ibrahim (tempat berdirinya Nabi Ibrahim ‘alaihissalam ketika membangun Kakbah) lalu membaca:
وَاتَّخِذُواْ مِن مَّقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى
  • Lalu sholat dua raka’at di belakang Maqam Ibrahim walaupun tidak tepat di belakangnya. Jika tidak memungkinkan maka lakukan sholat di mana saja di Masjidil Haram. Lakukan sholat ini walaupun bertepatan dengan waktu-waktu yang dilarang untuk sholat. Jika lupa mengerjakannya maka tidak ada kewajiban fidyah.
  • Disunnahkan pada raka’at pertama membaca surat Al-Fatihah dan Al-Kafirun. Raka’at kedua membaca surat Al-Fatihah dan Al-Ikhlash. Dan tidak ada doa khusus sebelum dan selesai sholat.
  • Lalu minum zam-zam dan siramkan sebagiannya ke kepala.
  • Jika memungkinkan untuk kembali menyentuh atau mencium Hajar Aswad. Jika tidak, maka tidak perlu berisyarat kepadanya.
  • Lalu pergi ke bukit Shafa untuk melakukan sa’yu.
Ketiga: Sa’yu sebanyak 7 putaran antara Shafa dan Marwa
  • Jika telah mendekati Shafa membaca:
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَائِرِاللهِ
Artinya: “Sesungguhnya Shafa dan Marwah itu termasuk dari syi’ar-syi’ar Allah.” (Al-Baqarah: 158)
أَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللهُ بِهِ
Artinya: “Aku memulai (sa’yu) dengan apa yang dimulai oleh Allah (yakni disebutkan dulu Shafa lalu Marwah).”
  • Masih di Shafa, jika memungkinkan untuk menaikinya, lalu menghadap kakbah dan mengucapkan:
اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُلاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ يُحْيِي وَيُمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ أَنْجَزَ وَعْدَهُ وَنَصَرَ عَبْدَهُ وَهَزَمَ اْلأَحْزَابَ وَحْدَهُ
Artinya: “Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah tiada sekutu bagi-Nya, hanya milik-Nya segala kerajaan dan pujian, Dzat yang Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan serta Maha Kuasa atas segala sesuatu. Tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah semata, yang telah menepati janji-Nya, memenangkan hamba-Nya dan menghancurkan bala tentara kafir tanpa bantuan siapa pun.”
Dibaca 3 kali, setiap kali selesai salah satunya, disunnahkan untuk berdoa kepada Allah Ta’ala sesuai keinginan kita sambil mengangkat tangan.
  • Setelah itu berjalan ke Marwah, ketika lewat di antara dua tanda hijau langkah dipercepat. Namun bagi wanita tetap berjalan seperti biasa. Dan boleh naik kendaraan dalam melakukan sa’yu jika terdapat masyaqqoh.
  • Tiba di Marwah telah dianggap melakukan satu putaran (kembalinya ke Marwah juga terhitung satu putaran). Berdiri di Marwah dan lakukan seperti yang dilakukan di Shafa.
  • Setelah itu kembali lagi ke Shafa dan seterusnya sampai 7 putaran yang berakhir di Marwah.
  • Boleh melakukan sa’yu di lantai atas.
  • Tidak mengapa bagi orang yang mendahulukan sa’yu sebelum thawaf karena tidak tahu atau lupa.
  • Disyari’atkan untuk memperbanyak dzikir dan doa ketika melakukan sa’yu. Dan menghindari perkataan dosa dan perkataan sia-sia.
  • Disunnahkan melakukan sa’yu dalam keadaan suci, jika dilakukan dalam keadaan berhadats maka tidak mengapa. Sehingga jika seorang wanita haid setelah thawaf, bolah baginya melakukan sa’yu.
  • Sa’yu tidak disyari’atkan pada selain haji dan umroh. Berbeda dengan thawaf, boleh melakukannya kapan saja.
Keempat: Memendekkan atau mencukur rambut
  • Setelah melakukan sa’yu, segera memendekkan atau mencukur rambut secara merata.
  • Tidak cukup memendekkan atau mencukur sebagian, namun harus seluruh rambut secara merata.
  • Mencukur lebih afdhal dibanding memendekkan, kecuali yang melakukan umroh untuk haji tamattu’, lebih afdhal baginya memendekkan, untuk kemudian mencukur pada tanggal 10 Dzulhijjah.
  • Bagi wanita hanya memotong pada ujung-ujung rambutnya sepanjang kuku.
  • Dengan ini, telah masuk pada tahallul, telah halal semua yang tadinya diharamkan ketika ihram. Selesailah rangkaian ibadah umroh.
Walhamdulillahi Rabbil’alamiin.


Rujukan:
  1. Catatan pribadi dari pelajaran fiqh pada kitab Ad-Durorul Bahiyyah karya Al-Imam Asy-Syaukanirahimahullah di Al-Madrasah As-Salafiyyah Depok yang disampaikan Al-Ustadz Abdul Barrhafizhahullah, 1430 H.
  2. Al-Ikhtiyaraat Al-Fiqhiyyah fi Masaailil ‘Ibaadat wal Mu’aamalaat min Fatawa Samaahatil ‘Allaamah Al-Imam ‘Abdil ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baaz–rahimahullah-, ikhtaaroha Khalid bin Su’ud Al-‘Ajmi hafizhahullah, Bab Shifatul Hajj, hal. 322-352. Cetakan ke-6, 1431 H.
  3. Bayaanu maa yaf’aluhul Haaj wal Mu’tamir, karya Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah, terbitan Kantor Pusat Haiah Al-Amri bil Ma’ruf wan Nahyi ‘anil Munkar, 1430 H.
  4. Tabshirun Naasik bi Ahkaamil Manasik ‘ala Dhauil Kitab was Sunnah wal Ma’tsur ‘anis Shahaabah, karya Asy-Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd Al-‘Abbad Al-Badrhafizhahullah, cetakan ke-3, 1430 H.
  5. Jami’ul Manasik, karya Asy-Syaikh Sulthan bin AbdurRahman Al-‘Iedhafizhahullah, cetakan ke-3, 1427 H.

Sumber: www.nasihatonline.wordpress.com